Sewaktu Sifabella ditinggalkan sang mama, butuh waktu berbulan-bulan untuknya berhenti menangis setiap hari.Meski tetap saja, hingga saat ini Sifabella masih merindukan beliau.Tapi ketika dia kehilangan papap, sungguh Sifabella sulit sekali untuk tidak menangis setiap harinya padahal sudah hampir tiga bulan berlalu.Pasti akan ada waktu entah itu sepuluh atau lima belas menit untuk dirinya diam-diam menangisi mendiang papap.Seperti saat ini, ketika berada di atas udara dalam perjalanan ke Melbourne.Air mata Sifabella berderai sembari menatap kumpulan awan di luar jendela.“Tuhan, Bella ikhlas … Bella hanya rindu.” Dia membatin.Aarav yang menyadari air mata istrinya mengalir deras langsung meminta tissue kepada awak kabin kemudian mengeratkan genggaman tangan.“Menurut penelitian … kalau ibu yang sedang hamil menangis, bayinya akan mengerut di dalam perut sang ibu … coba kamu cerita sama aku, apa yang kamu rasain biar kamu enggak perlu menangis.” Sesungguhnya Aarav asal bicara, d
Sifabella tidak peduli anak yang dikandung Abigail anak siapa. Yang penting bukan anak dari Aarav dan Sifabella percaya kalau itu bukan anak Aarav.Hubungannya dengan Aarav sangat baik akhir-akhir ini dan Sifabella yakin kalau pria itu juga sudah menjauhi Abigail.Sifabella tidak men-judge Abigail, di Negara bebas seperti ini hamil di luar ikatan pernikahan bukan hal yang aneh lagi.Jadi semenjak pertemuan dengan Abigail di rumah sakit, Sifabella tidak membahas apapun dengan Aarav.Bagi Sifabella, Abigail tidak penting sampai harus masuk dalam obrolan ringan antara dirinya dengan sang suami.Apalagi semakin hari, Sifabella merasakan kasih sayang Aarav yang begitu besar.Aarav sampai mau memijat kakinya yang sering kali pegal atau pinggangnya yang terasa panas setiap malam.Karena dirinya juga mengalami perubahan besar baik dari segi fisik dan mental karena hormon ibu hamil yang melingkupinya—dia jadi tidak peka kalau nyatanya Aarav sedang menyembunyikan gelisah.Aarav tidak ingin memb
Sifabella menempelkan telunjuknya di bibir, dia memberi kode dengan melirik Aleia yang tengah tertidur di atas ranjang mereka kemudian melirik layar laptop di depannya memberitahu kalau dia sedang bekerja yang membutuh keheningan.Aarav mengangkat kedua tangannya memberi gesture kalau dia mengerti.Pria itu pergi ke kamar melakukan ritual membersihkan tubuh, mengganti pakaian kemudian duduk di dekat Sifabella yang ternyata sudah selesai membuat konten video.“Tadi opa ke sini lagi … katanya buat ngecek keadaan aku.” Sifabella memberitahu.Jadi semenjak kepulangan Sifabella ke Sydney dengan membawa kabar baik dan kabar buruk, opa Beni jadi sering berkunjung karena menurut opa Beni kalau kondisi Sifabella sangat rentan jadi tidak boleh ditinggal sendiri.“Iya … opa bilang sama aku tadi siang.” Aarav memeluk Sifabella dari belakang, kedua tangannya mengusap-ngusap perut Sifabella lembut sementara dagunya bertumpu di pundak Sifabella.Mereka berdua sedang me-review video di layar MacBook
Sudah seminggu semenjak kepulangan mereka ke Sydney.Sifabella jadi sangat pendiam, Aarav kehilangan teman bertengkar.Bahkan ketika Aarav berkelakar pun, Sifabella hanya menanggapi dengan tawa sebentar.Beruntungnya, banyak kewajiban Sifabella yang belum diselesaikan lantaran beberapa minggu terakhir dia sibuk merawat ayah di rumah sakit kemudian tenggelam dalam duka karena kehilangan beliau.Jadi sekarang terpaksa Sifabella mencicil menyelesaikan pekerjaannya di antara tangis yang masih sering menyelinap diam-diam dan sesak yang tak kunjung mereda.Tapi setidaknya Sifabella memiliki kegiatan untuk melupakan sejenak dukanya.Aleia turut menjadi penyemangat Sifabella, melihat gadis kecil itu perlahan pulih membuat Sifabella bahagia.Aarav masih mengijinkan Aleia bermain bahkan menginap di rumah agar suasana rumah mereka lebih ramai.“Bagaimana keadaan Bella, sekarang?” Harvey bertanya kepada Aarav yang tengah mengawasi Sifabella dari teras samping rumah.Aarav sontak menoleh, menatap
“Maaf lho Mbak Bella … hubungan saya sama Mas Aarav hanya sebatas di atas ranjang kamar hotel dan itu pun sudah bertahun-tahun yang lalu … saya enggak ada perasaan apa-apa sama mas Aarav kok.” Dinda menjelaskan.Sifabella menganggukan kepalanya, dia bangkit dari kursi.“Mau ke mana, Yang?” Aarav bertanya khawatir.“Aku mual, ke toilet dulu.” Sifabella berlari diikuti Aarav meninggalkan Dinda yang terbengong sendirian.Ponsel Dinda yang ada di dalam tas berdering panjang dan begitu dia keluarkan dari dalam tas, layarnya menunjukkan nama sang klien yang akan dia temui.“Hallo Ko? Sebentar Ko, aku ke sana sekarang.” Dinda pun pergi untuk menunaikan tugasnya.“Yang, jangan marah donk!” Aarav membujuk seiring perjalanan mereka kembali ke meja.“Aku enggak marah, Mas … cuma jijik sampe mual … Mas bayangin gimana kalau perempuan itu datang pas anak ini sudah lahir dan udah mengerti … lalu dengan santainya perempuan itu bilang pernah menjadi alat pemuas nafsu Mas Aarav?” Sifabella sedang ber
“Mas … aku boleh minta tolong?” Sifabella bersuara setelah melamun sepanjang hari karena kedatangan ibu tiri dan kedua kakak tirinya tadi pagi.“Boleh sayang … kamu mau minta tolong apa?” Aarav duduk bersandar pada headboard menemani Sifabella rebahan karena Sifabella merasakan pusing bila duduk apalagi berdiri.“Tolong urusin untuk pengambil alihan perusahaan papap, aku balikin sama Mas … terserah Mas, mau dijual atau dikelola … perusahaan itu masih berdiri juga berkat, Mas … lalu rumah mama dijual aja dan seluruh penjualannya diwakafkan untuk pembangunan Masjid atas nama mama sama papap.” Tatapan Aarav berubah teduh, menggenggam tangan Sifabella erat kemudian dia angkat untuk dikecup bagian punggungnya. “Boleh … nanti aku urusin.” Aarav langsung menyanggupi agar Sifabella tenang.“Makasih ya Mas ….” Aarav mengangguk, memerosotkan tubuhnya sehingga berbaring sempurna sejajar dengan Sifabella.Dia kecup kening istrinya kemudian turun ke hidung lalu bibir dan memagut sebentar.“Ma