Neina menahan senyum getir. “Saya hanya berusaha bekerja sebaik mungkin, Bu. Dan sebab itulah saya bisa berada di sini dan di perusahaan Pak Keandra.”Ya. Berusaha menutupi apa yang sebenarnya terjadi antara Keandra dan dirinya-lah yang mampu Neina lakukan. Tak mungkin berkata sesunggunguhnya. Sebab akan membuat Keandra murka. Jika itu ia lakukan. Olivia mendekat, jarak mereka hanya sejengkal. Wajahnya yang nyaris tanpa pori itu hanya sejauh embusan napas. “Tapi kau sadar kan? Keandra tidak benar-benar… menyukai keberadaanmu di sini.”Kalimat yang menusuk. Neina terdiam sejenak. Mencari kata yang tepat untuk diungkapkan. Dari setiap kata yang Olivia sampaikan, terlihat jelas jika ia tahu situasi yang terjadi antara dirinya dan Keandra.Tapi …. untuk pernikahan mereka. Neina tidak mengetahui kebenarannya. Neina menahan napas, dadanya menegang. Bibirnya tertarik ke sudut, membentuk senyum tipis yang pahit.“Itu benar, Bu. Pak Keandra tidak suka saya terlalu lama di sini. Tapi … ada
Olivia menoleh lagi pada Neina, pandangannya bagai pisau tumpul yang menusuk lambat. “Keandra tahu persis aku suka croissant. Dia selalu bilang, ‘Jangan biarkan Olivia makan roti yang keras, lidahnya terlalu mahal,’” katanya sambil tertawa kecil. Tawa yang manis tapi ada guratan sinis di sudut bibirnya.Neina membalas dengan senyum tipis, "Pak Keandra memang selalu memperhatikan Ibu. Itu yang saya dengar dari Bibi Raras, Bu."Neina berusaha bersikap senormal dan sesopan mungkin agar tidak membuat kesalahan pada orang yang paling bisa membuat Keandra murka. Olivia mendekat sedikit, bahunya nyaris menempel. Ia berbisik pelan, seolah rahasia di antara mereka. “Kau tahu, Neina? Meskipun kami jarang tinggal serumah, Keandra tak pernah lupa hal kecil tentangku. Kopi, roti, bahkan suhu AC di kamar kami.”Olivia terkekeh kecil saat berbicara soal Keandra yang selalu memperhatikannya itu. Neina hanya mengangguk, berusaha tetap menatap nampan. “Saya percaya itu, Bu.”Olivia terkekeh lagi,
Pagi-pagi sekali, di rumah megah keluarga Daniswara selalu punya ritme sunyi yang khas. Sinar matahari pagi perlahan merambat masuk dari celah tirai linen putih, menyebarkan kehangatan di dapur luas berdominasi marmer abu-abu. Hampir pukul satu dini hari, Neina baru bisa merebahkan diri setelah berbagai macam drama yang diminta oleh Keandra dan Olivia. Dan semalaman itulah, ia harus melayani dengan baik apa pun yang diinginkan oleh sepasang suami istri yang baru kembali dari Paris itu. Aroma kopi robusta yang kuat bercampur manisnya wangi croissant mentega, menciptakan harmoni yang bikin perut keroncongan. Neina tidak bisa mengeluh, demi menjalankan perintah yang diminta oleh Keandra untuknya semalam itu. Jujur saja, kedua matanya masih mengantuk. Terbiasa kerja keras dan telat beristirahat, tidaklah terlalu menjadi beban baginya. Di dekat kompor, Neina cekatan sekali. Tangannya lincah memotong baguette, menata keju brie di atas talenan kayu, lalu merapikan selai aprikot di mangku
Keandra tak menjawab apa yang Neina katakan padanya barusan. Membiarkan Neina, dengan menatap tajam ke arah wanita yang sedang berdiri di antara mereka menikmati hidangan makan malam sepasang suami istri yang indah. Menurut mereka. Neina mengabaikan tatapan tak bersahabat dari Keandra yang mengintimidasinya itu. Tetap berdiri tenang, bersiap menunggu perintah yang kapan saja memintanya untuk dilayani. Ia dengan langkah kecil dan hati-hati sebab tak ingin buat kesalahan, bergerak menuju lemari penyimpanan. Jemarinya yang ramping meraih sebotol wine merah tua, lalu kembali mendekat ke meja.“Izinkan saya menuangkan wine, Pak, Bu,” suara Neina terdengar pelan, nyaris berbisik, memecah keheningan yang sedikit mencekam.Keandra, sang kepala keluarga, mendorong gelas kristalnya sedikit ke depan. Matanya yang tajam menatap Neina tanpa ekspresi. “Isi penuh,” perintahnya singkat.“Baik, Pak.” Neina menunduk, berusaha menyembunyikan getaran halus di tangannya. Anggur merah itu mengalir perl
Neina melangkah menuju ruang makan dengan dada yang terasa penuh. Hatinya masih berdebar keras, bukan hanya karena apa yang ia lihat tadi, tapi juga karena perintah Keandra yang tidak bisa membuat dirinya menolak. Biasanya, pelayan lain yang bertugas melayani Keandra. Jangankan untuk meminta dirinya melayani, melihat Neina di hadapannya pun enggan Keandra lakukan. Tapi kali ini, ia sendiri yang harus mengurusnya.“Nona Neina,” suara Bibi Raras yang sejak tadi merasa simpati dan memperhatikan Neina. Membuatnya berhenti melangkah.“Iya, Bu.”“Kamu kenapa? Mukamu pucat sekali,” tanya Bu Raras sambil merapikan serbet di meja.Neina menggeleng. “Enggak apa-apa, Bu Raras. Aku baik-baik saja.” Terlihat jelas keraguan di mata Neina yang dapat ditebak oleh wanita senja itu. “Saya tahu, ada sesuatu yang terjadi, Nona.” Bi Raras menebak langsung apa yang membuat dirinya menjadi penasaran. Neina tahu, tak akan bisa menyembunyikan resah yang muncul di hatinya itu.“Pak Keandra minta saya sendi
“Hati-hati, Sayang.” Suara lembut penuh kasih dan perhatian, yang tidak pernah Neina dengar dari seorang Keandra. Suara itu, suara yang tak pernah Neina dengar dari seorang Keandra Dipta Sakti, selain kata tajam, penuh kebencian yang ditunjukkan saat berhadapan dengan Neina. Neina yang melihat sikap kedua pasangan yang baru tiba itu hanya mampu membuang muka ke arah lain, berusaha keras mengabaikan rasa perih yang tiba-tiba melilit. Entah, perasaan apa yang terjadi padanya itu. Ia tak mungkin memiliki rasa yang tak seharusnya terjadi dalam diri. Tapi, ia sudah berjanji pada Daniswara, Kakek Keandra, jika akan memenuhi permintaannya. Terkait Keandra sudah menyelamatkannya atau belum. Ia tersadar, saat sebuah suara tajam itu terucap dari bibir seorang Keandra, pria yang menjadi suami sekaligus bosnya. “Apa kau tidak bisa bekerja dengan benar?” Suara yang terdengar itu begitu tajam. Terdengar sangat kesal dan penuh kebencian, seolah Neina adalah hama yang mengganggu.“Sayang. Siap