Share

5 | Harapan Sunny yang pupus

Ryuse menoleh dengan sorot keterkejutan. Dia tidak menduga Sunny akan meminta hal rumit seperti ini.

Sunny berlari menghampiri Ryuse dan dia berujar, “tolong aku, tuan. Aku tidak mau di sini bersamanya. Aku harus pulang ke tempat ibuku.”

Ryuse menatap mata coklat Sunny lamat-lamat. Seakan mata itu memohon kepadanya, sunny tidak berbohong, dia ketakutan dan sedih.

“Aku tidak bisa ... Kau milik pria itu,” Ryuse melirik Marco. “Aku tidak mencuri kepunyaan orang lain. Selesaikan saja urusanmu dengannya.”

Ryuse memutar tubuhnya, berjalan kembali menuju tangga yang diikuti oleh Gordon dan Marvin. Mereka sudah terlambat untuk urusan lainnya. Tidak ada waktu untuk memikirkan yang bukan urusannya.

“Dasar gadis gila. Kembali ke sini kau. Tidak akan kulepaskan. Don! Bawa dia kemari!” pekik Marco.

“Aku mungkin akan dibunuhnya. Kumohon ... ibuku membutuhkan aku.” Sekali lagi Sunny memohon. Kali ini dia bertaruh pada keberuntungan.

Sunny hampir menangis. Mati-matian dia menahan air mata dan suaranya untuk tetap tenang. Tidak boleh. Orang lain tidak boleh melihatnya menangis. Sunny masih berdiri percaya diri, menatap Ryuse dengan sorot hampa. Terlebih saat ini dia berada di tempat berbahaya, menangis bukanlah pilihan tepat. Mereka mungkin dengan senang hati semakin menyakiti dirinya. Tidak, dia tidak boleh menangis. Sunny sekali lagi menguatkan dirinya.

Awalnya dia menilai Ryuse sama seperti Marco. Namun, Sunny percaya bahwa Ryuse berbeda. Hanya dengan melihat mata gelap cemerlang milik Ryuse, Sunny yakin bahwa Ryuse bisa dia andalkan. Entah bagaimana pikiran itu bisa menyerang kepalanya, mungkin dia terlalu putus asa atau ini hanyalah harapan semu yang muncul setelah melihat Marco tidak berdaya oleh pukulan Ryuse.

“Aku sibuk ... .”

Hanya itu yang keluar dari mulut Ryuse. Dia ingin mengatakannya dengan lembut, tetapi yang terucap dari mulutnya kata-kata tanpa empati. Kini, Ryuse hampir menyesal telah mengatakan itu dan dia berharap Sunny tidak membencinya.

Sunny menatap punggung pria itu pergi dengan kecewa. Bagaimanapun, itu bukan salah Ryuse, Sunny saja yang terlalu berharap Ryuse akan membantunya. Sunny berpikir begitu keras, apa yang salah dari ucapannya. Bukankah sesama manusia harus peduli dengan orang lain? Tapi, bagaimana bisa lelaki itu berkata demikian? Sunny yakin sudah meminta dengan benar, namun dia harus sadar dunia begitu kejam.

Don segera menarik tangan Sunny, cukup keras, hingga Sunny hampir terjerambab. Pergelangan tangannya nyeri oleh cengkraman Don. Lantas, Sunny menarik kembali tangannya dari Don.

“Aku bisa sendiri. Kemana kau mau? Apa aku harus berdiri di sini menemaninya yang merintih kesakitan?” Sunny berujar dengan keberanian yang baru dia dapatkan. Sekejap ekspresi wajahnya berubah menjadi licik. Dia tidak ingin menggantungkan nasib hidupnya pada orang lain. Hanya dirinya sendiri yang bisa dia andalkan. Jadi, dia harus bisa seperti rubah kecil nan licik.

Marco melambaikan tangan pada Don. Seolah itu hal yang penting, Don segera mendekat pada Marco. Dia berjongkok, menaruh tangan kanan Marco melintasi bahunya, dan sekejap dia membantu Marco berdiri.

Don meletakkan Marco dengan nyaman di Sofa. Kemudian dia mengambil tisu untuk menyeka darah Marco.

“Ryuse bajingan!” Geram Marco. “Dia selalu bertingkah seenaknya. Aku akan membalasnya.”

Sunny memperhatikan Marco dengan senyum cemooh dan itu membuat Marco kesal.

“Hoi rubah licik! Setelah melihatku terkapar, berani-beraninya kau mau kabur. Nyawamu itu bergantung padaku, bukan pada Ryuse.”

“Hidupku milikku. Nyawaku pun milikku. Aku masih tidak takut padamu. Seharusnya kau bersyukur pria tadi tidak menghabisimu,” cemooh Sunny.

“Kau!” Marco mengepalkan tangan dengan emosional. “Ah, aku tidak tahan lagi. Seseorang kurung dia! Biar dia tahu untuk bersikap hormat.”

Beberapa anak buah Marco yang babak belur segera melakukan perintah Marco. Mereka berlari tergopoh-gopoh mendapatkan Sunny dan menyeretnya ke dalam kamar kosong.

Sunny terduduk di sudut kamar, meringkuk, dan menyembunyikan wajahnya di antara lutut. Dia menangis, meratapi nasibnya yang buruk. Ketika dia teringat ibunya, Sunny buru-buru menghapus air matanya. Bagaimana bisa dia menjadi tulang punggung keluarga jika dia lemah? Dia harus kuat, dia bisa melewatinya, cukup bersabar sedikit lagi, bibi Joyce pasti datang.

Sunny terus-menerus meyakinkan dirinya bahwa bibi Joyce akan kembali dan dia akan pulang ke rumah. Bahkan dia menjadi tidak sabaran ketika membayangkan itu terjadi.

Namun, tengah malam telah lewat. Sudah pukul satu dini hari dan belum ada kabar dari bibi Joyce. Sunny mulai gelisah. Tepat ketika dia memikirkan bibi Joyce, seolah itu takdir, pintu kamar terbuka. Jantung Sunny berdebar bahagia, akhirnya dia bisa pulang.

Seketika harapan itu luntur begitu saja. Sebab yang muncul adalah Marco dengan wajah marah. Lelaki itu mendekati Sunny dan menariknya dengan cekatan keluar kamar. Sunny berusaha melepaskan diri, tapi akhirnya dia menyerah sebab pemandangan yang di hadapannya membuat Sunny frustasi.

“Bibi ... ” suara Sunny bergetar. Kengerian menjalar di sekujur tubuh Sunny, melewati setiap pembuluh darah, dan sampai pada jantungnya yang berdentam hebat.

Marco menaruh tangannya di rambut Sunny, lantas dia memutar wajah menatap Sunny dan mencengkram dagunya kasar. “Lihat, inilah akibatnya jika melawan denganku. Dia berusaha kabur dan sengaja meninggalkanmu di sini. Ah, sayang sekali, padahal itu uangku yang berharga.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status