Share

5

Anita menepikan mobilnya sebelum sampai ke sebuah rumah megah yang memiliki pagar tinggi menjulang. Sepanjang perjalanan, Anita tak berhenti-berhentinya mengoceh, bahkan Edo sampai pusing mendengarnya. Sejujurnya, dia tak nyaman dengan wanita yang cerewet.

"Kamu harus mengingat semua yang aku sampaikan barusan. Aku tak ingin pertemuan pertama malah kacau." Anita sebenarnya juga tak yakin, tapi apa salahnya dia mencoba, bukan?

"Yang mananya?"

"Ya, ampun," Anita menatap Edo tak percaya.

"Banyak hal yang Mbak katakan, bagian mana yang harus saya ingat?"

"Semuanya. Jika ayahku bertanya, berapa lama kita telah berpacaran, apa yang akan kau jawab?"

"Dua tahun?"

"Apa pekerjaanmu?"

"Pengusaha hotel."

"Di mana orangtuamu?"

"Di luar negri."

"Nah, itu cukup." Anita menjawab puas. Itu yang paling penting. Aku yakin kau bukan pria yang bodoh, tak ada waktu lagi untuk bermain peran, ayo! Ingat, naikkan dagumu, kau adalah seorang pengusaha kaya yang memiliki usaha perhotelan. Nasibku ada di tanganmu sekarang. Ayo!"

Edo tak kunjung bergerak. Dia bahkan melongo melihat megahnya rumah wanita ini.

"Kamu pacarku, bukan bodyguard, kenapa malah berjalan di belakang," kata Anita gemas, dia menarik tangan Edo, menggandengnya.

"Ingat, namamu Fernando Abraham. Oke?"

"Baik."

Edo menghela nafas menahan gugup. Abraham, entah nama dari mana itu.

***

Jika ada kejadian yang menegangkan dibandingkan mengikuti tes pekerjaan, maka bertemu dengan ayah Anitalah yang paling menegangkan. Wajah tua itu, terlihat tegas, matanya memandang Edo dengan padangan menilai.

Pria tua itu masih terlihat bugar dan sehat walaupun rambutnya telah memutih. Tak ada senyum, yang ada hanyalah tatapan datar dan tak terbantahkan.

"Jadi namamu Fernando?"

"Iya, Om."

Laki-laki itu melirik anak gadisnya sendiri, lalu kembali memandang pada Edo.

"Jadi, kau bekerja di mana?"

"Saya memiliki hotel di Surabaya." Edo mengutuk dirinya sendiri yang tengah berbohong demi uang.

"Benarkah?" Wajah pria itu langsung berbinar. Dia mulai menunjukkan sikap bersahabat. Anita menghela nafas lega. Selalu sama, uang dan kekuasaan menjadi tolak ukur.

"Iya, Om."

"Bagus." Laki-laki itu tersenyum puas. "Oh ya, akhir-akhir ini bisnis perhotelan mengalami guncangan, bagaimana denganmu? Apa hotelmu baik-baik saja."

"Eng," sahut Edo kebingungan, dia melirik Anita meminta jawaban tapi malah dibalas dengan tatapan mengancam. Anita tak mengajarinya tengang ini.

"Hotel milik Fernando baik-baik saja, karena dia memiliki jaringan yang kuat," sahut Anita. Aniya yakin, sebentar lagi akan ada pertanyaan tak terduga.

***

Anita tak bisa menyembunyikan wajah kesalnya, dia telah membayar uang muka pada Edo, memberikan kartu kredit dan fasilitas lainnya. Tapi bagi dia yang sempurna, akting Edo tadi singgung mengecewakan. Bagaiamana bisa Edo menunjukkan wajah kebingungan saat dia dicecar pertanyaan oleh ayahnya? Seharusnya dia mencari cara untuk menjawab, bukan meminta pendapat padanya sambil menatap bodoh.

Edo bukannya tidak tau, wanita yang tengah mengemudi di sampingnya itu sangat kesal. Tapi mau bagaimana lagi, Edo tak berbakat menjadi pembohong.

"Ayo turun!" katanya lebih dulu membuka pintu mobil. Edo mengiringi Anita berjalan ke sebuah kafe out door itu. Kafe cantik yang dikelilingi oleh taman bunga.

Anita memilih duduk agak terpencil dari meja-maja yang agak ramai oleh tamu.

Edo duduk di depannya. Bahkan dia tersenyum miris pad jam tangan mahal yang kata Anita nilainya mencapai belasan juta. Sebentar lagi benda itu akan dikembalikan pada Jenny.

Anita menatapnya dingin, tanpa senyum. Apa pun itu, Edo siap menerima ungkapan ketidak puasan Anita.

"Aku tau, kamu takkan bisa melakukannya."

Edo tak merespon, jika wanita itu tau dia memang tak bisa, kenapa mempercayakan kepura-puraan itu padanya? Aneh.

"Yang kuharapkan, kau menegakkan bajumu di depan ayahku, bukan menunduk seperti seperti bawahan yang berhadapan dengan atasan, astaga, apa itu tadi, kamu bertanya padaku melalui tatapanmu, dan saat itu ayahku langsung curiga. Ya ampun, semua telah selesai."

Edo menaikkan wajahnya, dia tau semua orang kaya pada umumnya bersikap pongah dan sombong. Edo mengeluarkan sesuatu dari balik bajunya. Sebuah amplop yang masih utuh, segelnya belum terbuka. Serta sebuah benda pipih kecil, yaitu kartu kredit.

"Saya kembalikan."

Anita melotot, mulutnya menganga. Dia tau betul, amplop itu tersegel dengan baik.

"Sepeser pun, saya belum menggunakan uang Anda, belum menggunakan kartu kredit Anda. Saya kembalikan."

"Hei, aku tidak bermaksud begitu." Anita memaksakan senyum kaku.

"Semua pakaian dan aksesoris akan saya kembalikan ke toko Mbak Jenny, permisi."

Edo bangkit, meninggalkan Anita yang masih memandangnya tak percaya.

"Anak itu ... Apa dia pikir, Jenny akan menerima barang bekas pakai?"

Anita semakin kesal.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status