Share

Cucu?

Aku keluar dari baby shop dengan perasaan tak karuan. Aku masih tak percaya dengan apa yang tadi ku lihat. Lalu untuk apa dia membeli pakaian bayi dan mengirimkannya ke alamat rumahku?

Kata-kata Mas Alvan tadi pagi kembali terngiang di telinga. Gembrot? Bukankah dia selalu berkata jika aku seksi tapi kenapa tadi pagi justru mengolok tubuhku yang tak ideal. Apa yang ada di pikiranmu, Mas. Sekarang saja aku tak bisa mengerti bagaimana jalan pikiranmu.

Dan Mas Alvan mengatakan sebuah rencana. Rencana apa yang dimaksud Mas Alvan. Kepalaku justru pusing memikirkan teka-teki itu.

Aku duduk di depan kemudi sambil memijit kepala yang terasa berdenyut. Bayang-bayang Mas Alvan berkhianat menari-nari dalam angan.

Aku tak pernah bermimpi ada di posisi seperti ini. Kukira cerita suami berkhianat hanya ada di dalam sinetron atau novel belaka. Namun ternyata aku sendiri mengalaminya.

Ya, Tuhan, apa yang harus aku lakukan. Beri aku petunjuk

"Mbak! Mbak!" Seorang tukang parkir berjalan mendekat ke arahku. Jendela mobil yang masih terbuka membuat aku bisa mendengar jelas panggilannya.

"Ada apa, Pak?"

"Mbak sudah mau pergi kan? Maaf mbak, tempat parkirnya mau dipakai." Bapak dengan kulit hitam pekat itu menunjukkan sebuah mobil berwarna putih yang akan kemari.

Kuberikan satu lembar uang lima ribuan kepada bapak itu. Lalu segera kunyalakan mesin mobil karena sudah ada mobil yang menunggu tempat parkir.

Mobil melaju dengan kecepatan sedang. Aku bingung di mana tempat yang akan ku tuju. Mobil hanya berjalan mengikuti arus dan tak tahu kemana akan berhenti.

Pikiran yang bercampur aduk membuatku bingung harus melakukan apa? Aku tak bisa berpikir logis. Yang ada dalam pikiran hanyalah praduga-praduga saja.

Gambar seorang perempuan muda yang membeli pakaian bayi kembali terlintas dalam pikiranku. Mungkin aku harus ke sana untuk mencari bukti selanjutnya. Aku rasa Sasya ikut andil dalam masalah ini.

Sasya adalah adik kandung Mas Alvan. Dia tinggal bersama kedua orang tuanya yang terletak di pinggiran kota. Dari awal hubunganku dengan Mas Alvan, Sasya adalah orang yang paling menentang hubungan kami. Hingga akhirnya Mas Alvan mampu meyakinkan dia untuk menerima keberadaanku sebagai kakak iparnya.

Lalu kenapa Sasya membeli pakaian bayi lalu mengirimkannya ke rumahku? Apa karena Mas Alvan yang memintanya? Ya, seperti yang di jelaskan padaku semalam. Namun ucapannya sungguh tak masuk akal.

Ah... Kenapa semua penuh dengan teka-teki seperti ini.

Mobil ku putar ke kanan. Ya, karena alamat rumah ibu mertua berlawanan arah dari jalanku tadi. Kendaraan roda empat ku lakukan dengan kecepatan tinggi. Aku harus segera tahu jawaban dari segala pertanyaanku ini.

Dengan berbekal peper bag berisi pakaian bayi dan video CCTV di baby shop akan ku tanyakan semua kepada Sasya. Semoga saja dia ada di rumah.

Aku mulai masuk ke area perkampungan ibu. Pepohonan tampak tumbuh subur di sepanjang jalan. Udara juga belum banyak tercemar seperti di kota.

Dulu aku sangat menginginkan tinggal di perkampungan dengan suasana alam yang masih terasa. Namun Mas Alvan tak pernah suka jika aku membangun rumah di kampung halamannya. Alasannya karena bisnis kami ada di kota. Dan aku hanya bisa menurut karena memang benar pekerjaan kami berada di kota. Entah yang dikatakannya benar atau hanya alasan aku pun tak tahu.

Mobil berhenti tepat di halaman rumah masa kecil Mas Alvan. Rumah tingkat dua dengan cat hijau ini adalah rumah terbagus di daerah ini. Rumah ini memang di renovasi setelah aku dan Mas Alvan menikah. Lebih tepatnya akulah yang membiayai pembangunan rumah ini.

Dulu saat pertama kali ku injakkan kaki di sini, rumah ini masih kacil. Dindingnya masih batako dengan lantai tanah. Namun kini rumah ini seperti milik seorang kepala desa.

Pintu masih tertutup rapat saat kaki menginjak tanah yang sudah di cor dengan semen. Berbagai bunga tersusun rapi di dalam pot. Ibu mertuaku memang suka dengan kegiatan menanam bunga. Berbagai jenis bunga telah beliau miliki. Bahkan ada diantara tanaman bunga yang harganya jutaan. Aku sendiri sampai heran kenapa harga sebuah bunga semahal itu?

Kuketuk pintu dengan perasaan tak menentu. Jantung berdetak lebih cepat. Tiba-tiba aku merasa asing di rumah mertuaku sendiri. Mungkin karena sudah kama aku tak berkunjung kemari. Itu semua lantaran Mas Alvan melarangku datang sendiri. Tapi saat aku mengajaknya, suamiku itu selalu saja beralasan.

Kreeekk...

Pintu dibuka dari dalam. Seorang wanita paruh baya yang memakai daster sedikit di bawah lutut dengan dandanan cetar membahana menatapku terkejut.

Apa aku seperti hantu hingga membuat ibu mertuaku sendiri begitu terkejut saat melihat wajah menantunya sendiri.

"Assalamu'alaikum, Ma." Kucium punggung tangannya dengan takzim.

"W*'alaikumussalam, kami sendiri Al?" tanyanya sambil melihat ke arah mobil yang terparkir tepat di sebelah timur pintu utama.

"Sendiri Bu, Mas Alvan sedang tugas ke luar kota."

"Ayo masuk!"

Akhirnya di suruh masuk juga. Kenapa tidak dari tadi. Kaki sampai pegal berdiri tegak di depan pintu.

Duduk di ruang tamu. Semua sudut ruangan ini terlihat jauh berbeda dari terakhir aku menginjakkan kaki kemari. Guci di pajang di sudut ruangan. Kursi kayu pun telah berganti dengan sofa empuk.

Pikiran buruk kembali menelusup. Apa semua ini ulah Mas Alvan? Tapi kenapa suamiku tak pernah cerita jika memberikan uang banyak pada ibunya? Bukan, bukan aku tak ikhlas memberikan uang kepada keluarga Mas Alvan. Bagiku keluarga Mas Alvan juga keluargaku. Aku hanya merasa kecewa ketidak jujuran suamiku sendiri.

Ibu masih ada di belakang entah apa yang beliau lakukan hingga membiarkan diriku seorang diri. Apa mungkin beliau sedang membuatkan minuman? Tapi kenapa lama?

Kupegangi perut yang tiba-tiba terasa mulas. Rasa ingin buang air besar tak bisa di kendalikan. Kuletakkan tas di atas sofa. Dengan rasa ragu aku melangkah masuk ke dalam.

Toilet terletak di samping dapur. Sedang dapur terletak di belakang ruangan. Aku harus melewati ruang keluarga sebelum sampai di kamar mandi.

Kupegangi perut yang masih terasa mulas. Andai di rumah sendiri sudah pasti aku berlari menuju kamar mandi. Tapi karena ini rumah mertua aku harus tau sopan santun.

Langkah terhenti saat terdengar suara percakapan di ruang keluarga. Aku berdiri di balik tembok dengan telinga ku pasang selebar mungkin agar dapat mendengar percakapan mereka.

Kupegangi perut sambil menahan gejolak di dalamnya. Aku harus bisa menahannya agar aku tahu apa yang mereka bicarakan.

"Kenapa Alia bisa sampai di sini sih Bu?" tanya Sasya ketus.

"Ibu juga tidak tahu."

"Untung Alvan tidak kemari dengan cucu kita. Bisa gawat kalau Alia tahu." Bapak ikut menimpali.

DEG

Kutajamkan pendengaranku. Cucu? Kenapa mereka mengatakan Mas Alvan datang dengan cucu mereka.

Bukankah baru Mas Alvan yang menikah. Sedang Sasya masih duduk di bangku kuliah. Lalu cucu siapa yang mereka maksud?

Ya Tuhan, ada apa semua ini?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status