Dengan latar belakang keluarga berada justru membuatnya semakin sendiri. Karena ada ajaran dari orang tuanya, tidak menganjurkan anaknya menjadi manja. Ia harus mendapatkan apa yang ia inginkan dari usahanya sendiri. Pergaulan yang salah, membawanya ke dalam lingkaran setan. Tidak mudah mengubahnya menjadi pribadi yang lebih baik. Tetapi datang lah seseorang gadis yang membuatnya tersadar akan kesalahanannya yang fatal. Dari situ lah, mereka mulai mencintai satu sama lain. Dengan catatan sebelum bertemu gadis ini, pria keturunan Tiongkok itu mempunyai masa lalu yang kelam dengan percintaannya. Siapakah mereka?
Lihat lebih banyakTampak sesosok wanita berwajah cantik tanpa pulasan makeup, berjalan masuk ke dalam sebuah restoran yang selalu ramai pengunjung. Restoran itu telah beroperasi belasan tahun. Berkat semangat dan keuletan dari pemiliknya, usaha kulinernya itu terus berkembang hingga seperti saat ini.
Tentunya tak akan ada kesuksesan yang didapat seseorang tanpa adanya pengorbanan. Seseorang perlu mengorbankan tenaga, waktu, pikiran atau pun yang lainnya bila ingin meraih atas apa yang diniatkan atau diimpikan.
Ada sebab maka akan ada akibat. Sebab kita mengorbankan sesuatu, maka akibatnya pun akan kita dapatkan. Namun, di antara semua pengorbanan itu, hanya waktu yang tidak dapat diputar kembali bila kita telah kehilangan itu waktu. Entah kehilangan waktu untuk keluarga maupun untuk diri sendiri.
“Hai, Maylin. Apa kabar?” Salah satu pekerja restoran menyapa hangat kepada wanita itu.
“Mama ada di ruangannya?” Maylin menolehkan kepalanya, memandang ke pegawai yang telah bekerja lama di restoran milik ibunya, Restin Banara.
Setiap kali dirinya datang ke restoran ini, hatinya merasa tercubit, sebab demi mengembangkan usaha kuliner tersebut, Restin telah menghabiskan hampir seluruh waktunya untuk mengurus bisnisnya daripada memantau pertumbuhan dan perkembangan anaknya.
“Ibu ada di dalam bersama Rayla. Deon juga ikut datang, tapi sekarang dia sedang ke toilet.”
“Terima kasih, Alice.” Kemudian Maylin berjalan menuju ruang kerja ibunya dan berhenti tepat di depan sebuah pintu kayu berwarna cokelat.
Tangannya terangkat memutar kenop pintu perlahan tanpa mengetuk terlebih dahulu. Dari celah pintu yang telah terbuka sedikit, indra pendengarnya menangkap suara Rayla yang penuh emosi dari dalam ruangan.
“Bukannya Mama mengatakan kalau restoran ini bergabung dengan teman Mama?”
“Mama terpaksa berbohong. Bekerja sebagai asisten dapur, gajinya tidak cukup untuk membiayai kalian. Maka itu, saat Frans datang memberikan bantuan dalam bentuk uang yang tidak sedikit, Mama membuang ego mama dan menerima uang itu,” tukas Restin berapi-api.
Kedua netra cokelat milik Maylin membulat lebar. Jantungnya kini berdebar cepat. Kenyataan tentang biaya pendidikan dan hidup mereka selama ini ternyata adalah pemberian dari pria itu membuat emosinya bergejolak seketika.
“Berapa jumlah uang pemberian dari bajingan itu, Ma? Kembalikan semua uang itu padanya! Aku tidak sudi menggunakan uangnya walau hanya sepeser pun!” hardik Maylin masuk ke dalam ruangan hingga membuat Restin dan Rayla terkesiap melihatnya.
Maylin mengira rahasia yang disimpan Restin hanya satu hal itu saja. Namun, tidak disangka masih ada rahasia-rahasia lain yang tidak ia ketahui.
Dalam perdebatan kali ini, mau tak mau Rayla yang telah mengetahui rahasia itu terlebih dahulu pun menceritakan kepada adiknya. Tentang aib orang tuanya dan sebuah kebenaran dibalik keluarga mereka tercerai berai.
Rayla Pramanta dan Maylin Pramanta adalah kakak beradik yang usianya terpaut dua tahun. Sejak Frans Pramanta, sang ayah, pergi meninggalkan mereka ketika usia mereka masih dini, Rayla dan Maylin saling menghibur dan menyemangati satu sama lain sementara Restin terpuruk dalam kesedihannya, membenamkan diri dengan kesibukan-kesibukan sehingga tidak memiliki waktu untuk mereka berdua.
Kepergian Frans meninggalkan luka teramat dalam bagi sepasang kakak beradik itu sehingga masing-masing memiliki trauma tersendiri. Rayla yang tak mudah jatuh cinta pada pria dan takut untuk membangun rumah tangga sedangkan Maylin berambisi untuk membentuk keluarga sendiri yang harmonis dan bahagia.
Namun, sayangnya ambisi itu harus dikubur. Akibat peristiwa kecelakaan yang menimpa diri Maylin setengah tahun yang lalu, menjadikan dirinya sebagai wanita yang tidak sempurna lagi.
“Maafkan atas kesalahan yang kami buat tanpa sadar telah menyakiti kalian. Mama lupa kewajiban Mama sebagai orang tua yang seharusnya melindungi kalian. Sungguh, Mama ingin memperbaiki semuanya.” Sepasang netra cokelat gelap milik Restin menatap kedua putrinya dengan air mata yang mengalir deras.
Restin menyesali telah kehilangan waktu bersama kedua putrinya. Ia terlalu larut dalam lukanya sehingga melupakan bahwa anak-anaknya ketika itu membutuhkan kehadirannya. Ia telah gagal menjadi orang tua yang teladan bagi anaknya.
Kedua netra Maylin menangkap lembaran kertas yang tergeletak di atas meja. Ia lantas meraih kertas itu dan membacanya dengan suara bergetar. “Frans Osborn.”
Kemudian ia tertawa mengejek. “Bajingan itu sekarang menjadi pengusaha sukses setelah membuang nama pemberian keluarganya sendiri?”
“Berhentilah menyebut papamu dengan sebutan bajingan, Maylin! Seburuk apa pun pria itu, dia tetap papamu,” tegur Restin.
“Dia bukan papaku! Papaku sudah meninggal!” Maylin menjerit kencang hingga kedua netranya membelalak, menatap Restin dengan nyalang.
Air matanya tak terbendung lagi. Setetes air mata lolos dari salah satu sudut matanya, disusul tetesan berikutnya hingga kemudian menjadi aliran deras membasahi wajahnya.
Setelah ayahnya pergi, seiring berjalannya waktu, Maylin terus memupuk kebencian pada pria itu. Easa benci itu kini semakin dalam begitu dirinya tahu ternyata kehadirannya tak berarti apa-apa bagi pria itu.
*****
Entah sudah berapa lama Maylin berdiri di depan gedung pencakar langit milik Osborn Corporation. Gedung pencakar langit yang jauh dari kata sederhana karena memiliki tampilan yang luar biasa mewah dan kokoh.
Ia hendak melangkahkan kakinya masuk ke dalam gedung itu, namun urung ketika sepasang netra cokelatnya menangkap sesosok pria yang bertubuh tinggi dan masih terlihat tegap untuk umurnya yang memasuki kepala lima. Meskipun waktu telah berselang selama belasan tahun, tetapi kenangan wajah pria itu masih melekat kuat dalam ingatannya.
Seluruh tubuhnya terasa kaku melihat pria itu tengah tertawa bahagia bersama seorang wanita muda dengan memiliki kemiripan wajah pria itu. Dadanya bergemuruh kuat menahan amarah dan tangis. Kilasan masa lalu yang menyakitkan, berputar kembali dalam benaknya.
Ada pepatah mengatakan darah itu lebih kental dari air, tapi sering kali hanya air yang ada ketika kita butuh sementara darah entah ada di mana. Mungkin bagi pria itu, keluarga dari istri pertamanya lah yang lebih dianggap sedarah dengannya.
Kedua netra Maylin tak bisa lepas dari pemandangan itu hingga akhirnya sosok mereka menghilang masuk ke dalam mobil, lalu melintas pergi tanpa menyadari kehadirannya.
Mendadak amarahnya menjadi membara. Semua kekecewaan, kekesalan dan ketidaksenangan membuatnya tak mampu lagi menahan emosinya. Dalam hidupnya, hanya satu hal yang membuatnya menyesal dilahirkan ke dunia ini. Alangkah baiknya jika dirinya bukan lah anak dari Frans Osborn.
Wisuda FeliciaHari ini, adalah hari dimana Felicia dinyatakan lulus. Selama kurang lebih 3 tahun, akhirnya Felicia telah melepas status putih biru. Felicia memakai kebaya pink dan memakai balutan hijab berwarna kuning keemasan. Jika ditanya bagaimana perasaannya? Sungguh sangat bahagia, akhirnya ia bisa melanjutkan masa putih abu-abunya.H-2 sebelum wisudaHubungan Felicia dengan Arden terbilang baik-baik saja dan harmonis. Kemarin saja ia baru mengantarkan Felicia pulang. Namun setelah hari dimana pasangan muda ini bertukar sandi akun media sosialnya, Felicia segera log in memakai akun media sosial milik Arden. Selepas pulang sekolah, Felicia memilih duduk santai di teras depan rumah. Ia sibuk berkutat dengan ponselnya, mencoba mengetik sandi akun sembari menutupi matanya. Ia sangat gugup, apa saja yang ada di dalam akun media Arden? Dan boom! Felicia berhasil log in, ia masih membiarkan tampilannya berada di beranda. Lalu mulai menscroll perlaha
Beberapa jam kemudian, suara bel telah berbunyi. Menandakan waktunya para siswa dan siswi pulang, Iris yang sedang menjalankan misinya segera mencari Felicia. Ia benar-benar mencengkeram tangan Cia erat, seperti sedang menjaga mangsa agar tidak kabur. Felicia hanya menurut saja, ia diam dan tak banyak bergerak. Ketika Iris menarik-narik tangannya, sambil berjalan. “Fel, sebenarnya lu tau ga sih?” tanya Iris.“Tau apaan?” “Kak Dion itu kasih kamu kado,” ucap Iris lagi.“Iya? Tapi ga mungkin, kita berdua belum lama kenal.” “Ih gua serius, makanya lu nanti mampir ke rumah gua dulu.” Percakapan mereka berakhir begitu saja, keduanya fokus berjalan menatap depan dan mempercepat langkah kakinya. Di bawah sinar matahari yang terik, di tengah-tengah ramainya kendaraan berlalu lalang. Sampai perjalanan mereka sudah cukup dekat, Iris dan Felicia sedang bersiap-siap menyeberan
Felicia semakin penasaran, ia segera mempercepat laju langkahnya menyusul Serren. Ketika beberapa langkah lagi sampai di rumah Iris, mereka berdua terdiam. Ada perasaan gugup dan malu untuk sampai ke depan sana. “Ren, maju ga nih? Gua penasaran sih, tapi malu.” Ucap Felicia sembari memegangi tangan Serren. “Fel, lu gila ya? Sudah sampai sini, mau kita batalkan aja gitu? Jauh-jauh dong percuma. Ayo buruan.” Jawab Serren yang menarik balik tangan saudaranya. Akhirnya mau tak mau Felicia mengikuti langkah Serren, dan setelah sampai di depan rumah Iris. Sorot mata Felicia menangkap Iris yang sangat gugup dan gelisah seperti menyembunyikan sesuatu. Lantas Felicia memberanikan diri untuk menengok lebih jelas lagi, ke dalam ruang tamu. “Iris?” Panggil Felicia yang mencari sosok temannya ini. Iris pun menjawab dengan muka tegang terlihat jelas di seluruh wajahnya. “I-iya, sini Fel masuk.” T
Lumayan memakan waktu untuk sampai Mall yang mereka tuju. Sebuah Mall terkenal dan legendaris sejak dulu, kini Dion dan Iris sudah memarkirkan motor.Bergegas Iris turun dari motor Dion, ia menunggu lelaki paling bawel ini sedang melepas helmnya. Setelah itu mereka berjalan bersama menuju lantai atas, yaitu istana boneka. Keberadaan mereka sudah di depan mata pintu masuk, terdapat security sedang berjaga disana.Iris dan Dion segera memasuki ruangan itu, tetapi sebelumnya mereka diperiksa dulu dengan alat yang bernama Metal Detector. Ternyata semua aman, mereka melanjutkan langkahnya.Di ruangan seluas ini, terdapat macam-macam boneka. Mulai dari yang bentuknya beruang, panda, bebek, babi, monyet dan masih banyak lagi. Bahkan ada versi mininya, terdapat juga boneka barbie terpajang rapi di dalam rak.Dion sempat bimbang, ia meminta pendapat Iris kira-kira mana yang cocok untuk Felicia.“Ris sini lu.” Panggil Dion.“Ke
Dion yang sudah berjam-jam membersihkan toilet, lantas lemas. Ia bahkan tidak sempat membeli makanan ringan serta minuman dingin. Untungnya tersisa 1 toilet saja, ia segera membersihkannya cepat-cepat. Beberapa menit berlalu, kini Dion sedang meminta kunci motornya di dalam ruang guru. Setelah mendapatkan, ia segera pulang. Berlari menuju kamarnya, membilas tubuhnya dengan air dingin. Tubuhnya benar-benar lengket. Kemudian ia segera mengecek dapur, apakah ada makanan berat disana. Ternyata memang benar ada, ibunya sudah memasak sup ayam yang masih hangat. Bergegas lah ia mengambil sepiring nasi, dan siap melahap sup ayam itu. Selesai makan siang, Bu Sisi justru baru keluar dari kamar tidurnya. Ia menyapa Dion yang sedang mencuci piring.“Pulang jam berapa?” Celetuknya.“Belum lama Mah, Maxel mana? Tidur di kamar Mamah ya?” “Iya, ya sudah kamu giliran istirahat. Mamah juga ingin makan siang, lapar.”
Beberapa menit yang lalu Dion sudah membersihkan badannya dan memakai seragam sekolah. Ia segera turun ke lantai 1, untuk mengambil sepatu hitamnya. Tampilan Dion sungguh acak-acakan, wajahnya terlihat sendu. “Ko, sini sarapan dulu. Menu kesukaanmu nih, keripik bayam.” Ujar Bu Sisi, sembari menuangkan segelas susu di dalam gelas.Dion hanya mengangguk, ia tetap berjalan menuju ruang tamu. Sibuk memakai kaos kaki dan sepatunya. Tetapi ia tidak langsung beranjak pergi, Dion memilih diam dan melamun. Sampai Maxel dan Pak Johan sudah berlalu pergi, tanpa ia sadari. “Hati-hati Pah, Maxel pegangan nanti jatuh.” Pesan Bu Sisi. Setelah kepergian suaminya serta anak bungsunya, ia menoleh ke arah anak sulungnya, Dion. Yang sedari tadi duduk terdiam. “Kenapa lagi,” Ujarnya sambil mengernyitkan dahi. Kini Ibunya sudah duduk di sampingnya, membuat Dion menoleh dengan tatapan nanar. Ia langsung memeluk Bu Sisi,
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen