Unit perawatan intensif khusus telah disterilkan sesuai protokol baru. Beberapa perawat senior telah dipilih langsung oleh Valen—semuanya terbiasa bekerja di bawah tekanan tinggi.Milena terbaring lemah di tengah ruangan. Di dadanya terpasang kanula oksigen dengan ventilasi tekanan rendah, matanya setengah terbuka namun tak benar-benar sadar. Napasnya berat. Gurat-gurat nyeri masih tampak membayang di wajahnya.“Tekanan darah turun jadi 89/53. Saturasi drop ke 89. Kita butuh tindakan sekarang, Dok.”Valen berdiri di sisi ranjang. Lengkap dengan APD dan sarung tangan steril. Matanya fokus pada monitor, lalu beralih ke wajah pasien.“Masukkan dosis pulse steroid. Methylprednisolone 500 mg, infus lambat. Lanjutkan dengan biologik—tocilizumab 400 mg dalam 60 menit.”Perawat dan apoteker klinis menatapnya sejenak, ragu. Tapi Valen tetap tenang.“Sudah saya approve ke farmasi. Data uji klinisnya saya lampirkan semalam. Ini bukan eksperimen, ini strategi—berdasarkan jalur respons yang ia tun
Gedung Centra Group menjulang kokoh di belakang punggung Cheryl, tapi rasanya justru dadanya yang kini lebih tegak. Ia menuruni anak tangga lobby dengan langkah ringan, hampir melayang. Kemenangan itu... terasa manis. Hangat. Membuncah seperti matahari pagi yang baru saja menyentuh kulitnya.Angin menyapa pipinya, dan Cheryl menutup mata sesaat. Tuhan, ini rasanya seperti hidupku akhirnya mulai mengarah ke tempat yang benar.Tentu saja dia tahu—sejak awal, rekomendasi Tuan Sigit sudah lebih dari cukup untuk mengamankan satu kursi di perusahaan bonafit mana pun. Tapi tetap saja... Siska dan Arya tidak akan menaruh simpati padanya hanya karena ia titipan Tuan Sigit. Mereka bukan tipe orang seperti itu. Dan tadi, selama tiga puluh menit yang sangat intens, Cheryl benar-benar melihat mereka—melihat dirinya sendiri—tanpa bayangan siapa pun.Dan itu, justru yang paling memabukkan.Valen adalah orang pertama yang terlintas di benaknya. Pria itu mungkin bukan segalanya dalam hidup Cheryl. T
Gedung Centra Group menjulang angkuh di jantung distrik niaga, seperti monumen dingin yang menjunjung efisiensi, bukan estetika.Pagi itu, Cheryl tiba di sana dengan langkah yakin, mengenakan blazer krem dan celana kain gelap yang memeluk tubuh rampingnya tanpa cela. Tak satu pun dari langkahnya menunjukkan kegelisahan. Dia sudah belajar, dunia kerja tidak butuh belas kasihan—hanya kompetensi dan kontrol diri.Setelah menyampaikan maksud kedatangannya, petugas di lobi mempersilakan Cheryl naik ke lantai 17, ke ruang HRD, tempat wawancara dijadwalkan berlangsung.Ketika pintu lift terbuka, Cheryl disambut oleh ruangan bergaya minimalis dengan dominasi putih dan sentuhan logam. Seorang staf langsung membawanya menuju ruang kaca di ujung koridor.Di sana, dua pewawancara telah menunggunya.Satu pria dengan batik biru gelap dan wajah tenang. Namanya Arya. Profesional. Tak banyak basa-basi.Satunya kagi, perempuan dengan rambut pendek, riasan tegas, dan cara menatap seperti sedang mengulit
Bahu Cheryl langsung terkulai lemas. Napasnya terperangkap di tenggorokan.“Bara? Membelinya?” tanyanya dengan suara nyaris tercekat. Matanya berkedip lambat, seolah masih berusaha mencerna kabar yang baru saja masuk ke telinganya.Valen mengangguk. “Sudah lama. Sejak kamu pindah dari sana, dia langsung membelinya. Katanya begitu.”Mendengarnya, ada kilatan kekecewaan dan getir yang mencuat dari sorot mata Cheryl. Sekilas, bayangan tentang sudut-sudut rumah yang ia isi bersama ayahnya itu muncul di benaknya—-jejak masa lalu yang sulit ia lepaskan. Sekarang, dia benar-benar kehilangan rumah penuh sejarah itu. “Apa coba maunya?” desahnya pelan. “Padahal Bara sudah punya segalanya, tapi dia tetap merebut satu-satunya hal yang ingin kumiliki.” Ia tak bisa menyembunyikan kekecewaannya.Valen menatapnya. “Cheryl, aku yakin Bara pasti punya alasan. Dan apalagi alasannya kalau bukan... kamu?”Cheryl balas menatap Valen dengan sorot tak percaya. “Aku?” tangannya menunjuk dada sendiri.Valen
Cermin itu memantulkan sosok Cheryl yang tampak lebih segar pagi ini. Ia duduk tegak di depan meja rias, menggenggam kuas bedak seolah benda kecil itu adalah tongkat sihir yang akan menghapus kesedihan di wajahnya kemarin.“Aku siap bekerja, berkarir, dan tidak ada ruang buat patah hati lagi,” gumamnya pada bayangan dirinya sendiri.Nada suaranya pelan, tapi sarat keteguhan. Bukan sekadar afirmasi, tapi pengumuman pada dunia—dan pada dirinya sendiri—bahwa Cheryl yang hari ini bukan Cheryl yang kemarin.Ia menatap bayangannya lebih lama. Rambutnya ia biarkan terurai lembut di bahu. Bibirnya diguratkan sedikit warna mawar muda, cukup memberi kesan segar tanpa harus tampak berlebihan.Ia sudah mendapat panggilan wawancara kerja dari Centra Group—perusahaan raksasa di bidang retail—yang kantor pusatnya berdiri megah di pusat bisnis kota. Dan pagi ini, dia akan masuk ke jantung perusahaan itu. "Santai aja. Interview ini kan cuma formalitas," ujarnya dengan nada setengah menyemangati diri.
Bara menggenggam ponselnya erat usai menelepon Valen. Sendi-sendinya menegang, namun sorot matanya tetap dingin, menatap lurus ke depan seperti sedang memandang jauh melintasi tembok-tembok rumah sakit. Seolah penglihatannya bisa menembus hingga ke lantai eksekutif milik Valen.“Aku tahu, kamu menyukai Cheryl, Dok,” gumamnya lirih, nyaris tak terdengar di tengah hembusan angin malam yang membelai wajahnya. “Tapi aku juga tahu, kamu bukan pria lancang yang suka mengambil sesuatu yang bukan milikmu.”Nada suaranya terdengar yakin, biarpun tetap saja ada gentar yang merambati hatinya. Ia menutup mata sejenak. “Tapi setidaknya istriku berada di tempat yang aman sekarang. Di mana Opa Sigit tak akan bisa mengusiknya di sana.”Ya. Jika ia harus menyerahkan kepercayaan itu pada seseorang, maka Valen adalah satu-satunya pilihan yang masuk akal. Biarpun ia tahu Valen juga menyukai Cheryl, tapi Bara yakin bahwa Valen adalah pria yang tahu batasan.“Cheryl, aku tidak menjemputmu sekarang bukan