Beberapa perang dimulai dari peluru. Tapi yang paling mematikan… dimulai dari satu panggilan telepon.
Dan malam itu, dua alpha dari dua dinasti… akhirnya bicara—bukan untuk berdamai, tapi untuk memastikan siapa yang lebih siap kehilangan. Kevin berdiri di dekat jendela sempit, mengamati sekitar, lalu menarik ponselnya. Ia menekan nomor dengan cepat, lalu menempelkan ponsel ke telinga. Beberapa detik sunyi, hingga suara berat di ujung sana menjawab, tajam. Jari-jarinya menggenggam ponsel terlalu kencang. Ia benci menjelaskan diri—terutama kepada seseorang yang bisa membaca niatnya seperti David Morgan. "Apa kau sudah puas bermain-main dengan hidup adikku, Kevin?" Nada David Morgan penuh kemarahan dan kecurigaan. Kevin tidak langsung menjawab. Ia hanya menatap Helena dari jauh, matanya menilai. Baru kemudian ia bicara, tenang dan dingin. "Ambil adAda warisan yang tertulis di surat wasiat. Ada pula warisan yang tertanam di tulang—terbawa mati, meninggalkan luka yang diwariskan tanpa kata. Malam tak pernah sekelam ini, bahkan bagi seorang raja bayangan. Ruang kerja itu menyesakkan.Bau kayu tua, debu, dan kertas usang memenuhi udara, bercampur dengan aroma logam dari pistol di sudut meja.Lampu meja redup, cahayanya goyah tertiup angin dari jendela yang tak rapat. Bayangannya menari di dinding, seperti hantu masa lalu yang datang mengejek setiap napas David. Di hadapannya: potret lama Helena kecil, tersenyum polos, mata beningnya tak tahu dunia macam apa yang telah diwariskan padanya. Tangannya menggenggam ponsel. Layar hitam yang kosong menantang: kau tahu yang harus kau lakukan. David menarik napas panjang, kasar. Bahunya serasa memikul beban yang tak akan pernah selesai. "Helena
Malam itu, tak ada yang berburu kehormatan. Tak ada yang memburu tanah. Malam itu, mereka memburu demi nama yang tak pernah mereka ucap... tapi selalu mereka lindungi dengan nyawa. Hujan belum turun. Tapi udara sudah mengandung ancaman. Bau oli dan besi tua memenuhi lorong bawah Ravenstale—bekas markas keluarga Alexander. Malam ini, lorong itu jadi benteng terakhir untuk pertemuan yang tak boleh terdengar siapa pun. David Morgan duduk bersandar di kursi kulit tua. Jari-jarinya mengetuk pelan meja logam, dentingnya memantul seperti detik bom waktu yang hampir jatuh tempo. Matanya menatap peta digital di meja—peta Ravenstale yang kini penuh tanda merah: jalur makanan terputus, suplai medis terhenti, satelit pengawas buta. Sabotase sempurna. Sabotase yang tak sekadar mengancam. Ini peringatan. Dan malam itu seolah ikut berkonspirasi, menutup mulutnya pada dunia l
Ketika bayangan jatuh cinta pada cahaya, ia hanya punya satu jalan: hancur agar cahaya tetap bersinar. Malam itu, langit Ravenstale seperti menggantung terlalu rendah. Awan hitam berarak berat, menelan cahaya bulan. Kevin berdiri di balkon kamar Helena. Punggungnya tegak, bahunya seolah memikul beban yang tak ingin ia akui. Matanya menatap jauh—melewati kota yang tidur dalam gelap, melewati kabut, hingga tak ada lagi batas antara langit dan bumi. Sistem keamanan Dendy dan David mendeteksinya. Tapi tak ada yang bergerak. Seolah malam itu pun mengerti: Kevin datang bukan sebagai musuh, bukan pula sebagai bayangan yang mengancam. Tapi sebagai seorang lelaki... yang kehilangan tempat pulang. Helena membuka pintu balkon perlahan. Gaun tidurnya menari pelan ditiup angin. Mata Helena menangkap sosok Kevin, berdiri membatu di antara kela
Dalam gelap, tak ada sekutu. Hanya mereka yang cukup kejam untuk bertahan. Jauh dari Ravenstale, di sebuah ruang kontrol tersembunyi di bawah tanah—tak terpetakan oleh satelit atau sistem keamanan manapun—Ronald Xavier duduk seorang diri. Cahaya monitor memantulkan siluet wajahnya yang keras, dingin, dan penuh ketenangan yang menyeramkan. Dinding ruangan itu penuh layar. Puluhan peta digital, grafik garis kehidupan, alur pengiriman senjata, dan data-data biometrik berjalan tanpa henti. Tapi hanya satu layar yang menarik seluruh fokus Ronald malam itu: wajah Helena Morgan, terpampang besar dan jernih di tengah layar utama. Gambar itu bukan hanya siaran CCTV. Itu adalah simbol. Simbol bahwa pion paling lunak dari keluarga Morgan kini sedang diawasi. Diam-diam. Telanjang di mata sistem. “Oh… Ravenstale…” senyum sinis Ronald menghiasai wajahnya. Ronald bersandar, menyi
Beberapa tempat tidak dirancang untuk dihuni—hanya untuk bertahan. Ravenstale bukan rumah. Bukan pula benteng. Ia adalah ruang antara hidup dan mati, tempat luka-luka lama disembunyikan... dan perasaan baru tumbuh seperti racun yang tak terlihat. Kabut tipis menyelimuti tanah seperti selimut yang terlalu dingin untuk menghangatkan. Mobil hitam berhenti di depan gerbang tua yang dipenuhi karat. Engselnya mengeluh pelan saat terbuka, seolah terlalu lama tidak digerakkan. Di balik kabut tipis, bangunan itu muncul perlahan. Ravenstale. Dingin, tinggi, dan terlalu diam untuk disebut rumah. Helena turun dari mobil tanpa berkata apa-apa. Udara pagi menusuk kulitnya, bukan karena dingin, tapi karena kesepian yang begitu nyata di tempat ini. Ia menatap dinding-dinding kelam yang menjulang. Jendela-jendela sempit memanjang ke atas-arsitektur lama, seperti
Dalam dunia bayangan, ancaman tak pernah datang dengan nama. Hanya bisikan... yang cukup untuk menyalakan perang. Sore hari.... Langit Velmora mendung, seolah ikut menyimpan rahasia yang terlalu berat untuk dijelaskan. Cahaya temaram dari lampu gantung di ruang kerjanya menyorot meja kayu hitam, tempat berkas-berkas strategi dan laporan intel tersebar seperti puing-puing dari medan perang. Kevin duduk diam di kursinya. Tenang di luar, tetapi dadanya bergemuruh seperti menahan badai. Ponselnya bergetar sekali-singkat, tajam, seperti gigitan. Layar menampilkan satu pesan terenkripsi. Tidak ada pengirim. Tidak ada subjek. Hanya kalimat tunggal: "Tak ada tempat untuk bayangan berkhianat. Langkahmu sudah terhitung." Dan dia tahu: di dunia mereka, kalimat tanpa nama adalah v