Home / Rumah Tangga / Salah Kirim Paket / Kejutan Untuk Keluarga Ular

Share

Kejutan Untuk Keluarga Ular

last update Huling Na-update: 2022-07-09 22:31:38

Krucuuuk... Krucuuuk ....

Rupanya cancing di perut sudah protes meminta jatah. Niat hati ingin diet tapi sepertinya hari ini ku urungkan saja. Aku harus bertenaga untuk menghadapi duo ular. Meleng sedikit saja ular itu bisa lepas dari genggaman.

Kulihat sekeliling,mencari rumah makan terdekat. Tepat di samping bangunan salon ada sebuah rumah makan yang menjual bakso dan mie ayam. Segera ku langkahkan kaki menuju ke rumah makan.

"Mau pesan apa mbak?" tanya seorang wanita muda yang memakai hijab instan berwarna biru tua itu.

Kulihat menu makanan yang ditempel di dinding ruko. Berbagai jenis bakso ada di sini. Dari bakso lava, bakso beranak, bakso urat dan bakso telur.

"Bakso beranak satu, Mas. Tanpa mie ya," ucapku lalu duduk di bangku pojok sebelah kanan.

"Minumnya apa Mbak?" Seorang pelayan menyusul ke tempat dudukku.

"Es jeruk dengan gula sediki." Pelayan itu mengangguk lalu pergi dari hadapanku.

Tak berapa lama seorang pelayan mengantarkan bakso pesananku. Dalam mangkuk hanya ada satu buah bakso. Kuah di tempatkan di mangkuk berbeda karena bakso satu saja sudah memenuhi mangkuk.

Kupotong dengan sendok bakso itu. Di dalam bakso masih ada bakso kecil sekitar enam atau tujuh. Segera ku makan menu kesukaanku itu. Orang yang diet pasti akan gagal jika dihadapannya sudah tersaji bakso seperti ini.

Tak butuh waktu lama satu mangkuk bakso beranak sudah berpindah ke dalam perutku. Alhamdulillah kenyang. Aku sudah siap meladeni duo ular.

Setelah membayar aku segera kembali ke salon. Semoga saja duo ular itu belum selesai hingga tak menimbulkan kecurigaan.

Menghembuskan nafas perlahan, aku lega saat ibu dan adik iparku masih menjalani perawatan. Nampaknya keberuntungan masih berada di pihak ku

Duduk di kursi tak jauh dari kasir,kukeluarkan benda pipih di dalam tas. Segera kunonaktifkan ponselku agar rencana yang ku susun dapat berjalan mulus. Rasanya tak sabar melihat ekspresi mereka.

Ibu dan Sasya ke luar bersamaan. Senyum sumringah tergambar jelas di wajah ibu. Setelah perawatan wanita yang telah membesarkan suamiku itu nampak cantik. Andai dia tak berkhianat sudah pasti aku akan memuji kecantikannya. Namun karena dia ular berkepala dua, enggan mulut ini memujinya.

Tapi kenapa wajah Sasya cemberut seperti itu. Sudah seperti ibu rumah tangga yang belum mendapatkan jatah bulanan saja.

"Kenapa Sya?" tanyaku pura-pura perduli. Padahal kenyataannya aku tengah menahan tawa.

"Ini nih mbak, pegawai salonnya gak becus. Mintanya cuman dirapiin tapi malah dipotong. Kan jadi jelek mbak!"

Jelas saja Sasya marah, anak itu memang tidak suka dengan model rambut pendek tapi kini rambut kesayangannya hanya tinggal sebahu. Hahaha... Rasakan! Ini tak seberapa dengan rasa sakit hatiku karena pengkhianatan kalian.

"Apa benar begitu mbak?" tanyaku pada Lita sambil mengedipkan mata.

"Tidak Mbak, orang dia minta dipotong kok. Ya saya potong. Eh, setelah satu kali potong dia malah marah-marah tapi tetap mau dipotong, kan aneh."

"Lha iya kenapa kamu tidak protes dari tadi Sya?

"Sayang kan Mbak baru enak-enak di salon harus berdebat. Makannya Aku pilih protes diakhir kaya begini."

Aku hanya geleng-geleng kepala melihat sikap mereka. Astaga, benar-benar keluarga tak punya malu.

"Kalau begitu ya gak usah protes, Sya! Bikin malu!" ucapku kesal.

Sasya hanya diam lalu asyik memainkan ponsel.

Perdebatan yang ku kira akan menjadi besar ternyata hanya seperti ini. Sungguh membuatku kecewa.

Aku berjalan mendekati kasir, menanyakan berapa total yang harus ku bayar.

"Ya Allah!" Aku berpura-pura panik sambil membolak-balikan isi dompet.

Ibu dan Sasya saling senggol lalu menatapku bersamaan. Raut bingung tergambar jelas di wajah duo ular.

"Tunggu saatnya kalian senam jantung!" batinku.

"Ada apa Al?" tanya ibu penasaran.

"Aduh, bu. Kartu debit dan kartu kredit aku tidak ada. Bagaimana ini Bu?" Ku pasang wajah panik.

Ibu semakin tegang, keringat membasahi pelipis padahal ruangan ini berAC.

"Mbak Alia jangan bercanda dong!" Sasya mendekat ke arahku.Tanpa meminta izin adik iparku itu langsung merebut tasku dandan mengeluarkan semua isinya. Tak hanya itu dompetku pun menjadi target berikutnya.

"Percuma kamu cari sampai besok juga gak bakalan ketemu," batinku puas.

"Bagaimana dong Mbak? Mbak Alia gak bawa uang kontan?" Sasya semakin panik.

"Mbak bawa tapi hanya cukup untuk perawatan Mbak saja." Aku pura-pura merasa bersalah. Meski kenyataannya aku tengah berbahagia.

"Pakai m-banking aja lah Mbak!" rengeknya.

"Aduh ponsel Mbak mati dari tadi."

Sasya melotot ke arahku. Tatapannya seperti srigala yang hendak menerkam rusa. Aku hanya diam.

"Apa ibu dan Sasya tidak memiliki uang?"

"Ya enggak lah Mbak, kan Mbak yang ngajak ke salon!" ketus Sasya.

Hello, tidak salah apa ya? Bukannya dia yang mengajak ke salon tapi kenapa aku yang disalahkan?

"Mau bayar kontan atau pakai debit Mbak?" tanya pegawai yang aku tak tahu siapa. Mungkin dia pegawai baru, karena baru kali ini aku melihatnya.

"Ini untuk perawatan saya saja mbak. Untuk ibu dan dan Mbaknya ini belum ada." Ku serahkan lembaran uang merah pada kasir.

"Bagaimana dong Bu?" Sasya mengguncangkan tubuh ibu. Sementara ibu hanya diam dengan wajah pucat pasi.

"Mbak ini niat bayar atau gak sih!" bentak Lita.

"Jangan seenaknya sendiri dong Mbak, kami kuat bayar kok. Memangnya Mbaknya gak tahu siapa saya!"

Lagi-lagi aku hanya menggelangkan kepala melihat tingkah Sasya. Di saat terjepit pun dia masih saja sombong. Apa dia tak sadar harta siapa yang selama ini dia nikmati.

"Aku tahu, mbak tapi pura-pura protes agar perawatannya gratis kan! Maaf mbak, di sini bukan panti sosial!" Wajah Sasya semakin merah padam.

Percekcokan Lita dan Sasya semakin panas hingga membuat kami menjadi tontonan gratis. Aku diam sambil menyaksikan perdebatan mereka. Hitung-hitung merilekskan pikiran karena ulah mereka.

Pura-pura sakit sambil memegangi perut aku sedikit berlari ke belakang. Biarlah mereka menyelesaikan urusan mereka sendiri. Aku hanya ingin menyadarkan siapa sebenarnya Nadzwa Alia Kusuma.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Salah Kirim Paket   Ending

    Tumpukan berkas dan laporan sudah berada di atas meja keja. Aku menghela napas kemudian menjatuhkan bobot di kursi kebesaran. Satu persatu laporan kubuka lalu membaca setiap kata yang tersusun di atas kertas itu. Sesekali memijit kepala yang berdenyut. Ada sedikit perbedaan di dalam laporan keuangan. Apa jangan-jangan Alvan kumat lagi? Apa mungkin dia kembali melakukan kecurangan? Sungguh tak tahu malu jika dia melakukan itu? Aku membuang napas. Dengan kasar kuambil telepon di atas meja. "Suruh Alvan kemari!""Iya, Pak."Panggilan telepon kumatikan setelah mendengar kata iya dari mulut Mia. Sambil menunggu Alvan datang, kembali kuperiksa berkas lainnya. Pekerjaanku kian menumpuk setelah kematian Ibu. Beberapa bulan aku terlalu terbuai dalam rasa bersalah hingga mengabaikan tanggung jawab. Untung masih ada Alia yang membantu mengurus semuanya. Dia memang bisa diandalkan dalam hal apa pun. Terlepas dari cerewetnya. Pintu diketuk tiga kali. Aku yakin itu pasti Alvan. "Masuk!"Pin

  • Salah Kirim Paket   Surat Bu Nur

    Pov RizalRumah sudah penuh dengan beberapa tetangga saat aku tiba. Jenazah ibu segera diangkat lalu dibaringkan di ruang tamu. Sempat kulihat tatapan penuh tanda tanya dari orang-orang. Namun aku memilih acuh. Sudah menjadi rahasia umum jika aku hanyalah anak angkat Ibu Rahmawati. Lalu kini aku membawa seorang wanita paruh baya yang sudah terbujur kaku. Siapa yang tak bertanya-tanya. "Kita salatkan, Bang. Beri penghormatan terakhir untuk Ibu." Aku mengangguk lalu melangkah masuk untuk berwudhu. Kami mulai menyalatkan jenazah Ibu. Bulir bening kembali jatuh setelah mengucapkan salam. Ini adalah penghormatan pertama dan terakhir dariku. Setelah selesai disalatkan. Jenazah ibu segera dikebumikan. "Kamu di rumah saja, Al.""Tapi, Bang.""Kamu sedang hamil. Pasti lelah sedari tadi mengurusi ini dan itu. Makasih untuk semuanya."Alia mendekat lalu memeluk tubuhku erat. Aku sentuh pundaknya hingga seraya menghirup aroma tubuh yang menenangkan. Terima kasih, kamu sudah menjadi istri, a

  • Salah Kirim Paket   Memaafkan

    Pov RizalAku segera beranjak, meninggalkan nasi yang masih tersisa setengahnya. "Mas!" panggil pelayan rumah makan. Aku terpaksa berhenti menanti lelaki itu mendekat ke arahku. "Ada apa, Mas?""Masnya belum bayar, kan?"Aku menghela napas, menahan amarah yang sebentar lagi meledak. Dia memanggilku hanya untuk ini. Uang merah di atas meja apa tak terlihat olehnya? Apa ia taj tahu aku sedang terburu-buru. "Uangnya di atas meja,Mas. Coba dilihat dulu.""Jangan ke mana-mana, Mas. Awas kalau sampai kabur."Pelayan itu membalikkan badan. Kemudian tersenyum saat melihat selembar uang berwarna merah. Aku memutar tubuh lalu melangkah pergi. Tak kuhiraukan teriakannya. Mobil melaju dengan kecepatan tinggi, beberapa kali aku hampir menabrak kendaraan lain. Dadaku bergetar, perasaan bersalah kian mendominasi hati. Ego menolak memaafkan tapi hati... Ah, tak bisa kujelaskan. Kakiku melangkah cepat menuju ruang ICU. Menerobos rombongan ibu-ibu yang akan menjenguk pasien. Hingga akhirnya kak

  • Salah Kirim Paket   Bimbang

    Pov RizalSudah tiga hari Alia memilih tidur di lantai atas. Sudah tiga hari pula dia mengunci mulut rapat. Tak sepatah kata keluar dari mulutnya. Bahkan dia selalu membuang muka saat berpapasan denganku. Sebegitu marahkah dia? Alia marah karena aku tak mau menjenguk Bu Nur. Ah, harusnya ia tahu apa yang aku rasakan. Dibuang wanita bergelar ibu sangatlah menyakitkan. Lebih baik dikhianati teman dari pada dibuang oleh wanita yang telah melahirkan kita. Malam semakin larut tapi mata tak kunjung terpejam. Rasa kantuk seakan hilang dibawa kehampaan. Tak ada Alia membuat aku tidak mampu tidur nyenyak. Ingin aku masuk lalu memeluknya dari belakang. Menciumi harum tubuh yang membuatku mabuk kepayang. Kuambil benda pipih yang tergeletak di atas nakas. Dengan cepat jari-jari ini menari di layar ponsel. Membuka aplikasi berwarna biru dengan logo F itu. Berbagai postingan muncul di berandaku. Dari yang bermutu hingga yang tak pantas dilihat semua muncul begitu saja. Sesekali aku beristigfa

  • Salah Kirim Paket   Ancaman Alia

    "Hallo, Al. Kamu bilang apa tadi?" Aku mendengus kesal, disaat seperti ini kenapa ucapanku tak ia perhatikan? Menyebalkan. "Cepat ke rumah sakit. Ibu kamu kritis!""Astagfirullah... Mama kritis, Al? Kenapa bisa? Tadi pagi Mama masih baik-baik saja kok."Astaga! Lama-lama kumaki juga Bang Rizal itu. Aku bilang Ibu bukan mama. "Ibu kamu, Mas. Bu Nur bukan Mama.""Alhamdulillah kalau Mama tidak kenapa-napa, Al."Aku mengepalkan tangan di samping. Ingin segera kulayangkan ke wajahnya. Ibunya sedang kritis tapi ia pura-pura tak mendengar ucapanku. "Bu Kritis, Mas!" teriakku. "O, ya sudah kalau begitu. Mas ada meeting lagi." Seketika panggilan telepon ia matikan. "Mbak." Aku menoleh, seorang satpam berdiri di sampingku. Tatapan matanya tajam, membuat nyaliku menciut dalam sekejap. "Jangan berisik, ini rumah sakit!"Aku menelan ludah dengan susah payah. Dalam hati aku merutuki sikap cuek Bang Rizal hingga akhirnya aku dimarahi satpam. "Ma-maaf, Pak."Lelaki itu hanya diam kemudian me

  • Salah Kirim Paket   Kritis

    Aku mulai sibuk mempersiapkan acara empat bulanan yang tinggal tiga hari lagi. Acara syukuran sekaligus doa untuk calon anak kami akan diadakan di rumah. Tak banyak yang kami undang, hanya keluarga inti, tetangga dan beberapa anak panti asuhan. "Catering sudah, kan, Al?" tanya Mama. "Sudah,Ma. Tinggal bingkisan untuk dibawa pulang saja. Enaknya apa, ya?"Aku dan Mama saling diam, bingung memikirkan bingkisan apa yang cocok dibawa pulang. "Kalau pesan kue gimana, Al?" usul Mama sambil menatapku. "Boleh, Ma.""Kalau gitu kita pesan sekarang saja. Kita ke tokonya." Mama begitu antusias. Momen seperti ini sudah lama Mama nantikan. Tak heran jika kini Mama begitu antusias menyelenggarakan acara empat bulanan kehamilanku. Semua dekorasi, catering hingga bingkisan Mama yang memilih. Aku hanya membantu memesankan saja. "Ayo, Al! Kita siap-siap!"Aku segera melangkah menuju kamar untuk mengganti pakaian. Begitu pula dengan Mama. Belum sempat memakai hijab sebuah panggilan masuk. Segera

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status