Share

DIJUAL KE PRIA ASING, DINIKAHI PEWARIS
DIJUAL KE PRIA ASING, DINIKAHI PEWARIS
Author: Haifa Dinantee

DAS 1. Mencekam

last update Last Updated: 2024-02-02 21:05:31

“Tapi ada satu pertanyaan yang butuh jawaban jujur. Kalau iya, maka lebih dari 100 juta pun akan kamu dapat. Tapi kalau jawabannya tidak, kalau beruntung bisa dapat angka sekian, kalau tidak beruntung seenggaknya kamu bisa dapat di angka kisaran 50 juta,” jelas pak Rafli, guruku di sekolah.

“Apa itu, Pak?” tanyaku serius.

“Kamu masih perawan?” tanyanya sambil menyoroti mata coklatku, membuatku menyesal dan merutuki kebodohanku.

***

Aku mengamati sebuah villa mewah yang kami masuki. Sang sopir memarkirkan mobil mpv hitam yang kami tumpangi tepat di garasi villa.

Villa ini bukanlah satu-satunya. Ini merupakan komplek villa-villa mewah yang tak berpagar. Bahkan aku melihat 7 orang satpam yang tadi berjaga di pintu gerbang.

“Turun!” seorang lelaki membukakan pintu mobil dari sebelah kiri.

Andin yang duduk di samping pintu pun langsung turun dengan senyuman genitnya.

“Apakah aku menjual diri?” lirihku dalam hati.

Sebenarnya aku sudah menolak tawaran itu dan berjanji untuk memegang rahasia ini sampai mati. Tapi saat pulang dari sekolah, aku mendapati Mama dalam kondisi yang mengenaskan.

Dengan dandanan cukup menor dan baju minim, kini aku masuk ke villa dan diminta duduk berjejer di sofa ruang tengah.

Ada dua lelaki asing yang kini menatapku tanpa berkedip. Ia pun berbicara dengan pak Rafli dalam bahasa yang tak ku mengerti.

“Lea, beruntung banget jadi kamu. Mereka berdua lagi rebutan kamu tahu!” ucapnya sambil memanyunkan bibirnya yang merah semerah delima.

Bukannya senang mendengar penuturan Andin, aku malah bergidik ngeri dan ingin rasanya melarikan diri dari sini. Aku pun berusaha menetralkan pikiranku agar semua berjalan wajar dan aku segera mendapatkan uang untuk biaya operasi Mama.

“Imas, kamu duluan sini!” pak Rafli memanggil Imas yang berhidung bangir untuk segera menghampiri nya.

Pak Rafli pun berbicara lagi dengan salah satu lelaki itu. Kemudian mereka pun duduk berhadap-hadapan sambil menjabat tangan.

“Saya nikahkan dan kawinkan engkau Fadi bin Fulan dengan Imas binti Jamal dengan mas kawin uang sebesar 25 juta rupiah dibayar tunai,” ucap pak Rafli dengan yakin.

“Saya terima nikahnya imas binti Jamal dengan mas kawin yang disebutkan.”

“Sah!” ucap pak Rafli dengan tegas. “Silakan Mas, ikut mister Fadi!”

Aku melongo melihat apa yang terjadi barusan. Bukankah pak Rafli sendiri yang mengajarkan bahwa dalam pernikahan itu ada 5 unsur? Di sini hanya ada kedua mempelai, mas kawin dan ijab kabul. Sedangkan wali, dan dua orang saksi tak ada. Apakah pak Rafli mendapat mandat dari ayah Imas?

Semakin lama aku duduk di sini, semakin aku menemukan berbagai kejanggalan. Terlebih lagi kejanggalan itu dilakukan oleh orang yang selama ini aku hormati. Ingin rasanya aku segera pergi dan tak lagi menoleh ke belakang, tapi bayangan Mama yang sedang terbaring tak berdaya di brankar rumah sakit membuatku urung untuk mengikuti akal sehat.

Kali ini pak Rafli sedang menikahkan Raisa dengan lelaki asing brewok yang matanya jelalatan melihat ke arah dada yang kututupi menggunakan tangan.

“Ya, hallo!”

Pak Rafli mengangkat telepon dan berbicara cukup serius. Ia pun nampak mengangguk-anggukkan kepala sambil sesekali melirik ke arahku. Kemudian, ia pun mengakhiri obrolan via teleponnya.

“Alea!” panggil pak Rafli yang membuatku mengalihkan atensi kepadanya.

“Mister Daniel menginginkanmu untuk ikut dengan dia ke pesta. Jadi, dia meminta saya untuk membawamu ke salon langganannya. Dia ingin kamu tampil elegan. Dan kamu Ndin, kamu akan menemaninya sekarang. Setengah jam-an lagi Dia sampai di sini. Dia mau dibuat puas sama kamu sebelum pergi ke pesta,” titah pak Rafli.

“Tapi pak...” Andin berusaha protes.

“Enggak ada bantahan, kalau kamu masih mau ikut sama saya!” ucap pak Rafli dengan sorot mata tajam.

“Ayo, Alea!” ajaknya padaku.

“Ben, jaga ya! Jangan sampai Andin kabur!” ucap pak Rafli selirih mungkin pada lelaki bringas yang sedari tadi ada di depan villa ini. Aku was-was mendengar perintah pak Rafli.

“Naik Alea!” titah pak Rafli yang ternyata sudah berada di dalam mobil hitam tadi.

“Ah, iya Pak.” Aku pun segera naik.

***

Setelah hampir 3 jam aku mendapatkan perawatan kewanitaan dan kecantikan, kini aku dipakaikan baju yang sangat elegan.

“Waw, cantik. Masih muda lagi. Sayang banget kamu harus jadi... “

“Ehemmm...” Deheman pak Rafli menghentikan ucapan pemilik salon tersebut. Ia pun langsung terdiam dan tak mengatakan hal apapun lagi, bahkan cenderung gagu.

"Ayo!" ajak pak Rafli.

Aku mengekorinya seraya berusaha menghubungi Andin. Kukira, Andin tak mengangkat sambungan telepon dariku karena masih dengan mister Daniel. Tanpa ku sadari, earphone terpasang. Aku pun menaiki mobil dengan perasaan yang tak karuan, takut dengan apa yang akan ku hadapi sebentar lagi.

“Aahhhh... tolong!!! Ampun!!! Huhuhuhuhu... “

Aku kaget dengan suara teriakan yang terdengar samar. Ku lirik ke kanan dan ke kiri, mencari sumber suara.

“Aaaahhhhh!!!”

Aku bergidik ngeri saat kembali mendengar teriakan dan lirih suara orang menangis.

“Pak!” panggil ku kepada pak Rafli. Hatiku betul-betul dibuat penasaran dan ketakutan yang menjadi satu.

“Ada apa?” jawab pak Rafli sambil melirik sedikit ke arahku.

“Bapak dengar suara orang nangis? Suara orang teriak-teriak?” tanyaku.

“Jangan terlalu deg-degan jadi ngehayal yang aneh-aneh. Nikmati saja! Nanti juga kamu yang lebih menikmati!” jawabnya yang kurasa tak nyambung dengan pertanyaanku. Bahkan, bulu kudukku langsung meremang saat mendengar jawaban pak Rafli, bukan karena mendengar suara tangisan yang tak tahu berasal dari mana.

Aku pun kembali terdiam dan tak ingin terlalu memikirkan hal lain lagi.

Tut... Tut... Tut...

“Hallo!” ucap pak Rafli yang mengangkat telepon dari seseorang.

“Maksudnya?” pak Rafli langsung bangun dari senderan kursinya.

“Pastiin dulu!” teriak pak Rafli yang nampak kalut.

Okeh, saya ke sana secepatnya.”

Terdengar deru nafas naik turun dari pak Rafli. “Aaagghhh... “ teriak pak Rafli. Ia pun memukul angin dengan kencang.

“Kenapa Pak?” tanya sang sopir.

“Cepat ke villa!” titah pak Rafli tanpa menjawab pertanyaan sopir. Ia pun segera menancap gas lebih kencang.

Aku yang sedang kalut bertambah kalut saat mendengar kemarahan pak Rafli. Ku raih ponsel dan kembali menoba menghubungi Andin. Namun, alangkah terkejutnya Aku saat melihat panggilan tadi tersambung hingga saat ini, dengan kondisi earphone terpasang.

“Jangan-jangan...!” pikiran ku tertuju pada Andin.

Aku pun segera menempelkan earphone ke telinga.

“Astaghfirullah. Ampuni dosaku! Sakit! Lea, jangan, Aahhhh...ke sini! Aaahhhh! Sakit! Aaahhh!”

“Andin!” teriakku sambil terisak. “Pak, Andin Pak! Andin dalam bahaya!” ucapku sambil memegang kursi depan, tempat dimana pak Rafli duduk.

“Diam Alea! Sekarang juga kamu harus melayani si mister buat nurunin amarahnya!” bentak pak Rafli.

Aku terhenyak saat mendengar suaranya yang menggelegar. Tanganku seketika menggigil, air mataku pun berjatuhan.

“Aaaahhhhhhhhhhhhhhhhhh!!!”

Teriakan itu terdengar panjang dan terus mengecil suaranya.

“Andin!” ucapku dalam hati. Suara yang keluar dari mulut ini hanyalah isak tangis yang tertahan.

Ragaku pun sudah tak terasa masih bernyawa saking hilang karena diselimuti rasa takut.

“Malam, Pak!” ucap sang sopir.

Aku melirik ke arah siapa yang diajak bicara oleh pak sopir.

Deggg... Tiba-tiba jantungku bertalu-talu, ini sudah masuk gerbang komplek villa. Lututku terasa semakin gemetar, keringat dinginpun semakin bercucuran.

“Cepetan, Jul!” titah pak Rafli kepada pak sopir yang kukira namanya Jul.

Jul pun segera menancap pedal gasnya lagi. Aku melirik ke kanan dan ke kiri. Mencoba mengumpulkan keberanian, Kubuka kunci mobil dengan tangan yang bergetar. Sedetik ku terdiam lagi.

Dalam hati aku berdoa dan meminta perlindungan kepada Tuhan. Kalaupun hari ini aku harus mati, setidaknya aku tidak mati dalam keadaan tertindih oleh pria asing. Pria yang disebut akan menikahiku secara kontrak itu yang kini sedang manggagahi Andin. Dengannya, Andin berteriak begitu miris.

Brakkk... Gedebuggg.

Cekittt...

“Alea!”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • DIJUAL KE PRIA ASING, DINIKAHI PEWARIS   48.

    Beberapa waktu yang lalu terjadi ketegangan antara Zen dan ayah kandungnya. Ya, lelaki yang menggunakan helm itu adalah Revan, anak tiri pak Fatan. Ketegangan itu masih berlanjut di atas sofa yang saling berhadapan. "Kamu seharusnya berterimakasih kepadaku, Zen! Bagaimana pun, Aku telah menyelamatkan dia," tunjuknya lagi kepadaku, entah untuk yang ke berapa kali. "Kau seorang lelaki, tapi mulutmu terlalu banyak!" kesal Zen mencebik. Ia bosan mendengar semua kata yang terus keluar dari mulut Revan. Entahlah, lelaki itu seringnya nampak menakutkan, tapi mengapa kali ini terlihat seperti orang bodoh."Zen, seharusnya kau bisa berbagi sebagian hartamu untuk Revan! Bagaimana pun, dia itu saudaramu, saudara yang selalu menjaga apa yang kau miliki agar tepat sasaran dan aman. " Apa ucapanmu tak salah?!" cebik Zen dengan menarik ke atas sebelah bibirnya. "Bukankah dia menikmati semua yang harusnya menjadi milikku? Dia pencuri. Pen... cu... ri! Bahkan, dia membuatnya hilang beberapa. Jadi t

  • DIJUAL KE PRIA ASING, DINIKAHI PEWARIS   48.

    Beberapa waktu yang lalu terjadi ketegangan antara Zen dan ayah kandungnya. Ya, lelaki yang menggunakan helm itu adalah Revan, anak tiri pak Fatan. Ketegangan itu masih berlanjut di atas sofa yang saling berhadapan. "Kamu seharusnya berterimakasih kepadaku, Zen! Bagaimana pun, Aku telah menyelamatkan dia," tunjuknya lagi kepadaku, entah untuk yang ke berapa kali. "Kau seorang lelaki, tapi mulutmu terlalu banyak!" kesal Zen mencebik. Ia bosan mendengar semua kata yang terus keluar dari mulut Revan. Entahlah, lelaki itu seringnya nampak menakutkan, tapi mengapa kali ini terlihat seperti orang bodoh."Zen, seharusnya kau bisa berbagi sebagian hartamu untuk Revan! Bagaimana pun, dia itu saudaramu, saudara yang selalu menjaga apa yang kau miliki agar tepat sasaran dan aman. " Apa ucapanmu tak salah?!" cebik Zen dengan menarik ke atas sebelah bibirnya. "Bukankah dia menikmati semua yang harusnya menjadi milikku? Dia pencuri. Pen... cu... ri! Bahkan, dia membuatnya hilang beberapa. Jadi t

  • DIJUAL KE PRIA ASING, DINIKAHI PEWARIS   47

    DAS 47 "Eemmmhhh... "Aku berusaha berteriak untuk meminta tolong, tapi mulutku dibekap oleh si lelaki berhelm, sedangkan mobil sudah melaju dengan kecepatan sedang. Sepertinya, motor pun ada yang membawanya karena terdengar suara deru nya memekakan telinga. "Au E... " teriak lelaki berhelm, tapi tak jelas di pendengaranku. Aku terus saja meronta, berteriak demi meminta pertolongan. Meskipun, rasanya tak akan ada orang yang bisa mendengar, tapi setidaknya Aku bisa nekad turun dari mobil seperti yang pernah ku lakukan di mobil pak Rafli. "Pak Zen, enggak usah dibekap, enggak bakalan kedengaran orang kok."Ada suara bariton seseorang dari baris ke tiga yang menyebut nama suamiku. Seketika, lelaki berhelm itu melepaskan tangannya dari mulutku. Aku pun begitu, tak berusaha meronta lagi, apalagi berteriak untuk meminta tolong. "Zen?" tanyaku lirih dengan berurai air mata. Ia hanya menganggukkan kepala, tanpa membuka helm nya. Aku tak berkata-kata lagi karena merasa semua masih abu-a

  • DIJUAL KE PRIA ASING, DINIKAHI PEWARIS   46. Saling Menyalahkan

    Zen tak menggubris permintaanku. Ia malah menyeretku semakin cepat, masuk ke ruangan yang waktu itu Aku duduk di sofanya. "Zen!" pekikku lagi seraya berusaha melepaskan diri lebih keras. Namun heran, Zen semakin mencengkeram leherku. "Stop!" teriak Zen yang terdengar jelas di kupingku, meskipun nafasku mulai tersengal. "Apa yang...?" pekik suara lelaki di hadapanku, tapi entah siapa. Aku masih fokus untuk melepaskan diri dari cengkeraman Zen. Rasanya Aku akan kehabisan nafas dan bisa saja kehilangan nyawa. "Alea?" "Berhenti Zen, atau Aku akan membuatmu menyesal karena menyeret perempuan ini ke rumah!" ucap Zen tepat di samping telingaku. Tidak, dia mengatakan apa? Otakku masih sempat untuk berfikir meskipun sulit. "Lepaskan dia karena dia enggak ada sangkut pautnya sama masalah kita!" teriak lelaki yang sedari tadi berada di rumah ini dengan emosi, lelaki yang mungkin adalah Zen yang sebenarnya. "Berhenti!" ucap lelaki berhelm yang ku yakin bukan Zen, seraya mengeratkan jerata

  • DIJUAL KE PRIA ASING, DINIKAHI PEWARIS   DAS 45. Sepertinya Zen

    "Emmmhhhh... " Aku berusaha berteriak untuk meminta tolong, tapi mulutku dibekap oleh si lelaki berhelm, sedangkan mobil sudah melaju dengan kecepatan sedang. Sepertinya, motor pun ada yang membawanya karena terdengar suara deru nya memekakan telinga. "Au E... " teriak lelaki berhelm, tapi tak jelas di pendengaranku. Aku terus saja meronta, berteriak demi meminta pertolongan. Meskipun, rasanya tak akan ada orang yang bisa mendengar, tapi setidaknya Aku bisa nekad turun dari mobil seperti yang pernah ku lakukan di mobil pak Rafli. "Pak Zen, enggak usah dibekap, enggak bakalan kedengaran orang kok." Ada suara bariton seseorang dari baris ke tiga yang menyebut nama suamiku. Seketika, lelaki berhelm itu melepaskan tangannya dari mulutku. Aku pun begitu, tak berusaha meronta lagi, apalagi berteriak untuk meminta tolong. "Zen?" tanyaku lirih dengan berurai air mata. Ia hanya menganggukkan kepala, tanpa membuka helm nya. Aku tak berkata-kata lagi karena merasa semua masi

  • DIJUAL KE PRIA ASING, DINIKAHI PEWARIS   Bab 43. Pengendara motor

    Aku baru menyadari bahwa mereka berdua kini tengah berasa di atas motor. Bukankah tadi lelaki yang membawaku juga turun dari motor? Apakah mereka bertukar posisi atau tidak? "Enggak apa-apa," Sahutku meringis, seraya berpikir hal yang saat ini sebenarnya tak perlu ku pikirkan. Aku pun segera menaiki motor berwarna merah seraya menahan sakit di kaki. Sedangkan motor yang tadi ku naiki segera melaju ke arah yang berlawanan. "Pakai!" Sebuah hoodie berwarna hitam disodorkan kepadaku, saat Aku sudah duduk di atas jok motor. Tanpa pikir panjang, Aku segera meraih hoodie tersebut dan mengenakannya. Motor pun segera melaju lagi, membelah keheningan malam. Rasanya, pipiku diterpa dinginnya angin malam. Beruntung, hoodie yang kupakai menutupi badan dan kepalaku sehingga rasa hangat cukup ku rasa. Tangan ku tautkan di kedua sisi behel motor, meskipun hal itu membuat tanganku terasa sangat dingin. "Mas, kamu siapa?" tanyaku pada akhirnya. Aku memberanikan diri untuk bertanya, m

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status