Home / Romansa / DI ANTARA DUA MAFIA : DALAM PELUKAN MUSUH / CHAPTER 21. SELAMAT TAPI TAK AMAN

Share

CHAPTER 21. SELAMAT TAPI TAK AMAN

Author: Selena Vyera
last update Last Updated: 2025-06-25 19:30:15

Beberapa luka tidak berdarah.

Tapi terasa… setiap kali seseorang datang terlalu dekat.

Mesin mobil sport meraung memecah keheningan malam. Jalanan berbatu dan hutan lebat di kiri-kanan hanya disinari lampu mobil yang berkedip tak stabil. Di dalam, suasana tak kalah panas dibanding ledakan barusan.

Kevin menggenggam setir dengan satu tangan, tangan satunya membersihkan darah dari pelipisnya.

Di sebelahnya, Helena duduk bersandar dengan napas berat, bahunya berlumuran darah pengawal-bukan miliknya, tapi tetap terasa membakar.

"Kau pikir aku minta diselamatkan, Xavier?" gumamnya tajam, tanpa menoleh.

Kevin melirik cepat, bibirnya menyungging sinis. "Kalau aku tahu kau sekeras kepala ini, mungkin aku biarkan peluru yang bicara."

"Dan kalau aku tahu kau seenaknya seperti ini, mungkin kupilih mati." Helena menjawab dingin, matanya menatap keluar jendela.

"Sayang
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter

Latest chapter

  • DI ANTARA DUA MAFIA : DALAM PELUKAN MUSUH   CHAPTER 38. DRESVANE : LANGKAH DI NERAKA

    Malam di Dresvane tak lagi hitam. Ia berpendar merah, dibakar ambisi dan dendam yang menunggu dituntaskan. Ravenstale Ruang Taktis bawah tanah— Pintu baja geser terbuka pelan, berderit rendah. Dendy Alexander melangkah masuk ke ruang taktikal bawah tanah Ravenstale—langkahnya tenang, tapi setiap jejaknya seperti dentang palu di ruang hening. Jaketnya masih berbau debu Montavaro. Mata elangnya langsung menyapu layar holografik yang memantulkan peta Dresvane. Para operator hanya menunduk dalam, tak ada yang berani menyapa. Mereka tahu: raja mereka baru saja pulang dari sarang musuh dan kini membawa badai. Udara ruang itu pengap, bercampur aroma logam, sisa minyak pelumas, dan kertas tua. Cahaya redup dari layar memantulkan bayangan peta dan jalur suplai yang kini terancam. Di depannya, David Morgan berd

  • DI ANTARA DUA MAFIA : DALAM PELUKAN MUSUH   CHAPTER 37. MONTAVARO: JEJAK DALAM KELAM

    Malam menelan Montavaro dalam sunyi yang mencurigakan. Dendy Alexander berjalan perlahan di antara bangunan tua yang dindingnya penuh retakan dan bercak karat. Bau solar basi dan debu menyengat. Langkahnya nyaris tanpa jejak di aspal pecah-pecah. “Tempat ini mati, atau pura-pura mati,” batin Dendy, matanya tajam menyapu setiap sudut. Montavaro dulunya markas jalur suplai bawah tanah Ronald Xavier. Gudang logistik, bengkel senjata, dan terowongan lama yang kini sebagian runtuh. Tapi malam ini... terlalu banyak jejak segar untuk sebuah wilayah yang seharusnya sunyi. Salah satu loyalis berbisik ke rekannya, cukup keras untuk terdengar Dendy, “Raja turun tangan sendiri... pasti takut kekuasaannya runtuh.” Dendy tak menoleh, seolah bisikan itu cuma desir angin yang lewat di telinga.

  • DI ANTARA DUA MAFIA : DALAM PELUKAN MUSUH   CHAPTER 36. WARISAN YANG TAK TERUCAP

    Ada warisan yang tertulis di surat wasiat. Ada pula warisan yang tertanam di tulang—terbawa mati, meninggalkan luka yang diwariskan tanpa kata. Malam tak pernah sekelam ini, bahkan bagi seorang raja bayangan. Ruang kerja itu menyesakkan.Bau kayu tua, debu, dan kertas usang memenuhi udara, bercampur dengan aroma logam dari pistol di sudut meja.Lampu meja redup, cahayanya goyah tertiup angin dari jendela yang tak rapat. Bayangannya menari di dinding, seperti hantu masa lalu yang datang mengejek setiap napas David. Di hadapannya: potret lama Helena kecil, tersenyum polos, mata beningnya tak tahu dunia macam apa yang telah diwariskan padanya. Tangannya menggenggam ponsel. Layar hitam yang kosong menantang: kau tahu yang harus kau lakukan. David menarik napas panjang, kasar. Bahunya serasa memikul beban yang tak akan pernah selesai. "Helena

  • DI ANTARA DUA MAFIA : DALAM PELUKAN MUSUH   CHAPTER 35. WARISAN DALAM BAYANGAN

    Malam itu, tak ada yang berburu kehormatan. Tak ada yang memburu tanah. Malam itu, mereka memburu demi nama yang tak pernah mereka ucap... tapi selalu mereka lindungi dengan nyawa. Hujan belum turun. Tapi udara sudah mengandung ancaman. Bau oli dan besi tua memenuhi lorong bawah Ravenstale—bekas markas keluarga Alexander. Malam ini, lorong itu jadi benteng terakhir untuk pertemuan yang tak boleh terdengar siapa pun. David Morgan duduk bersandar di kursi kulit tua. Jari-jarinya mengetuk pelan meja logam, dentingnya memantul seperti detik bom waktu yang hampir jatuh tempo. Matanya menatap peta digital di meja—peta Ravenstale yang kini penuh tanda merah: jalur makanan terputus, suplai medis terhenti, satelit pengawas buta. Sabotase sempurna. Sabotase yang tak sekadar mengancam. Ini peringatan. Dan malam itu seolah ikut berkonspirasi, menutup mulutnya pada dunia l

  • DI ANTARA DUA MAFIA : DALAM PELUKAN MUSUH   CHAPTER 34. MENJAGA TANPA KATA

    Ketika bayangan jatuh cinta pada cahaya, ia hanya punya satu jalan: hancur agar cahaya tetap bersinar. Malam itu, langit Ravenstale seperti menggantung terlalu rendah. Awan hitam berarak berat, menelan cahaya bulan. Kevin berdiri di balkon kamar Helena. Punggungnya tegak, bahunya seolah memikul beban yang tak ingin ia akui. Matanya menatap jauh—melewati kota yang tidur dalam gelap, melewati kabut, hingga tak ada lagi batas antara langit dan bumi. Sistem keamanan Dendy dan David mendeteksinya. Tapi tak ada yang bergerak. Seolah malam itu pun mengerti: Kevin datang bukan sebagai musuh, bukan pula sebagai bayangan yang mengancam. Tapi sebagai seorang lelaki... yang kehilangan tempat pulang. Helena membuka pintu balkon perlahan. Gaun tidurnya menari pelan ditiup angin. Mata Helena menangkap sosok Kevin, berdiri membatu di antara kela

  • DI ANTARA DUA MAFIA : DALAM PELUKAN MUSUH   CHAPTER 33. BIDAK YANG MULAI DIGESER

    Dalam gelap, tak ada sekutu. Hanya mereka yang cukup kejam untuk bertahan. Jauh dari Ravenstale, di sebuah ruang kontrol tersembunyi di bawah tanah—tak terpetakan oleh satelit atau sistem keamanan manapun—Ronald Xavier duduk seorang diri. Cahaya monitor memantulkan siluet wajahnya yang keras, dingin, dan penuh ketenangan yang menyeramkan. Dinding ruangan itu penuh layar. Puluhan peta digital, grafik garis kehidupan, alur pengiriman senjata, dan data-data biometrik berjalan tanpa henti. Tapi hanya satu layar yang menarik seluruh fokus Ronald malam itu: wajah Helena Morgan, terpampang besar dan jernih di tengah layar utama. Gambar itu bukan hanya siaran CCTV. Itu adalah simbol. Simbol bahwa pion paling lunak dari keluarga Morgan kini sedang diawasi. Diam-diam. Telanjang di mata sistem. “Oh… Ravenstale…” senyum sinis Ronald menghiasai wajahnya. Ronald bersandar, menyi

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status