All Chapters of AETHERITH: Perang Planet Astarhea: Chapter 21 - Chapter 30

​Malam telah larut di Kerajaan Harimau Merah. Berita kehancuran Interceptor Assassin oleh Putri Akari dan senjata trisula emas-nya menyebar seperti kebakaran hutan di seluruh Planet Astarhea. Gelombang Aether dari Trisula itu telah merobek ilusi bahwa perang ini dapat diselesaikan di medan diplomasi lama. ​Menanggapi krisis yang diperburuk oleh kebangkitan kekuatan Akari, DKDA—Dewan Keamanan Dunia Astarhea—mengeluarkan seruan resmi. Sebuah notifikasi diplomatik muncul di layar utama di paviliun Akari: undangan konferensi perdamaian darurat yang menuntut kehadiran keempat pemimpin faksi utama. Kehadiran para kepala negara-negara netral dan yang tidak terlibat perang pun diwajibkan sebagai saksi. ​Akari memandang notifikasi itu. Alih-alih mencibir, senyum lembut namun penuh ketegasan terukir di wajahnya. Ia memegang Trisula, yang kini tidak terasa seperti senjata, melainkan tongkat kekuasaan yang harus ia pegang untuk membersihkan kepalsuan. ​"Mereka masih berpikir kita bisa terseny

Meskipun disucikan oleh Relik Triketara, Benteng Helios di Dataran Tinggi Guntur Emas terasa dingin dan sunyi, diselimuti aura harapan yang masih rapuh. Di ruang Pusat Komando, yang dindingnya terbuat dari lempengan giok Kerajaan yang memancarkan sisa-sisa sihir purba, Akari, Ratu Aruna, dan Jae-won berdiri di tengah puluhan drone konstruksi yang menganggur. Heningnya tempat itu lebih menyeramkan daripada suara pertempuran. Ratu Aruna, yang sifatnya selalu membumi dan kokoh layaknya Akar Aliansi, menyentuh giok di lantai dengan tatapan serius. "Kita punya Perisai spiritual dari Kerajaan dan Semangat dari Kekaisaran. Namun, secara fungsi, markas ini masih rentan. Kita memerlukan lebih dari sekadar harapan; kita memerlukan kecerdasan terapan. Kita harus bergerak cepat, Putri Akari." Jae-won, sebagai Peta dan ahli strategi dari Federasi, mengangguk, analisisnya tajam dan tanpa emosi. "Musuh tidak akan menyerang dengan sihir purba. Mereka akan menyerang dengan teknologi dan strategi lo

Kapal berkecepatan ultra-tinggi Ratu Aruna, yang dikendalikan dengan keahlian luar biasa oleh Ji Hoon dan teknologi modifikasi Loka dan Min-Seo, melakukan pendaratan darurat di alun-alun utama Kota Bulu Phoenix. Di sekeliling mereka, tank Republik terbakar, unit Striker hancur, dan mayat-mayat undead Seraphina kembali menjadi abu. Pemandangan itu adalah kehancuran mutlak, dan di pusatnya, berdiri Akari. ​Akari kini bukan lagi rekan mereka, tetapi sebuah entitas Aetherial murni: Burung Phoenix raksasa setinggi pagoda yang terbuat dari api merah murni. Cahaya Phoenix yang meletup-letup itu adalah manifestasi dari Akari yang sangat lepas kendali. Energi Runenya kini mengancam untuk memicu Kiamat Aetherial lokal, melenyapkan dirinya sendiri dan Kota Bulu Phoenix sekaligus. ​"Ini melebihi batas amannya, Ratu Aruna!" teriak Ji Hoon dari kokpit, berjuang menahan kendali kapal. "Energinya akan menghancurkan kapal!" ​Ratu Aruna melangkah keluar dari pintu pendaratan kapal. Zirah merah-lore

Di dalam Paviliun Kekaisaran, di tengah hiruk pikuk tim medis yang bekerja keras menstabilkan tanda-tanda vital Akari dan Aruna, Jae-won berdiri di depan konsol taktis rahasianya, matanya yang biasa dingin kini memancarkan keterdesakan yang langka. Pedang Takdir diletakkan di sampingnya.​Pedang Bayangan (yang berada di sana untuk perlindungan) menembus keheningan. "Situasi politik memanas, Panglima. Dunia menunggu Triketara ambruk, dan kita tidak punya waktu untuk mencari tabib legendaris yang menghilang 20 tahun lalu."​Jae-won mengabaikan tekanan politik itu. Matanya terpaku pada kondisi Akari dan Aruna, yang tetap berada di ambang kehidupan.​"Kita hanya punya satu tujuan: Udzhur," ujar Jae-won, suaranya pelan dan terukur, memprioritaskan yang tak terhindarkan. "Hanya tabib legendaris itu yang mampu menyembuhkan Luka Rune. Tim medis Kekaisaran tidak bisa melakukannya. Kita harus menemukan lokasinya sekarang."​Tepat setelah Jae-won berbicara, ia melihat kedatangan tiga sosok: Enya

Pesawat Angkasa Phoenix Ascendant, meskipun bentuknya seperti ukiran kuno yang anggun dan berbalut pelindung yang membuatnya terlihat seperti karya seni bergerak, mendarat di pelabuhan udara umum yang ramai di Pulau Kura-kura Emas. Pendaratan itu dilakukan dengan suara yang sangat senyap, seolah pesawat itu sendiri menahan napas, tidak ingin menarik perhatian yang tidak perlu dari puluhan pengangkut kargo dan pesawat diplomatik lainnya.​Pelabuhan udara di pulau ini adalah cerminan sempurna dari status netral Kesultanan Omar. Di atas landasan yang luas dan mulus, bersanding angkutan dari berbagai faksi yang hanya didorong oleh kepentingan komersial, menjadikannya anomali di Astarhea yang sarat konflik. Kontrasnya sangat mencolok dan memusingkan.​Di satu sudut, terlihat Pesawat dagang Aliansi Maritim Ekor Ikan yang bobrok—pesawat pengangkut besar berwarna karat yang dipenuhi jaring dan lumut, menandakan rute yang panjang dan berbahaya yang mereka tempuh, menembus blokade tanpa peduli