Share

Cucu?

last update Terakhir Diperbarui: 2022-06-29 21:10:06

Aku keluar dari baby shop dengan perasaan tak karuan. Aku masih tak percaya dengan apa yang tadi ku lihat. Lalu untuk apa dia membeli pakaian bayi dan mengirimkannya ke alamat rumahku?

Kata-kata Mas Alvan tadi pagi kembali terngiang di telinga. Gembrot? Bukankah dia selalu berkata jika aku seksi tapi kenapa tadi pagi justru mengolok tubuhku yang tak ideal. Apa yang ada di pikiranmu, Mas. Sekarang saja aku tak bisa mengerti bagaimana jalan pikiranmu.

Dan Mas Alvan mengatakan sebuah rencana. Rencana apa yang dimaksud Mas Alvan. Kepalaku justru pusing memikirkan teka-teki itu.

Aku duduk di depan kemudi sambil memijit kepala yang terasa berdenyut. Bayang-bayang Mas Alvan berkhianat menari-nari dalam angan.

Aku tak pernah bermimpi ada di posisi seperti ini. Kukira cerita suami berkhianat hanya ada di dalam sinetron atau novel belaka. Namun ternyata aku sendiri mengalaminya.

Ya, Tuhan, apa yang harus aku lakukan. Beri aku petunjuk

"Mbak! Mbak!" Seorang tukang parkir berjalan mendekat ke arahku. Jendela mobil yang masih terbuka membuat aku bisa mendengar jelas panggilannya.

"Ada apa, Pak?"

"Mbak sudah mau pergi kan? Maaf mbak, tempat parkirnya mau dipakai." Bapak dengan kulit hitam pekat itu menunjukkan sebuah mobil berwarna putih yang akan kemari.

Kuberikan satu lembar uang lima ribuan kepada bapak itu. Lalu segera kunyalakan mesin mobil karena sudah ada mobil yang menunggu tempat parkir.

Mobil melaju dengan kecepatan sedang. Aku bingung di mana tempat yang akan ku tuju. Mobil hanya berjalan mengikuti arus dan tak tahu kemana akan berhenti.

Pikiran yang bercampur aduk membuatku bingung harus melakukan apa? Aku tak bisa berpikir logis. Yang ada dalam pikiran hanyalah praduga-praduga saja.

Gambar seorang perempuan muda yang membeli pakaian bayi kembali terlintas dalam pikiranku. Mungkin aku harus ke sana untuk mencari bukti selanjutnya. Aku rasa Sasya ikut andil dalam masalah ini.

Sasya adalah adik kandung Mas Alvan. Dia tinggal bersama kedua orang tuanya yang terletak di pinggiran kota. Dari awal hubunganku dengan Mas Alvan, Sasya adalah orang yang paling menentang hubungan kami. Hingga akhirnya Mas Alvan mampu meyakinkan dia untuk menerima keberadaanku sebagai kakak iparnya.

Lalu kenapa Sasya membeli pakaian bayi lalu mengirimkannya ke rumahku? Apa karena Mas Alvan yang memintanya? Ya, seperti yang di jelaskan padaku semalam. Namun ucapannya sungguh tak masuk akal.

Ah... Kenapa semua penuh dengan teka-teki seperti ini.

Mobil ku putar ke kanan. Ya, karena alamat rumah ibu mertua berlawanan arah dari jalanku tadi. Kendaraan roda empat ku lakukan dengan kecepatan tinggi. Aku harus segera tahu jawaban dari segala pertanyaanku ini.

Dengan berbekal peper bag berisi pakaian bayi dan video CCTV di baby shop akan ku tanyakan semua kepada Sasya. Semoga saja dia ada di rumah.

Aku mulai masuk ke area perkampungan ibu. Pepohonan tampak tumbuh subur di sepanjang jalan. Udara juga belum banyak tercemar seperti di kota.

Dulu aku sangat menginginkan tinggal di perkampungan dengan suasana alam yang masih terasa. Namun Mas Alvan tak pernah suka jika aku membangun rumah di kampung halamannya. Alasannya karena bisnis kami ada di kota. Dan aku hanya bisa menurut karena memang benar pekerjaan kami berada di kota. Entah yang dikatakannya benar atau hanya alasan aku pun tak tahu.

Mobil berhenti tepat di halaman rumah masa kecil Mas Alvan. Rumah tingkat dua dengan cat hijau ini adalah rumah terbagus di daerah ini. Rumah ini memang di renovasi setelah aku dan Mas Alvan menikah. Lebih tepatnya akulah yang membiayai pembangunan rumah ini.

Dulu saat pertama kali ku injakkan kaki di sini, rumah ini masih kacil. Dindingnya masih batako dengan lantai tanah. Namun kini rumah ini seperti milik seorang kepala desa.

Pintu masih tertutup rapat saat kaki menginjak tanah yang sudah di cor dengan semen. Berbagai bunga tersusun rapi di dalam pot. Ibu mertuaku memang suka dengan kegiatan menanam bunga. Berbagai jenis bunga telah beliau miliki. Bahkan ada diantara tanaman bunga yang harganya jutaan. Aku sendiri sampai heran kenapa harga sebuah bunga semahal itu?

Kuketuk pintu dengan perasaan tak menentu. Jantung berdetak lebih cepat. Tiba-tiba aku merasa asing di rumah mertuaku sendiri. Mungkin karena sudah kama aku tak berkunjung kemari. Itu semua lantaran Mas Alvan melarangku datang sendiri. Tapi saat aku mengajaknya, suamiku itu selalu saja beralasan.

Kreeekk...

Pintu dibuka dari dalam. Seorang wanita paruh baya yang memakai daster sedikit di bawah lutut dengan dandanan cetar membahana menatapku terkejut.

Apa aku seperti hantu hingga membuat ibu mertuaku sendiri begitu terkejut saat melihat wajah menantunya sendiri.

"Assalamu'alaikum, Ma." Kucium punggung tangannya dengan takzim.

"W*'alaikumussalam, kami sendiri Al?" tanyanya sambil melihat ke arah mobil yang terparkir tepat di sebelah timur pintu utama.

"Sendiri Bu, Mas Alvan sedang tugas ke luar kota."

"Ayo masuk!"

Akhirnya di suruh masuk juga. Kenapa tidak dari tadi. Kaki sampai pegal berdiri tegak di depan pintu.

Duduk di ruang tamu. Semua sudut ruangan ini terlihat jauh berbeda dari terakhir aku menginjakkan kaki kemari. Guci di pajang di sudut ruangan. Kursi kayu pun telah berganti dengan sofa empuk.

Pikiran buruk kembali menelusup. Apa semua ini ulah Mas Alvan? Tapi kenapa suamiku tak pernah cerita jika memberikan uang banyak pada ibunya? Bukan, bukan aku tak ikhlas memberikan uang kepada keluarga Mas Alvan. Bagiku keluarga Mas Alvan juga keluargaku. Aku hanya merasa kecewa ketidak jujuran suamiku sendiri.

Ibu masih ada di belakang entah apa yang beliau lakukan hingga membiarkan diriku seorang diri. Apa mungkin beliau sedang membuatkan minuman? Tapi kenapa lama?

Kupegangi perut yang tiba-tiba terasa mulas. Rasa ingin buang air besar tak bisa di kendalikan. Kuletakkan tas di atas sofa. Dengan rasa ragu aku melangkah masuk ke dalam.

Toilet terletak di samping dapur. Sedang dapur terletak di belakang ruangan. Aku harus melewati ruang keluarga sebelum sampai di kamar mandi.

Kupegangi perut yang masih terasa mulas. Andai di rumah sendiri sudah pasti aku berlari menuju kamar mandi. Tapi karena ini rumah mertua aku harus tau sopan santun.

Langkah terhenti saat terdengar suara percakapan di ruang keluarga. Aku berdiri di balik tembok dengan telinga ku pasang selebar mungkin agar dapat mendengar percakapan mereka.

Kupegangi perut sambil menahan gejolak di dalamnya. Aku harus bisa menahannya agar aku tahu apa yang mereka bicarakan.

"Kenapa Alia bisa sampai di sini sih Bu?" tanya Sasya ketus.

"Ibu juga tidak tahu."

"Untung Alvan tidak kemari dengan cucu kita. Bisa gawat kalau Alia tahu." Bapak ikut menimpali.

DEG

Kutajamkan pendengaranku. Cucu? Kenapa mereka mengatakan Mas Alvan datang dengan cucu mereka.

Bukankah baru Mas Alvan yang menikah. Sedang Sasya masih duduk di bangku kuliah. Lalu cucu siapa yang mereka maksud?

Ya Tuhan, ada apa semua ini?

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Salah Kirim Paket   Ending

    Tumpukan berkas dan laporan sudah berada di atas meja keja. Aku menghela napas kemudian menjatuhkan bobot di kursi kebesaran. Satu persatu laporan kubuka lalu membaca setiap kata yang tersusun di atas kertas itu. Sesekali memijit kepala yang berdenyut. Ada sedikit perbedaan di dalam laporan keuangan. Apa jangan-jangan Alvan kumat lagi? Apa mungkin dia kembali melakukan kecurangan? Sungguh tak tahu malu jika dia melakukan itu? Aku membuang napas. Dengan kasar kuambil telepon di atas meja. "Suruh Alvan kemari!""Iya, Pak."Panggilan telepon kumatikan setelah mendengar kata iya dari mulut Mia. Sambil menunggu Alvan datang, kembali kuperiksa berkas lainnya. Pekerjaanku kian menumpuk setelah kematian Ibu. Beberapa bulan aku terlalu terbuai dalam rasa bersalah hingga mengabaikan tanggung jawab. Untung masih ada Alia yang membantu mengurus semuanya. Dia memang bisa diandalkan dalam hal apa pun. Terlepas dari cerewetnya. Pintu diketuk tiga kali. Aku yakin itu pasti Alvan. "Masuk!"Pin

  • Salah Kirim Paket   Surat Bu Nur

    Pov RizalRumah sudah penuh dengan beberapa tetangga saat aku tiba. Jenazah ibu segera diangkat lalu dibaringkan di ruang tamu. Sempat kulihat tatapan penuh tanda tanya dari orang-orang. Namun aku memilih acuh. Sudah menjadi rahasia umum jika aku hanyalah anak angkat Ibu Rahmawati. Lalu kini aku membawa seorang wanita paruh baya yang sudah terbujur kaku. Siapa yang tak bertanya-tanya. "Kita salatkan, Bang. Beri penghormatan terakhir untuk Ibu." Aku mengangguk lalu melangkah masuk untuk berwudhu. Kami mulai menyalatkan jenazah Ibu. Bulir bening kembali jatuh setelah mengucapkan salam. Ini adalah penghormatan pertama dan terakhir dariku. Setelah selesai disalatkan. Jenazah ibu segera dikebumikan. "Kamu di rumah saja, Al.""Tapi, Bang.""Kamu sedang hamil. Pasti lelah sedari tadi mengurusi ini dan itu. Makasih untuk semuanya."Alia mendekat lalu memeluk tubuhku erat. Aku sentuh pundaknya hingga seraya menghirup aroma tubuh yang menenangkan. Terima kasih, kamu sudah menjadi istri, a

  • Salah Kirim Paket   Memaafkan

    Pov RizalAku segera beranjak, meninggalkan nasi yang masih tersisa setengahnya. "Mas!" panggil pelayan rumah makan. Aku terpaksa berhenti menanti lelaki itu mendekat ke arahku. "Ada apa, Mas?""Masnya belum bayar, kan?"Aku menghela napas, menahan amarah yang sebentar lagi meledak. Dia memanggilku hanya untuk ini. Uang merah di atas meja apa tak terlihat olehnya? Apa ia taj tahu aku sedang terburu-buru. "Uangnya di atas meja,Mas. Coba dilihat dulu.""Jangan ke mana-mana, Mas. Awas kalau sampai kabur."Pelayan itu membalikkan badan. Kemudian tersenyum saat melihat selembar uang berwarna merah. Aku memutar tubuh lalu melangkah pergi. Tak kuhiraukan teriakannya. Mobil melaju dengan kecepatan tinggi, beberapa kali aku hampir menabrak kendaraan lain. Dadaku bergetar, perasaan bersalah kian mendominasi hati. Ego menolak memaafkan tapi hati... Ah, tak bisa kujelaskan. Kakiku melangkah cepat menuju ruang ICU. Menerobos rombongan ibu-ibu yang akan menjenguk pasien. Hingga akhirnya kak

  • Salah Kirim Paket   Bimbang

    Pov RizalSudah tiga hari Alia memilih tidur di lantai atas. Sudah tiga hari pula dia mengunci mulut rapat. Tak sepatah kata keluar dari mulutnya. Bahkan dia selalu membuang muka saat berpapasan denganku. Sebegitu marahkah dia? Alia marah karena aku tak mau menjenguk Bu Nur. Ah, harusnya ia tahu apa yang aku rasakan. Dibuang wanita bergelar ibu sangatlah menyakitkan. Lebih baik dikhianati teman dari pada dibuang oleh wanita yang telah melahirkan kita. Malam semakin larut tapi mata tak kunjung terpejam. Rasa kantuk seakan hilang dibawa kehampaan. Tak ada Alia membuat aku tidak mampu tidur nyenyak. Ingin aku masuk lalu memeluknya dari belakang. Menciumi harum tubuh yang membuatku mabuk kepayang. Kuambil benda pipih yang tergeletak di atas nakas. Dengan cepat jari-jari ini menari di layar ponsel. Membuka aplikasi berwarna biru dengan logo F itu. Berbagai postingan muncul di berandaku. Dari yang bermutu hingga yang tak pantas dilihat semua muncul begitu saja. Sesekali aku beristigfa

  • Salah Kirim Paket   Ancaman Alia

    "Hallo, Al. Kamu bilang apa tadi?" Aku mendengus kesal, disaat seperti ini kenapa ucapanku tak ia perhatikan? Menyebalkan. "Cepat ke rumah sakit. Ibu kamu kritis!""Astagfirullah... Mama kritis, Al? Kenapa bisa? Tadi pagi Mama masih baik-baik saja kok."Astaga! Lama-lama kumaki juga Bang Rizal itu. Aku bilang Ibu bukan mama. "Ibu kamu, Mas. Bu Nur bukan Mama.""Alhamdulillah kalau Mama tidak kenapa-napa, Al."Aku mengepalkan tangan di samping. Ingin segera kulayangkan ke wajahnya. Ibunya sedang kritis tapi ia pura-pura tak mendengar ucapanku. "Bu Kritis, Mas!" teriakku. "O, ya sudah kalau begitu. Mas ada meeting lagi." Seketika panggilan telepon ia matikan. "Mbak." Aku menoleh, seorang satpam berdiri di sampingku. Tatapan matanya tajam, membuat nyaliku menciut dalam sekejap. "Jangan berisik, ini rumah sakit!"Aku menelan ludah dengan susah payah. Dalam hati aku merutuki sikap cuek Bang Rizal hingga akhirnya aku dimarahi satpam. "Ma-maaf, Pak."Lelaki itu hanya diam kemudian me

  • Salah Kirim Paket   Kritis

    Aku mulai sibuk mempersiapkan acara empat bulanan yang tinggal tiga hari lagi. Acara syukuran sekaligus doa untuk calon anak kami akan diadakan di rumah. Tak banyak yang kami undang, hanya keluarga inti, tetangga dan beberapa anak panti asuhan. "Catering sudah, kan, Al?" tanya Mama. "Sudah,Ma. Tinggal bingkisan untuk dibawa pulang saja. Enaknya apa, ya?"Aku dan Mama saling diam, bingung memikirkan bingkisan apa yang cocok dibawa pulang. "Kalau pesan kue gimana, Al?" usul Mama sambil menatapku. "Boleh, Ma.""Kalau gitu kita pesan sekarang saja. Kita ke tokonya." Mama begitu antusias. Momen seperti ini sudah lama Mama nantikan. Tak heran jika kini Mama begitu antusias menyelenggarakan acara empat bulanan kehamilanku. Semua dekorasi, catering hingga bingkisan Mama yang memilih. Aku hanya membantu memesankan saja. "Ayo, Al! Kita siap-siap!"Aku segera melangkah menuju kamar untuk mengganti pakaian. Begitu pula dengan Mama. Belum sempat memakai hijab sebuah panggilan masuk. Segera

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status