All Chapters of Tak Sengaja Mencintaimu: Chapter 11 - Chapter 20

Shankara mematung di tempatnya mendengar tantangan Vanka. Untuk beberapa saat ia hanya bisa memandangi perempuan itu dengan pandangan kosong.Di ujung pandangannya, Vanka berdiri kaku, menatap dengan mata basah dan penuh harap.Diamnya Shankara menumbuhkan sedikit kelegaan di hati Vanka. Pikirnya, Shankara pasti sedang goyah, takut karena kebenaran akhirnya terbukti. "Abang nggak perlu percaya sekarang. Aku cuma minta satu hal. Tes DNA. Setelah itu, kalau hasilnya nggak cocok, aku janji nggak akan ganggu Abang lagi. Tapi kalau hasilnya terbukti Lengkara adalah darah daging Abang, aku mohon bantu Lengkara untuk kesembuhannya. Dia masih kecil, Bang. Dia anak yang baik dan pintar. Dia berhak untuk hidup lebih lama."Shankara masih belum menjawab. Matanya bergerak perlahan dari wajah Vanka ke amplop coklat yang berada di genggaman perempuan itu. Foto-foto Lengkara mengintip dari balik amplop tersebut, memperlihatkan kepala kecil yang botak dan senyum ompong yang lucu.Shankara menghela n

Vanka masih berdiri di dekat jendela, bahkan setelah panggilan telepon berakhir. Suara Reza masih terngiang di kepalanya bersama semua ancaman yang selalu berhasil membuat dadanya sesak. 'Aku udah rela kalau Lengkara harus meninggal.' Itu yang dikatakan Reza yang putus asa. Tapi Vanka tidak akan menyerah. Ia tahu harapan itu masih ada. Tinggal sedikit lagi. Ia harus berhasil meluluhkan hati Shankara. Mengalihkan perhatian ke tempat tidur, hal yang sama masih menyambut Vanka. Keadaan menyedihkan anaknya. Setiap tarikan napas anak itu seperti mengingatkan Vanka bahwa waktu terus berjalan, dan ia sedang berpacu dengan sesuatu yang tidak bisa dilawan.Vanka ingin segera ke laboratorium untuk melakukan tes DNA. Tapi ia tidak tega membangunkan Lengkara. Jadi ia menunggu sampai putrinya itu bangun dengan sendirinya.Setelah Lengkara bangun, Vanka memberinya makan yang hanya bisa diterima Lengkara beberapa suap. Vanka juga mendandani anak itu dengan dress cantik dan bandana di kepala sampai

Shankara sontak termangu menyaksikan pemandangan yang berada di dalam mobil.Tampak di sana seorang anak kecil perempuan persis seperti yang pernah dilihatnya di foto.Anak itu tertidur. Kepalanya terkulai ke bantal leher yang menyanggahnya. Mulutnya setengah terbuka. Sebuah boneka lucu berada di pangkuannya. Vanka ikut melihat ke dalam mobil. Ia tidak tahu kalau Lengkara ketiduran. Mungkin karena terlalu lama menunggu."Itu Lengkara, Bang, anak kita. Tadi dia masih bangun, aku juga nggak tahu kalau dia ketiduran," jelas Vanka pada Shankara yang masih menatap ke dalam mobil tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Pandangannya kosong, seperti sedang menolak apa yang dilihatnya.Shankara mengalihkan pandangannya dengan cepat, seolah mendengar kata 'anak kita' saja sudah cukup untuk membuat dadanya sesak. Ia menarik napas, menatap sekeliling. Di kejauhan, beberapa pekerja masih berada di sana dan siap-siap untuk pulang."Jangan asal bicara, Van. Kalau pekerjaku dengar bisa bahaya. Mereka

Vanka berjalan tergesa dengan napas setengah memburu. Begitu masuk ke mobil ia langsung menguncinya dengan cepat seolah ada yang mengejar di belakangnya. Ia berusaha menstabilkan detak jantungnya yang masih berpacu akibat pertengkaran dengan Reza barusan. Ia harus ke laboratorium. Ia harus mendapatkan hasil itu hari ini apa pun yang terjadi. Dengan tangan sedikit gemetar akibat sisa-sisa pertengkaran dengan Reza, ia menyalakan mobil dan langsung tancap gas menuju laboratorium. Sepanjang perjalanan pesan-pesan baru dari Reza terus masuk. [Aku nggak ngizinin kamu pergi. Istri durhaka kamu!] [Awas aja kamu pulang nanti!] [Capek banget punya istri kayak kamu!] Vanka mengetuk layar ponsel, mematikan notifikasi sepenuhnya. Hari ini bukanlah tentang Reza. Hari ini tentang dirinya dan Shankara. Sesampainya di laboratorium, Vanka berjalan cepat memasuki gedung tersebut. Hawa dingin menerpa kulitnya. Aroma yang khas ikut menusuk penciumannya. Staf yang melihat Vanka langsung menyapa d

Tangan Shankara menahan tubuh Vanka dengan kaku. Beberapa kali ia memanggil nama perempuan itu agar bangun. Tapi Vanka tetap tidak bergerak. "Van, Vanka, bangun." Shankara mengulangi dan hasilnya tetap sama. Tapi Shankara tidak langsung percaya. Menilik ke belakang, di mana Vanka sanggup melakukan hal-hal di luar dugaan, Shankara tidak yakin perempuan itu benar-benar pingsan. Bisa saja saat ini Vanka sedang berpura-pura. Lelaki itu memandang ke sekeliling. Hening dan gelap. Jalan di depan rumahnya pun sepi. Tidak ada kendaraan melintas. Shankara memutuskan membawa Vanka ke dalam rumah. Dibaringkannya perempuan itu di sofa panjang. Tatapannya tertuju ke wajah Vanka, menilai apakah perempuan itu benar-benar tak berdaya atau sedang berpura-pura. Shankara menggosok-gosok bahu Vanka, juga menepuk-nepuk pipi perempuan itu dengan punggung tangan, mencoba membangunkannya. "Bangun, Van. Kalau ini drama lagi, kamu keterlaluan. Aku nggak akan ketipu," geram Shankara. Tetap tidak ada reak