Dua hari kemudian.Udara sore berembus lembap. Sienna berdiri di dekat rak pajang yang baru dipasang, tangannya menopang punggung bawah sambil menghela napas panjang. Panel-panel kayu untuk pameran minggu depan akhirnya tersusun rapi, tapi tubuhnya mulai menuntut jeda.Hari itu nyaris selesai. Atau begitulah yang ia kira.Lalu terdengar suara.Mesin mobil.Sienna menoleh sekilas ke arah pintu kaca. Bukan suara truk pengantar lukisan atau mobil staf.Sebuah sedan hitam berkilau berhenti tepat di depan galerinya. Elegan dan mahal. Sangat tidak cocok dengan barisan mobil tua di sekitarnya.Pintu mobil itu terbuka, dan Sebastian turun dari balik kemudi.Sienna mengerjapkan mata, lalu buru-buru keluar. “Apa yang kau lakukan di sini?”Sebastian menutup pintu dengan tenang dan menghampirinya. “Kau sibuk?”Sienna melirik jam tangannya sekilas. “Sedikit. Tapi bukan berarti kau boleh parkir sembarangan seperti orang penting.”Sebastian menyeringai kecil. “Kalau aku orang penting, itu karena gal
Malam merambat pelan di luar jendela. Di atas ranjang kecil itu, Sienna tertidur pulas, masih mengenakan kemeja Sebastian yang dipinjamnya. Sejak sore tadi, ia memutuskan untuk tidur di samping Joseph.Kelopak matanya mulai bergerak pelan. Tubuhnya menggeliat ringan sebelum akhirnya benar-benar terbangun. Ia membuka mata perlahan, membiarkan pandangannya menyesuaikan diri dengan cahaya temaram dari lampu tidur di samping ranjang.Sienna menoleh ke samping.Kosong.Tempat tidur di sebelahnya sudah dingin. Selimut tersibak rapi, seolah Joseph meninggalkannya tanpa berniat membangunkannya. Rasa panik kecil merambat di dadanya.Ia duduk tegak, lalu segera bangkit dan keluar dari kamar. Lorong mansion menyambutnya dengan keheningan. Sienna melangkah pelan, telinganya menajam, matanya menyapu tiap sudut yang dilewatinya. Tak ada tanda Joseph. Tak ada suara Sebastian. Hanya detik jam dan bisik hujan di luar mansion.Hingga langkah kaki lain terdengar dari arah dapur.Ruth muncul membawa nam
Sienna menyentuh bibirnya yang masih mengulas senyum kecil. Jari-jarinya merapikan bagian bawah kemeja Sebastian yang sedikit kusut, lalu menyibakkan rambutnya ke satu sisi bahu. Ia tahu ia sedang bermain api, dan bagian dari dirinya sangat menikmati itu.Beberapa menit kemudian, setelah sempat mengeringkan rambutnya sebisanya, Sienna akhirnya melangkah keluar kamar.Tangga utama membentang di hadapannya. Dengan santai, ia menuruni anak tangga perlahan.Di ruang tengah, Sebastian duduk di sofa dengan kaki menyilang dan secangkir teh di tangannya. Ia sudah berganti pakaian—sweater tipis warna charcoal dan celana panjang kasual, rambutnya sedikit acak, tapi tetap tampak seperti pria dari halaman majalah mode, tampan paripurna.Pria itu menoleh saat mendengar langkah Sienna.Dan matanya nyaris tak berkedip.Sienna berjalan ke arah Sebastian dengan kaki telanjang dan lengan kemeja yang masih tergulung. Cahaya lampu memantulkan bayangan samar dari lekuk tubuhnya di balik kain putih itu. Ia
Di dalam mobil, sepanjang perjalanan menuju mansion, Sienna hanya diam. Hujan masih mengguyur deras. Tubuhnya basah kuyup, rambutnya menempel di wajah dan leher. Meski penghangat sudah dinyalakan, ia tak bisa menghentikan gemetar di jari-jarinya.Begitu mereka tiba di mansion, Sebastian langsung membuka pintu dan mengajaknya masuk. Hangat ruangan segera menyambut, tapi dingin di tubuh Sienna belum mau pergi.Sebastian menutup pintu belakang dan memerintah pelayan dengan isyarat singkat sebelum menoleh pada Sienna.“Di mana Joseph?” tanya Sienna pelan.“Anak itu tidur di kamarnya,” jawab Sebastian. “Dia bahkan tak bangun meski ada petir.”Sienna mengangguk lega.Sebastian menatapnya dari ujung kaki sampai kepala—pakaian Sienna menempel ketat karena basah, dan kulitnya menggigil hebat.“Ganti pakaian dulu,” ujar pria itu. “Di kamar atas. Kamar kita.”Sienna menoleh cepat.“Semua pakaianmu masih ada.”Untuk beberapa detik, Sienna terdiam. Ada bagian dari dirinya yang ingin menolak. Tapi
Hidangan penutup baru saja diangkat ketika Sienna meneguk sisa teh di cangkirnya. Ia menyentuh sudut bibirnya dengan serbet, lalu meletakkannya rapi di atas meja.“Aku harus pulang,” ucapnya pelan seraya bangkit dari kursinya dan mengambil tas. “Sudah cukup lama aku di sini.”Sebastian melirik ke luar jendela besar di sisi ruang makan. Langit menggelap nyaris hitam, awan menggantung berat, dan angin mulai menerpa dedaunan dengan liar.“Sienna, lihat cuacanya. Setidaknya tunggulah sebentar sampai cuaca kembali cerah.”Sienna mengencangkan genggaman di tali tasnya. “Aku bukan tamu kehormatan yang harus ditahan karena cuaca buruk. Ini hanya hujan.”“Angin bertiup seperti sedang marah pada dunia,” tukas Sebastian. “Jangan sok tangguh.”Sienna hanya memutar bola matanya, lalu menoleh ke Joseph yang masih duduk di kursinya, sibuk mengaduk sisa es krim dalam mangkuk. Senyum tipis mengulas wajah Sienna saat ia membungkuk sedikit, meraih kepala bocah itu dan mengecup keningnya dengan lembut.“
Beberapa menit berlalu sebelum akhirnya Sienna mengambil ponsel dari meja kecil di samping sofa. Setelah menatap layar sejenak, ia membuka kontak, mencari nama Sebastian Dellier, dan menekan tombol panggil.Nada sambung terdengar hanya beberapa detik.“Sienna?” suara Sebastian terdengar di ujung telepon.“Aku harap aku tidak mengganggu,” ujar Sienna pelan.“Tidak,” sahut Sebastian cepat. “Ada apa?”Sienna menoleh ke Joseph yang kini sedang sibuk memainkan ujung selimut di pangkuannya. “Joseph bilang dia ingin tinggal bersama kau juga. Dia sangat senang kemarin, dan… kupikir mungkin akan baik jika dia bisa bersamamu setiap akhir pekan.”Ada jeda singkat di ujung telepon. Lalu suara Sebastian terdengar lagi. “Dia mengatakannya sendiri?”“Iya,” jawab Sienna. “Langsung darinya.”“Berarti dia memang merindukanku,” ucap Sebastian, suaranya terdengar senang. “Dan tentu saja itu ide yang sangat bagus.”Sienna bergumam pelan. “Kalau begitu, aku akan menyiapkan barang-barangnya siang ini.”Seba