Ryuse menoleh dengan sorot keterkejutan. Dia tidak menduga Sunny akan meminta hal rumit seperti ini.
Sunny berlari menghampiri Ryuse dan dia berujar, “tolong aku, tuan. Aku tidak mau di sini bersamanya. Aku harus pulang ke tempat ibuku.”Ryuse menatap mata coklat Sunny lamat-lamat. Seakan mata itu memohon kepadanya, sunny tidak berbohong, dia ketakutan dan sedih.“Aku tidak bisa ... Kau milik pria itu,” Ryuse melirik Marco. “Aku tidak mencuri kepunyaan orang lain. Selesaikan saja urusanmu dengannya.”Ryuse memutar tubuhnya, berjalan kembali menuju tangga yang diikuti oleh Gordon dan Marvin. Mereka sudah terlambat untuk urusan lainnya. Tidak ada waktu untuk memikirkan yang bukan urusannya.“Dasar gadis gila. Kembali ke sini kau. Tidak akan kulepaskan. Don! Bawa dia kemari!” pekik Marco.“Aku mungkin akan dibunuhnya. Kumohon ... ibuku membutuhkan aku.” Sekali lagi Sunny memohon. Kali ini dia bertaruh pada keberuntungan.Sunny hampir menangis. Mati-matian dia menahan air mata dan suaranya untuk tetap tenang. Tidak boleh. Orang lain tidak boleh melihatnya menangis. Sunny masih berdiri percaya diri, menatap Ryuse dengan sorot hampa. Terlebih saat ini dia berada di tempat berbahaya, menangis bukanlah pilihan tepat. Mereka mungkin dengan senang hati semakin menyakiti dirinya. Tidak, dia tidak boleh menangis. Sunny sekali lagi menguatkan dirinya.Awalnya dia menilai Ryuse sama seperti Marco. Namun, Sunny percaya bahwa Ryuse berbeda. Hanya dengan melihat mata gelap cemerlang milik Ryuse, Sunny yakin bahwa Ryuse bisa dia andalkan. Entah bagaimana pikiran itu bisa menyerang kepalanya, mungkin dia terlalu putus asa atau ini hanyalah harapan semu yang muncul setelah melihat Marco tidak berdaya oleh pukulan Ryuse.“Aku sibuk ... .”Hanya itu yang keluar dari mulut Ryuse. Dia ingin mengatakannya dengan lembut, tetapi yang terucap dari mulutnya kata-kata tanpa empati. Kini, Ryuse hampir menyesal telah mengatakan itu dan dia berharap Sunny tidak membencinya.Sunny menatap punggung pria itu pergi dengan kecewa. Bagaimanapun, itu bukan salah Ryuse, Sunny saja yang terlalu berharap Ryuse akan membantunya. Sunny berpikir begitu keras, apa yang salah dari ucapannya. Bukankah sesama manusia harus peduli dengan orang lain? Tapi, bagaimana bisa lelaki itu berkata demikian? Sunny yakin sudah meminta dengan benar, namun dia harus sadar dunia begitu kejam.Don segera menarik tangan Sunny, cukup keras, hingga Sunny hampir terjerambab. Pergelangan tangannya nyeri oleh cengkraman Don. Lantas, Sunny menarik kembali tangannya dari Don.“Aku bisa sendiri. Kemana kau mau? Apa aku harus berdiri di sini menemaninya yang merintih kesakitan?” Sunny berujar dengan keberanian yang baru dia dapatkan. Sekejap ekspresi wajahnya berubah menjadi licik. Dia tidak ingin menggantungkan nasib hidupnya pada orang lain. Hanya dirinya sendiri yang bisa dia andalkan. Jadi, dia harus bisa seperti rubah kecil nan licik.Marco melambaikan tangan pada Don. Seolah itu hal yang penting, Don segera mendekat pada Marco. Dia berjongkok, menaruh tangan kanan Marco melintasi bahunya, dan sekejap dia membantu Marco berdiri.Don meletakkan Marco dengan nyaman di Sofa. Kemudian dia mengambil tisu untuk menyeka darah Marco.“Ryuse bajingan!” Geram Marco. “Dia selalu bertingkah seenaknya. Aku akan membalasnya.”Sunny memperhatikan Marco dengan senyum cemooh dan itu membuat Marco kesal.“Hoi rubah licik! Setelah melihatku terkapar, berani-beraninya kau mau kabur. Nyawamu itu bergantung padaku, bukan pada Ryuse.”“Hidupku milikku. Nyawaku pun milikku. Aku masih tidak takut padamu. Seharusnya kau bersyukur pria tadi tidak menghabisimu,” cemooh Sunny.“Kau!” Marco mengepalkan tangan dengan emosional. “Ah, aku tidak tahan lagi. Seseorang kurung dia! Biar dia tahu untuk bersikap hormat.”Beberapa anak buah Marco yang babak belur segera melakukan perintah Marco. Mereka berlari tergopoh-gopoh mendapatkan Sunny dan menyeretnya ke dalam kamar kosong.Sunny terduduk di sudut kamar, meringkuk, dan menyembunyikan wajahnya di antara lutut. Dia menangis, meratapi nasibnya yang buruk. Ketika dia teringat ibunya, Sunny buru-buru menghapus air matanya. Bagaimana bisa dia menjadi tulang punggung keluarga jika dia lemah? Dia harus kuat, dia bisa melewatinya, cukup bersabar sedikit lagi, bibi Joyce pasti datang.Sunny terus-menerus meyakinkan dirinya bahwa bibi Joyce akan kembali dan dia akan pulang ke rumah. Bahkan dia menjadi tidak sabaran ketika membayangkan itu terjadi.Namun, tengah malam telah lewat. Sudah pukul satu dini hari dan belum ada kabar dari bibi Joyce. Sunny mulai gelisah. Tepat ketika dia memikirkan bibi Joyce, seolah itu takdir, pintu kamar terbuka. Jantung Sunny berdebar bahagia, akhirnya dia bisa pulang.Seketika harapan itu luntur begitu saja. Sebab yang muncul adalah Marco dengan wajah marah. Lelaki itu mendekati Sunny dan menariknya dengan cekatan keluar kamar. Sunny berusaha melepaskan diri, tapi akhirnya dia menyerah sebab pemandangan yang di hadapannya membuat Sunny frustasi.“Bibi ... ” suara Sunny bergetar. Kengerian menjalar di sekujur tubuh Sunny, melewati setiap pembuluh darah, dan sampai pada jantungnya yang berdentam hebat.Marco menaruh tangannya di rambut Sunny, lantas dia memutar wajah menatap Sunny dan mencengkram dagunya kasar. “Lihat, inilah akibatnya jika melawan denganku. Dia berusaha kabur dan sengaja meninggalkanmu di sini. Ah, sayang sekali, padahal itu uangku yang berharga.”Bibi Joyce mati! Bibi Joyce mati! Kata-kata itu bergaung dalam benak Sunny. Selanjutnya mungkin dirinya akan menyusul bibi Joyce. Bibi Joyce terlentang di lantai, tidak ada luka yang berarti, hanya ada bekas jerat di leher bibi Joyce. Rambut ikal gonjesnya terlihat berantakan, bibir membaranya tidak lagi semerah yang Sunny ingat, dan sarung tangan renda hitam sudah terkoyak, seakan itu menunjukkan perlawanan bibi Joyce dari maut. Sunny masih ingat rambut kebanggaan bibinya itu masih tersisir rapi ketika meninggalkan rumah Marco. Sekarang yang kembali hanyalah tubuh dingin dan kaku. Sunny tersungkur. Dia meratapi kematian bibinya. Dia telah berusaha sangat keras untuk tidak menyalahkan perlakuan bibi Joyce selama ini padanya, tapi situasi yang dia hadapi kini jauh lebih serius dan membuatnya marah. Dia marah karena bibi Joyce menjebaknya dan meninggalkannya. Dia juga marah karena kematiannya ini membuat dirinya berada dalam situasi sulit. Dia marah karena Marco mengambil salah
“Kakak Ryu, mengapa kau termenung?” Marvin menepuk pundak Ryuse yang tengah menatap hampa pemandangan di luar jendela. Ryuse mendesah dalam diam panjang. Dia melirik Marvin yang menatapnya dengan ekspresi penasaran. Ryuse memutar langkah, dia kembali ke meja kerjanya. Kaki terangkat ke atas meja, kepala bersandar pasrah pada bahu kursi, dan dia memejamkan mata sejenak. “Tidak ada.” Hanya itu yang keluar dari mulut Ryuse. Datar dan tanpa ekspresi. “Sungguh? Tapi kau terlihat berbeda belakangan ini. Tsssk ... apa ada yang mengganjal di hatimu?” Mata Marvin membulat besar ketika dia membayangkan penyebab kegelisahan Ryuse karena wanita. “Apa kau menyukai seseorang? Oh, ayolah kau bisa bertukar pikiran denganku. Aku cukup berpengalaman.” Marvin memainkan mata menggoda Ryuse. “Pergilah! Mulutmu berisik sekali.” “Sikapmu semakin mencurigakan. Baiklah jika kak Ryu tidak mau berbagi, maka aku akan mencari tahu sendiri,” ujar Marvin sembari terkekeh. Dia berjalan ke pintu dengan lagak k
“Tuan-tuan, silakan duduk dengan tenang dan bersabar. Kalian bisa memiliki gadis ini asal kesepakatan harga kita cocok. Lihatlah, betapa wajah ini begitu lugu.” Marco menyentuh wajah Sunny. “Dan—dia masih polos, sangat polos seperti kertas yang belum dicoret.”Ryuse merasakan tekanan darah di dalam tubuhnya meningkat drastis. Dia sangat marah kepada Marco, marah pada situasi Sunny yang menyedihkan, dan dia marah karena tidak bisa melakukan apapun pada gadis itu. Ryuse sadar, Sunny bukan urusannya dan juga bukan tanggung jawabnya. Namun, sesuatu yang disebut empati masih ada dalam hatinya. Dia memang tidak lebih baik, tapi soal nurani—Ryuse lebih baik dibandingkan Marco.Marco kembali berujar, “bayangkan saja dia tidur di samping kalian, menatap matanya yang indah, senyumnya yang menawan dan dia sedikit galak. Oh, betapa itu kombinasi yang menggiurkan.”Ryuse tidak tahan lagi. Kali ini saja dia akan membiarkan dirinya ikut campur, melanggar aturan yang dibuat, dan menerima konsekuensi
“Aku tak akan peduli soal ketakutanmu atau pun keberanianmu padanya,” Sunny berusaha meyakinkan Marco bahwa dirinya tidak tertekan oleh ancaman apapun. “Aku hanya peduli dengan bagaimana kau jatuh.”“Kau ... ”Marco hampir memukul wajah Sunny, namun Ryuse cekatan menangkap tangan Marco dan menghempaskannya.“Pria sejati tidak memukul wanita,” Ryuse berkata dengan nada tenang nan menghanyutkan, lalu menyembunyikan Sunny ke balik punggungnya.“Sial! Kau selalu ikut campur,” Marco mengeluh, lalu melangkah mendekati salah satu pengawal dan meninju perutnya keras. “Kalian tidak berguna!”Marco menjadi frustrasi. Dia tidak bisa melakukan apapun, melawan atau bahkan menyerang balik Ryuse. Dia menyadari kemampuan bertarung Ryuse bukan tandingannya. Bahkan dia menyesal telah memiliki banyak pengawal, namun tidak seorang pun yang sebanding dengan Ryuse. Marco berteriak, kesal bercampur marah yang berujung mengacak-acak rambutnya dengan kasar.“Kau menyebalkan ...” Marco menunjuk Ryuse sembari t
Ryuse mendekati Sunny dan berjongkok di depannya. “Kau tidak tahu jalan pulang, bukan?” Sunny menatap mata Ryuse yang tengah melihat wajahnya. Tatapan Ryuse terasa menenangkan dan itu membuat Sunny mendadak merona. Sunny berusaha menyembunyikan kegembiraannya karena kehadiran Ryuse, namun itu mustahil. Sebab Ryuse berhasil memergokinya. Alih-alih bertanya lebih jauh, Ryuse melepaskan jasnya dan menutupi pundak terbuka Sunny. “Bajumu terlalu terbuka.” “Tapi ... kau lebih terbuka,” Sunny merona lagi saat melihat tubuh Ryuse yang tidak memakai apa pun di badannya, yang tersisa hanya celana burgundinya. “Sebaiknya kau saja yang pakai ini.” Ryuse berdiri dan mengulurkan tangan pada Sunny. “Aku sudah terbiasa seperti ini.” Sunny menerima uluran Ryuse. Dia meletakkan tangannya di dalam genggaman pria itu. Sekali lagi jantungnya bergulung oleh debaran yang aneh. Sampai-sampai dia khawatir Ryuse akan mendengar suara dadanya yang berdentam-dentam. Ryuse berusaha keras untuk mengabaikan S
“kurasa itu cocok untukmu,” pungkas Ryuse. Ryuse tidak memiliki alasan kuat, dia hanya mengucapkan apa yang terlintas dalam benaknya ketika melihat mata Sunny bersinar polos. Yang seharusnya hanyalah sebuah ucapan sopan berubah menjadi nama panggilan yang lebih terdengar seperti ajakan tersirat untuk lebih dekat. Sunny tidak berniat untuk terpesona dengan panggilan itu, namun dia tidak bisa menolak untuk jatuh pada suara maskulin Ryuse ketika menyebut namanya. Sunny berhasil menenangkan jantungnya yang berdebar lagi lalu tersenyum kepada Ryuse. “Aku ... akan beristirahat,” ungkap Sunny gugup. Lalu dia buru-buru menutup pintu kamar, bersandar di balik pintu sembari menyentuh jantungnya yang berdentam-dentam. Debaran aneh dari jantungnya semakin tidak terkendali. Sunny berusaha mengingat debaran itu sama ketika dia memikirkan ibunya, namun perasaan yang bergejolak di balik paru-parunya itu terasa jauh lebih dahsyat seolah dia telah mendambakan itu sejak lama. Sunny mengintip dari ce
Ryuse melirik Sunny. “Kau sudah sarapan?”Sunny mengangguk gugup. “Ya. Aku tidak tahu kau ada di sini.”“Aku baru saja datang, jangan sungkan. Selesai ini aku akan mengantarmu pulang.” Ryuse melirik pakaian Sunny. “Sebaiknya kau mengganti pakaianmu. Akan kuberikan baju gantinya.”Sunny lupa kalau dia masih memakai gaun emas manik-manik itu, dan dia mendadak malu telah dilihat oleh Ryuse.“Ayo,” ajak Ryuse. Dia menyimpan kembali botol air ke dalam kulkas.“Hah, kemana?”“Ikut saja.”Sunny tidak bertanya lagi. Dia berjalan kikuk di belakang Ryuse, menerka-nerka kemana Ryuse membawanya. Mereka menaiki tangga, melewati kamar Sunny dan mendapati diri mereka berhenti di depan kamar Ryuse.“Tunggu sebentar,” ujar Ryuse lembut.Ryuse masuk ke dalam kamar, dan kembali sesaat kemudian sambil membawa kaus dan celana panjang denim miliknya. Dia memberikan itu pada Sunny. Awalnya Sunny ragu-ragu, tetapi Ryuse meyakinkan Sunny bahwa hanya ini pakaian yang cocok dengan badan Sunny.“Aku tidak punya p
Sunny tidak sadar, tubuhnya syok menerima hantaman yang tiba-tiba itu dan Ryuse—kepalanya terbentur kemudi dan melukai pelipisnya. Untungnya, pohon itu hanya menimpa bagian kap mesin. Asap mengepul dari dalam mesin, kapnya ringsek, dan perjalanan mereka terhenti. Ryuse melirik Sunny dengan cemas. Dia menggeser wajah Sunny dan menepuk-nepuk pipinya. “Sansan ... hei, bangunlah. Sansan ... Sunny!” Sunny terbangun dan dia terperanjat. “Apa aku masih hidup?” tanyanya frustasi. “Syukurlah,” Ryuse mendesah lega. “Apa ada yang terluka? Atau tubuhmu terasa sakit?” Ryuse memeriksa tangan dan kaki Sunny. “Aku baik-baik saja. Hanya saja benturan itu membuatku lemas.” “Kau yakin?” sekali lagi Ryuse mamastikan kondisi Sunny. Sunny hanya memberikan anggukan. Ryuse mendesah lagi, menyandarkan tubuhnya ke jok dan memejamkan mata. “Kau berdarah,” ujar Sunny cemas. Ryuse menyentuh pelipisnya dan berkomentar, “ini bukan apa-apa.” Sunny buru-buru mengambil beberapa lembar tisu dan menyeka darah