Bab 5 : Selamat Datang di Kesultanan Al Hajjaz
Hari ini aku dan Razi untuk yang pertama kali melakukan perjalanan ke luar wilayah kekuasaan Konstin. Biasanya jika kerajaan kami berhasil menaklukkan suatu negeri, kami akan jalan-jalan ke sana dengan perasaan senang. Namun, kali ini kami meninggalkan istana dengan hati yang remuk redam. Akankah kami bisa kembali lagi ke tanah kelahiran kami atau tidak seperti biasanya? Entahlah ....
Kami bukan lagi seorang bangsawan, kami hanyalah tawanan perang. Oh, alangkah takdir bagaikan roda yang berputar. Kali ini kami berada di bawah ... apakah dapat kembali ke atas? Sekali lagi, entah.
Beberapa kali kami semua berhenti untuk mengistirahatkan orang-orang yang berjalan kaki. Entah berapa hari bisa sampai ke tujuan. Ke perbatasan di bukit Magindu saja butuh sepuluh hari. Sudah tengah hari, matahari begitu terik. Kami disuruh turun dari kereta, dan berteduh di bawah pepohonan di dekat sebuah sumur.
Pasukan Al Hajjaz sepertinya sibuk mengambil air di sumur tersebut. Aku perhatikan mereka mengisi kantung-kantung air minum. Kemudian bergiliran mencuci muka, tangan, sampai ke kepala. Sepertinya mereka begitu kepanasan.
Para tawanan juga ada yang mencuci mukanya, tapi pasukan Al Hajjaz melakukan hal itu dengan berbeda, mereka seperti teratur membasuh wajah, lengan, kepalanya. Alas-alas kaki mereka juga diusap dengan air. Aneh ....
Ah, tunggu ... apa yang mereka lakukan?
Mereka berbaris rapi sekali, bahu dan pinggir kakinya saling disentuhkan. Tidak semua, sebagian tetap berjaga-jaga. Ada seseorang yang bersuara keras di antara barisan itu, apa itu yel-yel khas mereka? Kata-katanya seperti waktu itu mereka teriakkan ketika habis menghancurkan gerbang benteng istana kami.
Nah, sekarang apa lagi yang mereka perbuat? Sungguh asing di mataku.
"Mereka sedang apa, Bi?" Razi yang berbaring di pangkuanku pun memperhatikan keanehan yang pasukan Hajjaz lakukan.
Aku menggeleng dan mencebik. "Bibi juga tidak tahu, Nak .... "
Razi pun kemudian diam. Tiba-tiba ada beberapa prajurit Al Hajjaz yang datang. Mereka membawa nampan berisi makanan.
"Ini ... makan siang kalian."
Diletakkan nampan-nampan itu di hadapan kami. Penuh makanan dan buah-buahan, sepertinya dari istana kami. Para tawanan pun berkumpul mengelilingi nampan-nampan itu. Dari tadi malam hingga saat ini, mereka memperlakukan kami dengan sangat baik. Kalau aku perhatikan, makanan mereka dan makanan kami tak ada bedanya. Apa yang mereka makan, itu juga yang kami makan. Sungguh berbeda jika di istana, makanan pembesar istana tentu saja tidak sama dengan makanan para budak, apalagi tawanan. Bahkan yang aku tahu, tawanan perang sering kali tidak diberi makan.
Kami pun makan siang, perut memang sudah lapar. Jelas saja ini memang waktunya makan siang. Numa dan ibunya makan dengan lahap, tapi aku tak begitu berselera. Aku makan hanya sekadar mengganjal perutku yang meronta agar diam, tenang.
Pasukan Hajjaz terlihat bergiliran dengan pasukan yang tadi bagian berjaga. Mereka melakukan ... ah! Aku tak paham apa yang mereka lakukan dengan berbaris dan gerakan-gerakan aneh, menundukkan badan seperti para pengawal kami jika pembesar memanggil untuk menghadap. Mereka juga bersujud dipimpin oleh seseorang yang berada paling depan.
Mereka lalu makan bersama, tanpa ada jarak antara satu dengan lainnya. Memang terlihat dari pakaian, mana prajurit biasa dengan para pemimpin, tapi mereka sama sekali berbaur, apalagi di saat makan. Kami dulu tidak demikian. Hemm ... baru dua harian, aku sudah bilang 'dulu'. Kerajaan Konstin tinggal kenangan. Menyedihkan ....
***
Enam belas hari perjalanan dari Kerajaan Konstin kami pun sampai di gerbang ibu kota Al Hajjaz, Barkah. Ah, tidak ... kini Kerajaan Konstin sudah usai. Kampung halaman kami sudah dikuasai oleh Kesultanan Al Hajjaz. Kami harus belajar menerima kenyataan itu.
Ibu kota Al Hajjaz terlihat maju, tak kalah dengan Konstin. Di pinggir-pinggir jalan terlihat para pedagang menjual macam-macam dagangannya. Rata-rata penjual itu para lelaki.
Aku melihat beberapa wanita lewat, pasti selalu dengan lelaki bersamanya. Para wanita memakai pakaian gelap, rata-rata hitam. Mereka juga memakai penutup wajah. Mereka juga tak terlihat memakai perhiasan apa pun. Hemm ... sungguh mengherankan. Apa wanita-wanita itu tak mau memperlihatkan kecantikannya?
"Putri, lihat ... wanita-wanita di sini pakai penutup muka. Kenapa, ya?" tanya Numa.
"Entahlah. Aku juga heran, Numa .... "
"Nah, itu ada yang tidak pakai penutup muka, Putri ... tapi, tetap dia berusaha menutupi wajahnya pakai kain kudungnya," lanjut Numa.
Aku mengangguk-anggukkan kepala membenarkan omongan Numa.
"Kalian jangan panggil aku putri lagi ya," ucapku pada mereka yang ada di dalam kereta. Sebelumnya sudah aku peringatkan, tapi kadang mereka masih saja lupa. Aku tak mau identitasku dan Razi terbuka.
"Ma-af, Zara .... " Numa menunduk malu.
Aku tersenyum seraya menggenggam jemarinya. Ia pun ikut tersenyum. Akhirnya kami sampai ke sebuah benteng, entah di mana ini. Kereta berhenti.
"Turun ... turuun ...!" Prajurit Hajjaz memerintahkan.
Lelaki dan wanita kembali dikelompokkan. Oh, tidak ... aku takut Razi terpisah denganku.
"Tuan ... tolonglah, biar aku bersama anakku," ucapku pada seorang prajurit.
"Maaf, tidak bisa. Titipkan saja dulu dengan keluarganya yang pria," jawab orang itu.
Aku terus memohon dengan tatapan yang pelas, berharap mereka mau mengabulkan.
"Sini, biar dengan saya .... " Tiba-tiba Banu datang meraih Razi dari gendonganku.
"Anak itu sudah bukan kategori bayi lagi. Kalau bayi baru kami satukan. Sudah, nanti saya usahakan Anda bisa bersama anak Anda." Prajurit tadi berkata sedikit melegakan hatiku. Lalu kami digiring ke benteng sel khusus wanita sedangkan Banu sudah bergabung dengan para tawanan pria.
***
Sudah tiga hari aku terpisah dari Razi. Entahlah ada perasaan takut di dalam hatiku. Aku berharap tuan yang waktu itu menunaikan janjinya untuk mengusahakan agar kami bersama.
"Kamu ... kamu ... kamu ... dan kamu, ke mari!" Seorang prajurit Hajjaz memanggil beberapa wanita kemudian membawanya pergi. Mau dibawa ke mana mereka?
Keesokan harinya, datang lagi beberapa prajurit Hajjaz. "Kamu ... kamu ... kamu ... kamu ... dan kamu, sini! Ikut saya." Kembali prajurit Hajjaz hendak membawa beberapa wanita.
"Tidak, Tuan ... izinkan aku tetap bersama Kakakku .... " Wanita itu menangis memohon.
"Tidak! Cepat ikut!" ucap sang prajurit tegas.
Wanita itu tetap tak mau pergi. Akhirnya prajurit itu pun menarik tubuh wanita tersebut dengan paksa. Kakak adik itu menangis meraung-raung. Hatiku sungguh sakit melihat pemandangan itu.
"Numa ... Mina, bagaimana ini? Apakah kita akan dipisahkan seperti mereka?" tanyaku dengan mata yang sudah basah.
Numa dan ibunya pun menggeleng tak tahu. Mereka juga menangis sedih.
Keesokan harinya prajurit Hajjaz datang lagi. Hatiku berdebar kencang, setelah dua hari beberapa wanita diambil tanpa tahu dibawa ke mana. Tentu saja, siapa yang tidak khawatir. Aku menggenggam tangan Mina.
"Kamu ... kamu ... kamu ... juga kamu." Oh tidak! Akhirnya telunjuk prajurit itu di depan wajahku. "Ikut saya!" lanjutnya tegas.
"Tuan, izinkan aku bersama mereka," ujarku sembari menggenggam tangan Mina dan Numa.
"Tidak! Cepat ke mari!" Prajurit itu mengeraskan suaranya. Membuatku bergidik ngeri.
"Tolonglah, Tuan ... hanya mereka keluarga saya .... " Aku memelas.
"Tarik dia!"
Hatiku kalut dan ketakutan. Dua orang lelaki akhirnya menarik tubuhku agar terpisah dari Numa dan Mina. Numa dan ibunya ikut menjerit dan berusaha menahan tubuhku, tapi ditahan oleh prajurit lainnya.
Aku berteriak histeris, "Tidak, Tuaan! Tidaaaak! Aku mohoooon ...!”
Bab 73 : Ekstra PartSetelah Hurin sembuh sepenuhnya, ia pun diboyong kembali ke Kesulthanan Konstin. Sampai di sana, wanita muda jelita itu disambut meriah oleh sang ibu, Zara Shaka Arb. Hurin sangat bahagia. Kini ia merasa sangat sempurna dengan keluarga yang lengkap.Selama hampir dua bulan Hurin mengalami nifas akibat kehilangan janin yang ternyata sudah berusia sebulan lebih. Selama itu juga ia mengonsumsi madu pilihan juga ramu-ramuan dari tabib istana untuk mengembalikan kesehatan dan kesuburannya. Sejak wanita jelita itu masuk Islam, inilah kali pertama dalam waktu yang lama ia tidak menjalankan ibadah shalat. Ia sangat rindu untuk melakukan itu.Inilah hari di mana ia telah selesai melewati masa nifas yang sampai empat puluh hari. Akhirnya kerinduannya untuk shalat terobati. Karena merasa bersih di waktu Isya, ia pun mengqada shalat magrib, dilakukan di waktu Isya. Setelah selesai shalat, wanita muda itu duduk d
Bab 72 : TerangFakhrurrazi bersama lima orang pengawalnya heran melihat perbatasan di lembah Sira. Tenda-tenda milik pejabat dan tentara Negara Konstin telah bersih. "Ke mana semua orang?" tanya pria itu. Matanya diedarkan ke sekeliling tempat itu."Mereka tidak mungkin pulang, Tuan! Kita tidak melihat mereka menuju jalan pulang." Salah seorang pengawal mendekati Fakhrrurazi. Mereka semua masih di atas tunggangannya masing-masing.Sang pejabat menteri mengangguk. "Kita menyebar dan berkumpul lagi di sini untuk melaporkan hasil penglihatan masing-masing sampai menjelang Dzuhur. Kau dan kau ke arah sana, kau juga kau ke sana. Aku dan dia ke sana!" perintah Fakhrurazi mengarahkan kelima prajuritnya."Baik, Tuan!" jawab para prajurit itu serentak.Sampai menjelang waktu Dzuhur, Fakhrurazi bersama seorang pengawal yang memeriksa arah barat, tidak mendapat tanda-tanda keberadaan orang
Bab 71 : Hurin?"Ini surat dari Putri Mahkota Andusia," ujar salah seorang utusan dari Kerajaan Haura.Sulthan Abdul Aziz memberi isyarat kepada Fakhrrurazi. Sang pejabat menteri pun mengambil surat itu kemudian membacanya. Betapa terkejutnya ia ketika membaca tulisan tangan sang istri.'Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh.Aku memutuskan untuk tidak kembali kepada engkau, Suamiku ... Raja Negeri Haura mejanjikanku kesenangan. Lagi pula kau hanya pejabat menteri biasa. Aku pasti lebih bahagia menjadi permaisuri dari Raja Hamran.Maafkan aku mengecewakanmu. Katakan kepada Sulthan Abdul Aziz, tidak perlu repot lagi berperang. Aku sudah memutuskan untuk memilih Raja Hamran dibandingkan suamiku sendiri.Oh, iya, aku tunggu berita kau menalaqku, Tuan Fakhrurazi.TertandaRoseline'Seketika
Bab 70 : Keputusan RoselineSetelah setengah harian mengobrol bersama Lucy, Roseline dan Jena pun pamit untuk pulang seusai shalat Dzuhur. Namun, sang putri berniat mengunjungi Elisa sebelum kembali ke istana."Wah, aku rindu sekali dengan Elisa, Tuan Putri!" seru Jena senang.Roseline mengulas senyuman. "Kita ke pasar dulu beli camilan dan buah untuknya. Dia 'kan sedang hamil, tentu dia senang dibawakan buah seperti waktu itu," ujar wanita cantik tersebut.Jena mengangguk dengan bibir yang senantiasa tersenyum.Rumah Elisa dan Steve berada di pinggiran kota. Melewati sedikit wilayah yang penuh dengan pepohonan. Hutan yang tidak begitu lebat. Bersama Nu'man, kusir baru keluarga, Roseline dan Jena menuju ke sana setelah mendapatkan camilan dan buah-buahan dari pasar.Tengah hari itu langit begiu cerah. Perjalanan menuju rumah Elisa memang t
Bab 69 : Keyakinan DiriKarena pikiran berat yang senantiasa mengusik, Roseline jatuh sakit. Badannya panas dan beberapa kali muntah, hingga membuat orang di sekitarnya khawatir. Fakhrrurazi memutuskan untuk mengambil cuti beberapa hari agar bisa merawat sang istri."Bagaimana keadaannya?" tanya Zara cemas kepada putranya setelah tiga hari sang putri sakit. Tampak di tangannya membawa sepinggan kecil potongan buah."Alhamdulillah, panasnya sudah turun, Bu," jawab Fakhrurrazi di depan pintu kamarnya sambil memegang bejana air yang sudah kosong. Sepertinya ia ingin ke dapur untuk mengisinya.Zara kemudian melangkah masuk melewati dua lapis tabir yang menyekat ruang itu menjadi tiga bagian. Tampaklah Roseline yang tengah melamun menatap ke arah jendela sambil berbaring di ranjangnya. Haris terlihat tengah memijat kaki sang ibu dengan jemari kecilnya.Ketika menyadari kedatangan Zara
Bab 68 : Kecamuk di Dalam HatiMenjelang dini hari Fakhrurrazi kembali dari bertugas. Ia melihat sang putra dan istrinya telah terlelap. Oleh karena tubuh yang merasa begitu lelah, seusai membersihkan diri lelaki itu pun merebahkan diri di samping Roseline. Lengan kekarnya memeluk pinggang ramping sang istri. Tidak lama kemudian pria itu terlelap dengan sendirinya, ia tak menyadari jejak air mata yang ada di pipi wanitanya.Ketika waktu hampir subuh, Roseline terbangun. Kelopak mata indahnya mengerjap hendak mengembalikan kesadaran. Seketika ia menyadari ada lengan yang memeluk perutnya. Kembali pikiran wanita jelita tersebut terusik dengan kenyataan bahwa pria yang kini berada dekat tanpa jarak itu adalah kakaknya.Roseline menatap lekat wajah lelap sang pria. Sungguh rupawan, walau yang ia tahu pria itu dari ayah berbeda, tetapi bukankah mereka lahir dari rahim yang sama? Begitu pikirnya. Garis wajah di had