Begitu mereka tiba di Pusat Komunitas, Eleanore bergegas keluar dengan membawa kado Yuna. Ia tidak mengatakan apa pun lagi setelah Van menenangkannya dari panic attack-nya tadi.
Van sedikit heran mengapa serangan panik itu masih saja Ele alami. Dahulu, seingat pemuda itu, Ele juga ia mengalaminya saat bersamanya. Kejadiaannya adalah saat pertama kali mereka naik motor bersama. Responnya sama persis seperti tadi; tangan bergetar, keringat dingin mengalir, dan napas tersengal.
Kenapa gangguan itu tidak juga kunjung sembuh? Van pikir setelah sekian lama Ele bisa mengatasi rasa paniknya. Ternyata masih belum.
Van mengejar Ele masuk ke dalam Pusat Komunitas. Langkah Eleanore begitu ringan. Tanpa perlu diberi arahan, dia sudah bisa memasuki bangunan berwarna putih di depannya.
Tepukan tangan dan nyanyian terdengar saat mereka masuk. Terdapat sekitar 20 orang berdiri mengelilingi seorang wanita yang sepertinya berumur awal tiga puluhan yang berdiri di tengah-tengah. Van mengasumsikannya sebagai Yuna. Wanita itu tersenyum riang sembari menatap kue ulang tahun berbentuk bintang di hadapannya. Ketika menyadari terdapat personil tambahan dari perayaannya, ia terlonjak antusias dan berlari mendatangi mereka.
“Eleanore!” Ia menarik Eleanore ke dalam pelukannya. Eleanore tersenyum lebar dan menyerahkan bungkusan kado di tangannya.
“Selamat ulang tahun, Kak Yuna!” Matanya menatap dahi Yuna yang rupanya sedikit lebih pendek darinya. Yuna tertawa renyah sebelum menerima kado yang Eleanore ulurkan.
“Ku kira kau tak akan datang!” Ia memeluk Eleanore lagi. “Sudah sebulan ini kau tak pernah datang,” ucapnya lagi. Eleanore hanya tersenyum mendengar ucapan itu.
Yuna akhirnya mengalihkan pandangannya kepada Van dan mengerutkan dahinya.
“Kau Aldo?” tanyanya pada Van
“Bukan,” jawab Eleanore sebelum Van membuka mulutnya.
“Eh—Ravi?”
“Bukan”
“Titus?”
“Dia sudah berhenti 3 bulan yang lalu, Kak,” jawab Eleanore kalem.
“Joe?”
“Dia menikah sebulan yang lalu, Kak.”
“Itu semua nama perawatmu? Perawatmu selalu laki-laki?” tanya Van heran. Eleanore mengabaikan pertanyaan itu.
“Ah, oke lah. Kau terlalu sering berganti perawat, Ele.” Yuna menyela Van. “ Siapa namamu?”
“Van.” Jawab yang ditanyai sembari mengulurkan tangan menjabatnya.
Tak berapa lama, mereka digiring untuk ikut berdiri di antara orang-orang yang telah berkumpul. Demi kesopanan, Van juga ikut menyanyikan lagu ‘Selamat Ulang Tahun’ untuk Yuna. Berdiri di sebelah Van, Ele hanya berdiri diam bertumpu dengan tongkat putihnya dan memandang lurus ke depan. Ia tidak ikut bernyanyi, melainkan hanya bertepuk tangan dengan hampa.
“Kau harus menyanyi untuknya,” bisik Van. Ia sedikit terlonjak dan melayangkan tatapan protesnya pada Van.
Yuna memotong kue ulang tahunnya dan menyerahkan potongan pertamanya kepada Ele. Ele menerimanya namun tidak sedikit pun mencicipi kue cokelat itu. Sang Perawat juga mendapatkan sepotong kue yang langsung ia sikat habis karena ia belum makan apa pun sejak pagi tadi.
Seorang wanita muda berambut merah mendatangi Eleanore dan Van. Ia adalah salah satu penjaga di Pusat Komunitas. Ia meminta Ele untuk ikut dengannya. Saat Van menanyakan apa yang akan ia lakukan, Ele menjawabnya dengan dingin bahwa itu bukan urusan pria itu sama sekali. Dengan mengalah, akhirnya Van membiarkan Ele dan wanita itu berjalan memasuki salah satu ruangan di ujung bangunan ini.
Beberapa kursi yang sudah disediakan digunakan para tamu untuk duduk bersantai. Tak berapa lama kemudian, Yuna datang untuk menanyakan di mana Ele berada. Van menduduki salah satu sofa putih dan berbincang-bincang dengan Yuna mengenai tempat itu. Berdasarkan penuturan Yuna, rupanya orang tua Yuna merupakan pemilik Pusat Komunitas ini sementara ia menjadi sukarelawan membantu mengajar orang-orang di sini, di samping pekerjaannya sebagai penulis lagu.
“Bagaimana awalnya Eleanore bisa berada di sini?” tanya Van sembari menyesap soda di tangannya. Yuna tersenyum simpul sebelum menceritakannya.
“Dia pertama kali datang kesini sekitar 10 tahun yang lalu,” ujarnya. “Dia sangat kacau. Benar-benar kacau. Ia sering menangis histeris namun tiba-tiba diam seribu bahasa. Hanya duduk diam dengan pandangan kosong. Butuh waktu lama bagi kami untuk membujuknya agar berhenti terkurung dalam kesedihannya.”
Van menelan ludahnya dengan susah payah dan melirik pintu yang Eleanore masuki 10 menit yang lalu.
“Apa yang sebenarnya terjadi padanya?” tanya Van sedikit menuntut. Van butuh mengerti kebenaran yang sebenarnya tentang hal ini.
Yuna meletakkan gelas sodanya. “Yah, aku tak tahu banyak tentang hal itu. Dia tak mau berbagi lebih banyak denganku meskipun kami cukup dekat. Apalagi ibunya yang mengerikan dan ayahnya yang super duper cuek itu,” ucapnya. Van menganggukkan kepalanya menandakan Yuna harus melanjutkan ceritanya.
“Yang ku tahu, ia kehilangan pengelihatannya ketika ia duduk di bangku SMA. Aku tak tahu kenapa. Setiap kali aku mencoba menanyakannya dengan pelan-pelan, ia selalu menolak untuk membahasnya. Orang tuanya pun tak banyak menjawab pertanyaanku.” Ia melanjutkan. “Lalu ibu kandungnya meninggal dan kakaknya pergi meninggalkan rumah. Ku rasa ia benar-benar terpukul akan hal itu. Aku bisa melihat bahwa ia kehilangan orang-orang terdekatnya di saat ia membutuhkan dukungan.”
Van menggertakkan giginya. Ibu kandung Ele meninggal? Lalu kakaknya pergi? Bagaimana bisa? Bukannya ia adalah kakak yang baik bagi Eleanore?
“Kau benar-benar tak tahu hal apa yang menimpa Eleanore hingga ia menjadi buta?” Van mendesaknya lagi. Yuna terlihat memikirkan sesuatu selama beberapa detik sebelum ia akhirnya bergumam Ah! dan menjawab Van.
“Saat Eleanore dalam masa kacau. Dalam tidurnya ia sering menggumamkan sebuah nama.” Yuna menggaruk rambut hitamnya. “Tor ...? Tora? Ku rasa benar. Tora.”
Napas Van tercekat.
Nama Van.
Nama yang Eleanore tahu di masa lalu.
Nama yang ia sembunyikan di bawah bayang-bayang nama Van.
“Saat aku menanyakan siapa itu Tora, ia mulai menangis lagi. Aku benar-benar tak tega melihat adik kesayanganku serapuh itu.”
“Tapi suatu hari dia pernah menjawabnya. Ia hanya mengatakan bahwa Tora adalah orang yang sangat ia benci. Dialah yang membuatnya buta seperti itu. Saat ku tanyakan lagi bagaimana bisa ia membuat Ele buta, ia hanya menggeleng dan mengatakan bahwa ia sangat membenci Tora.”
Membenci Tora.
Alias membenci Van.
Van tak merespon ucapan Yuna. Van memaksa memutar kembali ingatannya 10 tahun yang lalu. Tidak mungkin. Seharusnya semua itu sudah terselesaikan. Seharusnya Eleanore bisa kembali seperti dulu.
Siapa lagi yang harus Van tanyai? Saat ia mencoba menanyakannya pada Ghani, sahabatnya itu tak tahu apa yang menyebabkan Eleanore buta. Ia hanya berkata bahwa itu semua salah Van. Semua orang menyalahkannya.
Hingga sebuah nama terlintas di kepala Van.
Ada satu orang lagi.
Ada satu orang lagi yang bisa ia tanyai.
Ia harus menemui orang itu sesegera mungkin.
“Bilang saja.”Ele mengernyitkan keningnya seiring dengan berhentinya lagu yang diputar Van. Lagu selanjutnya tak kunjung bisa Ele dengar. Mungkin Van sengaja menekan tombol pause karena katanya perawatnya ingin mengatakan sesuatu. Ele menunggu dalam diam, tapi tak ada satu patah kata pun yang terucap dari bibir Van.“Mau bilang apa?” tanya Ele.Van masih tak mau menjawabnya. Pria itu, tanpa sepengetahuan Ele, malah duduk gelisah sambil meracau dalam diam. Van menjambak rambutnya sendiri dan ia mengumpat tanpa suara. Ia dalam kebimbangan luar biasa karena separuh hatinya ingin mengatakan kebenaran, namun separuh lainnya merasa masih belum siap. Tapi sialnya ia sudah terlanjur mengatakan akan memberitahu Ele.“Van? Jangan diam saja!”Ele mulai kesal. Perawatnya seolah berubah menjadi orang gagu karena tak menyahut sedari tadi. Ia mulai memandang curiga ke arah Van.“Apa kau menyembunyikan sesuatu dari
“Sewaktu aku SMA, ayah memberikan banyak uang pada Kak Rey untuk merintis start up. Ayah tadinya akan memberikan salah satu anak perusahaannya pada Kak Rey namun kakakku menolaknya. Ia bilang jika ia ingin berusaha membangun sendiri perusahaannya tanpa campur tangan ayah. Akan tetapi, ayah tak tega. Ia akhirnya memberikan suntikan dana dan membiarkan Kak Rey menjalankan sendiri usahanya. Ia lalu pernah berkata padaku bahwa perusahaan yang seharusnya diberikan pada Kak Rey, kelak akan diberikan padaku jika aku sudah lulus kuliah. Sekarang perusahaan itu dikelola atas nama Agatha. Wanita itu merampasnya dariku.” “Sejak kapan Agatha menjalankan perusahaan itu?” “Setelah ia menikahi ayahku sepuluh tahun yang lalu,” jawab Ele. “Semua mimpi burukku terjadi sepuluh tahun yang lalu.” “Apa saja yang terjadi sepuluh tahun yang lalu?” Van mencoba memancing Ele. Kendati ia tahu betul situasi sepuluh tahun silam yang dimaksud Ele, namun ia ingin mendengar sendiri secara langsung dari Ele. “Kau
Ele dan Van berhasil kembali ke rumah sebelum petang. Satu jam setelahnya, Agatha dan Damian pulang ke rumah setelah menjalani perjalanan bisnis sekaligus liburan di Maldives. Kedua orang tua Ele itu tiba dengan membawa berbagai macam buah tangan baik berupa makanan atau pun barang. Ele yang kala itu tengah menyantap makan malamnya bersama Van buru-buru menghabiskan makanan di piringnya. Ia mencoba menghindari bertemu dengan orang tuanya sebisa mungkin. Sayangnya, ketika di suapan terakhir, Damian dan Agatha datang ke ruang makan untuk menahan Ele. Dengan wajah sumringah, Damian memberikan sebuah kotak yang dihiasi dengan pita berwarna putih di bagian atasnya. Ia meletakkan kotak itu di pangkuan anaknya. “Buka lah,” ujar Damian. Tanpa bergairah Eleanore membuka kotak itu. Rupanya Damian memberikan sebuah clutch berwarna marun yang terlihat elegan. Ele meraba-raba bentuk clutch itu lalu meletakkan kembali pemberian ayahnya ke dalam boks. Ia jelas tak tertarik sama sekali. “Kau suka
Selepas bertemu dengan Reynold, Van bergegas memesan tiket pulang. Ia berpacu dengan waktu. Setelahnya, pria itu langsung ngebut gila-gilaan menuju ke Pusat Komunitas untuk menjemput Ele. Beruntung baginya ia bisa mengandalkan Ghani, sahabatnya yang juga diundang ke Pusat Komunitas, untuk mengulur waktu. Dengan bantuan Ghani, Ele bisa sedikit lebih sibuk sehingga gadis itu baru minta dijemput pada pukul tujuh malam. Sesampainya di rumah, rupanya gadis itu kelelahan. Ele melewatkan makan malam dan memilih tidur lebih awal. Beruntung sekali lagi bagi Van, karena dengan begitu ia bisa mengistirahatkan tubuhnya yang terasa pegal akibat perjalanan luar pulau yang mendadak ia lakukan dalam satu hari. Ia tidur dengan meminum obat pereda nyeri untuk meredakan rasa sakit akibat pukulan dan tendangan yang dilayangkan Reynold. Di pagi harinya, ia bangun dan menyiapkan segala keperluan Ele untuk ke rumah sakit. Agatha dan Damian yang masih belum pulang ke rumah menjadi salah satu hal baik yang m
Kalimat yang keluar dari bibir Reynold membuat Van terhenyak. Ia kesulitan bernapas dan hanya mematung menatap kosong pada Reynold. Tubuhnya terasa luar biasa lemas. Bahkan saat dirinya dibawa keluar oleh beberapa waiter, dirinya hanya bisa pasrah. Van kehilangan kalimat yang sudah ia rangkai di kepala. Yang ada di kepalanya saat ini praktis tak ada. Ia terlampau terkejut setelah mendengar ucapan Reynold. Setelah mencari-cari alasan mengapa semua orang menyalahkannya atas kondisi Ele, akhirnya ia tahu juga penyebabnya. Penyebabnya tak lain dan tak bukan adalah karena Ele yang mengalami kecelakaan akibat mengejar mobilnya sepuluh tahun silam. Kecelakaan yang sama sekali tak ia ketahui. Tak ada satu pun orang yang memberitahu tentang kecelakaan itu. Ia merasa seperti idiot yang tak tahu menahu. “Brengsek Sialan! Kau membuatnya buta!” “Kak—" “Keluar kalian berdua!” Van merasakan tangannya diseret oleh seorang pria bertangan kekar. Tangan itu mencengkeram erat lengan atasnya. Saat ia
“Tora?”Sosok yang tengah duduk di tengah-tengah keramaian itu memanggil sebuah nama yang tentu tak asing di telinganya.Sosok yang selama ini dicari mati-matian oleh gadis yang ia kasihi memanggil nama itu dengan nada yang terlewat tenang. Akan tetapi, nada tenang yang mengalun dari bibir itu menyiratkan sesuatu yang lebih besar. Seolah-olah ia tengah menahan sesuatu yang telah lama ia pendam. Seperti akan ada badai yang datang setelah ketenangan tak menenangkan yang didengar itu menyapa gendang telinga Van.Yang dipanggil Tora lalu mengamati balik orang itu dengan pandangan menelisik. Terima kasih pada sekretarisnya yang telah berusaha keras untuk menemukan Reynold. Berkat kemampuan handal dan koneksi yang tersedia, sekretarisnya berhasil menemukan keberadaan Reynold yang ternyata tinggal di Bali selama pelariannya sepuluh tahun ini.Terima kasih pula pada Yuna yang mendadak mengajak Ele untuk datang ke Pusat Komunitas hari ini. Yuna bilang