Hasrat Cinta Tuan William의 모든 챕터: 챕터 51 - 챕터 60

Ciuman itu terasa panas, menyesakkan, sekaligus menyenangkan. Lira mendapati dirinya larut dalam setiap pagutan dan gigitan halus di bibirnya, tetapi semua itu harus padam ketika benaknya memohonnya untuk berhenti. Ini semua terasa salah. Lira menarik diri dari William, memandangi wajahnya yang sayu oleh nafsu di bawah sinar lampu. “Tuan, maafkan saya,” Lira kemudian berdiri dari pangkuan William. Ketika dia hendak menyingkir, William menyentuh lengan Lira seolah menahannya pergi. Masih di posisinya semula, pria itu bertanya, “Apa kau mencintaiku?” Lira merasa terbebani menjawab pertanyaan itu, tetapi kini dia tidak bisa mengelak lagi. “Saya rasa iya, Tuan.” Lalu Lira melengos sedikit karena malu menatap wajahnya William. “Saya minta maaf. Saya tidak bermaksud merebut Tuan….”“Merebut? Apa maksudmu?”Lira tergagap. “A-Anda mencintai Nyonya Silvana. Saya sungguh merasa lancang karena telah mengakui hal memalukan ini di hadapan Tuan, bahkan mencium sembarangan. Harusnya saya tidak

Tiga hari setelahnya, entah bagaimana berita tentang kasus William mulai meredup. Memang masih ada beberapa portal berita di media sosial dan televisi yang membicarakannya, tetapi sudah tidak seheboh kemarin. Namun bagi Lira, keheningan itu justru terasa janggal—seolah badai besar baru saja lewat dan menyisakan langit yang terlalu tenang.Ia bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi. William bilang saat itu dia sudah membereskan beberapa hal dan melakukan wawancara eksklusif dengan beberapa pihak. Apakah ini hasil dari upayanya? Bahwa kasus itu akhirnya mereda perlahan, dan tagar-tagar trend di media sosial yang dulu mengolok-oloknya sudah lenyap tidak bersisa?Pikiran itu mengusik kepala Lira sepanjang pagi. Saat ia berjalan menuju ruang makan, langkahnya pelan, nyaris ragu. Rumah besar itu kini terasa seperti ruang gema yang menelan setiap suara. Udara di sana dingin dan mengandung aroma logam samar dari peralatan makan yang berkilau di meja panjang.Lira menarik napas pelan sebelu

“Aku sangat berharap kau mau membuka hatimu untuknya. Bila tidak … aku harus mempertimbangkan untuk menjodohkannya dengan wanita lain.”Lira terpaku di tempat. Tuan William akan dijodohkan? Itu artinya, akan ada seorang nyonya baru yang menempati mansion Tuan William, menemaninya ke mana pun, bermesraan di hadapannya….Tunggu, mengapa Lira merasa sakit hati? Berita ini seharusnya tidak berdampak apa-apa baginya. Seorang perancang busana legendaris memang seharusnya berpasangan dengan wanita yang satu level dengannya, bukan? Tapi, membayangkan Tuan William akan berpaling darinya… rasanya sungguh menyakitkan. Perasaan apa ini yang berkobar dalam dadanya? Kecemburuan? “Maka dari itu, Lira,” Tuan Archen mendadak berkata lagi, “Penuhi permintaanku sesegera mungkin. Aku akan memberimu waktu satu bulan untuk membuat William memikirkan ulang tentang keputusannya yang ingin menjadi duda seumur hidup. Bila dalam kurun waktu itu dia masih tidak berubah, aku terpaksa akan menjodohkannya, dan ka

Hujan deras mengetuk jendela kamar Lira dengan rapat dan cepat, seperti seribu jemari kecil yang memaksa masuk ke dalam dunianya. Suara rintiknya memenuhi ruangan, menenggelamkan segala suara lain dan membuat kamar itu terasa lebih sempit, lebih dingin, dan jauh lebih sunyi daripada biasanya. Cahaya redup lampu di meja belajarnya memantul samar di permukaan kaca, seolah turut bergetar akibat hantaman hujan.Gadis itu sedang berbaring di kasur sambil bermain ponsel, menggeser layar tanpa tujuan, mencoba mengalihkan pikirannya dari rasa gelisah yang sejak beberapa hari terakhir tidak kunjung hilang. Ketika tiba-tiba ada panggilan masuk. Dari nomor tidak dikenal.Lira mematung sesaat. Detik-detik panjang terasa bergerak lambat ketika layar ponsel menyala berkedip, memantulkan bayangan wajahnya yang tampak lebih pucat dari biasanya.Dengan ragu, ia menerima panggilan itu dan berkata pelan, “Halo? Siapa ini?”Tidak ada jawaban dari seberang. Hanya suara statis samar yang bahkan mungkin han

Sore itu kegiatan photoshoot berlangsung lancar. Setelah menjalani tiga sesi penuh, tubuh Lira mulai terasa pegal, tapi ia tetap menjaga wajah tetap ramah setiap kali seseorang lewat dan menyapanya. Baru ketika William memberi isyarat bahwa sesi berikutnya ditunda, Ringga mengantar Lira untuk beristirahat. Di belakang mereka, William masih tenggelam dalam percakapan serius bersama tim, wajahnya fokus diterangi cahaya monitor yang dingin.Kesempatan itu akhirnya digunakan Lira untuk pergi.Dia melangkah cepat ke area parkir—tempat di mana Darren berjanji menjemputnya. Deretan mobil terparkir rapi di bawah langit senja yang mulai memudar, lampu-lampu sorot halaman menyala satu per satu. Dari kejauhan, ia sudah melihat Darren duduk di balik kemudi, menunggunya seperti seorang manusia yang tidak tahu malu.“Hei,” Darren melongok sambil mengulum senyum genit. “Masuk mobil. Kita bicara di dalam.”Lira menahan diri agar tidak memutar bola mata. Betapa miris. Jika benar pria ini pacar Olivia,