Share

007

Batari membuka matanya, ia tidak sampai jatuh membentur aspal. Ada orang yang menangkap tubuhnya.

"Pak, kalau turun jangan dorong-dorong!" sembur pria itu. Suara dan parfum itu jelas Batari kenali.

"Maaf, saya buru-buru," sahut pria yang mendorong Batari, berlalu begitu saja.

Sebagian orang yang mengenali Xabier menyapanya. Mereka berbisik-bisik mengenai ketampanannya.

Batari langsung melepaskan pegangannya pada Xabier. Ia menegakkan tubuhnya lalu melangkah menuju ruang tunggu terminal bus yang akan ditumpanginya lagi.

Beberapa orang perempuan meminta untuk berfoto bersama. Xabier sulit untuk pergi dari kerumunan. Matanya menyorot ke arah mana Batari bergerak.

"Sudah dulu ya foto-fotonya," ujarnya menolak halus perempuan yang getol ingin mengabadikan momen dadakan itu.

Xabier berlari meninggalkan mereka, ia mengejar Batari. Pria itu berharap tidak ada orang yang mengenali wajahnya lagi.

Lengan Batari berhasil digapai Xabier. Suasana lebih lengang dibandingkan tadi. Mereka berada di dalam ruang tunggu terminal bus.

"Kamu mau melarikan diri?" tanya Xabier berang dengan volume suara rendah. Lengan Batari dicengkram kuat. Xabier mendekatkan Batari ke tubuhnya agar tidak mengundang kecurigaan.

Perempuan itu menggeleng-geleng. "Tidak, Pak," jawabnya.

Batari ditarik ke arah bangku kosong. Langkah terseok-seok mengikuti suaminya membuat ia takut jatuh, terpaksa harus bersedia mengikuti langkah besar itu.

Tas tentengnya dijinjing Xabier, sementara itu ranselnya sudah pindah ke pundak pria bertubuh tinggi itu.

Xabier memaksa Batari duduk. Pria itu geram, dia ingin tahu alasan Batari ingin melarikan diri.

"Katakan, apa alasan kamu melarikan diri dariku?" tanyanya. Tekanan di lengan Batari semakin kencang.

"Lengan saya sakit, Pak," ringis Batari. Dia menyentuh jemari Xabier agar melepaskan cengkraman di lengannya. Wajahnya sendu, tidak berniat melakukan perlawanan saat ini.

"Jawab - pertanyaan - saya!" geramnya dengan gemeretak gigi. Tubuh Batari diguncang.

"Saya mau kembali ke desa. Bude Suyati meninggal," ucapnya berat. Batari menangis terisak, dia tertunduk menahan suara agar tidak menjadi pusat perhatian.

Tangannya yang semula membuka jemari Xabier terlerai, membiarkan cengkraman itu menekan tulangnya. Hatinya yang kehilangan Suyati lebih sakit saat ini.

Xabier terkejut dengan apa yang baru saja didengarnya. Ia tahu budenya Batari sakit sehingga tidak dapat menghadiri pernikahan mereka. Namun, tingkat keparahannya ia sama sekali tidak tahu.

"Saya ingin melayat," lanjutnya lagi.

Xabier menarik nafas panjang, menyentuh keningnya. Ia merasa bersalah telah berpikir buruk tentang Batari.

"Aku turut berduka cita," ungkap Xabier. Batari hanya menganggukkan kepala.

Tidak lama kemudian, terdengar suara Xabier, "Tolong konferensi pers saya diundur ya. Batari... e... istri saya mendapat kemalangan. Jadi, kami akan ke desa," terangnya pada seseorang di seberang telepon.

Isakan Batari terhenti, ia mendongakkan kepalanya melihat Xabier.

"Aku akan ikut kamu ke desa. Kita pakai mobilku saja," ucapnya.

"Ta... tapi, Pak. Pakaian Bapak bagaimana?" tanya Batari.

Xabier menunduk meneliti pakaiannya. "Apa ada yang salah dengan pakaianku?" tanyanya. "Di mobil aku selalu sedia pakaian ganti. Memang tidak ada yang warna hitam, tetapi tidak jadi halangan untuk melayat, tho?" sambungnya.

Batari menganggukkan kepalanya. Ia tidak menyangka suaminya bersedia datang ke kampung halamannya, Desa Adiluhur, lagi.

Mereka beranjak dari ruang tunggu menuju kendaraan roda empat milik Xabier yang terparkir. Pria itu memasukkan tas Batari ke dalam bagasi.

Perjalanan akan ditempuh dalam waktu tujuh jam lamanya. Sesekali Batari mual, ia telah menyediakan kantong plastik persiapan bila sewaktu-waktu muntah mendera.

"Maaf ya Pak, saya menjijik --." Batari lagi-lagi muntah di mobil.

Xabier mencari tempat untuk beristirahat sekalian makan siang. "Kita berhenti dulu di depan, makan siang," ucapnya.

Pria itu memilih sebuah restoran di pinggir jalan. "Tukar pakaian kamu yang terkena muntahan," perintah Xabier.

Batari mengangguk diam, ia merasa merepotkan Xabier. Namun, bukan dirinya yang meminta pria itu ikut. Menyuruhnya pulang sudah tidak mungkin, terlanjur jauh perjalanan mereka.

Xabier memilih tempat makan di sudut ruangan. Ia telah memesan makanan untuk mereka, bahkan telah mulai makan sendiri tanpa menunggu istrinya.

"Makan," katanya pada Batari. Melihat menu yang tersaji di mejanya, mata Batari berbinar. Ia melahap semua makanan yang dipilih oleh suaminya.

Xabier mengamati cara makan Batari seperti orang yang baru menemukan makanan, lahap dan cenderung rakus.

Batari sendiri tidak pernah makan selahap sekarang. Mungkin bawaan bayi, ujarnya dalam hati. Tanpa rasa malu dan ragu, ia memasukkan makanan ke dalam mulutnya.

Dia memang membutuhkan asupan nutrisi lebih, mengingat ada dua jiwa yang perlu diperhatikan, dirinya dan calon bayi di dalam kandungan.

Setelah selesai makan, Batari mengeluarkan botol yang berisi kapsul. Dia meminumnya.

"Kamu sakit?" tanya Xabier. Batari malah menatapnya heran. "Yang kamu minum obat apa?" Pria itu tidak mau terjadi apa-apa dalam perjalanan akibat penyakit Batari kambuh.

"Ini?" tanyanya menunjukkan botol yang didominasi warna putih itu. Xabier mengangguk.

"Ini vitamin untuk kehamilan, Pak. Vitamin yang akan membantu menjaga kesehatan ibu hamil, serta pertumbuhan dan perkembangan janin," ungkapnya mendetail seperti seseorang yang memasarkan produk.

"Dari mana? Jangan minum sembarangan yang ada bayinya jadi tidak sehat," ucap Xabier seolah-olah mengkhawatirkan Batari.

Perempuan itu segera membuang pikirannya yang sempat melayang indah.

"Ini diresep dokter kandungan dari rumah sakit tempo hari, Pak," jelas Batari lagi. "Bahkan akan diminum sepenjang kehamilan. Sesuai resep dokter," lanjutnya.

"Berarti selama kehamilan harus ketemu dokter lagi? Begitu?" tanya Xabier. Pria itu seperti tertarik mendengar cerita Batari.  Ia belum pernah mengurusi orang hamil, jadi informasi yang diberikan oleh istrinya tergolong baru.

"Ya, Pak. Rencana setiap bulan berkonsultasi agar terdeteksi segera kalau ada kelainan, misalnya," jawab Batari.

"Oh, begitu... saya tidak menyangka, kamu punya isi otak juga," lontar Xabier. Batari tercengang mendengar ujaran suaminya itu. Sepenangkapannya, seolah-olah Xabier menganggap Batari orang tanpa wawasan.

"Saya memang orang susah, tapi tidak bodoh, Pak," ucapnya menyindir Xabier. Perempuan itu lantas berdiri dan meninggalkannya sendirian.

Xabier turut berdiri. Dia membayar tagihan makanan terlebih dulu. Dilihatnya Batari telah menunggu di pintu samping bangku penumpang. Matahari cukup terik kala itu.

Dari kejauhan, Xabier membuka pintu otomatis dari tombol kunci mobilnya.

Batari melihat bahwa lampu mobil itulah yang menyala. Ia membuka pintu dan duduk di bangku penumpang sembari menenangkan diri kembali.

Ia merasa sangat sensitif sejak kehamilannya. Dulu kalau ada yang mengejek dan menyindir, Batari tidak merasa tersinggung. Dia tahu diri akan kondisi hidupnya yang serba sulit.

Namun, entah mengapa kali ini rasa hatinya rontok.

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Nim Ranah
mulut Xabier .........
goodnovel comment avatar
Ati Husni
smg xabier berubah mjd suami siaga
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status