Lost Treasure

Lost Treasure

last updateLast Updated : 2022-01-10
By:  BricelegendCompleted
Language: English
goodnovel16goodnovel
10
1 rating. 1 review
60Chapters
4.3Kviews
Read
Add to library

Share:  

Report
Overview
Catalog
SCAN CODE TO READ ON APP

Synopsis

The book "lost treasure" talks about a guy John Williams who is a flirt, his big brother Lyod Williams gives him anything he wants. With this John becomes a playboy who is just interested in having fun with ladies. Things changed when this pastor's daughter Laura George came into the picture and John happens to fall deeply in love for the first time. John becomes very sad when he learns that he will soon lost his ever first love to the cold hands of death. He showed Laura love but it was too late already.

View More

Chapter 1

Chapter one

Chapter I:

Sedari Senja Hingga Malam Tiba

Ini adalah kisah tentang masa laluku. Mungkin akan lebih baik bila semua yang pernah kualami kutuangkan dalam tulisan—sebagai kenangan yang tidak akan lekang dimakan waktu.

Kini, hari ini, di ujung utara kota, aku berdiri di titik tertinggi. Senja sedang berlayar menuju peraduan, menutup harinya dengan semburat jingga yang begitu hangat. Cahaya lembutnya merayap di permukaan atap-atap rumah, menyingkap bayangan panjang di jalanan yang berliku. Angin sore mengalun pelan, membawa aroma tanah yang baru saja diguyur hujan. Di kejauhan, terdengar riang tawa teman-temanku, seolah dunia tak pernah mengenal kata luka.

Apa? Siapa aku? Tidak, bahkan aku sendiri pun belum sepenuhnya mengerti siapa diriku sebenarnya. Mungkin terdengar canggung, tapi beginilah caraku memulai cerita ini.

Tujuh tahun telah berlalu sejak aku meninggalkan kota tempatku dibesarkan. Kini aku kembali—kota kelahiran yang indah, penuh nostalgia, penuh kenangan. Terima kasih, Ayah. Terima kasih, Bunda. Delapan belas tahun bersama kalian adalah anugerah terbesar yang pernah kupunya. Anugerah yang kini terasa semakin berharga, karena aku tahu, ada hal besar yang menantiku.

Aku pergi bukan tanpa alasan. Tapi kepergian itu meninggalkan luka, meninggalkan tanda tanya besar yang sampai kini masih menghantui. Saat itu aku hanyalah remaja labil—tersesat di antara cinta dan pendidikan. Namun, aku tak sendiri. Ada seseorang yang selalu menggenggam tanganku… Reza.

Hari itu, di rumah Reza, suasana begitu hangat. Lampu gantung di ruang keluarga lantai atas memancarkan cahaya kekuningan, membuat ruangan terasa akrab dan penuh kehangatan. Aku duduk dengan gugup di kursi sofa empuk berwarna cokelat muda. Di hadapanku, Papa Reza menatapku dengan tatapan teduh penuh wibawa. Mama Reza duduk di sampingnya, tersenyum ramah sambil sesekali menatap putranya dengan penuh kasih.

“Nika, Reza sudah banyak bercerita tentangmu… tentang kalian. Kami sudah menganggapmu seperti anak sendiri.” Suara Papa Reza terdengar berat, namun lembut, seperti seseorang yang sudah memikirkan kalimatnya matang-matang. “Karena itu, Papa ingin ada pertemuan dengan orang tuamu. Kamu tahu kan, ke mana arah pembicaraan ini?”

Aku menunduk, jemariku saling meremas di atas pangkuan. Hati berdegup lebih cepat dari biasanya. Aku tahu maksudnya. Dengan suara pelan, hampir berbisik, aku menjawab, “Iya, Pah… Nanti Nika sampaikan ke Ayah dan Bunda.”

Reza, yang duduk di sampingku, sempat menoleh, senyum tipisnya seakan berkata, “Tenang, aku ada di sini.” Aku balas dengan lirikan gugup, meski mataku segera menunduk lagi.

Senyum tipis terlukis di bibirku, meski dalam hati aku diliputi rasa canggung dan gugup.

Papa Reza tersenyum hangat, lalu menyandarkan punggungnya ke sofa. “Nah, satu lagi. Papa punya keinginan. Papa ingin melihatmu wisuda. Bagaimana? Kamu tertarik?”

Aku terbelalak kaget, menoleh cepat ke arah Reza yang sama terkejutnya. “Ah… Papa… Nika juga mau, tentu saja. Tapi kan…”

“Tidak perlu khawatir,” potong Papa Reza cepat. “Semua biaya sampai lulus, biar Papa yang tanggung. Iyakan, Ma?” ia menoleh pada Mama Reza, yang mengangguk mantap dengan senyum penuh arti.

Aku tercekat. Ada rasa haru, tapi juga beban. “Kalau begitu… aku harus pikirkan dulu baik-baik, Pa, Ma. Lagipula ini sudah malam, Nika pamit dulu, ya.”

“Baiklah.” Papa Reza tersenyum sambil menepuk pundakku lembut. “Reza, antar Nika pulang. Pastikan dia sampai dengan selamat.”

Dalam perjalanan pulang, mobil melaju pelan di jalan yang lengang. Lampu-lampu jalan berkelebat, menciptakan bayangan berulang di wajah Reza.

“Sayang… Papa beneran serius tadi?” tanyaku pelan, menatap jalanan yang berkilauan oleh sisa hujan. “Aku agak bingung… Mau nolak, tapi takut mereka kecewa. Rasanya… campur aduk.”

Reza menarik napas panjang. “Aku juga bingung, Nik. Aku pikir Papa bakal lebih fokus soal hubungan kita. Tapi ternyata… tiba-tiba soal kuliah yang dibicarakan.” Tangannya meremas setir erat-erat, seolah ikut menahan perasaan yang bercampur.

Sesampainya di depan rumah, aku membuka pintu mobil. “Tok tok tok! Ayaaah, Bundaaa! Nika pulang!” seruku ceria, mencoba menutupi perasaan campur adukku.

“Iyaaa, sebentar!” sahut Ayah dari dalam. Tak lama kemudian, Ayah muncul sambil tersenyum lebar. “Ooh, ada Reza juga rupanya. Ayo masuk dulu, Ayah baru meracik kopi. Kopi spesial, ayo coba!”

“Boleh, Yah,” jawab Reza sopan. “Kebetulan belum sempat ngopi racikan enak lagi akhir-akhir ini.”

Aku tersenyum kecil, lalu pergi ke kamar mandi untuk mencuci muka. Saat kembali, kudapati Reza dan Ayah sudah berbincang santai di ruang tamu. Aku mendekat, lalu berbisik pada Reza, “Udah bilang ke Ayah soal tadi?”

Reza menggeleng pelan. “Belum… aku tunggu kamu.”

Ayah tersenyum melihat kami berdua. “Kenapa kalian bisik-bisik? Hehe, sini ngobrol bareng Ayah.”

Aku menunduk malu, lalu berkata pelan, “Yah… Papa dan Mama Reza ingin ketemu. Katanya ingin ngobrol serius. Tapi aku nggak tahu pasti soal apa…”

“Oooh, begitu ya?” Ayah tertawa kecil, meski wajahnya tampak berpikir keras. “Menarik. Kapan rencananya?”

Aku menoleh cepat pada Reza, berharap dia membantu. Tapi Ayah tiba-tiba berdiri. “Ayah panggil Bunda dulu, biar sekalian kita obrolin.”

“Eh, eh, jangan dulu Yah!” potong Reza kaget. “Belum perlu buru-buru. Kan bukan besok.”

Wajah Ayah mendadak berubah. Sekilas kulihat matanya kosong, seperti ada sesuatu yang ia sembunyikan. “Hm, sepertinya memang sudah waktunya. Tapi ya sudah… nanti saja.” Ia tersenyum, meski senyum itu terasa berat.

Aku terdiam, jantungku berdebar aneh. Seakan ada sesuatu yang tak kuketahui.

Tak lama, Reza pamit pulang. Aku mengantarnya sampai pagar. “Aku kabarin ya kalau Ayah sudah tentuin waktunya,” ucapku pelan.

“Iya, aku tunggu kabarnya. Dadaahhh.” jawabnya sambil tersenyum.

Aku menatap punggung Reza yang perlahan menjauh. Dalam hati, aku berbisik, “kenapa Ayah diam saja tadi ketika Reza pamit? ”.

Di dalam rumah, aku kembali ke ruang tamu. Ayah menatapku, kali ini dengan tatapan yang berbeda—hangat, tapi juga sarat rasa kehilangan.

“Ayaaah… apaan sih ngeliatin aku begitu,” ucapku cemberut, meski hatiku sebenarnya hangat.

Ayah hanya tersenyum. Lama. Senyum penuh makna yang tak sanggup kuterjemahkan. “Anak Ayah sudah besar ya,” katanya lirih. “Delapan belas tahun lalu, kamu lahir… Waktu bayi, kamu suka nangis terus. Kalau Ayah gendong, baru berhenti. Kamu suka senyum kalau Ayah dekap. Lalu ketika agak besar, sering jatuh kalau lari ngejar kucingmu, si Choki…”

Ayah tertawa kecil, tapi suaranya terdengar getir.

Aku terdiam, mataku basah. Tanpa sadar air mata jatuh, mengalir membasahi pipi. “Ayah… Ayah sayang kan sama Nika?” bisikku pelan.

Ayah mengusap kepalaku lembut. “Jangan nanya aneh-aneh. Tentu saja.” Ia tertawa kecil, berusaha menyembunyikan suara yang bergetar. “Sudahlah, sana tidur. Sudah larut.”

Aku memeluknya erat, seolah tak ingin dilepas. Tapi akhirnya, aku melangkah menuju kamar.

Di kamar, aku membuka lemari. Mataku tertuju pada sebuah piyama lama di tumpukan paling bawah. Aku mengambilnya perlahan. “Oh iya… ini kan dulu hadiah dari Ayah waktu aku umur berapa ya… 14? 15? Ah, aku lupa.”

Air mataku jatuh lagi. Aku tersenyum, meski getir.

“Ting…” ponselku berbunyi. Pesan dari Reza.

“Sayang, aku sudah sampai rumah. Kamu sudah tidur atau belum? ”

“Belum kok, ini baru mau tidur.” balasku singkat.

Satu jam berlalu. Dua jam. Pesanku tak kunjung dibalas. Aku menunggu, hingga akhirnya aku tertidur dengan ponsel masih kugenggam erat di tanganku.

Keesokannya. Pagi itu, cahaya matahari menembus sela-sela tirai ruang keluarga. Udara masih lembap dengan aroma teh hangat yang tersaji di meja. Suara lembaran kertas album foto yang dibuka pelan-pelan terdengar samar, berpadu dengan desahan halus Ayah dan Bunda yang tengah berbincang serius.

Aku berdiri di ambang pintu, tak ingin mengganggu. Dari tempatku, aku bisa melihat Bunda tertawa kecil sambil menunjuk ke arah foto masa kecilku.

“Nah ini nih, waktu di kebun kakek… di depan kandang ayam.” Bunda tersenyum lebar, jemarinya menyentuh foto yang sudah agak pudar warnanya. “Nika waktu itu nangis-nangis ketakutan, dikejar ayam. Eh malah sempet-sempetnya difoto. Kerjaan Ayah, nih.”

Tawa lembutnya menggema, tapi ada sesuatu yang terasa menggantung di udara.

“Ini juga… lihat, waktu Nika dipaksa naik kambing kakek. Astaga, wajah paniknya! Lucu sekali,” sambung Bunda sambil tertawa, meski matanya mulai berkaca-kaca.

Aku ikut tersenyum kecil dari jauh, tapi senyumku perlahan luntur ketika pandanganku jatuh pada Ayah. Wajah Ayah tidak tertawa. Ia hanya menatap foto-foto itu dalam diam, tersenyum tipis, tapi matanya jelas menyimpan duka. Ada linangan bening yang akhirnya lolos, jatuh di atas halaman album foto yang terbuka.

Bunda menyadarinya. Tangannya meraih lengan Ayah, menggenggam erat, seolah ingin menyalurkan kekuatan. Suaranya bergetar saat berkata pelan, “Yah… soal keputusan itu. Apa benar-benar sudah Ayah pikirkan masak-masak?”

Ayah terdiam sejenak, menunduk. Suara jam dinding terdengar lebih keras dari biasanya, berdetak lambat namun menghantam telinga. Lalu dengan napas berat, ia akhirnya berkata, “Sudah… inilah jalannya. Ini bukan tentang kita lagi. Ini tentang masa depan Aerunika.”

Kalimat itu meluncur pelan, namun menghantam hati Bunda. Ia menunduk, menutup mulutnya dengan tangan.

“Sekaranglah waktunya, Bun… waktu yang dulu sempat kita bicarakan,” lanjut Ayah dengan nada serak, matanya menerawang kosong.

Aku yang mendengar dari kejauhan sontak terpaku. Ada desir aneh dalam hatiku, semacam firasat yang tak bisa dijelaskan. Aku melangkah pelan, mencoba mendekati ruang keluarga.

“Kamu tahu, Bun…” suara Ayah kembali terdengar, lirih, “Nika anak yang baik. Dia harus belajar… belajar beradaptasi. Mungkin… mungkin dengan begitu dia akan kembali bertemu teman-teman masa kecilnya. Setidaknya… dia harus menjejakkan kaki di sana.”

Nada suaranya tercekat, nyaris pecah.

Aku akhirnya sampai di hadapan mereka. Ia mencoba tersenyum, menutupi kegelisahan hatiku. “Ayah, Bunda… kayanya lagi asik nih ngobrol… lagi—”

Ucapanku terputus ketika melihat Ayah. Wajahnya basah, matanya merah. Hatinya langsung terhentak.

“Loh… Ayah, kenapa?” tanyanyaku cepat, duduk di samping mereka dengan wajah penuh cemas.

Bunda buru-buru menyambut pertanyaan itu dengan senyuman tipis, meski air matanya nyaris jatuh. “Ayah cuma… rindu masa-masa kamu kecil dulu, Nika. Kamu paham kan?”

Aku mengangguk kaku, meski di hatiku terasa semakin dipenuhi tanda tanya.

Ayah menghela napas panjang, lalu tiba-tiba memotong suasana dengan suara yang tegas namun berat, “Nika… kamu harus pergi ke Bandung. Kunjungi rumah kakek di sana. Dan… sebaiknya kamu mulai cari tahu fakultas yang cocok untukmu di sana.”

Hening.

Seakan dunia mendadak membeku.

Aku menegakkan tubuhku, jantungku berdegup kencang. Mataku melebar, tak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar.

“A… a… apaa? Ayah serius? Kenapa? Kenapa Bandung?” suaranya tercekat, tubuhku gemetar.

Pertanyaan demi pertanyaan menyerbu pikiranku, rumit.

“Fakultas? Kuliah? Bandung?” gemuruh hatiku. “Tunggu… apakah ini ada hubungannya dengan Reza? Tapi… Reza bilang belum sempat bicara apa-apa pada Ayah. Jadi… dari mana Ayah tahu?”

Bunda memotong, mencoba menenangkan situasi,

“Ayah… pelan-pelan dong jelasin ke Nika. Jangan bikin dia kaget begitu.”

Tapi Ayah hanya diam, menatap kosong ke arah meja. Air matanya jatuh satu per satu, tapi ia berusaha tetap tegar.

Aku merasa semakin tak menentu. Aku menoleh ke kanan dan ke kiri, berusaha mencari jawaban logis. Sampai akhirnya pertanyaan itu terlontar begitu saja, “Pa… Papa Reza barusan dari sini, Bund? Ayah?”

Bunda menatapku, mengelus lembut rambutku yang terurai, mencoba meredam kegelisahanku. “Tenang dulu, sayang. Minum dulu tehnya, ya? Jangan terlalu kaget begitu.” Bunda berusaha menata kata, meski suaranya bergetar. “Soal Reza dan keluarganya… Bunda dan Ayah sudah sepakat. Mungkin minggu depan waktunya tepat. Bagaimana menurutmu?”

Aku terdiam. Dada terasa sesak, pikiranku kacau. Seakan ada banyak rahasia yang menjerat, tapi tak satu pun yang jelas.

“Kalau begitu… aku… aku kasih tahu Reza dulu ya soal waktunya. Aku ke kamar dulu,” jawabku dengan tergesa, tak sadar suaraku meninggi karena bingung.

Aku bangkit, melangkah cepat ke kamar tanpa menoleh lagi.

“Nika sayang… sarapannya belum habis… Nikaaa…” suara lembut Bunda memanggil, tapi tak ku digubris.

Di dalam kamar, Aku cepat meraih ponselku dengan tangan gemetar. Ku coba mengetik pesan singkat:

“Sayang… Ayah sama Bunda bilang waktunya minggu depan. Gimana menurut kamu?”

Pesan terkirim.

Satu jam berlalu. Dua jam. Layar ponsel tetap saja sepi, tanpa balasan.

“Yang… ayo dong balesin…” ku coba kirimkan pesan lagi, kali ini dengan wajah memelas.

Tapi tak ada respon.

Aku merasa mulai resah. Pikiranku terasa semakin kacau. Aku berjalan mondar-mandir di kamarku, sesekali menatap ponselnya yang tetap hening.

“Apa masih tidur? Atau kenapa sih? Kok ga bales-bales? Ihhh…” gerutu dalam hatiku.

Akhirnya Aku tak tahan lagi. Aku meraih tasku, dan bersiap pergi.

Di ruang tamu, Ayah yang sedang duduk menatap hampa menoleh ketika mendengar langkahku. “Nika… mau ke mana?”

“Ke rumah Reza, Yah. Nika harus tahu jawabannya. Nika pergi dulu.” Jawabku singkat.

Ayah terdiam. Ada sesuatu yang ingin ia katakan, tapi tertahan di tenggorokan.

“Hati-hati ya, sayang,” sahut Bunda lembut dari dapur.

Aku melangkah keluar. Tapi langkahku terasa berat, karena di dalam hatiku aku tahu. Hari ini, ada sesuatu yang aneh.

            Sesampainya aku di depan rumah Reza, langkahku terhenti. Ada sesuatu yang berbeda. Rumah itu, yang biasanya ramai dengan suara televisi dan riuh candaan kecil, kini begitu sepi. Jendela-jendela tertutup rapat, dan halaman depan tampak lengang. Jantungku berdegup lebih cepat.

Aku melangkah pelan, mencoba memastikan, tapi yang kudapati hanyalah kesunyian. Dengan perasaan tak enak, aku memberanikan diri bertanya pada tetangga sebelah rumah. Seorang ibu paruh baya membuka pintu, wajahnya tampak letih, seakan ia pun tak tidur semalaman.

“Dek… semalam Mama Reza dibawa ke rumah sakit. Katanya serangan jantung. Semua keluarganya ikut ke sana, jadi rumah kosong,” ucapnya lirih, seakan ikut menanggung kesedihan itu.

Tubuhku mendadak kaku. Nafasku tercekat. Serangan jantung? Mama Reza? Aku tidak tahu harus bereaksi seperti apa.

Tak lama kemudian, dari ujung jalan, aku melihat sosok yang sangat kukenal. Reza. Ia berjalan keluar dari mobil dengan langkah yang gontai, langkahnya lemah seperti orang kehilangan arah. Wajahnya pucat, matanya sembab, seolah habis menahan tangis yang tak terbendung.

“Reza!” panggilku lirih sambil berlari menghampirinya. Tanganku langsung meraih bahunya. “Sayang… kamu nggak apa-apa kan? Terus Mama gimana?” tanyaku cepat, penuh rasa cemas.

Reza menatapku, matanya berair. Lalu bibirnya gemetar, suara yang keluar begitu lirih namun menghantam hatiku dalam-dalam. “Mama… Mama udah nggak ada…” jawab Reza.

Dunia seperti berhenti berputar. Suara itu menghantam telingaku, menusuk sampai ke dada. Aku terdiam sesaat, mencoba mencerna kata-katanya. Tapi air mataku justru jatuh tanpa bisa ditahan.

“Sayang… Mama? Maa…” aku langsung memeluknya erat. Reza menangis pilu di pelukanku, tubuhnya bergetar hebat.

Seorang pria paruh baya tiba-tiba datang menghampiri kami. Paman Reza. Wajahnya pun terlihat kusut oleh duka. Ia merangkul bahu kami dengan lembut. “Ayo, ayo masuk dulu ke dalam. Nika, ikut ya. Biar kalian bisa tenang dulu,” ucapnya sambil memberi isyarat sopan kepada tetangga yang ikut mengawasi dari kejauhan.

Kami masuk. Reza akhirnya membuka suara di ruang tamu. Tangisnya tersendat-sendat saat mencoba menceritakan kejadian semalam.

“Waktu aku pulang, aku lihat Mama tiba-tiba memegangi dadanya… aku panik. Aku teriak, kemudian Papa datang. Aku lihat wajah Papa benar-benar takut waktu itu. Lalu Papa langsung telpon rumah sakit. Kita buru-buru bawa Mama ke IGD…” Reza berhenti sejenak, menutup wajahnya dengan kedua tangan, suaranya pecah.

“Aku bingung banget… aku sampai lupa bawa ponsel. Aku cuma bisa nangis di sepanjang perjalanan.”

Aku menggenggam tangannya erat, berharap ia bisa sedikit tenang.

“Dokter… Dokter bilang Mama nggak bisa ditolong. Pukul 01.16 Mama udah pergi… serangan jantung. Aku nggak siap, Nik… aku nggak siap kehilangan Mama secepat ini…”

Air matanya kembali pecah, dan aku hanya bisa menahan tangisku sendiri sambil memeluknya.

Beberapa waktu kemudian, suara sirene ambulan jenazah terdengar dari luar. Jantungku ikut berdegup kencang. Begitu ambulan berhenti di depan rumah, suasana seketika pecah. Tangisan keluarga menyambut kepulangan Mama Reza untuk terakhir kalinya. Isak tangis memenuhi udara.

Hari itu juga, pemakaman dilakukan. Aku sempat memberi kabar pada Ayah dan Bunda tentang keadaan Reza. Mereka segera datang, dengan wajah turut berduka. Aku merasa lega karena ada mereka untuk menenangkan Reza dan Papanya.

Di pemakaman, Papa Reza sempat menghampiri orang tuaku. Wajahnya lelah, matanya merah karena tangis.

“Saya… saya nggak nyangka bakal secepat ini. Semalam kami berencana ingin bertemu dan berbincang dengan Bapak dan Ibu… soal Aeruika. Tapi ternyata… takdir mempertemukan kita dalam keadaan seperti ini. Mohon maaf, ini bukanlah situasi yang kami harapkan.”

Ayah menepuk pelan bahu Papa Reza, matanya ikut berkaca-kaca. “Kami sekeluarga ikut berduka cita atas kepergian Mama dari Reza.”

Papa Reza menunduk, suaranya serak menahan tangis.

“Terima kasih… terima kasih banyak atas kedatangannya.”

Suara tanah yang menutup liang lahat terdengar berat. Udara dipenuhi isak tangis. Aku hanya bisa berdiri di samping Reza, menggenggam tangannya erat-erat. Dalam hati, “aku berjanji akan selalu ada untuknya, menemani setiap luka yang ditinggalkan oleh kehilangan ini.”

Namun entah mengapa, di balik kerumunan pelayat, aku merasa ada sepasang mata asing yang menatap. Hanya sekilas, bayangan samar di kejauhan. Begitu aku menoleh, ia menghilang. Jantungku berdetak lebih kencang, tapi aku mengabaikannya, menepis sebagai ilusi.

Meski begitu, rasa itu tertinggal—seakan ada sesuatu yang lebih besar sedang menunggu di depan. Sesuatu yang belum kumengerti sepenuhnya.

Satu minggu berlalu sejak kepergian mama Reza. Hari-hari yang kulalui selalu dibayangi kabar tentangnya. Reza bukan lagi Reza yang kukenal, setiap malam ia seperti dirobek oleh badai yang tak kunjung reda.

Kadang kudengar ia mengunci diri, kadang kudengar pula bisikan miris—tentang botol-botol minuman yang diam-diam ia sembunyikan, seakan hanya dengan itu ia bisa menahan pecahnya kepedihan. Aku tahu, Reza sedang karam. Dan hatiku, entah mengapa, menolak untuk tinggal diam.

Maka suatu sore aku memberanikan diri menuju rumahnya.

Begitu sampai, aku mendapati pemandangan yang membuat dadaku sesak. Reza duduk berjongkok di balkon lantai dua, tubuhnya terlipat, seolah dunia telah runtuh tepat di atas bahunya. Dari bawah, papa Reza berusaha memanggil, suaranya lantang tapi bergetar oleh cemas.

“Reza! Itu Nika datang, Nak! Turunlah sebentar, ayo obati luka hatimu,” seru papanya dengan nada memohon.

Tapi Reza hanya menjawab lirih, suaranya lemah dan jauh, “Enggak, Pa… mungkin aku lebih kuat dari yang Papa lihat. Aku lagi pengen sendiri.”

Aku menelan ludah, kalimat itu terdengar seperti dinding batu yang ia bangun di sekelilingnya.

Papa Reza menghela napas panjang, lalu menoleh ke arahku. “Oke… Papa pergi dulu. Nika, sebaiknya kamu pulang dulu,” katanya, matanya menyoroti aku dengan rasa letih yang sulit disembunyikan. Aku mengangguk, meski hatiku memberontak ingin mendekati Reza lebih jauh. Namun, yang bisa kulakukan saat itu hanya mengikuti saran Papanya.

Sesampainya di rumahku, suasana terasa lain. Ayah langsung menyambut, nada suaranya sopan namun hangat.

“Oh, Papanya Reza… silakan masuk ke ruang tamu,” ajaknya sambil mempersilakan duduk.

Papa Reza tersenyum tipis, senyum yang lebih mirip tameng rapuh ketimbang kelegaan. “Ya, beginilah kalau kehilangan… rasanya tak ada arah,” jawabnya pelan.

Bunda yang baru keluar dari dapur ikut menyapa. “Loh, kalau begitu… Reza di mana, Nika?” tanyanya lembut.

Aku hendak menjawab, tapi papa Reza lebih dulu berbicara, suaranya mengecil, seakan menyembunyikan rasa lelah yang menahun. “Dia di rumah. Masih sulit dengan emosinya. Butuh waktu, Bu… dia sedang belajar menenangkan diri.”

Aku bisa melihat bagaimana wajah papanya menua seketika. Seolah bukan hanya istrinya yang pergi, tapi juga separuh dari dirinya.

Belum sempat aku ikut menenangkan, suara cempreng tapi penuh kangen memotong keheningan.

“Stttt, Nika jangan melulu soal Reza, sini dong sebentar, Nika!” Itu suara Risa, kakak iparku.

Aku spontan menoleh dan berlari kecil. “Eh, Kak Risa! Kapan datang? Pah, Yah, Bun… Nika permisi dulu ya,” ucapku sambil beranjak menghampiri Kak Risa.

Risa menyambut dengan wajah cerah yang kontras sekali dengan suramnya sore tadi.

“Gezzz…,” godanya, mencoba menghiburku dengan gaya khasnya.

Aku langsung menutupi wajah. “Apaan sih, Kak… Ahh,” jawabku, sengaja membalas dengan nada manja.

Risa terkekeh lalu menggandeng tanganku. “Udah deh, ikut sini. Kita cerita-cerita, jangan murung melulu. “Eh, Kak Ravi nggak ikut? Kemana dia?” tanyaku sambil melirik sekeliling.

“Dia lagi kerja di Semarang, jadi aku sendirian aja. By the way, kabar Reza gimana? Baik-baik aja kan?” tanyanya serius kali ini.

Aku terdiam sejenak, lalu menjawab jujur, “Sehat sih… keliatan dari jauh sih nggak sakit apa-apa. Tapi pikirannya… kacau banget, Kak. Dia seperti orang yang nggak tahu harus pegangan ke mana.”

Aku tahu, kata-kataku sederhana, tapi di dalamnya ada beban yang tak bisa kujabarkan. Sesungguhnya aku ikut terseret dalam badai itu. Seakan kepergian Mama Reza juga ikut merobek sebagian dari hidupku. Dan kini, melihat Papa Reza duduk bersama Ayah dan Bundaku, aku merasa seolah dua dunia sedang dipaksa bersentuhan: satu yang hancur, satu lagi yang mencoba menopang.

Hatiku bergumam lirih, nyaris tanpa kusadari: “Nggak ada yang bisa disalahkan… rasanya campur aduk begini. Semua orang berusaha bertahan dengan caranya masing-masing. Aku pun ikut terseret, ikut jatuh, ikut pedih.”

Dan di situlah aku sadar, memahami bukanlah perkara mudah. Kadang, hanya dengan duduk bersama, menahan diri, dan membiarkan luka mengalir, kita bisa benar-benar tahu: betapa sulitnya saling memahami di tengah kehilangan.

“Kak…” suaraku terdengar lirih, hampir seperti bisikan yang keluar dengan berat dari tenggorokanku. Aku menunduk, jari-jariku sibuk mengusap ujung kain rokku, seolah ada sesuatu yang bisa kutemukan disana. “Pernah gak sih… kakak ngerasa bingung, karena tiba-tiba ada banyak hal yang mengganjal di hati?”

Aku mengangkat pandangan, menatap wajah Kak Risa yang duduk di hadapanku. Matanya lembut, penuh perhatian, tapi tatapan itu justru membuat dadaku semakin sesak. Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan degup jantung yang terus menghantam dadaku tanpa ampun.

“Sebenarnya…” aku berhenti sejenak, bibirku bergetar. “Aku seneng sih… Papanya Reza bisa datang ke rumah. Bisa duduk bareng Ayah sama Bunda, ngobrol, kayak… kayak ada ruang hangat yang kebuka lagi di tengah dinginnya kehilangan. Tapi…”

Kalimat itu terhenti, seperti ada duri yang menahan di tenggorokanku. Aku mengigit bibir bawahku, menahan perasaan yang rasanya sudah menumpuk terlalu lama. Mataku memanas, dan aku segera mengalihkan pandangan ke arah jendela agar air mata yang hampir tumpah tidak langsung terlihat.

“Di sisi lain… ada hal yang bikin aku makin bingung.” Suaraku bergetar, dan aku sadar aku tak bisa menahannya lebih lama. “Beberapa hari lalu… sekitar tiga hari yang lalu… aku sempet denger Ayah nyebut satu Nama.”

Aku menelan ludah, rasanya getir. Lalu perlahan aku menyebutkan Nama itu, “Shyifa…”

Hening seketika seperti membeku. Hanya suara daun yang di terpa angin yang terdengar, menyusup ke telingaku, menambah tebalnya ketegangan.

Aku menatap Kak Risa, berharap ada jawaban yang bisa meredakan gundahku. “Kakak tahu enggak siapa dia? Siapa Shyifa itu?” tanyaku lirih, hampir seperti anak kecil yang mencari pegangan.

Ada rasa takut yang merayap dalam dadaku. Takut kalau Nama itu akan membuka rahasia yang selama ini tak pernah kusangka ada. Takut kalau pada akhirnya, semua yang kulihat selama ini hanyalah permukaan, sementara di baliknya ada sesuatu yang jauh lebih kelam.

Aku menunggu jawaban Kak Risa. Menunggu, sambil berdoa dalam hati agar semuanya tidak seburuk yang kubayangkan.

            “Soal Shyifa tadi yang aku bilang, kakak tahu nggak dia siapa? Aku penasaran deh…” tanyaku lagi, masih dengan nada ragu.

“Shyifa? Bandung? Gak tahu tuh. Emm, emangnya kenapa?” kak Risa terlihat kebingungan, dahinya sedikit mengernyit, matanya mencari-cari jawaban seolah ada sesuatu yang ia lewatkan.

Aku menggigit bibirku pelan, menahan gejolak pertanyaan yang seolah ingin keluar bertubi-tubi. “Ah… sudahlah…” ucapku akhirnya, berusaha mengalihkan topik. Tapi hatiku justru makin sesak. Ada sesuatu yang mengganjal, sesuatu yang terasa janggal.

Kak Risa hanya tersenyum tipis, meski matanya sempat menatapku lama, seperti mencoba menebak apa sebenarnya yang kupendam. Namun sebelum aku sempat membuka suara lagi, langkah Bunda terdengar mendekat.

“Nika… eemmm, lagi asik ngobrol ya?” suara lembut itu menyela keheningan kecil di antara kami. “Itu, papanya Reza pamit mau pulang. Temuin dulu gih, Nak.”

Aku menoleh cepat, sedikit kaget dengan kehadiran Bunda yang tiba-tiba. “Iya, Bunda. Sebentar ya,” jawabku sambil bangkit.

Aku berjalan ke ruang tamu dengan langkah yang terasa berat, seolah pikiranku masih tertinggal bersama percakapan tentang Shyifa. Begitu melihat Papa Reza yang berdiri di ambang pintu, senyum hangatnya langsung menyambutku.

“Papa udah mau pamit?… hati-hati ya di jalannya,” ucapku sopan, sambil menunduk dan mencium tangannya. Ada perasaan haru yang menelusup ketika kulitku bersentuhan dengan tangannya yang hangat.

“Emm, Nika…” suaranya terdengar bergetar sedikit. “Papa seneng deh bisa dipanggil Papa sama kamu. Rasanya serasa punya anak perempuan sungguhan. Papa titip ya, Nika.” Tangannya terangkat pelan, dan sebelum aku sempat bereaksi, ia mengecup keningku dengan lembut.

Dadaku mendadak sesak. Aku hanya bisa tersenyum tipis, meski hatiku terasa bergetar hebat. “Dadah, Papa… maaf ya Nika nggak bisa nganter pulang,” ucapku, memaksakan nada ceria meski ada getaran kecil di ujung suaraku.

“Tidak apa-apa, Nak. Sampai jumpa lagi nanti, ya,” jawabnya sebelum akhirnya melangkah pergi.

Aku berdiri terpaku di pintu, memandang punggungnya yang perlahan menghilang di balik gelap malam. Entah kenapa, ada rasa hangat bercampur hampa yang sulit kujelaskan.

Malam dengan sunyi yang berat. Di ruang keluarga, kami semua berkumpul. Kak Risa duduk di sampingku, sementara adik-adikku, Rio dan Siska, masih bercengkerama.

“Rio, Siska, kalian berdua ayo, istirahat dulu. Besok kan sekolah,” ujar Bunda dengan suara tegas namun lembut.

“Iya, Bunda…” jawab mereka hampir bersamaan. Mereka pun beranjak ke kamar masing-masing, meninggalkan ruangan yang kini hanya berisi aku, Kak Risa, Bunda, dan Ayah.

Ayah meletakkan cangkir tehnya di meja, lalu menatapku dengan sorot mata yang penuh kehati-hatian. “Yah… gimana tadi perbincangan dengan Papa Reza? Lancar, kan?” tanyaku seketika pada Ayah.

Ayah mengangguk pelan. “Emm, iya. Jadi begini… Papa-nya Reza ingin… ingin kamu menikah setelah sarjana, kalau bisa. Katanya soal tempat dan biaya, Papa Reza siap menanggung semuanya.” Suara Ayah terdengar lirih, ada ketidaknyamanan yang sulit di sembunyikan.

“Oh, jadi itu maksudnya…” Bunda berdecak kecil, matanya seolah menimbang-nimbang sesuatu.

Ayah menghela napas, lalu bersuara lebih pelan namun tajam. “Papa Reza bilang, kamu itu anak yang cantik, manis, juga pintar. Katanya, kamu pantas mendapatkan yang terbaik. Tapi soal hubungan serius dengan Reza… gimana, Nak?”

Pertanyaan itu menusukku dalam. Aku menggenggam jemariku erat-erat, mencoba menahan rasa gugup yang semakin menguat. “Iya sih, Yah… tadinya aku kira hubungan kami bakalan cuma sekadar guyonan.”

Ayah mencondongkan tubuhnya, suaranya berubah serius. “Papa Reza minta waktu, Nak. Waktu untuk pemulihan mentalnya Reza. Dia bilang, kalau keadaan Reza semakin kacau… mungkin lebih baik kamu mengakhiri hubungan itu.”

Aku menelan ludah, merasakan jantungku berdentum semakin keras. Kata-kata Ayah menggema di kepalaku, mengaduk-aduk perasaan.

Di satu sisi, ada harapan—aku merasa dihargai, disayangi, bahkan dianggap sebagai anak oleh Papa Reza. Tapi di sisi lain, ada kerikil tajam yang terus menggores, aku harus menghadapi kenyataan tentang Reza, tentang hubunganku yang kini tergantung pada sesuatu yang rapuh.

Aku menunduk, berusaha menyembunyikan air mata yang mulai menggenang. Aku ingin dimengerti, ingin dipahami. Tapi justru di momen itu, aku merasa semakin terhimpit, semakin sendirian di tengah keramaian keluargaku sendiri.

Malam itu terasa panjang, padahal jarum jam baru menunjuk hampir pukul sembilan. Lampu ruang keluarga memancarkan cahaya kuning hangat, tapi justru semakin menyorot wajah-wajah serius di sekitarku. Aku duduk berhadapan langsung dengan Ayah dan Bunda, sementara Kak Risa duduk di sampingku, sesekali menepuk-nepuk lenganku seolah memberi isyarat agar aku tenang.

Aku menarik napas panjang. Sejujurnya, sejak sore tadi dadaku terasa sesak. Semua perbincangan seolah menumpuk dan memenuhi pikiranku. Tentang Shyifa yang entah siapa, tentang Papa Reza yang begitu ramah hingga membuatku bingung bagaimana harus menanggapi, dan sekarang tentang masa depan yang tiba-tiba seakan digantungkan pada pundakku.

“Papa Reza itu sungguh-sungguh, Nika,” suara Ayah terdengar berat, tapi penuh tekanan. “Beliau bahkan bilang, kalau bisa, pernikahanmu dengan Reza tak usah ditunda terlalu lama. Paling tidak setelah sarjana, tidak perlu menunggu terlalu jauh. Katanya, dia ingin memastikan ada orang yang benar-benar mendampingi Reza.”

Aku menunduk. Jari-jariku saling meremas tanpa sadar. Kata-kata Ayah menancap begitu dalam, sekaligus membuatku goyah.

“Menikah?” bisikku pelan, hampir tak terdengar. “Aku… aku belum pernah berpikir sejauh itu, Yah. Apalagi dengan kondisi Reza yang sekarang.”

Bunda meraih tanganku, menggenggamnya erat. “Nika, Papa Reza melihatmu seperti putrinya sendiri. Tentu saja wajar kalau beliau berharap banyak. Tapi Bunda tahu, kamu yang menjalaninya, kamu yang paling tahu apa yang kamu rasakan.”

Aku mengangkat wajah, menatap Bunda, lalu beralih pada Ayah. Ada getaran halus di suaraku ketika akhirnya aku berani bicara. “Aku senang bisa diterima baik oleh Papa Reza. Tapi… apa tidak terlalu cepat kalau bicara soal itu? Aku masih bingung dengan perasaan sendiri, Yah, Bun. Apalagi…” aku berhenti sejenak, menelan ludah. “…apalagi dengan kondisi Reza yang masih belum stabil.”

Ayah mendesah, menatapku lama dengan sorot mata yang sulit kutebak. Antara prihatin, kecewa, sekaligus ragu. “Justru karena itu, Nak. Papa Reza bilang, mungkin dengan adanya kepastian hubungan, Reza bisa lebih termotivasi untuk pulih. Tapi kalau memang hatimu ragu… Ayah tidak akan memaksakan. Hanya saja, jangan biarkan kesempatan ini hilang begitu saja.”

Aku terdiam. Kata-kata Ayah berputar-putar di kepalaku. “Kesempatan? Apakah aku harus memikirkan ini sebagai sebuah peluang emas, atau justru beban besar yang entah sanggup kupikul atau tidak? ”

Kak Risa mencondongkan tubuhnya, suaranya lembut, tapi menusuk tepat ke jantung. “Nik, kamu jangan terlalu keras sama diri sendiri. Kalau memang kamu butuh waktu, bilang saja. Jangan menanggung sendiri seakan semua harus kamu putuskan sekarang. Reza pun masih berproses. Kalian berdua sama-sama butuh ruang.”

Aku menatap Risa, hampir ingin menangis karena kalimat itu seperti menyingkapkan apa yang selama ini kutahan rapat. “Ruang. Ya, aku butuh ruang. Aku ingin dipahami, bukan didorong ke jurang pilihan yang belum tentu siap kuambil.”

“Risa benar,” timpal Bunda, mengusap lembut bahuku. “Kamu harus jujur pada dirimu, Nak. Jangan sampai karena ingin menyenangkan semua orang, kamu malah menyakiti dirimu sendiri.”

Aku mengangguk perlahan, meski dalam hati masih bergemuruh. Rasanya seperti ada dua arus besar yang saling tarik-menarik di dalam diriku: keinginan untuk memahami dan menjaga perasaan orang lain, dan kebutuhan untuk dipahami serta didengar apa adanya.

Malam itu, obrolan terus bergulir, tapi semakin lama aku merasa suaraku semakin hilang. Ayah dan Bunda berbicara, Risa sesekali menambahkan, tapi aku hanya mendengar samar-samar. Ada dentuman lain di dalam diriku: pertanyaan yang belum terjawab tentang Shyifa. Nama itu terus menggantung, seperti bayangan yang tak mau pergi. “Siapa dia? Apa hubungannya dengan Reza? Dan kenapa Ayah pernah menyebutnya?”.

Aku menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. Namun, jauh di dalam hatiku, aku tahu—perjalanan ini baru saja dimulai. Bukan hanya tentang Reza, bukan hanya tentang pernikahan, tapi tentang bagaimana aku harus menemukan keseimbangan antara memahami orang lain dan berharap orang lain pun memahamiku.

Malam itu aku kembali ke kamar dengan kepala penuh tanya, dada yang berat, dan mata yang tak kunjung terpejam.

“Ayah, apa aku nggak salah dengar? Aku kira…” suara batinku tercekat. Rasanya seperti ada sesuatu yang mengunci tenggorokanku. Air mataku jatuh begitu saja tanpa bisa kucegah. Sambil terisak, aku berlari ke kamar, membanting pintu pelan, dan membiarkan tubuhku terhempas ke kasur.

Tangisku pecah. Di balik bantal, aku menjerit lirih, mencoba meredam suara supaya tidak terdengar keluar. Tapi ternyata tetap saja, aku bisa mendengar langkah ayah dan bunda mendekat ke pintu.

Tok… tok… “Nika, bunda boleh masuk?” suara bunda begitu lembut, tapi justru kelembutannya menusuk hatiku.

“Masuk aja…” jawabku serak, masih terisak.

Pintu terbuka perlahan. Aku bisa merasakan aroma parfum bunda yang menenangkan saat beliau duduk di sisi ranjangku. Tangannya mengusap pundakku dengan lembut. “Sayang, sudah ya… jangan nangis. Bunda tahu ini berat buat kamu. Kamu masih muda. Hidupmu masih panjang, peluangmu juga besar. Kamu pasti bisa meraih tujuan besar yang sudah menunggumu,” ucap bunda dengan suara yang bergetar, seolah ia sendiri sedang menahan tangis.

“Tapi… kenapa harus begini? Kenapa harus selalu aku yang mengalah?” suaraku pecah. Aku menatap bunda dengan mata sembab.

Ayah mendekat, duduk di kursi dekat meja belajarku. Pandangannya dalam, tapi samar oleh cahaya lampu kamar yang redup. “Sudahlah, sekarang kamu tenangkan diri dulu. Besok kita lanjutkan lagi perbincangannya,” katanya sambil mengelus kepalaku. Sentuhan itu hangat, tapi juga berat, seperti beban yang tak bisa aku lepaskan.

Malam itu aku tidak bisa tidur. Mataku terus menatap langit-langit kamar yang terasa begitu asing. Seolah kamar ini bukan lagi ruang aman yang kukenal. Semua diam, tapi di kepalaku riuh—perasaan ditolak, perasaan tidak dimengerti.

"Kenapa selalu aku yang harus memahami? Kenapa tidak ada yang mencoba memahami aku? Aku bukan sekadar anak yang bisa diarahkan seenaknya… aku juga punya hati, aku juga punya mimpi."

Aku menarik selimut, tapi dingin tetap merambat hingga ke tulang. Pikiranku berputar-putar, sampai akhirnya pagi tiba, kudengar samar suara ayah di luar kamar, berbicara pada bunda. “Delapan belas tahun, masih terlalu muda untuk sebuah hubungan yang serius. Dia harusnya fokus sekolah… nanti dia akan temukan jalannya sendiri,” ucap ayah lirih.

Aku tertegun. Kata-kata itu menohokku. “Jadi… selama ini aku dianggap hanya seorang anak yang belum tahu apa-apa? Lalu apa artinya semua perasaan, semua usaha yang kulakukan? Apakah itu hanya dianggap angin lalu?”

Pintu kamar ku buka perlahan. Aku melihat ayah dan bunda kaget melihatku sudah berdiri. “Loh, kamu sudah bangun, sayang. Nggak biasanya sepagi ini kamu bangun,” ujar ayah.

Aku menunduk, mencoba menyembunyikan mataku yang masih sembab. “Iya… tumben pagi begini. Sudah bangun. Yuk, sarapan dulu,” ajak Bunda. Mereka berusaha seolah tak ada apa-apa, tapi aku tahu… ada jarak yang makin lebar di antara kami.

Saat duduk di meja makan, aku memberanikan diri membuka percakapan. “Ayah… apa ayah yakin akan keputusan Ayah?” tanyaku hati-hati.

“Ya. Sudah ayah pikirkan. Kamu akan pergi ke Bandung, temui seseorang bernama ‘Shyifa’. Dia akan bantu kamu di sana. Itu jalan terbaik,” jawab ayah dengan tegas.

“Ayah… apa ayah yakin? Apa ayah sedang… mengusir aku dari rumah? Bagaimana dengan Bunda?” suaraku meninggi tanpa sadar. Aku merasa seluruh tubuhku bergetar.

Ayah menarik napas panjang, sementara Bunda hanya menunduk, menggenggam tangannya sendiri di pangkuan. “Nika… mungkin ini terlalu pagi untuk kamu dengar. Tapi… Ayah yakin, ini jalan yang harus kamu jalani,” katanya pelan.

Dadaku terasa sesak. Aku ingin berteriak, ingin memaksa mereka untuk benar-benar mendengarkanku. Tapi suaraku seolah terkunci. Hanya airmata yang kembali menetes.

Singkat cerita, siang itu aku tetap berangkat kerja. Sebuah kafe sederhana di perempatan Kota Surabaya—tempat yang biasanya memberi sedikit ketenangan karena suasananya ramai oleh mahasiswa yang bercanda dan berbagi cerita.

Tapi hari itu, semua berbeda. Langkahku terasa berat, wajahku muram, tubuhku lelah. Saat aku masuk, suara riuh tawa pelanggan justru terdengar asing. Seolah aku sedang berdiri di dunia yang tak lagi kupahami.

Aku tersenyum kaku pada teman kerjaku, mencoba menyembunyikan semuanya. Tapi aku tahu, senyum itu hanyalah topeng rapuh di wajahku yang penuh luka.

Aku berjalan masuk ke kafe itu dengan langkah gontai. Bau kopi yang baru diseduh menyambutku, bercampur dengan suara-suara ramai pelanggan yang sudah memenuhi hampir setiap meja. Lampu kuning hangat yang menggantung di langit-langit seolah kontras dengan dinginnya hati yang kubawa hari ini.

“Eh, Nika… kamu telat lima menit lagi loh,” suara Dina, salah satu rekan kerjaku, terdengar dari balik meja bar. Ia menyunggingkan senyum, tapi matanya tajam, seakan menegurku tanpa benar-benar ingin menyakitiku.

Aku hanya mengangguk kecil. “Maaf, tadi agak sulit tidur,” jawabku lirih sambil segera mengenakan celemek cokelat kusam yang selalu kugunakan setiap kali bekerja.

Di meja kasir, Andre—teman kerjaku yang paling cerewet—menambahkan komentar dengan nada setengah bercanda, “Wah, kalau terus begini, nanti bos bisa beneran ngomel, Nika. Kita semua kan udah saling bagi tugas.”

Aku terdiam sejenak. Kata-kata itu menancap lebih dalam dari yang seharusnya. Mungkin maksud Andre hanya bercanda, tapi entah kenapa aku merasa seakan seluruh dunia menuntutku untuk selalu mengerti… sementara mereka tak pernah benar-benar tahu apa yang sedang kualami.

Aku tersenyum tipis, meski wajahku terasa kaku. “Iya, aku ngerti, Din… Ndre. Aku akan lebih hati-hati.”

Pekerjaan pun berlanjut. Suara mesin kopi berderu, cangkir-cangkir beradu di meja bar, tawa mahasiswa yang duduk bergerombol memenuhi ruang udara. Dari luar, kafe ini tampak hangat dan penuh kehidupan. Tapi di dalam kepalaku, segala sesuatunya terasa dingin.

Di sela-sela aku membersihkan meja, Dina mendekat. Suaranya pelan, seolah tak ingin terdengar orang lain. “Nik, kamu ga apa-apa? Akhir-akhir ini kayaknya kamu sering melamun.”

Aku menunduk, jemariku masih sibuk mengelap noda kopi yang membandel. “Aku baik-baik aja… mungkin cuma capek.”

Tapi sebenarnya tidak. Hatiku ingin berteriak. Ingin bilang kalau aku sedang berjuang keras memahami Ayah, memahami Bunda, memahami pilihan mereka untukku. Dan di saat yang sama, aku juga berusaha agar mereka mengerti betapa beratnya ini bagiku. Tapi semua itu hanya berhenti di dalam hati. Kata-kata seperti terjebak, tak mampu keluar.

Aku memandang Dina sebentar, lalu tersenyum hambar. “Kadang… sulit ya, Din. Untuk bisa benar-benar ngerti orang lain, apalagi diri sendiri.”

Dina hanya terdiam, menatapku bingung. Lalu ia menepuk pundakku pelan sebelum kembali ke pekerjaannya.

Aku kembali ke belakang meja bar, menatap wajah-wajah yang datang dan pergi di kafe itu. Mereka tertawa, bercanda, saling berbagi cerita tanpa beban. Sementara aku berdiri di sini, merasa seperti orang asing di tengah keramaian.

Kenapa saling memahami itu terasa begitu sulit? Apakah karena kita terlalu sibuk didengar, tapi lupa mendengar? Atau mungkin karena ada hal-hal yang memang tak bisa dijembatani kata-kata?

Tanya batinku pada perasaanku sendiri. Aku hanya bisa menghela napas, melanjutkan pekerjaanku, sambil menyimpan tanya itu di dalam dada.

Aku melangkah ke ruang belakang, menutup pintu perlahan. Begitu kesunyian menelanku, air mataku pun pecah tanpa bisa kutahan. Bahuku bergetar, tangisanku tersendak-sendak, seperti ada ribuan kata yang ingin keluar namun tak sanggup kurangkai.

Pintu terbuka pelan. Seseorang masuk tanpa suara, lalu dua orang lainnya menyusul. Mereka tidak banyak bertanya, tidak pula memaksaku bicara. Hanya berdiri dekat, duduk di sampingku, memberi ruang bagi tangisku mengalir sepuasnya. Satu di antara mereka meraih tisu dan menyodorkannya padaku, sementara yang lain menepuk bahuku pelan—tanpa kata, tanpa desakan.

Aku menangis lebih keras, justru karena kehadiran mereka membuatku sadar betapa lemahnya aku selama ini. Dan di balik tangis itu, aku merasakan hangatnya sebuah pemahaman sederhana: “kadang, kita tak butuh jawaban atau penjelasan panjang lebar. Cukup ada seseorang yang tetap tinggal saat kita runtuh.”

Aku masih tersengal menahan isak ketika suara bel kecil di pintu kafe berbunyi. “Kring—pelanggan datang.” Aku buru-buru mengusap wajahku dengan punggung tangan, berusaha menyingkirkan jejak air mata yang masih panas di pipiku. Belum sempat aku benar-benar menguasai diri, suara senior memanggilku,

“Nika, hey… Nika! Hari ini bengong terus, ceria napa. Itu pelanggan, layani dulu. Bengongnya nanti lagi abis pulang kerja.”

Aku tersentak, memaksa tubuhku tegak.

“Oh iya, maaf, maaf,” sahutku cepat, mencoba menyembunyikan suaraku yang masih bergetar. Teman-teman kerjaku yang tadi menenangkanku hanya menatap penuh pengertian. Salah seorang dari mereka menyentuh bahuku perlahan, seakan memberi keberanian terakhir sebelum aku maju.

Aku menarik napas panjang, menekuk bibirku membentuk senyum yang kupaksakan, lalu melangkah menghampiri pelanggan baru.

“Selamat siang kak, ini menunya. Best seller sekarang ada—” kalimatku terhenti. Mataku membelalak. “Eh, ini kan… Bianca? Daniel?”

“Eh, Aerunika! Kamu kerja di sini? Udah lama kita nggak ketemu,” suara Bianca terdengar riang, seperti tak ada jarak waktu yang memisahkan kami.

Bianca adalah teman sekelasku dulu, namun ia berpindah sekolah saat kami masih duduk di kelas 11 SMA, sementara Daniel, kami berbeda kelas namun saling mengenal.

Dada ini terasa hangat sekaligus bergetar aneh. Aku hampir lupa bagaimana rasanya dipanggil dengan cara seperti itu dengan akrab, dengan ringan, seperti dulu saat SMA.

“Iya nih, iya. Aku kerja di sini. Belum lama sih, baru satu bulan kurang. Hehe.” Suaraku lirih, tapi kali ini senyumku tidak lagi sepenuhnya dipaksakan.

“Gabung kita yuk, kita ngobrol-ngobrol. Udah lama bosan, ya kan Daniel?” ajak Bianca sambil melirik ke arah Daniel.

Daniel mengangguk, matanya menatapku sekilas. “Iya, gabung kita yuk, bisa?”

Aku gelagapan, hatiku ingin sekali, tapi tanggung jawab menahanku. “Aduh, maaf. Nih aku nggak bisa, lagi kerja soalnya.”

“Ooh begitu ya? Yaudah deh, ini kartu nama aku. Malam ini aku sama Daniel mau keliling kota, nanti hubungi aja, yaah,” Bianca menyodorkan kartu itu padaku dengan senyum khasnya.

Aku menerimanya, mengangguk pelan. “Oiya, oiya. Soal pesenannya… Daniel mau pesan apa?”

“Aku pesan ini deh. Bianca, kamu mau apa?”

“Samaan aja deh biar nggak ribet pesennya. Wkwkwk,” jawab Bianca santai.

“Okay, ditunggu yaa…” Aku kembali dengan sedikit senyum di wajahku—senyum yang kali ini terasa lebih tulus, walau hatiku masih menyimpan beratnya tangis tadi.

Menjelang sore, jam pulang akhirnya tiba. Tubuhku letih, tapi entah kenapa langkahku ringan. Sepanjang perjalanan aku menatap kartu nama di tanganku. Nama Bianca terpampang jelas, dan di bawahnya nomor telepon. Aku tersenyum samar, ingatan masa SMA kembali berkelebat.

Aku memberanikan diri menghubungi Bianca, dan tanpa lama balasan datang. Mereka—Bianca dan Daniel—memang sengaja mencari aku. Aku masih kaget. Rasanya campur aduk antara senang, gugup, juga… takut.

“Hey Nika, udah pulang nih? Mau langsung apa mau pulang dulu? Biar aku anter,” suara Daniel terdengar lewat telepon.

Aku terdiam sesaat. “Aku kira ini nomornya Bianca…”

“Iya, memang nomor Bianca. Dia bilang aku bisa jemput kamu sekarang.”

Ada jeda hening yang panjang sebelum akhirnya aku menjawab, “Emm, oke deh… tapi kayaknya aku pulang dulu deh. Harus ganti baju, belum mandi juga.”

Daniel tertawa kecil, “Okay, let’s gooo…”

Beberapa saat kemudian Daniel datang. Aku hanya bisa menunduk sambil tersenyum kaku, menunjukan arah jalan ke rumahku.

Sesampainya di rumah, aku sempat ragu menawarkan, tapi entah mengapa lidahku lebih dulu bergerak. “Masuk aja dulu, Niel. Sebentar aja…”

Daniel menurut.

“Nika, udah pulang. Ini siapa, Nika?” suara bunda terdengar dari ruang tengah, membuatku buru-buru melepas sepatu.

“Selamat sore, Tante. Saya Daniel, teman SMA Nika dulu.”. “Oh, ayo, ayo masuk dulu,” sahut bunda dengan ramah.

“Iya, Tante.”

“Iya, silakan duduk dulu. Mau minum apa?”

Daniel mengangkat tangannya buru-buru, “Jangan ah, Tante, jangan repot-repot. Lagian cuma sebentar kok…”

Aku berdiri di samping sofa, menatap Daniel yang kini duduk dengan postur sopan. Rasanya aneh—di luar tadi aku masih menahan tangis, merasa rapuh, tapi sekarang aku duduk di sini, bersama seseorang dari masa lalu, seakan dunia sengaja membawaku ke persimpangan yang belum kupahami.

Menjelang senja, aku akhirnya bergegas untuk prergi bersama Daniel. Langkahku terasa ringan, meski lelah tetap membekas. Saat itu aku tidak tahu, dari kejauhan ada sepasang mata yang sedang mengawasi setiap gerak-gerikku.

Mobil hitam terparkir di seberang jalan. Aku tidak sadar, Reza ada disana. Matanya tajam, rahangnya menegang, jemari yang menggenggam setir tampak bergetar.

"Sialan… perempuan murahan," gerutunya dari balik kaca mobil. "Baru sebentar aku lengah, dia sudah bersama lelaki lain? Bahkan berani membawanya masuk ke rumah! Selama ini… jangan-jangan dia memang begitu?"

Aku bahkan tak menyadari amarah yang sedang menggelegak di dada seseorang di luar sana.

Reza menghantam pedal gasnya keras-keras. Mobilnya melesat, teriakan penuh luka terdengar:

"Perempuan MURAHAAAAANNNN…!!!"

Suaranya hilang ditelan bising jalanan, namun luka di hatinya sudah terpatri.

Tak lama kemudian, suara sirine ambulan meraung di kejauhan.

“Duarrr… iiiuuu iiiuuu…”

Mobil hancur. Tubuh Reza terguncang hebat hingga kesadarannya meredup.

Sementara itu, aku dengan perasaanku yang campur aduk, aku merasa membutuhkan udara segar dan suasana yang dapat menenangkan perasaanku.

“Bund, Nika pergi dulu ya,” ujarku sambil meraih tas kecil.

Daniel yang masih di ruang tamu ikut menimpali, “Tante, saya ajak Nika jalan-jalan sebentar, ya.”

Bunda hanya tersenyum lembut, “Iya, hati-hati ya kalian.”

Beberapa saat kemudian, ayah pulang. “Nika pergi ya, Bund?” tanyanya sambil melepas sepatu.

“Iya, Yah. Sama teman SMA-nya katanya.”

Ayah sedikit tertegun. Dalam benaknya, ia sempat teringat mobil Reza yang terparkir di seberang jalan. “Bukannya tadi ada mobilnya Reza? Tapi kok Nika pergi sama temannya itu? Ah, mungkin mereka kenal juga,” pikirnya sambil berusaha menepis rasa ganjil. Lalu ia berjalan ke halaman belakang, menenangkan diri dengan bonsai kesayangannya.

Aku dan Daniel melaju dengan motornya. Angin sore menyapu wajahku, tapi pikiranku justru makin berisik. Saat Daniel berteriak menembus suara angin, aku agak terkejut.

“Nika, tolong kasih tahu Bianca, kita udah deket hotelnya!”

Aku langsung bingung.

“Hah? Hotel? Kalian berdua? Hotel?” tanyaku setengah panik.

Daniel hanya tertawa lebar.

“Hahaha, enggak begitu maksudnya. Nanti aja deh, biar Bianca yang jelasin.”

Sesampainya di depan hotel, Daniel celingukan mencari Bianca. Aku menanyakan, “Niel, Bianca di mana?”

“Gak tau, barusan udah kukabarin. Eh, kamu kenapa ga kasih tahu dia?”

Aku menunduk malu, “Hehe… ponselku mati. Baterai habis.”

Daniel menepuk dahinya, “Astaga! Pantesan. Yaudah bentar, aku hubungi dia lagi.”

Tak lama, Bianca muncul. Aku lega, tapi tubuhku terasa kaku. Bianca memelukku sebentar, mengajakku masuk, sementara Daniel pamit sebentar untuk pulang menyimpan motornya dan menggantinya dengan mobil.

Kami duduk di lobby hotel. Bianca bercerita panjang lebar tentang Bandung, tentang kuliahnya, tentang kehidupan barunya. Aku berusaha tersenyum, tapi kata “Bandung” terus menggema di kepalaku, menekan dadaku dengan kenangan percakapan bersama ayah.

Ketika Daniel kembali, wajahnya tampak serius.

“Eh, tadi di perempatan ada kecelakaan parah banget. Mobilnya hancur, bener-bener parah.”

Aku hanya menjawab santai, mencoba tak peduli, “Wah, pasti kebut-kebutan itu.”

Daniel lalu menawarkan charger untuk ponselku. Setelah menunggu beberapa saat, ponselku menyala kembali.

Tiba-tiba terdengar bunyi pesan masuk.

“Ting…”

Aku tidak langsung mengeceknya. Musik mobil Daniel cukup keras, dan aku terlalu larut mendengarkan cerita Bianca. Tapi di dalam hati, ada rasa was-was yang tak bisa kujelaskan. Seperti firasat buruk yang menunggu untuk pecah kapan saja.

            Malam itu adalah malam yang sangat melelahkan, banyak sekali kegiatan kami yang dapat mengikis perasaan yang mengganjal di hati. Berkeliling kota, mencicipi jajanan pinggiran jalan, hingga mendengarkan cerita mereka. “Terimakasih teman lama, esok hari kita akan berjumpa lagi.” Ucapku pada Bianca dan juga Daniel.

Aku baru saja merebahkan tubuhku di atas ranjang ketika suara notifikasi ponsel mendadak memecah keheningan malam. Awalnya aku ingin mengabaikan, tapi entah mengapa dadaku tiba-tiba berdegup kencang, seperti ada firasat aneh yang mendesak agar aku melihatnya.

Dengan tangan bergetar, aku raih ponsel di sisi bantal. Layar menyala, menampilkan sebuah pesan masuk. Dari nomor yang sangat kukenal. Papa Reza.

“Nika, Papa sudah coba hubungi kamu lewat telpon, namun tak ada jawaban. Papa mau ngasih kamu kabar, kalo Reza kecelakaan tadi sore. Mobilnya hancur parah, menurut dokter banyak sekali tulangnya yang patah. Sampai sekarang Reza belum sadar.”

Mataku terpaku. Nafasku tercekat. Dunia di sekelilingku seolah berhenti bergerak. Kata-kata itu seperti pisau yang menembus dadaku. Aku baca lagi, berulang-ulang, berharap ada yang salah ketik. Tapi huruf-huruf itu tetap sama, menusuk tanpa ampun.

Tanganku melemah, ponsel hampir terlepas jatuh. Suara nafasku berubah menjadi sesak, terputus-putus. “Tidak… tidak mungkin…” bisikku dengan suara parau, hampir tanpa suara.

Dalam sekejap, air mataku pecah, jatuh deras tanpa bisa kucegah. Kepalaku terasa berputar, pikiranku kacau, dan rasa bersalah langsung menjeratku dengan kejam. Semua momen yang belum lama kulewati bersama Reza berkelebat di kepalaku—tawa singkatnya, teguran halusnya, bahkan diamnya yang penuh arti.

Dan kini… semuanya terasa seperti akan direnggut dariku.

“Kenapa aku tidak mengangkat telepon tadi…? Kenapa aku menunda bicara dengannya…?” Suaraku pecah, tersendak, nyaris tercekik oleh tangis. Rasanya aku ingin menghukum diriku sendiri.

Aku meremas bantal, menangis tanpa kendali, tubuhku bergetar hebat. Rasanya aku benar-benar sendirian, terjebak dalam malam yang pekat. Senja yang tadi indah, kini menjelma malam yang kelam.

Aku memandang jendela. Di luar sana, hanya bulan yang tampak, menggantung pucat di langit. Cahaya tipisnya menembus kaca, menyinari wajahku yang penuh air mata. Aku ingin percaya, bahwa cahaya itu adalah tanda… mungkin jalan keluar. Tapi saat ini, aku hanya tenggelam dalam gelap yang nyaris menelanku bulat-bulat.

Aku tidak tahu apa yang akan terjadi esok hari. Aku bahkan tidak tahu apakah masih bisa melihat Reza membuka matanya lagi. Yang kupastikan, malam ini—malam yang datang setelah senja itu—akan menjadi malam terpanjang dalam hidupku.

[Chapter I: Sedari Senja Hingga Malam Tiba - Selesai]

Expand
Next Chapter
Download

Latest chapter

More Chapters

To Readers

Welcome to GoodNovel world of fiction. If you like this novel, or you are an idealist hoping to explore a perfect world, and also want to become an original novel author online to increase income, you can join our family to read or create various types of books, such as romance novel, epic reading, werewolf novel, fantasy novel, history novel and so on. If you are a reader, high quality novels can be selected here. If you are an author, you can obtain more inspiration from others to create more brilliant works, what's more, your works on our platform will catch more attention and win more admiration from readers.

Comments

user avatar
Lucia Love
Nice one. Great lesson.
2022-01-14 00:38:35
1
60 Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status