Share

Bab 3 (Dijodohkan dengan Ceo)

Sementara itu di ruang tamu rumah Hilya tampak dua orang laki-laki berjas abu-abu dan hitam tengah berbincang-bincang dengan Haji Abdul Ghofur.

"Ummi! Ayo cepat kesini, nak Satya sudah menunggu!" panggil Haji Abdul Ghofur pada istrinya yang masih berada di dalam kamar Hilya.

Setelah memanggil istrinya Haji Abdul Ghofur kembali mengajak ngobrol tamunya.

"Tunggu sebentar ya, Nak Satya, Nak Dirga! Wanita memang begitu kalau berdandan, sangat lama," kata Haji Abdul Ghofur kepala kedua pria yang duduk di hadapannya.

"Iya tidak apa-apa," jawab laki-laki berjas abu-abu dengan tersenyum.

"Teman saya ini pak haji, pasti sanggup menunggu putri pak haji meskipun harus menginap semalaman di sini," celetuk laki-laki berjas hitam dengan senyum menggoda pria yang duduk di sebelahnya.

Haji Abdul Ghofur pun tersenyum renyah menanggapi gurauan laki-laki berjas hitam tersebut.

"Ayo-ayo diminum dulu kopinya!" kata laki-laki separuh baya itu kemudian.

Laki-laki berjas abu-abu itu seketika mengangguk dan meraih secangkir kopi yang ada di hadapannya.

"Maaf menunggu lama!"

Suara seorang perempuan yang tiba-tiba keluar dari kelambu ruang tengah rumah itu sontak membuat dua orang tamu laki-laki itu terperangah.

"Ehm!!" terdengar batuk dari mulut laki-laki berjas hitam. Mungkin dia kaget melihat Hilya dan umminya yang tiba-tiba masuk ruang tamu.

"Nak Setya, nak Dirga! Kenalkan, ini putri kami Hilya!"

Ummi Halimah ibunda Hilya memperkenalkan putrinya pada kedua laki-laki itu.

"Hilya El Jameela. Kata ustadz abah, artinya, perhiasan yang cantik," ujar Abah Hilya dengan tersenyum kepada kedua tamunya, membanggakan paras cantik putri semata wayangnya itu.

Seketika Satya dan Dirga berdiri dari tempat duduknya.

"Hai, aku Satya!" kata laki-laki berjas abu-abu itu menyapa Hilya dan menjulurkan tangan kanannya untuk bersalaman.

"Assalamualaikum!" sahut Hilya dengan mengatupkan kedua tangan, menolak dengan lembut jabat tangan yang ditawarkan Satya.

Seketika Satya bergeming memperhatikan sikap santun Hilya. Dan tiba-tiba, kaki kekar Dirga menginjak dengan kuat sepatu Satya.

Satya terperanjat, dia terjaga dari lamunan, sembari kemudian mengikuti isyarat mata yang diberikan Dirga untuk membalas salam Hilya.

"Waalaikum salam!"

Terdengar suara dua orang laki-laki itu menjawab salam Hilya secara bersamaan.

"O iya pak haji, apa kita bisa pergi sekarang?" tanya Dirga pada Haji Abdul Ghofur kemudian.

"Ooh, iya tentu," jawab Abah Hilya. "Hilya, ayo sana berangkat!" kata abahnya, meminta Hilya untuk ikut pergi bersama mereka.

Hilya mengerutkan kedua alisnya, menatap heran abah yang memintanya untuk ikut bersama dua orang laki-laki yang baru dia kenal.

"Maaf saya ke belakang dulu!" kata Hilya sembari berbalik meninggalkan ruangan itu.

Abah dan ummi Hilya seketika mengikuti langkah Hilya.

"Hilya! Kamu mau kemana?" tanya Haji Abdul Ghofur mengikuti langkah Hilya. "Calon suami kamu itu ingin lebih dekat kenal sama kamu, ayo ikut dengan mereka sebentar, mereka hanya ingin mengajak kamu makan malam!" kata Haji Abdul Ghofur menghentikan langkah Hilya yang hendak masuk ke dalam kamar.

"Abah! Kita bukan muhrim, tidak benar jika aku harus ikut dengan mereka sendirian tanpa seorang teman. Apa abah tidak memikirkan hal itu?" jawab Hilya dengan meninggikan suara.

"Hilya, abah percaya dengan Satya dan Dirga, mereka adalah orang-orang baik, orang terhormat, jadi pasti mereka bisa menjaga kamu," sahut abah. "Lagi pula Satya itu calon suami kamu, jadi tidak ada salahnya jika kalian berdua keluar sebentar untuk saling mengenal. Masak Abah dan ummi harus ikut untuk menemani kamu, pasti nak Satya nanti jadi sungkan," terang abah.

"Abah? Apa semudah itu abah percaya dengan orang yang baru abah kenal?" tanya Hilya. "Hilya tidak mau Bah, Hilya tidak mau keluar dengan laki-laki itu sendirian, karena kita bukan muhrim." Hilya bersikukuh menolak keinginan abahnya.

"Kalau begitu biar Romlah yang menemani kamu," sela Ummi Halimah di tengah-tengah ketegangan pembicaraan Hilya dan abahnya.

"Iya, biar Romlah yang akan menemani kamu," sahut Abah Hilya.

"Dua jam lagi magrib bah, Hilya tidak mau keluar, nanti sholat magrib Hilya bagaimana?"

Hilya masih mencoba memberikan alasan yang tepat untuk menolak perintah abahnya.

"Kamu bisa sholat di masjid, banyak kok masjid di sepanjang jalan." Putus Abah Hilya. "Ummi panggil Romlah sekarang, biar dia bisa menemani Hilya pergi!" perintahnya kemudian pada istrinya, untuk memanggil Romlah anak pembantu rumah tangga mereka.

Tidak lama setelah itu keluarga Haji Abdul Ghofur kembali menemui dua orang laki-laki yang tengah menunggu mereka di ruang tamu.

"Maaf ya nak sudah menunggu lama!" kata laki-laki paruh baya itu.

"Tidak apa-apa pak," sahut Setya.

"Begini, Hilya bersedia pergi jika ada yang menemani, jadi..."

Belum selesai Haji Abdul Ghofur menjelaskan keinginan putrinya pada dua orang laki-laki itu, salah satu dari mereka menyela pembicaraan Haji Abdul Ghofur.

"Tidak apa-apa pak, saya mengerti, saya dan Hilya memang belum muhrim, jadi seharusnya kita memang tidak boleh pergi berdua."

Laki-laki berjas abu-abu itu berkata dengan santun.

"Saya bawa tiga mobil," katanya kemudian dengan menoleh keluar rumah, menunjukkan tiga mobil sedan yang terparkir di halaman rumah Hilya, mobil BMW X4 warna hitam, dan dua mobil all new Honda Civic.  "Jika Hilya tidak berkenan satu mobil dengan saya, saya juga tidak masalah, Hilya bisa naik mobil saya yang lain," tambahnya dengan lembut.

"Saya mau diantar Pak Jamal saja, naik mobil abah," sahut Hilya.

"Hilya?"

Seketika Haji Abdul Ghofur menoleh ke arah putrinya dan menatapnya penuh kekesalan.

"Tidak apa-apa pak, Hilya boleh naik mobil mana saja, yang penting Hilya merasa nyaman," sahut laki-laki itu masih dengan suara lembut.

"Maaf ya Nak!" kata Haji Abdul Ghofur dengan menepuk lengan Satya.

"Iya, pak." Satya mengangguk-angguk.

"Okey, kalau begitu kita bisa berangkat sekarang kan pak haji?" tanya Dirga kemudian, seorang laki-laki berjas hitam yang berdiri di samping Satya.

"Iya, iya, tentu saja," sahut Haji Abdul Ghofur. "Titip putri bapak ya nak!" katanya saat Satya berjabat tangan untuk berpamitan.

Akhirnya ditemani oleh Romlah, Hilya ikut bersama Satya dan Dirga. Dua orang laki-laki tampan, berpenampilan elegan yang sangat dibanggakan oleh abahnya.

Mobil Abah Hilya yang dikemudikan oleh pak Jamal, mulai mengikuti mobil BMW X4 yang dinaiki oleh Satya dan Dirga.

Sementara dua mobil all new Honda Civic yang dinaiki oleh bodyguard dan asisten Satya berada di belakang mobil mereka berdua.

"Gila! Aku pikir putri pak haji itu gadis kampung yang jelek dan tidak menarik," celetuk Dirga saat dalam perjalanan. "Ternyata, wow! Kulitnya mulus, putih, bersih, dan bibirnya kemerah-merahan, padahal aku lihat tidak ada lipstik yang menempel di bibirnya."

Satya yang saat itu sibuk mengotak-atik ponselnya tersenyum licik sembari melirik Dirga yang tengah menyetir mobil.

"Dasar mata keranjang!" maki pria itu lirih.

"Hai, bukan mata keranjang, tapi mataku ini hanya terlalu jeli dalam menilai, menilai wanita cantik maksudku," sahut Dirga dengan tersenyum genit.

"Ya, aku percaya." Satya mengangguk-angguk. "Tapi kali ini kekuatan pradugamu salah. Kemarin kamu bilang putri pak haji itu jelek, kampungan, dan sama sekali tidak menarik. Ternyata?"

"Hahahahaha!!!..."

Kedua laki-laki itu terkekeh. Entah apa yang mereka berdua pikirkan, namun sepertinya sebuah rencana yang tidak benar.

"Tapi ini keuntungan buat kamu, setidaknya kamu bisa bernafas lega, karena kamu tidak jadi menikah dengan gadis desa buruk rupa seperti dugaanku," kata Dirga masih dengan tawa. "Dan setidaknya kamu juga bisa menikmati kebersamaan kamu dengan gadis itu sampai rencana kita selesai," ucapnya.

Bersambung

Sementara itu di ruang tamu rumah Hilya tampak dua orang laki-laki berjas abu-abu dan hitam tengah berbincang-bincang dengan Haji Abdul Ghofur.

"Ummi! Ayo cepat kesini, nak Satya sudah menunggu!" panggil Haji Abdul Ghofur pada istrinya yang masih berada di dalam kamar Hilya.

Setelah memanggil istrinya Haji Abdul Ghofur kembali mengajak ngobrol tamunya.

"Tunggu sebentar ya, Nak Satya, Nak Dirga! Wanita memang begitu kalau berdandan, sangat lama," kata Haji Abdul Ghofur kepala kedua pria yang duduk di hadapannya.

"Iya tidak apa-apa," jawab laki-laki berjas abu-abu dengan tersenyum.

"Teman saya ini pak haji, pasti sanggup menunggu putri pak haji meskipun harus menginap semalaman di sini," celetuk laki-laki berjas hitam dengan senyum menggoda pria yang duduk di sebelahnya.

Haji Abdul Ghofur pun tersenyum renyah menanggapi gurauan laki-laki berjas hitam tersebut.

"Ayo-ayo diminum dulu kopinya!" kata laki-laki separuh baya itu kemudian.

Laki-laki berjas abu-abu itu seketika mengangguk dan meraih secangkir kopi yang ada di hadapannya.

"Maaf menunggu lama!"

Suara seorang perempuan yang tiba-tiba keluar dari kelambu ruang tengah rumah itu sontak membuat dua orang tamu laki-laki itu terperangah.

"Ehm!!" terdengar batuk dari mulut laki-laki berjas hitam. Mungkin dia kaget melihat Hilya dan umminya yang tiba-tiba masuk ruang tamu.

"Nak Setya, nak Dirga! Kenalkan, ini putri kami Hilya!"

Ummi Halimah ibunda Hilya memperkenalkan putrinya pada kedua laki-laki itu.

"Hilya El Jameela. Kata ustadz abah, artinya, perhiasan yang cantik," ujar Abah Hilya dengan tersenyum kepada kedua tamunya, membanggakan paras cantik putri semata wayangnya itu.

Seketika Satya dan Dirga berdiri dari tempat duduknya.

"Hai, aku Satya!" kata laki-laki berjas abu-abu itu menyapa Hilya dan menjulurkan tangan kanannya untuk bersalaman.

"Assalamualaikum!" sahut Hilya dengan mengatupkan kedua tangan, menolak dengan lembut jabat tangan yang ditawarkan Satya.

Seketika Satya bergeming memperhatikan sikap santun Hilya. Dan tiba-tiba, kaki kekar Dirga menginjak dengan kuat sepatu Satya.

Satya terperanjat, dia terjaga dari lamunan, sembari kemudian mengikuti isyarat mata yang diberikan Dirga untuk membalas salam Hilya.

"Waalaikum salam!"

Terdengar suara dua orang laki-laki itu menjawab salam Hilya secara bersamaan.

"O iya pak haji, apa kita bisa pergi sekarang?" tanya Dirga pada Haji Abdul Ghofur kemudian.

"Ooh, iya tentu," jawab Abah Hilya. "Hilya, ayo sana berangkat!" kata abahnya, meminta Hilya untuk ikut pergi bersama mereka.

Hilya mengerutkan kedua alisnya, menatap heran abah yang memintanya untuk ikut bersama dua orang laki-laki yang baru dia kenal.

"Maaf saya ke belakang dulu!" kata Hilya sembari berbalik meninggalkan ruangan itu.

Abah dan ummi Hilya seketika mengikuti langkah Hilya.

"Hilya! Kamu mau kemana?" tanya Haji Abdul Ghofur mengikuti langkah Hilya. "Calon suami kamu itu ingin lebih dekat kenal sama kamu, ayo ikut dengan mereka sebentar, mereka hanya ingin mengajak kamu makan malam!" kata Haji Abdul Ghofur menghentikan langkah Hilya yang hendak masuk ke dalam kamar.

"Abah! Kita bukan muhrim, tidak benar jika aku harus ikut dengan mereka sendirian tanpa seorang teman. Apa abah tidak memikirkan hal itu?" jawab Hilya dengan meninggikan suara.

"Hilya, abah percaya dengan Satya dan Dirga, mereka adalah orang-orang baik, orang terhormat, jadi pasti mereka bisa menjaga kamu," sahut abah. "Lagi pula Satya itu calon suami kamu, jadi tidak ada salahnya jika kalian berdua keluar sebentar untuk saling mengenal. Masak Abah dan ummi harus ikut untuk menemani kamu, pasti nak Satya nanti jadi sungkan," terang abah.

"Abah? Apa semudah itu abah percaya dengan orang yang baru abah kenal?" tanya Hilya. "Hilya tidak mau Bah, Hilya tidak mau keluar dengan laki-laki itu sendirian, karena kita bukan muhrim." Hilya bersikukuh menolak keinginan abahnya.

"Kalau begitu biar Romlah yang menemani kamu," sela Ummi Halimah di tengah-tengah ketegangan pembicaraan Hilya dan abahnya.

"Iya, biar Romlah yang akan menemani kamu," sahut Abah Hilya.

"Dua jam lagi magrib bah, Hilya tidak mau keluar, nanti sholat magrib Hilya bagaimana?"

Hilya masih mencoba memberikan alasan yang tepat untuk menolak perintah abahnya.

"Kamu bisa sholat di masjid, banyak kok masjid di sepanjang jalan." Putus Abah Hilya. "Ummi panggil Romlah sekarang, biar dia bisa menemani Hilya pergi!" perintahnya kemudian pada istrinya, untuk memanggil Romlah anak pembantu rumah tangga mereka.

Tidak lama setelah itu keluarga Haji Abdul Ghofur kembali menemui dua orang laki-laki yang tengah menunggu mereka di ruang tamu.

"Maaf ya nak sudah menunggu lama!" kata laki-laki paruh baya itu.

"Tidak apa-apa pak," sahut Setya.

"Begini, Hilya bersedia pergi jika ada yang menemani, jadi..."

Belum selesai Haji Abdul Ghofur menjelaskan keinginan putrinya pada dua orang laki-laki itu, salah satu dari mereka menyela pembicaraan Haji Abdul Ghofur.

"Tidak apa-apa pak, saya mengerti, saya dan Hilya memang belum muhrim, jadi seharusnya kita memang tidak boleh pergi berdua."

Laki-laki berjas abu-abu itu berkata dengan santun.

"Saya bawa tiga mobil," katanya kemudian dengan menoleh keluar rumah, menunjukkan tiga mobil sedan yang terparkir di halaman rumah Hilya, mobil BMW X4 warna hitam, dan dua mobil all new Honda Civic.  "Jika Hilya tidak berkenan satu mobil dengan saya, saya juga tidak masalah, Hilya bisa naik mobil saya yang lain," tambahnya dengan lembut.

"Saya mau diantar Pak Jamal saja, naik mobil abah," sahut Hilya.

"Hilya?"

Seketika Haji Abdul Ghofur menoleh ke arah putrinya dan menatapnya penuh kekesalan.

"Tidak apa-apa pak, Hilya boleh naik mobil mana saja, yang penting Hilya merasa nyaman," sahut laki-laki itu masih dengan suara lembut.

"Maaf ya Nak!" kata Haji Abdul Ghofur dengan menepuk lengan Satya.

"Iya, pak." Satya mengangguk-angguk.

"Okey, kalau begitu kita bisa berangkat sekarang kan pak haji?" tanya Dirga kemudian, seorang laki-laki berjas hitam yang berdiri di samping Satya.

"Iya, iya, tentu saja," sahut Haji Abdul Ghofur. "Titip putri bapak ya nak!" katanya saat Satya berjabat tangan untuk berpamitan.

Akhirnya ditemani oleh Romlah, Hilya ikut bersama Satya dan Dirga. Dua orang laki-laki tampan, berpenampilan elegan yang sangat dibanggakan oleh abahnya.

Mobil Abah Hilya yang dikemudikan oleh pak Jamal, mulai mengikuti mobil BMW X4 yang dinaiki oleh Satya dan Dirga.

Sementara dua mobil all new Honda Civic yang dinaiki oleh bodyguard dan asisten Satya berada di belakang mobil mereka berdua.

"Gila! Aku pikir putri pak haji itu gadis kampung yang jelek dan tidak menarik," celetuk Dirga saat dalam perjalanan. "Ternyata, wow! Kulitnya mulus, putih, bersih, dan bibirnya kemerah-merahan, padahal aku lihat tidak ada lipstik yang menempel di bibirnya."

Satya yang saat itu sibuk mengotak-atik ponselnya tersenyum licik sembari melirik Dirga yang tengah menyetir mobil.

"Dasar mata keranjang!" maki pria itu lirih.

"Hai, bukan mata keranjang, tapi mataku ini hanya terlalu jeli dalam menilai, menilai wanita cantik maksudku," sahut Dirga dengan tersenyum genit.

"Ya, aku percaya." Satya mengangguk-angguk. "Tapi kali ini kekuatan pradugamu salah. Kemarin kamu bilang putri pak haji itu jelek, kampungan, dan sama sekali tidak menarik. Ternyata?"

"Hahahahaha!!!..."

Kedua laki-laki itu terkekeh. Entah apa yang mereka berdua pikirkan, namun sepertinya sebuah rencana yang tidak benar.

"Tapi ini keuntungan buat kamu, setidaknya kamu bisa bernafas lega, karena kamu tidak jadi menikah dengan gadis desa buruk rupa seperti dugaanku," kata Dirga masih dengan tawa. "Dan setidaknya kamu juga bisa menikmati kebersamaan kamu dengan gadis itu sampai rencana kita selesai," ucapnya.

Bersambung

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status