Share

Bab 2

Allahu Akbar...

Allahu Akbar...

Aku terbangun, tidak terasa hampir dua jam aku tertidur. Sekarang badan dan pikiran menjadi lebih fresh. 

Aku buka pintu kamar, sepi, tak ada tanda-tanda orang di rumah. Kulihat ke teras, masih tak ada orang. Bahkan mobil Mas Deni pun tak ada, mungkin mereka pergi. Ah... Bodo amatlah.

Rumah menjadi damai tanpa mereka semua. Kulangkahkan kaki menuju kamar mandi, sekalian wudhu dan menunaikan ibadah shalat ashar. 

"Ya Allah, yang Maha Penyayang berikan hambamu ini kesabaran dalam menghadapi ujian rumah tangga. Ya Robb... Engkau yang mampu membolak balikan isi hati, tunjukanlah pada suami hamba kebenaran yang sebenarnya. Hamba lelah Ya Allah, beri hamba petunjuk untuk menjalani semua ini. Aamiin Ya Robbal Alamin." Lega rasanya mencurahkan segala keluh kesah pada Sang Pencipta.

Setelah mencurahkan isi hati kepada Sang pemilik hati, kulanjutan aktifitas sore,mulai dari menyapu rumah dan  halaman. 

Gerah dan bau asem, kulangkahkan kaki menuju kamar,kututup pintu. Aku masuk kamar mandi dan menguncinya. Di dalam kamar memang ada kamar mandi, tidak terlalu besar tapi cukuplah untuk mandi dua orang. Air dingin menyegarkan tubuhkan ini.Acara mandi selesai, tinggal ganti baju. 

Ups...! Aku lupa tak membawa baju ganti. Untung masih di dalam kamar. Kalau tidak, tak terbayang malunya diri ini. Segera kulilitan handuk di badan. Kubuka pintu lemari memilih baju apa yang akan ku pakai. 

DEG

Belum sempat kuambil baju,sepasang tangan melingkar di pinggang,memelukku dari belakang. Astaghfirullah, siapa ini...? Jantung berdetak tak karuan, napas semakin cepat. Ya Allah tolong hamba.

Aku berusaha melepas pelukannya, tapi semakin kucoba,semakin kuat pula tangannya melingkar di tubuhku.

"Maafkan mas ya,Dek.Mas tau adek marah. Mas tidak bermaksud kasar sama kamu." Kepala Mas Deni disandarkan dipundakku. 

Ada desiran aneh, bukan karena takut. Entahlah apa itu namanya. Yang pasti rasa kesal dan marah hilang seketika, digantikan debaran tak menentu. Aku anggukan kepala. Namun Mas Deni tak kunjung melepaskan pelukannya, justru ciuman bertubi-bertubi didaratkan di tubuhku.Pasrah, kunikmati suguhan yang diberikannya padaku. 

Memadu kasih, sungguh manisnya syurga dunia. Lelah dalam pergulatan, dipeluknya tubuh ini lalu  dikecup keningku. Kini tinggal peluh menghiasi tubuh.

"Mas, sudah jam lima lebih nih. Aku mandi dulu ya.Mas sih udah mandi dibikin mandi lagi," ucapku manja. 

"Mandi bareng yuk!" ajaknya disertai kerlingan nakal dari matanya. 

Ah... Kami pun mandi berdua, tak bisa kuceritakan nikmatnya pacaran setelah halal.

****

Hari ini ibu menginap di rumah Rani, tempat ini menjadi  sepi, damai dan tenang. Itu gambaran rumah bila tak ada ibu. Seperti inilah seharusnya berumah tangga. Tanpa adanya cacian, dan makian setiap hari. 

Aku tak ada kegiatan setelah Mas Deni berangkat kerja. Tak ada rencana memasak, rasanya malas sekali hari ini. Dari kemarin perut tidak bersahabat, makan tak berselera. Setiap makan rasanya mual dan muntah. Mungkin efek aku kelelahan dan makan tak teratur jadi asam lambung naik. 

Kukunyah sepotong brownies, mungkin saja perutku enakan setelah terisi. Tapi kenapa jadi mual begini. Segera kulari ke wastafel. 

Huweek ... Huweek... Huweek

Kukeluarkan lagi isi perutku, lemas rasanya. Perut rasanya semakin tidak karuan. Kurebahkan tubuh ini di kasur, semoga segera sembuh. 

Untung saja ibu tidak di rumah, jadi aku bisa istirahat tanpa sindiran dan ocehan darinya. Mana peduli ibu kalau aku sakit, yang ada semakin di omelin diriku ini. 

Ku ambil ponselku, tertera tanggal empat belas maret.Ku ingat-ingat bulan kemarin sepertiny tamuku datang awal bulan tapi ini sudah pertengahan bulan. 

Apa jangan- jangan aku hamil? Dari kemarin juga mual-mual. Aku senyam senyum sendiri. Kukirim pesan pada mas Deni. 

[Mas, kalau pulang tolong mampir ke apotek ya. Beliin testpek ya.]

Send. 

Tak perlu menunggu lama, pesanku sudah dibaca oleh Mas Deni. 

[Kamu telat ya dek? Mudah-mudahan kamu hamil ya dek] 

Ku baca pesan dari Mas Deni, tanpa disadari mata ini mulai berkaca-kaca. Ya Allah semoga Kau janin di dalam rahimku. 

[aamiin] 

Kubalas melalui aplikasi berwarna hijau itu. 

Jam sudah menunjukkan pukul 16.30,berarti Mas Deni sebentar lagi pulang. Ku bergegas ke kamar mandi, mandi agar terlihat frash kalau suami pulang.

Ah...

Hiks... Hiks... Hiks...

Aku menangis tersedu-sedu di kamar mandi.Ternyata tamu bulananku baru saja datang. 

Ya Allah... Tak terasa badan lunglai dan duduk tergeletak di lantai kamar mandi. Tak bisa ku jelaskan betapa kecewa dan sedihnya diriku. 

Yang aku harapkan belum juga dapat tercapai. 

Beri  kesabaran Ya Allah. 

"Assalamualaikum,Dek," ucap Mas Deni yang sudah berada di teras. 

"Wa'alaikumsalam,Mas." Kuambil tas kerja mas Deni dan ku cium tangannya dengan takzim. 

"Kok murung gitu dek, kenapa? O ya ini pesanan kamu." Memberikan testpek kepadaku dari sorot matanya terlihat kebahagiaan. 

Ya Allah aku tak tega memberi tahu Mas Deni. 

Betapa hancurnya hati mas Deni, kalau tau aku tak hamilBagaimana ini? 

"Hiks... Hiks... Hiks..."

"Lho dek, kok malah nangis? Mas salah ngomong ya?" Mas Deni membelai kepalaku dengan lembut. 

Tangisku semakin kencang, ku peluk erat suamiku. 

"Tamu bulanannya datang 15menit yang lalu mas. Hiks... Hiks... Hiks..."

Mas Deni hanya diam, tapi dari sorot matanya menggambarkan rasa kecewa yang besar dan dalam. 

"Tidak apa-apa,Dek, belum rejeki berarti.Mas mandi dulu ya."Mas Deni beranjak meninggalkanku, kulihat sekilas dari netranya ada air bening yang mengalir. 

Ya Mas Deni menangis karena kecewa. 

***

Azan subuh berkumandang,aku menuju kamar untuk membangunkan Mas Deni agar kita dapat melaksankan shalat berjamaah. Aku memang sudah terbiasa bangun sebelum azan subuh berkumandang, agar pekerjaan rumah segera selesai. 

"Mas, bangun, shalat subuh dulu!" Kugoncangkan pelan tubuhnya. 

"Hmm... duluan saja,Dek. Mas shalat sendiri saja."

Huft, selalu ada aja alasannya setiap kali kubangunkan untuk shalat subuh. Padahal dulunya mas Deni selalu on time masalah ibadah. Tapi entah kenapa sebulan ini susah sekali dibangunkan. 

Apa yang terjadi sama kamu,Mas? 

Kutinggalkan Mas Deni di kamar. Bodo amatlah, yang penting aku sudah mengingatkan. 

Kulanjutan rutinitas pagi, membuat sarapan untuk mas Deni dan ibu. Alhamdulillah, sedikit demi sedikit masakanku sudah ada peningkatan. Entah dari bentuk maupun rasa. Walau tetap saja selalu ada saja yang ibu komplainYang keasinanlah, kepedasanlah. Hampir setiap masakan ku selalu kurang dimata ibu. Padahal aku sudah berusaha semaksimal mungkin. 

Pukul 06.15 makanan sudah siap di meja makan. Tinggal kubuatkan teh hangat untuk kami bertiga. 

Mas Deni memang tak boleh minum kopi terlalu banyak, bukan tanpa alasan. Suamiku itu mempunyai riwayat magh akut. Jadi selalu kularang setiap mau minum kopi. 

Suasana hening saat kami sarapan bersama. Hanya dentingan sendok dan piring yang saling beradu. 

"Lain kali undangnya digoreng pakai tepung saja. Ibu gak suka sambal dan undangnya dicampur kaya begini. Bikin pengen muntah!" celanya.

"Iya,Bu." jawabku datar. 

Kalau tau begini, lebih baik tak usah masak sekalian. Biar pada tau rasa. Sudah capek capek, tak dihargai pula. Ini lagi Mas Deni, diem saja kaya patung, pasti mendukung omongan ibunya. Dongkol...  Dongkol  nih hati. 

***

Bosan melandaku saat tak tau lagi apa yang harus kukerjakan. Iseng kucari lagu pop, akhirnya menemukan yang bagus.

Jikalau kau cinta 

Benar benar cinta 

Jangan katakan 

Kamu tidak cinta 

Jikalau kau sayang

Benar benar sayang 

Tak hanya kata atau rasa

Kau harus Tunjukan.. 

Tok ... Tok ... Tok.... 

"Assalamualaikum. "

"Wa'alaikumsalam." Kumatikan ponsel, bergegas kubuka pintu depan. Ow, tukang pos ternyata. 

"Ini mbak ada kiriman," ucap pak pos sambil menyerahkan undangan pernikahan. 

"Terima kasih,Pak." Kuambil undangan itu dari tangan pak pos. 

"Permisi mbak."

Pak pos akhirnya meninggalkan rumahku. 

Kubuka undangan itu, kubaca perlahan. Ternyata undangan dari saudara ibu. 

"Bu ... ibu...!" Kupanggil ibu yang sedang asyik menonton televisi di ruang keluarga. 

"Hem, ada apa? "

"Ibu dan Mass Deni mendapat undangan dari Om Mahmud, saudara ibu yang di kampung sebelah itu." Kuserahkan  undangan itu pada Ibu. 

"Ow,ya sudah biar besok Ibu dan Deni yang datang. Kamu dirumah saja. Gak usah ikut! " perintah ibu

"Lho,lho Bu, ya gak bisa gitu dong. Aku kan istrinya Mas Deni. Masak tidak boleh pergi ke kondangan,"jawabku.

"Pokoknya kamu gak usah ikut, ya gak usah! Gak usah ngeyel! "

Kulihat mata ibu, dari gelagatnya ibu seperti merahasikan sesuatu. Mencurigakan!

***

Sarapan sudah siap diatas meja, roti dan susu.Sengaja tidak masak,toh nanti kami mau ke kondangan. Mubazir. Mas Deni baru saja masuk ke kamar mandi. Kuganti baju rumahku dengan baju pesta. Gamis warna soft pink yang kupilih. 

Kupoles wajah dengan make up tipis, biar terkesan natural.

"Cantik," kupuji diriku sendiri. 

Sengaja tak kuberitahu Mas Deni kalau aku akan ikut ke kondangan. Akan kulihat bagaimana reaksi Mas Deni kalau tau aku akan ikut. Pasti terkejut, saat Mas Deni keluar dari kamar mandi aku sudah siap. 

Ceklek... 

Kreekk... 

Pintu kamar mandi dibuka, kulihat wajah Mas Deni menjadi tegang. Seperti lihat setan saja,Mas. Ini bidadari lho bukan setan. 

"Lho dek, kamu ikut ke kondangan?" tanyanya sedikit ragu. 

"Iya dong Mas,kan aku istri kamu. Masak gak diajak, sih." Aku pura-pura merajuk. 

"Emm ...." Mas Deni bingung mau ngomong apa,"kamu dirumah aja dek, nanti kecapekan kalau ikut. Lagian Mas gak mau, nanti di sana kamu malah dibully gara-gara belum hamil juga. Dan ibu juga ngelarang kamu,kan. Nanti ibu marah sama kamu lagi,"rayunya.

"Hiks... Hiks...  Kamu malu,ya Mas bawa aku ke pesta?" Kuteteskan air mata buaya. 

"Enggak gitu,Dek. Em... Emm ya udah tanya ibu aja deh." 

Bener-bener dah suamiku ini, jadi orang tidak ada tegas-tegasnya. Huftt. 

Mas Deni sudah siap,lalu keluar kamar terlebih dahulu. Kubuntuti dia dari belakang. Ibu sudah menunggu di ruang tamu. 

"Ayo Den, nanti jemput Rani sekalian ya!" perintah ibu, sepertinya ibu belum melihatku.

"I-iya bu,em anu, itu...," ucapnya tergagap. 

"Kenapa lagi?" Seperti ibu sudah tahu keberadaanku, dilihatnya dari ujung kepala sampai kaki.

"Kamu ngapain dandan kayak gitu?udah ibu bilang kamu di rumah saja. Dibilangin orang tua bukannya nurut,malah belaga mau ikut segala. Kamu tu malu-maluin ibu dan suamimu. Wanita mandul diajak ke pesta segala," ucap ibu tanpa tedeng aling-aling. 

Jlep

Rasa nyeri merasuk di hati. Kulihat Mas Deni diam saja, tak ada niat untuk melindungiku. Apa memang pikirannya sama seperti ibu. Tak kujawab omongan ibu. 

Aku putar badan, dan lari menuju kamar. Aku duduk lemas di pinggir ranjang. Air bah turun begitu saja tanpa kuminta. Harusnya aku sadar diri. Padahal dari awal  aku tau ibu pasti akan menghinaku. 

Kukira aku kuat, tapi nyatanya aku lemah. Sakit rasanya mendengar kata mandul terucap dari mulut ibu tapi  tetap lebih sakit dengan kelakuan suamiku sendiri yang tak menganggap aku ada. Bahkan tak mengharapkan aku, istrinya. Apa aku sebegitu jelek nya? 

Tak berselang lama kudengar suara mobil meninggalkan halaman rumah.Yah, aku benar - benar tak dianggap. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status