Share

DAS 2. Kesepakatan

“Stoppp!” Aku nekad menghentikan pengendara motor besar yang lewat.

Cekittt!

“Mau cari mati lu?!” hardiknya kasar.

Aku tak mendengarkan amarahnya. Aku langsung berusaha naik ke atas boncengan motornya sambil menepuk kencang punggungnya.

“Tolong saya Pak! Bawa saya pergi secepatnya!”

Sesaat ia terdiam. Terdengar suara mesin mobil yang dibawa mundur untuk menghampiriku.

“Pak, tolong! Mereka penjahat mau jual saya!” ucapku sambil menangis tersedu. Aku benar-benar mengandalkan orang yang tak kukenal ini meskipun aku tak tahu apakah aku akan selamat atau justru lebih celaka.

Brummm...

Tiba-tiba motor pun langsung melaju dengan kencang, meninggalkan mobil yang sedang berjalan mundur.

Kupeluk erat pengendara motor berjaket hitam dan berhelm warna yang sama. Tak sedikitpun aku ingin melihat ke belakang, bahkan untuk sekedar melihat ke depan pun tak kulakukan. Aku benar-benar ingin terbang menjauh dari pak Rafli dan orang asing itu.

Entah kemana pengendara motor ini membawaku pergi, aku ikhlas. Sejenak kulupakan tentang Mama yang sedang berada di rumah sakit karena jika aku mati, justru Mama tak ada yang mengurusnya sama sekali.

“Woy, bangun! Tidur aja!” suara bariton dan hentakkan punggungnya menyadarkanku dari alam mimpi.

“Ehh... “

Aku terkesiap dan berusaha membuka mataku yang terasa berkabut. Akupun melirik ke kanan dan ke kiri.

“Ini di mana?” tanyaku dengan suara parau.

“Turun!” bentaknya kasar tanpa menjawab pertanyaanku.

“Ah, iya,” ucapku. Aku pun segera turun dari nyamannya bersender di punggungnya.

“Hoammm... “ aku menguap karena merasa masih sangat mengantuk. “Makasih banyak ya!” ucapku seraya melangkahkan kaki untuk menjauh darinya.

“Enak aja mau pergi. Turun bukan berarti boleh pergi.” Suaranya terdengar sangat mengintimidasi.

Aku menoleh karena tak mengerti dengan maksudnya.

“Sorry. Tapi aku enggak punya uang sama sekali. Aku enggak bisa kasih kamu apa-apa,” ucapku.

Pengendara motor itu segera turun dari motor kooplingnya.

“Apa saya mengatakan kalau saya minta uang?” tanyanya sambil terus mendekatkan dirinya kepadaku.

Aku pun segera mundur untuk sedikit menjauh darinya.

“Te... terus?” tanyaku dengan terbata.

“Terus?” tanyanya dengan suara yang terdengar meremehkan.

“Ah, tolong jangan sakiti saya!” mohonku yang kini baru merasakan denyut nyeri di beberapa bagian tubuh. Mungkin akibat aku menjatuhkan diri dari mobil yang sedang melaju kencang.

“Saya cuma mau kamu!” jawabnya yang kembali mendekat padaku.

Refleks aku menutup bagian dadaku yang memang cukup terbuka. Bajuku disiapkan untuk menemani pria asing ke sebuah pesta.

“Ja... jangan!” mohonku dengan berurai air mata.

Ia diam dan kini berdiri dengan tegak sebelum akhirnya benar-benar terbahak.

“Hahahahaha, memangnya saya mau kamu ngapain? Cewek berotak mesum,” ucapnya yang membuatku merasa dipermalukan. Bukan, sebenarnya aku merasa jika sikapku mempermalukan diri sendiri.

“Jadi, apa?” tanyaku dengan cemberut. “Kalimat situ yang bikin orang berpikir ngeres,” kilahku tak ingin terlalu nampak salah.

“Ya sudah. To the point saja!” ucapnya sambil bersender di motornya.

“Kamu butuh uang buat pengobatan ibumu, bukan?” tanyanya dengan sangat santai.

Aku terkejut mendengar pertanyaannya, darimana ia tahu tentang hal ini? Namun aku tetap membisu, apakah ia akan menawarkan bantuan dengan cara membeliku? Kalau begitu sama saja, keluar dari kandang macan masuk ke kandang singa.

“Aku bisa bantu kamu dengan... “

“Dengan cara membeliku?” tanyaku dengan berurai air mata. Aku merasa pendidikanku yang penuh dengan prestasi akhirnya dinodai dengan nasib yang seolah tak memihak.

“Hahahaha... Hahahaha!”

Aku yang sedang melow, tiba-tiba merasa heran saat mendengar tawanya yang sangat keras. Bahkan, sampai terpingkal-pingkal.

“Heh, siapa juga yang doyan sama situ. Haduh, ngaca dulu deh! Meskipun kamu cantik, tapi sumpah, kamu bukan level saya. Hahahaha...” ucapnya sambil melanjutkan tawa yang sempat terhenti. Bahkan, Ia nampak mengusap-usap ujung matanya dengan cara memasukkan tangan kanan ke dalam kaca helm.

Aku tak menjawab ucapan yang bernada ejekan darinya. Aku hanya mencebik dan berpikir bahwa apa yang ia katakan dan lakukan sangat berbanding terbalik.

“Oke... oke, serius!” ucapnya sambil berusaha menetralkan tawa yang berderai seperti hujan lebat. “Saya mau bantu biaya rumah sakit ibu kamu, bahkan saya bisa biayai hidupmu dan keluargamu, semuanya.”

“Adakah di dunia ini yang gratis?” ejekku tak percaya. Terlebih, dia mengatakan akan membiayai seluruh keluargaku. “Lagipula, memangnya kamu sultan?”

Aku terkekeh dengan nada ejekan yang lebih dramatis. Tapi, orang ini tidak terpengaruh sama sekali.

“Ya, saya memang anak Sultan. Dan, bisa mewarisi Kesultanan saya sepenuhnya jika saya sudah menikah.”

“Waw, kayak cerita novel," ucapku sambil menutup mulut dengan tangan kanan.

“Will you marry me?” tanyanya sambil melebarkan tangannya.

“ Oke.” jawabku seraya tertawa karena merasa berhasil telah menyambung kehaluannya.

“Oke, sekarang juga ikut saya. Eh, ikut aku. Ikut ke dalam. Di sana udah kumpul semua keluarga,” ucapnya sambil menarik tanganku dan menggenggamnya erat.

Aku menarik tanganku dari genggamannya sekuat tenaga. “Mau ke mana?” tanyaku nyolot karena aku tak bisa melepaskan genggaman tangannya.

“Kamu cewek pemberani, jadi bantu aku saat masuk ke kandang singa.”

“Aawww, enggak mau! Lepas! Aku masih mau hidup, enggak mau dimakan singa.”

“Hey, denger! Nama kamu siapa?” tanyanya serius. “Aku Zen.”

“Alea,” jawabku dalam isak tangis.

“Oke Alea. Aku mau kamu membantuku, akupun akan membantu kamu membiayai ibumu berobat. Bahkan dengan pengobatan terbaik. Aku mau kau menikah denganku malam ini juga. Hanya menikah, setelah itu kita bisa saling mengenal terlebih dahulu.”

“Kamu ngehalu, masa nikah di kandang singa!” ucapku masih dalam isak tangis.

“Kandang singa?” tanyanya seolah aneh dengan pernyataanku.

“Tadi kamu minta aku buat nemenin masuk ke kandang singa.”

“Isshhh...” Ia pun memukul-mukul helmnya. “Maksudnya, rumah yang orang-orang nya aku ibaratkan sebagai singa. Ruwarrrr!” jawabnya dengan gaya mencakar ke udara.

Aku terdiam mencerna penjelasannya. Beberapa detik kemudian, otakku pun mampu mencernanya. “Ooohhh, Oke oke. Tapi ada syaratnya.”

Aku coba bernegosiasi agar tak mendapatkan kerugian yang besar.

“Apa?” tanyanya serius.

“Setelah nikah, kita hidup masing-masing. Juga... “

“Juga apa?” tanyaanya lagi.

“Berikan saya uangnya malam ini juga. Biarkan juga saya menemani ibu di rumah sakit.”

“Enggak masalah. Ayo!” ajaknya lagi sambil melangkah pergi dengan tangan terus menggenggam.

“Tunggu! Kapan kita cerai?” ucapku karena masih merasa jika pernikahan ini pun sebagai pernikahan kontrak.

“Cerai? Kita belum menikah kan? Lagipula, aku tak pernah menganggap menikah itu sebagai permainan, apalagi kontrak. Nikah kontrak itu haram.”

“Jadi?” tanyaku tak mengerti dengan maksudnya. Bukankah di banyak novel banyak cerita tentang kawin kontrak?

“Jadi kita akan menjalaninya, sampai sejauh mana kita bisa cocok dan mendapatkan titik temu.”

“Kalau tak ada titik temu?” tanyaku lagi penasaran.

“Ya, enggak usah dipaksakan! Gitu aja kok repot,” ketusnya.

“Eh, tunggu!” ucapku saat kakiku mengikuti langkahnya ke sebuah rumah yang super mewah. Ternyata, sedari tadi aku berada di lingkungan rumah mewah ini.

“Apa lagi?” tanyanya dengan nada kesal.

“Rambut dan bajuku berantakan. Nanti kalau ditanya, jawab apa?” tanyaku yang sudah mulai menyadari penampilan yang acak-acakan.

“Bukan Cuma itu, tapi juga banyak luka. Aku bakal bilang kalau kamu tadi jatuh dari motorku. Dan satu lagi, kamu tak perlu terlalu ramah dengan orang-orang yang ada di dalam! Enggak usah banyak ngobrol! Ingat, kamu harus memikirkan nasib ibumu!” ucapnya yang membuatku mengerutkan kening tanda tak mengerti.

“Ah, iya. Darimana kamu tahu tentang ibuku?” tanyaku penasaran.

“Kamu ngigo banyak saat tidur. Termasuk tentang mister Daniel dan Andin.” Ucapnya yang membuatku shock bukan main. Selama itukah aku tertidur? Atau, sebanyak itukah mulutku tak sadar berucap kata-kata?

“Tapi... “

“Apalagi? Bisa terlambat dan semua aset sudah beralih nama. Dan kamu tak akan mendapatkan apapun dariku!” tegasnya dengan jari telunjuk diarahkan padaku.

Aku mengikuti langkahnya memasuki pintu yang besar dan menjulang tinggi. Ia berhenti di salah satu sudut samping ruang penghubung dan membuka helmnya. Ia pun meletakkan helm di dalam lemari yang kukira tak ada karena nampak seperti tembok saja.

Aku penasaran dengan rupanya, tapi tanganku langsung ditariknya lagi tanpa ia menoleh ke arahku. Tinggi memang, tapi apakah ia buruk rupa sehingga tak sekalipun memperlihatkan wajahnya.

*Bersambung*

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Muhammad Fares Mu'taz
penasaran banget
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status