Mulai hari itu, aku mencoba merubah sikap. Dari yang semula urakan menjadi pendiam.
Jangan ditanya bagaimana beratnya! Aku sungguh tersiksa dengan ini semua.
Apalagi, saat Yuda menggodaku dengan berbagai macam kalimat yang menjengkelkan. Sungguh! mulut ini rasanya ingin berteriak. Terkadang malah terlanjur teriak walaupun cuma satu kata. Namun, urung karena sadar harus merubah diri demi mendapatkan hati Doni.
Apakah aku mampu menaklukkan hati Doni?
Pertanyaan itu selalu hadir menghantui pikiran.
Suatu ketika, aku berada di perpustakaan. Mencari referensi buku untuk daftar pustaka skripsi. Di sana masih sepi.
Namun, ada sesosok mahluk yang membuat bulu kudukku merinding.
Dia duduk dengan anggun menghadap setumpuk buku. Menyadari ada suara langkah yang mampir di telinganya, makhluk itu menatapku. Senyum tersungging dari bibir tipisnya. Ah,
Karena pekerjaan Doni sebagai sopir pribadi Pak Irsya yang saat ada acara keluarga selalu diajak, membuat Fani semakin sering bertemu dengan bujangan alim itu.Segala gerak-gerik Doni tidak lepas dari tatapannya. Sikap sopan pada Pak Irsya dan juga Nia, membuat kekaguman Fani semakin lama semakin bertambah.Pak Irsya dan Nia sadar, kalau adik mereka memendam sebuah rasa pada sopir yang sebentar lagi bergelar Master itu.Namun, Fani sendiri masih menyembunyikan. Meski begitu, tetap saja, Doni tahu jika adik dari majikannya itu menaruh sebuah rasa. Hal itu membuat Doni menjadi merasa tidak enak."Fani sering memperhatikan kamu, Don!" ucap Pak Irsya kala mereka bersama dalam satu mobil.Doni yang berada di balik kemudi hanya menanggapi dengan senyuman."Ah, mana mungkin, Pak. Saya ini cuma sopir. Sedangkan Fani, dia adik Bu Nia, istri Bapak, majika
Part 9Doni ragu, antara masuk atau tetap menunggu di luar.Akan tetapi, bila dirinya tidak ikut mendampingi Fani yang masih dalam tahap observasi oleh dokter.Dengan ragu, pemuda itu masuk ke dalam ruangan dengan dominasi warna putih.Di salah satu bed terbaring Fani dengan didampingi Nia juga Dinda.Sementara Pak Irsya berdiri di luar sekat pemisah antara pasien IGD dengan yang menunggu. Melihat Doni datang, pria yang tengah mondar-mandir jadi berhenti."Pak, saya minta maaf," ujar Doni setelah mereka berdua saling berhadapan.Pak Irsya menghela napas panjang."Dokter mengat
Part 10Doni termenung di dalam mobil yang terparkir di jalan depan kost Dinda dan Fani, hingga adzan Ashar terdengar berkumandang, menyadarkan pria itu dari segala pikiran yang menerka terhadap apa yang Fani alami."Benarkah, sakitnya Fani ada hubungannya denganku, juga Ilma?" gumamnya lirih, sebelum akhirnya, menginjak gas mobil dan menjalankan kuda besi milik majikannya, menembus jalan yang mulai basah oleh gerimis.Tidak ada sesuatu yang terjadi di luar kuasa Allah. Bahkan, sehelai daun yang jatuh-pun atas ijin dari Sang Pemilik Hidup. Jadi, apapun yang menimpa Fani--terlepas ada hubungan dengan dirinya maupun Ilma--atau tidak, itu sudah menjadi takdir dari Allah. Begitu yang Doni pikirkan saat selesai berdzikir.Pemuda i
Part 11Dengan sikap Fani yang seolah menolak, tidak membuat Ilma berubah. Gadis itu masih saja menyunggingkan senyum ramah."Mau makan buah, Fan? Aku kupasin, ya?" tawar Ilma sambil mengulurkan tangan pada parsel cantik yang ia letakkan di atas nakas.Fani bergeming tak menjawab."Sakit apa, Mbak Faninya?" tanya Ilma lagi, tatapannya kini beralih pada Nia yang duduk di tikar yang ia gelar di lantai. Di tangan Ilma sudah ada apel merah, juga pisau untuk mengupas."Typus. Karena jarang makan jadi seperti itu," jawab Ibu Fani langsung. Perempuan itu nampak terkesima de
Fani masih berdiri seperti patung. Tidak menyangka sama sekali, bila Ilma yang selama ini ia kenal sebagai gadis alim, menjelma menjadi seorang gadis yang tidak memiliki belas kasihan.Hanya karena seorang lelaki yang belum tentu menjadi jodoh siapa, dirinya tega menghancurkan jerih payah yang telah ia jalani selama berbulan-bulan.'Apakah benar dugaanku bila dia dalang dibalik dibatalkannya skripsi aku?' ragunya dalam hati.Ada sebuah pertanyaan yang kemudian menjadi misteri. Bila iya, Ilma yang menyebabkan semua ini, bagaimana bisa dia melakukannya?Fani pulang dengan langkah gontai. Menapaki jalan yang tertutup paving dengan perasaan sedih.Sampai di tempat kost, dirinya segera mengambil air wudhu untuk menunaikan shalat Ashar. Setelahnya, membaringkan tubuh dan menarik selimut hi
"Mbak Nia, Fani sepertinya sedang merasa tertekan ini, Mbak," ujar Ilma lagi. "Tadi gak kenapa-kenapa ya, Mbak? Kenapa sekarang jadi nangis? Kamu kenapa, Fan?" Ilma heboh sendirian. Doni menangkap ada yang tidak beres dari gadis yang sedari tadi mendominasi pembicaraan.Pun dengan Dinda. Gadis itu menoleh dan menatap tajam pada Ilma."Mbak Nia, sepertinya Fani butuh ketenangan. Apa tidak sebaiknya tidak terlalu banyak orang di ruangan ini?" usul Dinda dengan terus menatap pada Ilma."Oh, iya, ayo, kita keluar. Biarkan Fani istirahat. Mbak Nia sama Ibu aja yang jagain. Kita semua keluar," ajak Ilma seolah dirinya memiliki kekuasaan untuk mengatur di sana."Kenapa kamu yang heboh sih?" tanya Dinda kesal."Aku hanya mengusulkan, supaya Fani bisa istirahat,""Tapi da
Ibu Nia memberi isyarat pada putri bungsunya untuk diam. Seketika suasana hening. Semua mata tertuju pada Umar yang komat-kamit dan mengangkat kedua tangan."Allahumma sholli 'ala sayyidina muhammadin tibbil qulubi waadawaiha waafiati abdaniwasyifaiha ...." Umar melantunkan sholawat tibbil qulub yang diketahui sholawat untuk mendoakan orang yang sakit dengan suara merdu.Seketika semuanya hanyut dalam lantunan suara Umar. Terasa menyejukkan hingga semua yang ada di dalam ruangan ikut bersholawat. Rasa benci pada sosok aneh yang berdiri dengan menengadahkan kedua tangan seketika sirna dalam hati Nia."Tolong semuanya diam tidak usah ikut-ikutan! Kalian ini jangan sembarangan mengamalkan suatu doa tanpa ijazah dari Kyai sepuh. Jatuhnya malah menjadi sebuah kutukan. Banyak orang yang kemudian gila karena mengamalkan ilmu yang belum mereka pelajari." Suara bariton Umar
POV YUDAGadis menyebalkan. Sukanya teriak-teriak. Tidak ada manis-manisnya sama sekali. Tapi, kenapa aku merasa kehilangan, bila dirinya tidak terlihat di dalam kelas?Saat di pagi hari tubuh ini melewati pintu ruangan tempat dimana kami menimba ilmu, ekor mata ini selalu menyapu seluruh sudut, mencari dia untuk membuat sedikit kegaduhan."Fan, kenapa pakai jilbab warna merah? Udah jelek, tambah jelek tahu? Kayak emak-emak mau beli ikan asin, tau?""Tau dong! Kan yang jadi kuli panggul ikan asinnya, kamu!" jawabnya enteng. Membuat aku selalu diam tak berkutik.Sepertinya sudah menjadi kewajiban saat berhadapan dengannya , mulut ini setiap hari harus melempar ejekan pada gadis minim adab itu.&