Heera melirik jam mungil yang melingkar di pergelangan tangannya, ia tersenyum saat menyadari beberapa menit lagi jam kerjanya selesai. Senyum Heera bertambah lebar saat membayangkan kasur di kamarnya, ia sudah sangat mengantuk dan ingin cepat-cepat menyatu dengan kasur kesayangan.
Heera bekerja paruh waktu sebagai pelayan di sebuah kelab malam, ia bekerja dari jam 9 malam sampai jam 4 subuh. Ini penyebab mengapa wajahnya selalu terlihat kelelahan dan tak bergairah, karena ia selalu mengorbankan waktu tidurnya untuk bekerja. Ia akan tidur setelah pulang ke kosan, tapi jika ia ada kelas pagi, terpaksa Heera tidak tidur dan menahan kantuk yang luar biasa selama kelas berlangsung.
"Senyum-senyum sendiri, udah tidak sabar ya mau pulang?" Adelio bertanya, pria dengan warna kulit eksotis itu adalah seorang bartender.
Heera mengangguk sambil tersenyum malu yang tidak bisa ia tahan, "Gue ada kelas pagi nanti." jawab Heera.
Adelio melempar senyum manis, tanpa permisi tangannya mengusap rambut Heera, "Semangat ya, Ra." katanya. Mereka sudah saling mengenal cukup lama, bahkan yang membuat Heera bekerja di kelab itu adalah Adelio. Selain rekan kerja, mereka juga teman satu kampus, sama-sama anak rantau pula.
Awalnya, Adelio ragu menawarkan Heera untuk ikut bekerja di kelab malam, tapi saat itu Heera benar-benar sedang butuh kerjaan untuk membayar uang semesteran. Meski butuh waktu 2 hari untuk memikirkan tawaran dari Adelio, tapi akhirnya Heera menerima. Dan sampai saat ini, Ibu, adik, serta teman kostnya tidak ada yang tahu kalau ia bekerja di kelab malam, Heera mengarang kalau ia menjadi karyawan di minimarket 24 jam.
Omong-omong soal pekerjaan, Heera kemarin di tawarin pekerjaan dari Sean, menjadi baby sitter Keenan. Ia belum menerima atau pun menolak, ia masih mempertimbangkannya. Nominal gaji yang Sean tawarkan memang cukup menggiurkan, hanya saja Heera tidak yakin bisa menjalani pekerjaannya dengan baik, tanggung jawabnya cukup berat. Ia juga belum punya pengalaman menjadi baby sitter atau pun mengurus anak. Tapi karena gajinya besar, maka Heera akan mempertimbangkannya.
* * *
"Ayah!"
Keenan mengguncang pundak tegap Sean, membuat Sean yang terlelap perlahan membuka kedua matanya, ia berkedip beberapa kali mencoba memperjelas penglihatannya yang memburam. Tubuh Sean praktis menegak saat melihat Keenan yang ternyata sedang berdiri di sampingnya.
"Ada apa, Ken?" tanya Sean dengan suara khas orang bangun tidur.
Keenan yang tengah memeluk boneka kucing kesayangannya itu menggaruk tengkuknya, wajah anak itu terlihat masih sangat mengantuk.
"Aku mau pipis." gumamnya. Ia menarik lengan Sean, meminta sang Ayah untuk segera berdiri dan menemaninya ke kamar mandi.
Sean mengulet, melirik kearah jam dinding yang menempel di dinding kamarnya. Ia lantas menggeram samar saat melihat jam sudah menunjukan pukul 5 pagi.
"Astaga, Ken! Sekarang sudah pagi, kamu gak perlu takut pergi ke toilet sendirian." omel Sean yang tidurnya terganggu.
Keenan memajukan bibir bawahnya, wajahnya langsung cemberut mendengar omelan Sean pagi ini. "Aku habis mimpi buruk, Ayah." katanya mengadu.
Sean menyibak selimutnya dengan kasar, ia langsung mengambil segelas air yang tergelatak di atas nakas lalu memberikannya kepada Keenan. Tangan Sean mengusap lembut punggung Keenan saat Keenan sedang meneguk airnya.
"Ayah sudah bilang jangan membaca komik horor sebelum tidur." Sean kembali mengomel sambil menaruh gelas yang kini sudah kosong ke tempat semula. Sean tidak pernah membelikan Keenan buku selain buku pelajaran dan dongeng anak-anak, tapi Keenan mendapatkan komik horor dari Sergio -teman Sean yang masih bujangan meski umurnya hampir menginjak kepala 3.
"Om Sergio akan mengomel kalau aku tidak membaca komik yang dia belikan." jawab Keenan.
Sean berdecak, ia bangkit dari ranjangnya dan berjalan ke kamar mandi seraya menuntun Keenan, "Kalau begitu Ayah akan membakar semua komik yang dia belikan." ancam Sean tak mau di bantah.
Keenan ingin protes, tapi Sean langsung mendorong pelan tubuhnya untuk masuk kedalam kamar mandi dan menutup pintunya dengan cepat. Keenan menghembuskan napas pendek, mengetuk pintu kamar mandi dari dalam, meminta Sean untuk membuka pintunya kembali.
"Apa lagi?" tanya Sean setelah membuka pintu kamar mandi dan menatap Keenan jengah.
Keenan menyodorkan boneka kucing kesayangannya kepada Sean, "Tolong pegang Wish ku, Ayah. Aku takut dia terkena air." kata Keenan, Sean langsung mengambil boneka yang Keenan berikan lalu kembali menutup pintu kamar mandi, membiarkan Keenan menyelesaikan urusannya. Wish adalah nama yang Keenan berikan pada boneka kucing itu.
Sean menatap boneka kucing yang warnanya sudah usang, menggambarkan kalau umur boneka itu sudah lumayan lama, sekitar 4 tahun. Wish atau boneka berkarakter kucing itu awalnya bisa mengeluarkan suara dan menggerakan daun telingannya. Tapi setelah jatuh ke kolam renang di rumah lamanya tahun lalu, Wish rusak. Keenan menangis hampir 5 jam, padahal Sean sudah membujuknya untuk beli boneka baru dengan bentuk dan warna yang sama persis seperti Wish. Tapi, Keenan menolak karena Wish adalah boneka kucing pemberian dari Anjani, mantan istri pertama Sean. Meski Keenan adalah anak dari mantan istri kedua Sean, Yuna. Tapi hubungan Keenan dan Anjani lebih dekat di banding dengan hubungan Keenan dengan Yuna, yang notabene ibu kandungnya sendiri.
"Ayah!" sentak Keenan memanggil Sean untuk yang ketiga kalinya. Padalah Keenan sudah menarik kaus Sean, tapi lelaki itu tidak hiraukan dan terus menatap Wish-nya Keenan.
Sean tertegun, lamunannya buyar begitu saja. Dengan cepat ia mengontrol raut wajahnya dan berdehem.
"Kembalikan Wish-ku." pinta Keenan sambil menengadahkan kedua tangannya di depan Sean. Dengan sedikit kasar Sean melempar boneka kucing itu kearah Keenan, untung saja Keenan menangkapnya dengan sigap. Tatapan Keenan langsung memincing sinis Sean yang kini sudah kembali merebahkan tubuhnya di atas ranjang.
Tungkai Keenan berjalan kearah jendela kamar Ayahnya yang masih tertutup gorden, sinar kemerahan sang mentari menembus sedikit gorden berwarna putih itu.
Sreettt
Keenan menarik gorden jendela kamar Sean, anak kecil itu juga membuka kaca jendela dengan hati-hati, udara sejuk yang belum terkontamininasi polusi itu Keenan hirup dalam-dalam. Segar. Keenan menatap kearah luar jendela, keningnya mengernyit melihat Heera yang tengah berjalan di bawah sana. Melihat raut wajah Heera yang kelelahan persis seperti kemarin sore, Keenan jadi teringat sesuatu.
"Tutup jendelanya, Ken." perintah Sean.
Keenan menoleh kearah Sean, "Ayah, bisa tidak Ayah menafkahi tante Heera?" tiba-tiba Keenan bertanya dengan polosnya, membuat Sean yang sudah memejamkan kedua matanya praktis melotot dan berbalik badan menatap Keenan terkejut.
"Kenapa kamu bicara seperti itu, Ken?" tanya Sean serius. Anak kecil seperti Keenan tahu apa tentang menafkahi? Dan dari mana ia mempelajari kata-kata seperti itu.
Keenan menghembuskan napas panjang, tatapan teduhnya kembali menatap kearah luar jendela, "Supaya tante Heera tidak perlu mencari kerja lagi. Tante Heera bilang, dia capek bekerja dan ingin di nafkahi saja." jawab Keenan membuat Sean tertawa kecil tanpa sadar. Karena penasaran dengan apa yang sedang Keenan lihat, Sean bangkit dari tidurnya dan berjalan mendekat pada Keenan.
Mata tajam Sean menyipit saat melihat Heera berjalan dengan wajah mengantuknya di bawah sana. Perempuan itu jelas bukan habis pulang dari pasar karena Sean tidak melihat Heera membawa belajaan. Sepertinya Heera baru pulang kerja, tapi apa yang Heera kerjakan hingga pulang subuh begini? apa gadis itu bekerja sebagai satpam perumahan?
Sedangkan di bawah sana, tungkai Heera melangkah cepat menuju pintu kamar kosan yang semakin dekat. Heera menutup mulutnya yang terbuka lebar karena menguap, kepalanya mendongak dan tidak sengaja menemukan Keenan dan Sean yang tengah menatapnya dari jendela kamar lantai dua rumahnya.
Heera menegang, matanya tidak bisa berpaling saat bertemu dengan tatapan tajam milik Sean. Bulu kuduk Heera bahkan sampai berdiri melihat tatapan Sean yang tajam dan sangat intens. Heera mengedipkan matanya beberapa kali, ia tersadar dan langsung mengalihkan pandang. Heera sempatkan untuk tersenyum tipis menyapa Sean, namun Sean hanya menatapnya datar dan enggan membalas senyumannya. Heera mendumel dalam hati, dengan cepat ia berlari masuk kedalam kosannya.
Heera meremas jari-jarinya, entah kenapa saat ini ia bisa berada didalam satu mobil yang sama dengan Sean dan Keenan. Beberapa menit lalu saat Heera sedang memakai sepatunya bersiap untuk berangkat kuliah, Keenan mendatanginya dan menyeret Heera untuk masuk kedalam mobilnya. Heera menolak karena Sean sudah duduk dikursi kemudi dengan wajah datarnya, tapi setelah Sean berkata dan memerintahkan Heera untuk ikut bersamanya, Heera pasrah, sementara Keenan bersorak ria.Sedari tadi Sean tidak membuka suaranya, lelaki dengan wangi aroma maskulin yang menyeruak di hidung Heera itu hanya diam dan fokus menyetir. Tak ada suara radio, hanya ada suara Keenan dan Heera yang saling melempar pertanyaan dan jawaban. Sesekali mata tajam Sean melirik ke kursi belakang melalui kaca, tapi Heera dan Keenan tidak menyadarinya saking asiknya mengobrol."Tante tidak memakai make-up?" tanya Keenan sembari mengamati wajah polos Heera.Heera tersenyum kikuk sambil mengusap tengkuknya, ga
"Keenan, Wake up!"Sean menyibak selimut Keenan secara kasar, membuat Keenan yang terlelap kini menggeliat, matanya yang baru saja ia buka langsung menyipit kembali saat silau sinar matahari menembus kaca jendela kamarnya."Cepat cuci muka, gosok gigi lalu pakai sepatumu, Ayah tunggu di luar." perintah Sean yang sudah rapih dengan setelan olah raganya. Seperti biasa, setiap hari libur ia selalu mengajak Keenan untuk ikut olah raga bersamanya."5 menit lagi, Yah..." rengek Keenan kembali merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur."5 menit lagi atau ayah akan membuang Wish-mu." ancam Sean sembari terus berjalan keluar dari kamar Keenan, tangan kanannya terangkat menunjukan boneka kucing milik Keenan yang menjadi tawanannya.
"Heera, kamu mau kemana?"Heera yang sedang berjalan spontan menghentikan langkahnya saat pertanyaan Sean seakan tertuju padanya. Heera menoleh, menatap Sean yang sedang berdiri di depan gerbang rumahnya."Mau kerja, pak." jawab Heera. Hari biasa Heera memang pergi ke kelab jam 9 malam, tapi kalau hari sabtu dan minggu bosnya meminta Heera untuk datang pada sore hari. Kelab akan sangat ramai jika di hari libur, maka dari itu Heera datang lebih awal dari biasanya."Kamu kerja dimana? Ayo saya antar." ajak Sean tanpa basa-basi. Lihatlah, siapa yang berbicara dengan nada semanis itu. Heera hampir tidak percaya kalau Sean yang kelihatan dingin bisa mencair dengan secepet ini.Heera menaikkan kedua alisnya, merasa bingung dengan sikap Sean yang tiba-tiba berubah jadi sok akrab. Benar kata Jessi, Sean ini pasti buaya kelas kakap. Heera harus berhati-hati padanya. Heera menggelengkan kepalanya, ia tersadar dari p
PLAK!Heera berdecih, menatap jijik laki-laki yang baru saja ia tampar pipinya. Bukan tanpa alasan Heera murka hingga menampar laki-laki itu, harga diri Heera baru saja di lukai. Heera menggelengkan kepalanya, masih tidak percaya bahwa ia menjadi korban pelecehan dari laki-laki sialan yang sedang mabuk.Padahal Heera sudah cukup sabar dan diam saja sedari tadi, tapi laki-laki tersebut malah menarik dan mendudukan Heera secara paksa di atas pangkuannya. Bukan cuma itu saja, tangan kurang ajar laki-laki itu juga menggerayangi tubuh Heera, bagaimana bisa Heera diam saja kalau begini?!"Wanita murahan! Beraninya kamu menampar saya?!" laki-laki tersebut marah, menatap Heera murka. Tapi Heera tidak takut, justru Heera bertambah marah karena laki-laki itu tidak merasa bersalah dan malah memarahinya.Cih, dasar lelaki tua bangka kurang belaian! umpat Heera dalam hati."Beraninya tangan kotor
"Tumben kamu masih di sini, Ra? tidak berangkat kuliah?"Heera menoleh, menatap Ibu kost yang baru keluar dari kamarnya dan bertanya.Heera yang menaikan kedua kakinya keatas sofa spontan menurunkannya lalu tersenyum menyapa, "Libur bu, sekarangkan hari minggu." jawab Heera."Tidak kerja?" Ibu kost bertanya lagi, karena melihat Heera santai-santai seperti ini adalah pemandangan yang tidak biasa, gadis itu paling tidak bisa diam di kosan, kalau ada waktu luang sedikit pasti langsung pergi kerja."Lagi nganggur, bu." jawab Heera sambil pasang wajah seolah biasa saja. Padahal pikirannya lagi rumet parah."Inget Ra, lo miskin, cepet pergi cari kerja!" Anin tiba-tiba datang dan langsung menarik Heera untuk segera berdiri. Anin ini hampir mirip Heera, pemburu cuan.
"Maksud bapak, saya gak jadi kerja disini?"Anggukan di kepala Sean cukup membuat Heera tercengang dan tidak percaya. Ia memajukan bibir bawahnya lalu menatap Sean memelas. Apa-apaan ini? Sean baru saja mempermainkan nya atau bagaimana?"Tapi kenapa, pak?" Heera masih tidak terima."Saya kurang percaya sama kamu, lagi pula saya sudah dapat babysitter baru untuk Keenan." jawab Sean dengan raut wajah angkuhnya, ia tampak sama sekali tidak merasa bersalah sudah membuat Heera kecewa.Mendengar jawaban Sean, Heera mendengus. Jika dari awal tidak mempercayainya lalu untuk apa Sean menawarkan ia pekerjaan? Seketika Heera berubah raut wajahnya menjadi dongkol."Ya sudah pak, saya pulang saja kalau gitu. Semoga babysitter Keenan lebih baik dari saya." ketus Heera, masa bodo dengan sopan santunnya, ia sudah kepalang jengkel dengan duda anak satu itu.Kedua mata elang Sean menatapi k
Bagi Heera larangan adalah perintah, maka dari itu sepulangnya dari kuliah, kakinya langsung meleset cepat ke depan pintu gerbang rumah Sean untuk menemui Keenan.Meski semalam Sean mengancam dan melarangnya untuk menemui Keenan, tapi Heera tidak menghiraukan nya. Apa lagi saat tidak melihat mobil Sean yang terparkir di perkarangan, semangat Heera untuk menemui Keenan semakin menggebu."Keenan, main yuk!!!" panggil Heera layaknya anak kecil yang mengajak temannya bermain."Kennn!" Heera masih terus bersuara meski tak ada tanda-tanda Keenan akan keluar dari rumahnya.Mata Heera melirik ke jam tangan di tangannya, sudah jam 4 sore, seharusnya Keenan sudah pulang dari sekolahnya."Keenan!" Kali ini suara Heera berteriak lebih keras, siapa tahu Keenan mendengarnya kali ini.Mata Heera spontan melebar melihat pintu utama rumah Sean yang berdecit terbuka, sosok Mbak Indri keluar dari sana dengan wajah cemas.He
Akhir-akhir ini Heera banyak menangis. Ia stress dan putus asa. Kata orang-orang, uang bukan segalanya, tapi setidaknya memiliki banyak uang dapat meringankan beban pikiran, karena nyatanya segalanya butuh uang. Hampir satu bulan menjadi pengangguran, beruntungnya Heera masih hidup meski beberapa kali ia merasakan kelaparan karena tidak memiliki uang untuk makan. Hidup merantau dan membiayai hidup sendiri itu sulit, apa lagi jika sedang tidak memiliki pemasukan seperti yang Heera alami sekarang. Arta: Ra, belum makan 'kan?Arta: keluar yuk, cari makan Untung Heera memiliki banyak teman yang baik hati, yang setiap hari secara sukarela berdonasi untuk mengisi perutnya. Mereka memang teman yang paling pengertian. Heera melirik jam yang menempel di dinding kamarnya, masih jam 8 malam, kebetulan ia belum makan dan sumpek di kamar. Jadi tidak ada alasan untuknya menolak rejeki yang Arta tawarkan. Heera: yuk! Arta: otw yaa Heera ya