"I—iya, ya. Aku bilang, aku bilang sama kamu. Tapi jangan pecat aku."Eli menghela nafasnya dalam-dalam. Ia diam sesaat. Mata Delia penuh selidik menatap Eli."Apa?""Sepertinya ... Sepertinya Pak Erlan menyukai Nesya, pegawai baru itu.""Apa? Apa kamu bilang El? Kalau gitu, benar dugaan aku. Wanita cantik itu, kenapa dimasukkan ke kantor aku? Kenapa gak di tolak?""Karena pengalamannya sampai ke luar negri. Dia itu pintar. Jadi aku terima. Aku gak kepikiran sampai ke Pak Erlan." ujar Eli hati-hati.Eli menunduk, ia merasa bersalah telah menerima Nesya, wanita cantik yang menjadikan Erlan terpikat padanya."Kamu—kamu harus lakukan sesuatu untukku!" tukas Delia menatap kosong ke depan.Hatinya bergemuruh. Dadanya sesak oleh rasa sakit yang tak dapat diredam. Amarahnya menyala-nyala dan telah tumbuh menjadi bagian dari dirinya, bagian dari nafasnya.Maka, bisikan dari rencana busuk ke telinga Eli, membuatnya tersenyum. Senyuman itu adalah senyuman lamanya, senyum yang penuh dengan kekej
Di ruang tunggu bersalin, suasana masih setegang tadi. Masih terdengar tangisan Delia. Nadine duduk di samping Erlan. “Pak, bagaimana saya harus meminta tanda tangan ibunya, kalau kondisi ibunya seperti itu?” “Kamu gak perlu takut. Saya yang akan bertanggung jawab masalah ini. Bawa kemari map itu. Saya akan paksa Delia, untuk menandatangani surat perjanjian itu." Erlan meraih map yang ada di genggaman tangan Nadine.Lalu ia membawa ke dalam ruangan bersalin, menghampiri Delia. “Anak kamu sudah ada Ibu asuhnya, dan sekarang kamu tinggal menandatangani surat perjanjian”ujar Erlan memberikan map itu ke Delia. "Aku gak mau!” jawab Deli merengut. “Kalau kamu nggak mau tanda tangan ini, kamu harus mengurus bayi itu!” Erlan melemparkan map itu ke atas tempat tidur, di samping Delia. Setelah berpikir beberapa saat Delia, bertanya. “Siapa yang kiranya sudi merawat bayi aku?" “Kamu nggak perlu tahu!kamu tahunya hanya tanda tangan di sini. Karena kamu nggak mau merawat bayi itu!" "Oke,
"Kamu benar-benar gila Erlan! Aku seperti ini, malah kamu mau cerai! Gak punya hati kamu! Kalau kamu ceraikan aku, kembalikan aset yang udah aku kasih ke kamu!" pekik Delia semakin histeris "Stop Delia! Kamu kasih aku anak cacat, karena semua ulah kamu! Udah ya, aku gak mau ribut-ribut disini. Lebih baik aku pergi!" Erlan melangkah pergi meninggalkan Delia yang terus teriak. "Erlan! Erlan! Jangan pergi! Jahat kamu Er!" tangis Delia semakin keras. "Kamu udah ada pacar baru kan? Awas aja kamu Er!" Delia menahan malu dengan bayinya yang masih merah. Kelainan di wajahnya yang tidak simetris dan kasar, terlihat banyak tonjolan-tonjolan. Bibirnya pun terlihat sumbing. Menjadikan Delia sangat kecewa dengan bayinya. Erlan tidak peduli, ia terus melangkah berjalan keluar ruangan. Dilihatnya Nesya masih menggendong bayi itu. 'Hati kamu memang lembut Nes. Gak seperti nenek sihir itu. Anak sendiri, tapi dia gak mau sentuh sedikitpun.' gumam hati Erlan, sambil mendekati sosok Nesya, duduk d
Oweee! Oweeekh! Hoaaaakh! Tangis bayi tak berdosa, terdengar kembali suara tangisnya yang melengking mengisi udara. Diselingi jeritan penuh amarah Delia meledak-ledak. Wanita itu masih terbaring lemah, namun, bukan rasa sakit yang membuatnya histeris. Tapi kondisi bayi itulah yang membuatnya marah dan malu. Ia tidak mampu menerima kenyataan yang sedang dihadapinya. "Stop Dokter! Jangan bawa bayi itu kemari, ajak dia pergi dari sini. Aku gak mau menyentuhnya! Iiiist.. Memalukan! Menjijikkan!" "Ibu, Ibu gak boleh seperti itu. Bayi ini darah daging Ibu," ujar dokter sambil menggendong bayi itu yang masih menangis. Seolah ia tahu, kalau kehadirannya tidak diterima sang ibu. "Gak mau! Aku bilang gak mau! Buang! Buang aja bayi itu." Dokter dan suster saling bertatapan. Lalu dokter membawa bayi itu keluar menemui ayahnya. Erlan mengerutkan kening saat mendengar teriakan histeris Delia. Dan kini ia melihat bayi di dalam gendongan tangan dokter dalam kondisi cacat. "Ini bayi Bapa
Di klinik tahanan wanita, Erlan dan Nesya baru tiba, ditemani Eli di belakang mereka.Teriakan mengerang kesakitan suara Delia terdengar hingga di luar klinik.Erlan masuk terlebih dulu. melihat Erlan datang, suara tangisan Delia sedikit terobati. Ia sempatkan untuk tersenyum pada Erlan."Erlan, sakit Er!"Suster menghampiri Erlan. "Bapak suami dari Ibu Delia? Sebaiknya Ibu Delia dibawa ke rumah sakit besar Pak. Disini tidak ada peralatan dan bidan.""Ya, bawa aja sus," jawab Erlan.Namun Delia melihat di belakang Erlan, berdiri seorang wanita cantik."Dia siapa Er?""Dia ini Nesya, pegawai baru di perusahaan kita," jawab Erlan sambil menarik tangan Nesya memperkenalkan ke Delia. Tapi Delia menatap Nesya tajam."Ini pacar baru kamu? Iya?" seru Delia sambil mengadu kesakitan."Stop Delia! Kamu nggak usah banyak tanya dulu. Yang terpenting adalah keselamatan baik kamu!""Oh, jadi kamu nggak mementingkan keselamatan aku ya? Kamu udah punya pacar baru ya?""Delia, kalau misalnya iya, teru
"Apa? Delia melahirkan? Lalu—lalu kenapa? Ya, udah. Silahkan kamu tengok dia" jawab Erlan, yang tidak ingin lagi mendengar nama Delia.'Aku baru ingin bicara serius dengan Nesya. Malah diganggu si nenek sihir itu. Aku gak akan peduli. Lebih baik aku suruh Mama yang tengok Delia,' batinnya."Pak! Tapi kan Pak? Delia itu ... " Eli tidak meneruskan ucapan, yang langsung dipotong oleh Erlan."Stop! Jangan bicara yang gak penting lagi yah! Silahkan kamu pergi dari sini!?"Tentu saja Eli pergi dengan penuh pertanyaan. Kenapa dengan sikap Erlan yang tidak mau tahu anaknya sendiri. Seharusnya dia bahagia dengan kelahiran anaknya. Namun ini, malah mengusirnya. Menyuruhnya pergi."Padahal itu kan anak kandungnya. Kenapa Pak Erlan gak peduli? Apa mungkin karena perempuan itu?" gumam Eli sambil melangkah pergi.Erlan kembali membalikkan badannya, memandang Nesya."Maaf, ini bukan urusan kamu. Dan sekarang saya gak mau diganggu siapapun saat sedang bicara dengan kamu.""Tapi Pak? Bukannya itu ana