Semua Bab Yuk, Nikah!: Bab 1 - Bab 10
88 Bab
Kembali Terkenang
 “Jodoh tak akan kemana.” Perkataan Bapak kembali terngiang di tengah kebisingan jalan raya sore ini yang sedang macet. Pesan tersebut dikatakan setahun lalu saat aku ditinggal menikah oleh tunanganku—Gina Ayuningtyas—yang perselingkuhannya ketahuan lima hari sebelum aku dan dia menikah. Aku masih ingat terakhir kali kami bicara. Saat itu pertengahan bulan Maret. Gina tiba-tiba menelpon dan memaksaku untuk keluar rumah secara diam-diam pada malam hari.“Kenapa kamu begini, Gina? Bukannya hubungan kita sudah berakhir? Buat apa kamu ke sini?” tanyaku tanpa melihat ke arahnya.“Aku cuma datang untuk meminta maaf, Mas.” Dia menangis dalam diam, sementara tangannya meraih ujung jaketku, memegangnya erat.“Sudah kukatakan bahwa aku ikhlas. Pulanglah, besok kamu menikah, kan? Kamu akan resmi jadi istri orang, menemuiku seperti ini apakah pantas? Apa dia tahu kamu ke sini?&rdquo
Baca selengkapnya
Tentang Semua
 Pagi kembali menyapa seperti biasa. Saat membuka mata, ingatan semalam—tentang Gina menghubungiku—kembali terngiang di benak. “Mas, ini Gina ....”Aku hanya terdiam saat mendengarnya. Suara itu masih sama seperti dulu, halus dan membuat jantungku berpacu. Seketika, potongan-potongan memori yang telah lama terkubur oleh waktu pun kembali menyembul ke permukaan. Hanya butuh waktu beberapa detik hingga potongan yang berserakan itu kembali menyatu, memperlihatkan bagaimana kami merajut kasih selama bertahun-tahun. Hatiku terasa sakit, kala semua momen mulai tergambar jelas, terutama saat hari pertunangan yang berakhir dengan pengkhianatan. Suaraku kelu, dadaku tiba-tiba terasa sesak, mual dan pusing menyerang. Aku dilanda kecemasan hebat. Walau begitu, ponsel masih menempel di telinga, seakan tak rela menekan tombol 'Mengakhiri percakapan'. “Gam?! Gam?!” Remang-remang suara Fadlan terdengar.
Baca selengkapnya
Cemburu!
 “Diem terus, kenapa, sih?” tanyaku pada Fadlan saat mulai menyadari sikapnya sedikit berubah. Rasa penasaran itu kian mencuat. Apa dia mendiamkanku karena kejadian di teras tadi pagi?“Ah, nggak apa-apa. Mungkin efek lapar.” Sanggahan yang tak masuk di akal. Namun, aku mengangguk saja, seolah percaya dengan ucapannya.“Oh, kalau gitu, aku beli makanan dulu ke depan, ya? Kebetulan kita belum makan siang.” Aku menawarkan diri untuk membeli makan. Fadlan menganggukkan kepala tanpa bicara sepatah kata pun.Akhirnya aku pergi ke warteg langganan yang tak jauh dari rumah Nyak Marni. Seperti biasa, Mpok Latifah—pemilik warteg—menyambut kedatanganku dengan ramah saat aku tiba.“Mpok, yang biasa,” pintaku saat memesan lauk dengan nasi. Mpok Latifah yang sudah hafal dengan pesananku pun segera membungkus nasi serta lauknya.“Ini, Gam.” Mpok latifah memberikan satu kantong p
Baca selengkapnya
Mengubur Masa Lalu
 Kupikir, dalam kurun waktu satu tahun aku sudah berhasil melupakan Gina. Namun, terkadang rindu masih saja datang, dan aku tetap meyakinkan diri bahwa aku sudah melupakannya meskipun itu tidak benar.Sempat terlintas keinginan 'tuk pergi ke tempat yang lebih jauh agar semua sisa perasaan ini terlupakan. Salah satunya menjelajah negeri dan mendaki gunung. Namun, semua tak bisa terlaksana, mengingat pekerjaan di perusahaan tak boleh asal kutinggal.Sore ini, Gina kembali hadirkan ingatan yang sebenarnya ingin kulupa. Mengatakan banyak penyesalan dan menginginkan aku kembali merajut kisah asmara dengannya lagi sebab dia telah berpisah dengan suaminya. Permintaan yang tak masuk akal. Walau perasaan terhadapnya masih tersisa, aku takkan mungkin melakukan kesalahan sama untuk kedua kalinya. “Apa yang harus kulakukan pada kenangan yang telah lama aku kubur setahun silam? Tak mungkin bagiku untuk menggalinya lagi, 'kan? Perpisahan kala itu suda
Baca selengkapnya
Peringatan
 Malam ini bulan telah undur diri lebih cepat. Di langit hanya tampak separuh. Cahayanya bahkan takkan mampu menembus kaca jendela kamar kost yang aku dan Fadlan huni. Sepi. Padahal baru jam tujuh malam.Kalau akhir pekan, lingkungan kost sepi. Sebab, penghuni lain selalu mengjabiskan waktu di luar. Karena di sini penghuninya kebanyakan mahasiswa atau para pekerja sepertiku yang notabene jomlo, meskipun tidak semua, sih. Ya, seperti biasa, mereka menghabiskan waktu di luar untuk sekadar nongkrong atau ketemuan dengan perempuan.Berbeda denganku dan Fadlan, kami tak ada kemauan untuk nongkrong atau mencari gebetan. Kami lebih senang istirahat penuh selagi libur bekerja. Sebab, kalau waktu libur seminggu sekali kami habiskan untuk melakukan kegiatan unfaedah, rugi rasanya.Fadlan duduk di pojok kamar sambil memainkan game online kegemarannya seperti biasa. Dia heboh sendiri. Namun, kehebohannya terhenti ketika terdengar teriakan Vivi yang memanggil na
Baca selengkapnya
Berhasil PDKT
 Ketika kami hampir sampai ke rumah, tiba-tiba saja Vivi mendadak menyuruhku menghentikan laju motor. Tepat sebelum kami melewati pagar rumah Nyak Marni. “Stop! Stop, Bang!” Teriakan Vivi membuat aku ngerem mendadak. Alhasil, kepala Vivi menubruk kepalaku. Untung saja pakai helm, kalau tidak, lain urusannya.“Apa, sih?! Ngagetin aja! Barusan itu bahaya tahu!” omelku pada Vivi. Kulihat dia membetulkan helm.“Maaf, Bang. Habisnya ....” Vivi tak menyelesaikan ucapannya. Dia malah turun dari motor dan mengintip di balik pagar. Aku pun mematikan mesin.“Apaan?!” “Itu ....” Vivi menunjuk ke arah teras rumahnya. Membuat mataku mengikuti arah jari telunjuk miliknya.Kulihat Nyak Marni sedang ngobrol dengan seorang lelaki berjaket parka hitam sambil tertawa ria. Ketika kuamati, tak terlalu jelas. Namun, lelaki itu tampak lumayan dari kejauhan. 
Baca selengkapnya
Titip Vivi Untuk Sementara
 Sejak hari itu—nonton konser BST—bisa dikatakan kalau Fadlan telah sukses PDKT untuk pertama kalinya. Lalu, setelahnya mereka menjadi lebih dekat. “Gam, gimana menurut kamu? Udah ada tanda-tanda dia nangkep sinyalku, nggak?” Fadlan bertanya seraya memperlihatkan pesan whatsapp dari Vivi. Kuambil ponselnya dan kuamati seksama. Bingung, sebab yang kulihat dari pesan ini hanya membahas tentang korea semua. Aku menggeleng, “Belum, Lan. Ini malah terkesan kamu sendiri yang sukanya kebangetan.”“Ah, mana mungkin!” sanggahnya seraya merebut ponselku lagi. Kini, Fadlan takkan membiarkanku istirahat sebelum ceritanya selesai. Membicarakan bagaimana proses dia pendekatan. Memperlihatkan isi chat yang menurutku biasa saja. Bersorak ria saat mendapat balasan. Aduh, benar-benar.“Besok hari kelulusan sekaligus perpisahan Vivi, aku bakalan ngasih kejutan sama dia,&
Baca selengkapnya
Apakah Benar Dia Vivi?
8Tepat pukul sepuluh malam, Fadlan pergi tanpa pamit pada Nyak Marni atau Vivi. Aku tak mengantarnya ke bandara sebab dia melarang keras. Dia hanya terus memintaku untuk terus menjaga Vivi selama dia tak ada.Pagi ini, aku sudah bersiap serapih mungkin. Memakai celana hitam dan kemeja panjang merah maroon yang lengannya kulipat seperempat. Dirasa cukup, kuraih kunci mobil Fadlan yang tergeletak di atas nakas. “Bang Fadlaaan!” Teriakan Vivi terdengar nyaring seperti biasa, “Ayo buruan, katanya mau nganteriin!” sambungnya. Dia kini telah berada di ambang pintu.“Fadlan nggak ada. Abang aja yang nganterin kamu sama Enyak,” sahutku seraya mendorong tubuh dengan tinggi 165 cm itu. Lalu, lekas mengunci pintu kosan.“Loh, kemana?” tanyanya di balik punggungku.“Ke China. Mamanya meninggal di sana. Semalem perginya mendadak, jadi nggak sempet pamitan dulu sama kamu dan Enyak.” Aku me
Baca selengkapnya
Mewakili Fadlan
 “Fadlan, ini bukan kuasaku. Dia main sosor sendiri,” gumamku seraya mengelap pipi bekas ciuman Vivi menggunakan tisu toilet.Pikiranku berkecamuk tak tenang. Sebab, teringat akan Fadlan yang kini mungkin masih dalam perjalanan. Mungkin, aku merasa bersalah.“Dasar! Udah jadi anak gadis aja masih suka cium-cium sembarangan! Dulu iya, aku tak masalah. Toh, yang nyium itu anak SD. Sekarang, kan, beda lagi. Udah perawan, malah jadi gebetan temen sendiri, lagi. Kalau dia tahu, mati aku." Kucoba hilangkan pikiran negatif dan menenangkan diri. Meyakinkan bahwa tadi itu hanya kebiasaan masa kecil yang belum bisa Vivi hentikan. Walau begitu, kejadian tadi sangat membuatku terkejut.‘Sudah! Singkirkan pikiran itu! Ayo pergi! Vivi mungkin sekarang sudah naik panggung! Fadlan, kan, sudah menyuruhmu untuk mengabadikan momen penting itu!’ batin ini malah bermonolog pada diri sendiri, menyedihkan.Aku mencoba meny
Baca selengkapnya
Sama-sama Norak
 Syukurlah, pada akhirnya aku bisa menjalankan amanah dari Nyak Marni dan Fadlan untuk menemani Vivi hingga acaranya selesai. Sebenarnya belum, sih. Masih ada acara meriah lainnya sebagai perayaan selepas magrib nanti. Berbagai hiburan pentas seni tradisional dan modern juga akan dilaksanakan nanti malam. Bahkan, kata si Vivi, nanti akan ada pertunjukkan debus. Buset, pengen banget liat. Em, tapi ingat sudah ada titipan acara penting lainnya, yaitu melaksanakan permintaan Fadlan untuk mengajak bocah ingusan ini dinner. Huh, payah.Dan, karena acara inti perpisahan kelas Vivi juga telah usai sekitar jam lima kurang, akhirnya kami memutuskan pulang lebih awal agar bisa mandi dan bersiap pergi ke tempat yang telah dipesan sahabatku itu.“Kenapa liat-liat di kaca spion?” tanya Vivi di jok belakang. Saat ini kami tengah di perjalanan pulang naik motor kesayanganku. Memang, aku curi-curi pandang di kaca spion. B
Baca selengkapnya
Sebelumnya
123456
...
9
DMCA.com Protection Status