Bibi Joyce mati!
Bibi Joyce mati! Kata-kata itu bergaung dalam benak Sunny. Selanjutnya mungkin dirinya akan menyusul bibi Joyce. Bibi Joyce terlentang di lantai, tidak ada luka yang berarti, hanya ada bekas jerat di leher bibi Joyce. Rambut ikal gonjesnya terlihat berantakan, bibir membaranya tidak lagi semerah yang Sunny ingat, dan sarung tangan renda hitam sudah terkoyak, seakan itu menunjukkan perlawanan bibi Joyce dari maut. Sunny masih ingat rambut kebanggaan bibinya itu masih tersisir rapi ketika meninggalkan rumah Marco. Sekarang yang kembali hanyalah tubuh dingin dan kaku. Sunny tersungkur. Dia meratapi kematian bibinya. Dia telah berusaha sangat keras untuk tidak menyalahkan perlakuan bibi Joyce selama ini padanya, tapi situasi yang dia hadapi kini jauh lebih serius dan membuatnya marah. Dia marah karena bibi Joyce menjebaknya dan meninggalkannya. Dia juga marah karena kematiannya ini membuat dirinya berada dalam situasi sulit. Dia marah karena Marco mengambil salah satu keluarganya. Setidaknya, bibi Joyce masih berhubungan darah dengan ayahnya. “Kau pembunuh!” tuding Sunny dengan suara keras. “Aku hanya melakukan hal yang perlu.” Sunny menggigit bibir, mencoba menahan diri untuk tidak menangisi kematian bibi Joyce. Tetapi dia kehilangan kendali atas dirinya. “Dasar iblis! Dia bibiku ... Dia keluarga ayahku ... Dia ....” “Hoi sadarlah! Tidak perlu menangisi perempuan picik ini. Dia mengkhianatimu dan kau masih berempati padanya? Tsskk ... gadis aneh. Dia menipuku. Dia pantas mendapatkannya.” Marco memasukkan tangan ke dalam saku berjalan melewati mayat bibi Joyce, kemudian dia berputar dengan elegan. Posisi Marco kini berhadapan dengan Sunny, dia bisa melihat mata Sunny yang menangis. Jantung Marco berdebar puas, pada akhirnya dia bisa membuat Sunny merasakan kengerian yang sesungguhnya. Marco menunjuk Sunny dan membuat ekspresi serius. “Untuk itulah kau harus takut padaku. Karena dia sudah mati dan uangku tidak kembali— maka kau yang akan menggantikan semua kerugian yang dibuat bibimu. Kau harus membayar uang yang banyak dengan bekerja padaku. Apapun itu—harus kau lakukan.” Sunny menggeleng marah. “Aku tidak berkewajiban untuk melakukan semua itu. Bukan aku yang berutang. Mengapa harus aku? Aku benci kalian semua!” Marco terkekeh. “Kau harus.” “Kau psyco!” Sunny frustasi. Marco tidak menghiraukan Sunny. “Bersihkan sampahnya!” perintah Marco kepada salah satu pengikutnya yang berdiri rapi di salah satu sisi ruangan. Lantas, mereka segera membawa tubuh bibi Joyce dan menghilang di lorong yang menuju dapur. Seolah di lorong itu ada banyak rahasia kotor Marco. Sunny tidak bisa melakukan apapun selain mengutuki bibi Joyce. Semua karena bibi Joyce. Jika saja bibi Joyce tidak membawanya kemari, mungkin Sunny masih bisa tersenyum melihat ibu dan adiknya. Mungkin Sunny saat ini terbangun di malam dingin dan memberikan obat pada ibunya atau mungkin dia terjaga karena suara-suara angin laut yang mengetuk-ngetuk jendela kamarnya. Seketika Sunny merindukan semua hal itu, dia merindukan rumahnya yang sederhana, seakan semua rasa itu telah menyiksanya bertahun-tahun. “Bawa dia ke kamarnya. Pastikan pintunya terkunci.” Marco berujar pada Don dengan segala pesona otoriternya. Don mengangguk seketika. Tangan Sunny yang gemetar, terasa semakin tidak berdaya ketika Don menarik tangan Sunny untuk ikut bersamanya. Sunny dikurung kembali, tidak ada benda apapun di kamar itu, bersih dan melompong. Hanya ada jendela yang cukup besar tanpa tirai, menampakkan malam yang kelam tiada bintang. Pemandangan yang suram itu menarik perhatian Sunny. Dia berdiri di depan jendela, menatap malam dengan hampa. “Mama ...” ujarnya lirih. “Aku ingin pulang ...” Dan malam pun berakhir lambat bagi Sunny. Dia yakin bahwa matanya tidak tertidur, dia cukup sadar bahwa semalaman dia menangis, akan tetapi dia mendapati dirinya yang terbaring ketika membuka mata. Oh, Sunny yang malang. Rasa lelahnya telah menghipnotis matanya untuk tertidur, tentu Sunny tidak menyadari itu. Suara ketukan ringan terdengar dari balik pintu, disusul suara wanita yang lebih terdengar seperti suara pria. Suaranya terdengar lembut, ceria dan menenangkan. “Sayang ... apa aku boleh masuk?” lalu pintu terbuka, menampakkan sesosok pria gemulai. Dia Gani, salah satu pekerja Marco di klub. Gani terlahir sebagai laki-laki, tapi dia sangat yakin bahwa jiwanya adalah perempuan. Dia memiliki wajah yang lembut, cantik dan bibirnya sangat suka menyunggingkan senyum. Penampilan Gani menarik perhatian Sunny, celana legging hitam yang dipadukan dengan crop top bunga-bunga merah jambu, dan tas tangan magenta tergantung di pergelangan tangannya yang lentik. Rambutnya pendek, bulu matanya panjang dan basah oleh pelumas, pipi berperona, dan bibirnya serupa warna jeruk matang. Sangat segar dan bersahabat. “Kau sudah bangun?” tanya Gani sembari mendekati Sunny. Dia menyentuh pundak Sunny dan membantunya untuk berdiri. “Dasar Marco! Dia tidak tahu memperlakukan gadis semanis dirimu dengan baik. Untungnya, ada aku di sini. Aku akan mengurusmu, jadi kau bisa bergantung padaku.” Sunny menatap Gani dengan sorot kebingungan. “Siapa kau?” “Oh, maaf,” Gani cekikikan malu. “Aku lupa mengenalkan namaku. Aku Gani, dan kau—siapa namamu?” Gani merangkul Sunny dan membawanya keluar kamar. Mereka menuju ke kamar yang lain, tepat di sebalah kamar Sunny tadi. Namun, kamar yang ini lebih layak disebut kamar. Setidaknya ada kasur empuk, meja rias, dan jendela bertirai. Gani mendudukkan Sunny di kasur dengan lembut. “Sunny,” sahut Sunny datar. Gani menimpali dengan antusias, “nama yang indah, seperti matahari pagi. Mulai saat ini, aku bertanggung jawab untuk keperluanmu.” “Bertanggung jawab?” Gani mengambil sisir dari meja rias, kemudian dia menyisir rambut Sunny yang berantakan. “Ya, mulai malam nanti kau akan bekerja di klub dan Marco memintaku untuk mendandanimu. Tenang saja, aku tidak segalak Marco. Kau bisa terbuka padaku, anggap saja aku kakakmu.” “Bekerja di klub?” Sunny bergumam, kali ini dia semakin kelimpungan. Sunny melirik Gani dengan perasaan aneh, tapi dia mendadak menyadari Gani memiliki kepribadian yang menyenangkan. Mungkin mereka bisa menjalin tali persahabatan jika mereka bertemu tidak sengaja entah di mana.Sunny tidak ingin mempercayai siapa pun di rumah ini, karena mereka pengikut Marco. Tentu saja sikap mereka tidak jauh beda dengan Marco.Namun Gani terlihat berbeda. Dia seperti ibu peri yang mengabulkan segala keinginan. Sunny ingin mencoba percaya pada Gani, sekali saja. Dia harus mencobanya.“Aku harus kembali. Ibuku menunggu aku pulang. Dia sakit dan—aku harus bersamanya. Bisakah kau membantuku keluar dari sini?”Sunny berharap Gani bisa membantunya pergi, tetapi Gani tidak bisa melawan Marco. Dulu dia juga bernasib sama dengan Sunny, bedanya dia tidak dijebak, melainkan dia sendiri yang menawarkan dirinya bekerja pada Marco karena tidak bisa melunasi segala utangnya. Gani menggeleng, dia memberikan senyum tipis. “Sayangnya, aku tidak bisa melakukan banyak hal untuk ini. Aku juga tidak punya kekuatan untuk menentang Marco. Tenang saja, jika kau bersabar, aku akan berusaha membantumu sebisaku.”Bodoh. Jangan terlalu berharap. Sunny mengutuki dirinya.Percakapan mereka tidak terlalu menarik lagi bagi Sunny. Dia tidak lagi berbicara. Sunny lebih memilih diam, membiarkan Gani mempermak dirinya menjadi lebih seksi dan dewasa dari usianya. Selama dia hidup, baru kali ini Sunny melihat peralatan berhias wanita. Walau dia sudah memasuki usia 21 tahun, satu bedak pun tidak pernah dia pakai di wajahnya. Dia terlalu lugu dan tidak tahu banyak hal tentang mode dan make up.Sikap Sunny selalu periang, tidak terlalu terbuka dengan perasaannya, tidak bersikap dibuat-buat. Jika dia suka, dia akan mengatakannya—jika dia tidak suka, tentu dia akan mengatakannya dengan halus tanpa melukai hati orang lain. Sekarang, dia seolah orang lain ketika memandang dirinya di cermin. Binar-binar bahagia di matanya telah pergi, dalam sekejap dia telah berubah menjadi orang lain.Gani memilih dress emas bermanik-manik untuk Sunny. Pundak terbuka, rok berbelah tinggi, dan sangat ketat sampai-sampai bentuk tubuhnya terlihat jelas. Bulu mata yang sehitam malam membingkai mata coklat madu Sunny, pipi berperona jingga, dan bibirnya yang tipis dipoles lipstik merah muda. Gani juga menata rambut Sunny dengan hati-hati, membiarkan rambut coklat berombak Sunny terurai dan menambahkan jepit rambut serupa berlian di sisi kiri.“Sempurna,” puji Gani bersemangat. “Kau cantik sekali.”“Ini ... bukan aku. Aku ingin pakaian lamaku.”“Sayang ... kau harus berpenampilan menarik biar para tamu senang.”“Apa maksudmu? Apa aku harus melayani mereka? Itukah pekerjaanku?”Sunny berharap pekerjaannya tidak seperti yang dia pikirkan, namun ekspresi Gani seolah membenarkan pemikirannya.”Marco brengsek! bibi Joyce bedebah. Aku benci kalian semua!” frustasi Sunny.Sunny menatap Ryuse dengan mata terbelalak ketika tangan lelaki itu mendekapnya erat. Raut wajah Sunny menggambarkan kebingungan dan ketidakpercayaan. Detak jantungnya berdegup kencang dan Sunny bersumpah bahwa napasnya seolah berhenti—memikirkan apakah yang terjadi benar-benar nyata. “Ryu, apa yang kau lakukan?” Sunny berusaha menyusun kata-kata, namun suaranya terdengar seperti bisikan lembut. “Tetaplah seperti ini sebentar,” sahut Ryuse berbisik. Tangan Ryuse mengusap lembut punggung Sunny. Ryuse tidak tahu mengapa dia harus melakukan hal konyol dan tidak tahu malu seperti ini. Tindakannya yang tiba-tiba ini bukan menunjukkan dirinya yang sebenarnya. Perbuatan romansa dan hubungan intim antara lelaki dan wanita, Ryuse tidak peduli dengan semua itu sebelumnya. Namun kehadiran Sunny merubah segalanya. Ryuse pun tidak menyadari perasaan itu. Dia hanya tahu itu adalah perasaan empatinya terhadap kisah Sunny. “Jangan salah paham,” imbuh Ryuse. “Aku melakukan ini sebagai ucapan perp
“Namun, itu hanyalah sebuah benda,” ujar Ryuse. “Aku masih bisa membelinya. Melihatmu yang bertanggung jawab, aku akan membiarkanmu.” “Maafkan aku, Paman. Aku tidak akan mengulanginya lagi.” Ryuse memijat keningnya dan mendengus. “Jangan panggil aku paman. Aku tidak setua itu. Panggil saja aku sesukamu asal jangan sebutan yang tua.” Rury mengangguk dan tersenyum ceria. “Baik, Kakak keren.” “Kakak keren?” Ryuse menaikkan satu alis. “Tentu saja. Aku melihatmu bertarung waktu itu dan itu sangat keren,” ungkap Rury gembira. Ryuse tersenyum tipis dan menimpali dengan wajah tenang, “Itu tidak buruk. Aku suka.” Sementara Marvin tersenyum puas melihat sikap Ryuse terhadap Rury. Dia menang taruhan. Makan malam sepuasnya di Cozy resto akan menjadi hal yang paling menyenangkan untuk Marvin. Setidaknya dia terbebas dari makan roti lapis setiap harinya. Pekerjaannya yang sering menghabiskan waktu di malam hari, membuat Marvin sering mengabaikan makan malam. “Hei, aku menang. Jangan lupakan
Ketika Rury pertama kali memasuki rumah mewah milik Ryuse, matanya terbuka lebar. Dia terdiam sejenak di pintu masuk, menelan ludah dengan pemandangan yang begitu mewah di hadapannya. Langit-langit tinggi, lukisan-lukisan mahal, perabotan klasik, dan hiasan-hiasan yang tersebar di seluruh ruangan. Rury bisa merasakan jawaban di ujung lidahnya, bibirnya bergerak tanpa suara saat dia mencoba untuk menggambarkan betapa takjubnya dia pada kekayaan dan keindahan rumah Ryuse. "Wow, ini... ini luar biasa," gumamnya gemetar. Rumah ini jauh lebih baik dari rumah mereka, jauh lebih nyaman. Tidak ada nyamuk yang akan mengganggu tidur mereka, atau angin laut yang merebak masuk melalui lubang dari jendela mereka. Tatapan Rury berkeliling dengan takjub, membenamkan diri dalam keelokan dan berharap dalam hatinya bahwa dia ingin mempunyai rumah sebesar ini. Itu adalah Rury di hari pertama. Namun yang terjadi sekarang di hadapannya bukanlah hal baik. Setelah tiga hari terlewati dengan bersenang-b
Ryuse terkekeh dan memberikan tatapan pengertian. “Sansan, setiap hal yang kuberikan padamu adalah tulus. Kau jangan berpikir yang aneh-aneh,” ujar Ryuse dengan santai tanpa menyadari bahwa Sunny mungkin saja menyukainya. Sunny bergumam dalam hati saat menatap Ryuse, “Aku hanya takut berharap terlalu banyak dan aku takut melakukan kesalahan dalam membaca perasaan ini.” Dalam momen itu, dokter tiba-tiba datang dan membuat Sunny melompat dari kasur dengan tergesa-gesa. Dokter tersebut, dengan sorot penuh perhatian menilik wadah infus yang hampir habis dan berbicara dengan senyum lebar. “Selamat pagi, pak Ryuse. Bagaimana perasaanmu hari ini?” “Halo dokter. Rasanya lebih baik dari kemarin.” Dokter melakukan beberapa pemeriksaan dan melihat catatan medis, kemudian dia mengangguk puas. “Hasil pemeriksaan menunjukkan peningkatan yang baik. Saya pikir anda sudah cukup pulih untuk pulang ke rumah. Tapi tetaplah menjaga kesehatan dan lakukan kontrol rutin di rum
Sunny merasa malu dengan kecerobohannya sendiri yang dengan tidak sengaja mengungkapkan bahwa dia menyukai seseorang. Matanya yang bercahaya dan senyumnya yang manis kini terasa begitu berat, dihiasi oleh rasa gugup dan keraguan. Dia berlari ke kamar mandi, berdiri lama menatap wajahnya di depan cermin. Tangan Sunny menyentuh pipinya yang telah memerah, seketika dia menjadi malu dan Sunny membasuh wajahnya untuk menghilangkan rona itu dari wajahnya. Ryuse merasakan ada sesuatu tidak biasa yang terjadi pada Sunny dan pertanyaan-pertanyaan pun mulai mendominasi pikirannya. “Mengapa dia terlihat begitu tergesa? Apa aku salah bicara?” pikirnya sambil mencoba mencari jawaban. Hatinya berdebar, tak bisa menolak rasa ingin tahu yang muncul begitu saja. Tanpa dia sadari, Ryuse pun mulai penasaran dengan pria yang dikagumi oleh Sunny. Pikirannya mencoba membayangkan siapa sosok pria yang dapat membuat Sunny begitu terpana dan membuatnya ingin tahu lebih banyak tentang siapa pria itu, apa y
Luigi Kasto, seorang pimpinan dari Red Dragon, sebuah organisasi kriminal yang menyelundupkan senjata dan mengoperasikan rumah perjudian. Dia lelaki yang paling ditakuti di seluruh Rosentown. Tindakannya selalu lebih sulit dipahami, liar, dan keji. Tak seorang pun berani menentangnya. Namun, pria yang di hadapannya itu tidak pernah menunjukkan rasa takut padanya. Pria yang dulu pernah dia 'pelihara' dan dia besarkan untuk menjadi sama dengannya. Ya, pria itu selalu membangkang terhadap perkataan Luigi. Satu-satunya orang yang berani melawan Luigi, Ryuse Adam. Ryuse bukan tidak ingin membalas kebaikan Luigi terhadapnya, apa pun akan dia lakukan—tapi tidak untuk Camila. Hanya Camila. Ryuse tidak pernah memiliki perasaan romantis terhadap Camila. Dia selalu memandang Camila seperti saudara perempuan. Ryuse pernah mencoba memaksa dirinya untuk mencintai Camila, namun dia tidak berhasil melakukan itu. Demi membalas jasa Luigi, Ryuse berkali-kali mencoba membuat dirinya jatuh cinta pa