Kini Ku Hilang Selamanya
Pada ulang tahun pernikahan kami yang ke-7, aku menindih tubuh Lionel, suamiku yang adalah seorang mafia, dan menciumnya dengan penuh hasrat.
Di tengah keintiman yang membara, aku merogoh saku gaun sutra mahalku dan mengenggam test pack yang aku sembunyikan di sana.
Aku berencana untuk memberitahunya kabar kehamilanku tengah malam nanti.
Maryos, tangan kanan Lionel, menatapnya sambil tersenyum menggoda dan bertanya kepadanya dalam bahasa Iltan, "Bos, bidadari kecil barumu itu ... si Sofia .... Gimana rasanya?"
Seketika itu juga, Lionel tertawa dengan begitu kencang, membuat bulu kudukku meremang.
Lionel pun menjawab, tentunya dalam bahasa Iltan, "Rasanya seperti ... seperti buah persik yang belum matang. Segar dan lembut."
Tangannya masih mengelus pinggangku dengan lembut, tetapi tatapannya tidak tertuju padaku.
"Ingat, ini rahasia kita. Kalau istriku sampai tahu, habislah aku."
Para anak buahnya tertawa. Mereka bersulang, berjanji untuk tidak membocorkan apa-apa.
Kesabaranku perlahan menipis, digantikan dengan darahku yang mulai mendidih.
Mereka semua tidak tahu bahwa nenekku berasal dari Pulau Sagara. Aku memahami semua isi pembicaraan mereka.
Aku berusaha menahan emosi, mempertahankan senyum sempurna seorang istri pemimpin keluarga mafia. Meski begitu, aku tetap tak bisa membuat tanganku yang memegang gelas sampanye berhenti gemetar.
Emosiku bisa meledak kapan saja dan aku tidak mau membuat kegaduhan. Jadi, untuk mengalihkan pikiranku, aku menyalakan ponsel, membuka undangan proyek riset medis internasional pribadi beberapa hari lalu, lalu menekan tombol "Terima".
Dalam tiga hari, aku akan menghilang dari dunia Lionel, selamanya.