Share

Keluarga Ular

Aku masih mematung di balik tembok. Air bah yang berusaha ku bendung akhirnya jebol juga. Kututup mulut dengan kedua tangan agar tangisku tak terdengar.

Dada terasa sesak mendengar kenyataan itu. Sakit dan perih yang kini ku rasakan.

Bahkan aku masih tak menyangka, bukan hanya Mas Alvan yang berdusta tapi seluruh keluarganya bermuka dua. Di depanku saja mereka baik tapi di belakang mereka menikam.

Apa yang membuat mereka tega kepadaku? Aku bahkan rela membantu biaya kuliah Sasya. Aku juga yang telah membiayai kehidupan mereka. Membangun rumah hingga seperti ini. Namun balasan apa yang ku dapat? Sebuah pengkhianatan.

Ya Tuhan.

Selama ini aku memelihara ular yang kapan saja bisa melilit dan mematuk hingga racunnya perlahan membuatku terkapar tak berdaya.

"Pokoknya kalian harus bersikap seperti biasa. Jangan sampai dia curiga dan rencana kita semua akan hancur berantakan!"

Rencana? Rencana apa yang sebenarnya mereka bicarakan? Apa ini menyangkut pernikahanku atau menyangkut harta.

"Iya dong, bu. Kalau Alia tak kaya sudah pasti Mas Alvan menceraikannya dari dulu. Sudah gembrot tidak bisa hamil lagi."

Alia? Sejak kapan Sasya memanggilku hanya dengan nama saja? Atau dari dulu di belakangku dia seperti itu?

Bahu naik turun mendengar ucapan adik kandung suamiku. Tak sadar tangan mengepal ke samping. Ternyata aku hanya di jadikan ATM berjalan saja. Apa mereka tak ingat pengorbanan ku selama ini? Apa mereka tak tahu betapa aku tulus menyayangi mereka.

Kuseka air mata yang sempat jatuh di pipi. Rasa mulas hilang seketika. Hanya ada amarah yang kini tinggal di dada. Oke, kalian jual aku beli. Kalian telah salah memilih lawan. Nadzwa Alia Kusuma tak akan semudah itu kaliah bodohi. Cukup kesalahanku terlalu mempercayai kalian. Tunggu, akan ku buat kalian menyesal telah mempermainkanku.

Melangkah dengan hati-hati menuju ruang tamu. Aku tak mau mereka sampai tahu jika aku telah menguping. Segera ku hapus air mata dan mengoleskan bedak tipis agar tak terlihat habis menangis.

Ku tarik nafas dan mengeluarkannya perlahan. Aku harus mengontrol emosi agar tak salah langkah. Aku tak akan main kasar dan brutal. Itu bukan style diriku.Cukup perlahan tapi mematikan. Seperti air tenang tapi menghanyutkan.

Suara langkah kaki kian mendekat, tak hanya satu tapi beberapa langkah. Ya, pasti kumpulan ular berjalan kemari. Benar dugaanku bapak, ibu dan Sasya berjalan ke arahku. Wajah ramah dan sumringah tergambar jelas di sana. Tapi sayang, itu hanya topeng belaka.

Satu persatu orang menjatuhkan bobot di sofa. Ibu meletakkan secangkir teh hangat lalu duduk di sebelahku.

"Ada perlu apa kemari Al?" tanya ibu lembut.

Jelas sekali ada kata tak suka dari kalimat itu. Lebih tepatnya tak suka dengan kedatanganku kemari.

"Apa harus ada alasan seorang menantu datang ke rumah mertuanya, bu?"

Ibu menjadi salah tingkah mendengar jawabanku. Jangan kira aku Alia yang lemah dan mudah dibodohi seperti dulu. Alia yang selalu patuh dan menurut. Alia sekarang adalah Alia yang akan membalas rasa sakit hati atas pengkhianatan kalian.

"Bukan begitu maksud ibu Al. Tumben saja kamu datang tak memberi kabar. Biasanya kamu selalu memberi kabar sebelum berkunjung kemari," jawabnya gugup.

Ya, dulu aku memang selalu memberi kabar jika ingin kemari. Tapi sepertinya lebih baik datang tanpa memberi tahu kalian agar kalian terkejut, syukur-syukur bisa terkena serangan jantung.

Ah, kenapa aku jadi punya pikiran buruk seperti ini. Andai kalian tak membohongiku mungkin aku akan lebih menghormati kalian.

"Alia bosen di rumah bu. Mas Alvan dinas ke luar kota. Dari pada sendirian di rumah makannya Alia kemari. Alia juga sudah rindu pada ibu. Apa ibu tidak rindu denganku?"

Ibu semakin salah tingkah. Tentu saja ibu tidak rindu. Kalau bisa mungkin ibu akan menendangku dari sini. Tapi tak mungkin ibu lakukan bukan? Ibu takut jika tak ada aliran dana ke rekening jika bertindak kasar padaku. Aku tahu kok apa yang ibu pikirkan.

"Tentu ibu rindu dong Mbak. Mbak Alia kan menantu kesayangan ibu. Iya kan, bu!" Sasya memberi isyarat pada ibunya.

Dasar keluarga ular, pandai sekali kalian bersandiwara. Harusnya kalian ikut casting dan jadi kuntilanak dalam film horor. Pasti lebih bagus dari pada sandiwara di depanku.

"Tumben kamu kemari tidak bawa apa-apa?" Bapak melihat sekelilingku. Tak ada kue atau makanan ringan yang biasa ku bawa saat datang ke rumah ini.

Memang dasar keluarga ular, baru juga sekali tak membawa buah tangan sudah ditanyakan. Apa mereka tak memiliki urat malu. Harusnya bapak tak bertanya seperti itu. Bukankah selama ini hidup mereka aku yang tanggung.

Semenjak Mas Alvan menikah denganku bapak suamiku itu tidak lagi bekerja alasannya sudah tidak kuat untuk menjadi kuli bangunan. Hingga aku tak tega dan menanggung kehidupan mereka. Bodohnya aku! Padahal tubuh bapak masih bugar hanya perutnya tambah buncit saja. Itu semua karena dia banyak makan dan kurang gerak.

Aku adalah orang yang tak tega dan mudah iba. Namun dengan sifatku yang seperti itu justru dimanfaatkan oleh keluarga Mas Alvan.

"Maaf Pak, tapi Alia buru-buru jadi tidak sempat mampir. Maklum Alia sangat rindu dengan bapak, ibu dan Sasya."

"Ah, tidak apa-apa Al. Yang penting rasa rindumu sudah terobati." Ibu mengelus pundakku.

Dulu aku sangat bahagia di perlakukan seperti ini. Ibu seperti menyayangiku sepenuh hati. Tapi kini setelah tahu kenyataannya aku merasa muak dengan semua sandiwara yang mereka lakukan.

"Kita nyalon yuk mbak. Sudah lama kan kita tidak ke salon bareng?"

Ini lagi ular kecil, bisa-bisanya dia meminta ke salon setelah dia mengejekku gembrot. Benar-benar tak tahu malu.

"Iya Al, ide bagus itu. Kita sudah lama tidak jalan bertiga. Sekalian kan mengobati rasa rindu pada Sasya dan ibu."

Ibu dan anak sama saja. Sama-sama tak memiliki urat malu. Sebuah ide gil* muncul begitu saja dalam pikiranku. Mungkin dengan ini mereka bisa sadar jika selama ini mereka sangat bergantung kepadaku. Aku yakin kalian akan menyukai kejutanku.

"Boleh bu, sudah lama juga Alia tidak ke salon."

"Kamu tunggu di sini ibu dan Sasya siap-siap."

Ibu dan Sasya segera berlari ke kamar masing-masing. Kini tinggal aku dan bapak di ruang tamu. Lelaki dengan kulit sawo matang itu manatapku tak suka. Mungkin karena aku tak membawa buah tangan untuknya.

"Bapak mau ikut?"

"Tidak, buat apa ke salon. Lebih baik tidur saja," ucapnya lalu pergi meninggalkanku seorang diri.

Lima belas menit aku menunggu ibu dan adik iparku. Tentu waktu menunggu tak aku sia-siakan begitu saja. Di kepala sudah penuh rencana untuk membalas pengkhianatan mereka. Kita lihat saja siapa yang akan menang, keluarga ular atau aku?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status