"Nona Nadira, begitu keputusan dibuat, Nona nggak akan bisa kembali selama lima tahun atau bahkan lebih. Karena sifat khusus dari penelitian dan pengembangan perusahaan, kami akan menyembunyikan identitas Nona dari dunia luar. Harap Nona bisa mengerti."
"Aku mengerti."
Nadira terdiam sejenak, lalu membubuhkan tanda tangannya di bagian bawah dokumen.
"Baik, prosedur akan selesai pada tanggal 20 Oktober. Kami akan menghubungi Nona nanti."
Nadira melirik ponselnya, sekarang sudah tanggal 1 Oktober, tersisa dua puluh hari lagi.
Saat melewati layar lebar di mal, langkahnya terhenti. Layar tersebut tengah menyiarkan berita seminggu yang lalu.
Adelio Wiratama, presdir WR Group, telah menghabiskan waktu selama tiga tahun untuk merancang gaun pengantin yang sangat mahal. Dia ingin meminta maaf kepada istrinya karena tidak bisa mengenakan gaun pernikahan saat pernikahan mereka dulu.
Gaun pengantin tersebut menimbulkan kehebohan saat diluncurkan. Semua orang iri pada Nadira karena mendapatkan pria sekaya dan sepenyayang Adelio.
Para gadis yang melewati layar lebar melemparkan pandangan iri.
"Tahu nggak, cerita mereka sangat luar biasa. Aku juga pernah dengar kalau Pak Adelio ingat semua yang disukai istrinya, bahkan hal kecil sekalipun."
"Istrinya pernah mengalami kecelakaan mobil, dokter menyarankan untuk mencari donor kornea mata. Pak Adelio tanpa ragu sedikit pun langsung tanda tangan dokumen persetujuan operasi. Untungnya matanya bisa terselamatkan."
"Saat ada libur atau ada perayaan, meskipun sibuk, Pak Adelio selalu memberikan hadiah untuk istrinya. Sikapnya ini benar-benar melebihi sembilan puluh sembilan persen pria yang ada di dunia ini."
Nadira menarik sudut bibirnya mengejek, sangat berharap bahwa pendengarannya tidak kembali. Mendengar semua ini hanya membuatnya merasa mual.
Beberapa tahun lalu, dia menjadi tuli karena menghalangi sebuah kursi yang akan menimpa Adelio saat pria itu berkelahi dengan teman-temannya.
Setelah itu, dia dianggap aneh oleh semua orang. Dia dikucilkan dan ditertawakan karena tuli.
Dalam kondisinya yang menyedihkan, Adelio muncul seperti cahaya dalam kegelapan dan memeluknya erat-erat.
"Nadira, kamu nggak tuli. Mulai sekarang, aku bakal jadi telinga buat kamu. Aku nggak akan membiarkan siapa pun menyakitimu. Aku akan melawan mereka semua yang berniat menyakitimu."
Kebahagiaan yang Nadira pikir akan berlangsung selamanya ternyata hanya bertahan sekejap, seperti kembang api.
Beberapa hari yang lalu, dia ingin memberi tahu Adelio sebuah kabar gembira, bahwa dia bisa mendengar lagi. Namun, dia melihat bahwa wanita yang membuat Adelio kehilangan separuh jiwanya telah kembali.
Nadira mengepalkan jemarinya dengan erat hingga buku jarinya memutih.
Karena hubungan mereka hanya tinggal nama, Nadira tidak akan merajuk ataupun memohon. Mulai sekarang, dia akan menghilang dari dunia pria itu.
Dia menunduk dan meletakkan surat cerai yang sudah dia siapkan sejak lama ke dalam kotak.
Nadira mengangkat tangannya untuk menghapus air mata dari sudut matanya dan hendak kembali dengan menaiki taksi. Namun, sebuah mobil yang sangat dikenalnya berhenti di sampingnya.
Celana yang disetrika rapi terangkat seiring pria itu menyilangkan kakinya, memperlihatkan sepasang sepatu kulit derby yang mengkilap. Wajah tampan dan tegas pria itu dipenuhi dengan rasa khawatir saat berjalan ke arahnya.
Pria itu berbicara dengannya menggunakan bahasa isyarat.
"Nadira, bukannya aku memintamu menunggu di mal? Cuaca lagi dingin, gimana kalau nanti kamu sakit?"
Dia menangkupkan kedua tangan Nadira dan menggosok-gosokkannya, mata pria yang dalam dan misterius itu menampakkan rasa iba. Dia menarik Nadira ke arah mobil.
Nadira tersenyum sinis, jantungnya seperti dicengkeram begitu erat, membuatnya sulit bernapas.
Lihatlah, ternyata mencintai seseorang juga bisa sekadar akting.
Adelio membantunya memasang sabuk pengaman, tatapannya tanpa sengaja melirik ke arah sebuah kotak cantik yang diletakkan di samping Nadira.
Dia menunjuk kotak itu.
"Apa ini?"
Nadira menunduk, menyembunyikan emosi yang bergejolak di dalam hatinya.
"Hadiah perayaan buat hubungan kita."
Senyum tipis menghiasi wajah Adelio. Lalu, dia mengulurkan tangan untuk membukanya.
Namun Nadira menahan tangannya tepat pada waktunya.
"Buka nanti saja saat hari jadi kita."
Adelio penasaran, tetapi tidak memaksakan kehendaknya karena Nadira sudah meminta seperti itu.
Pria itu mencubit ujung hidung Nadira dengan mesra.
"Baiklah, aku ikut kata kamu. Sekarang kita harus segera foto ulang gaun pengantinnya."
Adelio ingin Nadira mengenakan gaun pengantin yang dia buat khusus untuknya, untuk dijadikan kenang-kenangan saat pernikahan emas mereka kelak.
Namun, hanya Nadira yang tahu bahwa tidak ada yang namanya masa depan dalam hubungan mereka.
Adelio, aku benar-benar ingin tahu bagaimana reaksimu saat melihat hadiah ini nanti.
Comments