Sienna menatap Sebastian dengan emosi yang campur aduk. Napasnya tersengal.
“Kau mengawasi hidupku?” desisnya tak terima. “Sejak kapan? Apa kau mempekerjakan orang untuk menguntitku? Menyusup ke dalam privasiku seolah aku ini—”
“Calon ibu dari anakku,” potong Sebastian dengan tenang namun tegas, seolah ucapannya adalah fakta yang tak terbantahkan.
Sienna membeku. Kata-kata itu membentur telinganya seperti tamparan, dan untuk sesaat, ia tidak mampu berkata-kata.
“Jangan terlalu terkejut, Sienna,” lanjut Sebastian. “Apakah terlalu aneh jika aku mencari tahu tentang seorang wanita yang mungkin akan melahirkan penerus keluarga Dellier?”
“Mungkin?” Sienna mendesis, matanya menyala karena marah. “Kau bicara seolah aku ini alat—pabrik bayi untuk melahirkan keturunanmu!”
Sebastian mengangkat bahu. “Aku realistis. Kau datang malam itu dengan alasanmu sendiri. Tapi aku tidak akan berpura-pura bahwa satu malam tidak memiliki konsekuensi. Aku menghitung kemungkinan, dan aku mempersiapkan diri untuk hasil apa pun. Aku harus tahu siapa kau. Dari mana kau berasal. Apa yang bisa membahayakan atau melindungi anak itu jika seandainya kau hamil. Aku hanya sedia payung sebelum hujan.”
“Kau gila.”
“Wajar.” Sebastian tersenyum miring. “Itu yang biasanya dikatakan orang-orang saat mendapati logika dan dominasi tak bisa mereka lawan.”
Sienna menggigit bibirnya frustasi. Bukan karena tidak mampu membalas, melainkan karena setiap kalimat pria itu memiliki dasar yang tak bisa ia bantah. Terkesan gila, tapi juga bukan omong kosong.
“Aku tahu semua tentangmu. Karena aku harus tahu. Kau mungkin berpikir aku monster karena memanfaatkan malam itu. Tapi keluargamu-lah yang menjualmu ke pria tua demi uang, bukan aku.”
Sienna terdiam. Ia membenci fakta bahwa Sebastian benar.
“Kau bisa melabeliku apa pun yang kau mau, Sienna,” lanjut Sebastian pelan. “Psikopat? Silakan. Tapi jika itu harga yang harus kubayar untuk memastikan calon anakku tidak hidup di bawah manipulasi keluarga Hart... aku akan menerimanya.”
Sienna menunduk, menggenggam jemarinya dengan erat. Ia merasa terpojok oleh cara Sebastian menyusun kebenaran.
Ia mengangkat wajah, menatap Sebastian lurus. “Kau tidak bisa memaksa aku untuk memilih.”
“Aku tidak memaksa,” sahut Sebastian pelan. “Aku hanya menunjukkan jalan yang lebih waras.”
Sienna mencibir. “Waras, menurutmu.”
Sebastian mendekat, suaranya semakin rendah saat membalas, “Kau tahu itu benar, Sienna. Kau hanya takut karena aku tidak memberimu ruang untuk menyangkalnya.”
Sienna menarik napas dalam. Namun hatinya tak bisa berbohong. Ia sedang gentar.
Psikopat keluarga Dellier. Begitulah akhirnya Sienna melabeli pria itu dalam pikirannya.
Pria yang tidak berteriak, tidak mengancam dengan kekerasan, tapi menghancurkan semua logika pertahanannya dengan fakta yang tak terbantahkan.
Pria yang tidak membiarkannya menang dalam satu pun argumen, tapi juga tidak menyakiti—secara fisik.
“Pikirkan dengan benar langkah apa yang akan kau pilih,” ucap Sebastian sebelum akhirnya melangkah keluar dari kamar.
Semalaman Sienna terjaga di kamar mewah itu, terperangkap dalam pusaran pikiran yang terus bergolak. Bayangan wajah Sebastian, ucapan dingin namun penuh perhitungan yang masih terngiang di telinganya, membuat napasnya terasa sesak.
‘Apa yang sebenarnya dia inginkan dariku?’ pikir Sienna dalam hati. ‘Mengapa dia begitu yakin, seolah aku miliknya sebelum semuanya dimulai? Dan kenapa aku merasa seperti boneka yang harus menurut tanpa bisa berkata tidak?’
Sejak awal, pria itu tidak pernah benar-benar memberi tawaran.
Yang ada hanyalah pilihan pahit yang disusun rapi oleh Sebastian. Sebuah jebakan tanpa celah untuk melarikan diri.
Pernikahan itu bukanlah janji atau undangan, melainkan sebuah perintah yang terbungkus dalam kalimat manis penuh dominasi.
‘Aku benci harus menyerah. Aku benci harus tunduk pada kehendak orang lain lagi. Tapi apa lagi yang bisa kulakukan?’ pikir Sienna dengan getir.
‘Kalau aku menolak menikah dengannya, aku harus menikah dengan pria tua itu. Bagaimana jika aku benar-benar hamil anak Sebastian setelah menikah dengan pria tua itu? Bukankah itu akan membuat segalanya semakin kacau?’
Bagaimanapun, kemungkinan untuk hamil setelah bercinta malam itu tetap ada.
Sienna mengerjapkan matanya, menatap langit-langit kamar yang megah namun terasa seperti penjara.
Setelah berulang kali menimbang segala risiko, ketakutan, dan harga yang harus dibayar, akhirnya ia menyadari satu hal yang tak bisa ia hindari.
Menyerah pada perintah Sebastian adalah satu-satunya jalan.
Bukan karena ia rela. Atau menerima nasib dengan sukarela.
Namun karena pilihan lain hanyalah kehancuran yang jauh lebih mengerikan.
Pagi menjelang, Sienna berdiri di depan cermin besar. Ia mengenakan gaun sederhana yang telah disiapkan oleh pelayan. Matanya yang lelah menatap bayangan dirinya sendiri sesaat sebelum melangkah perlahan menuju ruang makan.
Di sana, Sebastian sudah duduk dengan secangkir kopi di tangan, matanya tak lepas dari Sienna.
Sienna menarik kursi dan duduk. Ia menatap Sebastian dalam-dalam, lalu dengan suara berat yang penuh tekad, ia berkata,
“Aku akan menikah denganmu.”
Di dalam mobil, sepanjang perjalanan menuju mansion, Sienna hanya diam. Hujan masih mengguyur deras. Tubuhnya basah kuyup, rambutnya menempel di wajah dan leher. Meski penghangat sudah dinyalakan, ia tak bisa menghentikan gemetar di jari-jarinya.Begitu mereka tiba di mansion, Sebastian langsung membuka pintu dan mengajaknya masuk. Hangat ruangan segera menyambut, tapi dingin di tubuh Sienna belum mau pergi.Sebastian menutup pintu belakang dan memerintah pelayan dengan isyarat singkat sebelum menoleh pada Sienna.“Di mana Joseph?” tanya Sienna pelan.“Anak itu tidur di kamarnya,” jawab Sebastian. “Dia bahkan tak bangun meski ada petir.”Sienna mengangguk lega.Sebastian menatapnya dari ujung kaki sampai kepala—pakaian Sienna menempel ketat karena basah, dan kulitnya menggigil hebat.“Ganti pakaian dulu,” ujar pria itu. “Di kamar atas. Kamar kita.”Sienna menoleh cepat.“Semua pakaianmu masih ada.”Untuk beberapa detik, Sienna terdiam. Ada bagian dari dirinya yang ingin menolak. Tapi
Hidangan penutup baru saja diangkat ketika Sienna meneguk sisa teh di cangkirnya. Ia menyentuh sudut bibirnya dengan serbet, lalu meletakkannya rapi di atas meja.“Aku harus pulang,” ucapnya pelan seraya bangkit dari kursinya dan mengambil tas. “Sudah cukup lama aku di sini.”Sebastian melirik ke luar jendela besar di sisi ruang makan. Langit menggelap nyaris hitam, awan menggantung berat, dan angin mulai menerpa dedaunan dengan liar.“Sienna, lihat cuacanya. Setidaknya tunggulah sebentar sampai cuaca kembali cerah.”Sienna mengencangkan genggaman di tali tasnya. “Aku bukan tamu kehormatan yang harus ditahan karena cuaca buruk. Ini hanya hujan.”“Angin bertiup seperti sedang marah pada dunia,” tukas Sebastian. “Jangan sok tangguh.”Sienna hanya memutar bola matanya, lalu menoleh ke Joseph yang masih duduk di kursinya, sibuk mengaduk sisa es krim dalam mangkuk. Senyum tipis mengulas wajah Sienna saat ia membungkuk sedikit, meraih kepala bocah itu dan mengecup keningnya dengan lembut.“
Beberapa menit berlalu sebelum akhirnya Sienna mengambil ponsel dari meja kecil di samping sofa. Setelah menatap layar sejenak, ia membuka kontak, mencari nama Sebastian Dellier, dan menekan tombol panggil.Nada sambung terdengar hanya beberapa detik.“Sienna?” suara Sebastian terdengar di ujung telepon.“Aku harap aku tidak mengganggu,” ujar Sienna pelan.“Tidak,” sahut Sebastian cepat. “Ada apa?”Sienna menoleh ke Joseph yang kini sedang sibuk memainkan ujung selimut di pangkuannya. “Joseph bilang dia ingin tinggal bersama kau juga. Dia sangat senang kemarin, dan… kupikir mungkin akan baik jika dia bisa bersamamu setiap akhir pekan.”Ada jeda singkat di ujung telepon. Lalu suara Sebastian terdengar lagi. “Dia mengatakannya sendiri?”“Iya,” jawab Sienna. “Langsung darinya.”“Berarti dia memang merindukanku,” ucap Sebastian, suaranya terdengar senang. “Dan tentu saja itu ide yang sangat bagus.”Sienna bergumam pelan. “Kalau begitu, aku akan menyiapkan barang-barangnya siang ini.”Seba
Ciuman itu menyambar lebih cepat dari yang bisa Sienna antisipasi. Hangat dan tak kenal ragu, mengunci bibirnya dalam hisapan yang menghapus batas kesadaran.Ia sempat mendorong dada Sebastian—sebuah refleks dari insting perlindungan diri. Tapi hanya sepersekian detik. Lalu dorongan itu mereda, tubuhnya luluh, tenggelam dalam ciuman yang terlalu dalam.Napas mereka mulai memburu. Lidah Sebastian mendesak masuk, menuntut respons.Sebastian menarik tubuh Sienna lebih dekat, dan Sienna merasakan bagaimana lengan Sebastian yang kokoh menyelubunginya sepenuhnya. Kehangatan tubuh pria itu membungkusnya, mengurungnya dalam dunia yang hanya berisi mereka berdua. Lalu, tanpa peringatan, pria itu mengangkat tubuhnya dalam satu gerakan mantap.Kaki Sienna melingkar di pinggang pria itu, jari-jarinya melingkar di leher Sebastian untuk bertahan dari guncangan perasaan yang menyerang dari segala arah. Ia tahu ini gila. Tapi tubuhnya bergerak lebih cepat daripada pikirannya.Sebastian menurunkan Sie
Kurang dari setengah jam kemudian, mobil mereka melambat di sebuah persimpangan tenang di kawasan pemukiman.Brandon memarkirkan mobil di tepi jalan, kemudian menoleh. “Kita sudah tiba, Sir.”Sebastian menatap ke luar jendela. Ia belum bergerak ketika Joseph lebih dulu membuka pintu mobil dengan semangat.“Ayo, Daddy!” serunya riang.Sebastian menghela napas pelan, lalu keluar bersama putranya.Mereka berjalan di jalan setapak menuju beranda. Joseph menekan bel dengan telunjuknya, lalu berdiri tegak dengan senyum yang tak luntur dari bibirnya.Pintu terbuka hanya beberapa detik kemudian. Sienna berdiri di sana, masih mengenakan apron dan rambutnya dikuncir kuda.Senyumnya langsung merekah saat melihat Joseph. “Sayang….”Tanpa menunggu, Joseph maju dan langsung memeluk ibunya erat. “Aku kangen, Mom,” gumamnya. “Dan aku bawa dinosaurus.”Sienna tertawa pelan sambil membelai rambut anaknya. “Dinosaurus yang sangat tampan.”Joseph menengadah, matanya berbinar cerah. “Mom, aku dan Daddy be
Setelah selesai menyantap makanan penutup—sepotong kecil tart lemon dan segelas air dingin—Sebastian menoleh pada Joseph.“Sudah siap pulang?”Joseph mengangguk sambil menyeka mulutnya dengan serbet. “Sudah! Tapi... kita masih jadi belanja mainan, ’kan?”Sebastian tersenyum. “Tentu. Janji adalah janji.”Mereka meninggalkan restoran Lacelle diiringi angin danau yang sejuk. Staf kembali menyambut mereka di landasan dan membantu Joseph menaiki helikopter, sementara Sebastian memasang kembali headset dan menyiapkan sistem navigasi.Langit sore terbentang luas, biru dengan semburat keemasan. Helikopter meluncur mulus di antara awan, membawa mereka kembali ke Manhattan.Satu jam kemudian, helikopter mendarat mulus di depan hangar pribadi milik Sebastian. Sebuah mobil hitam telah menanti, dan Brandon berdiri dengan hormat di sampingnya.“Selamat datang kembali, Tuan, Tuan Muda,” sapa Brandon dengan sopan.Sebastian membuka pintu belakang dan membantu Joseph masuk lebih dulu sebelum menoleh p