Setelah beberapa hari menjalani perawatan intensif yang, akhirnya dokter menyatakan kondisi Bayu sudah cukup stabil untuk melanjutkan pemulihan di rumah.
Desti mengemasi barang-barang mereka perlahan. Perasaannya campur aduk, antara lega, khawatir, dan pasrah pada kehidupan barunya yang menanti. Sesekali ia mencium kening Bayu, mengelus rambut halus anaknya, bersyukur bahwa sang buah hati bisa melewati masa kritis.
Saat ia menutup tas terakhir, langkah kaki terdengar dari luar. Seorang pria memasuki ruang rawat Bayu, mengenakan seragam yang sama dengan yang dipakai Tomi dahulu. Sikapnya kaku, formal, dan penuh hormat.
“Dengan Bu Desti?” tanyanya sambil sedikit menunduk.
Desti mengangguk ragu. “Ya, saya.” Belum pernah sebelumnya dia perlakukan penuh hormat seperti ini.
“Saya ditugaskan oleh Tuan Kenzo untuk menjemput Bu Desti dan Bayu. Mobil sudah disiapkan. Silakan ikut bersama saya.”
Desti menatap pria itu dengan heran. Belum sempat ia bertanya lebih lanjut, pria itu dengan sigap mengangkat barang bawaannya, lalu membuka jalan keluar dengan isyarat tangan seperti layaknya seorang pengawal.
Di luar, Desti lebih terkejut lagi saat melihat sebuah mobil hitam mewah sudah menunggunya. Sopir itu bahkan dengan hati-hati membukakan pintu belakang, dan Desti, yang terbiasa hidup seadanya, hanya bisa menelan ludah sambil menggendong Bayu lebih erat.
Dia duduk diam sepanjang perjalanan. Jalanan kota tampak asing baginya, seperti dunia yang bukan miliknya. Ketika mobil berhenti, Desti terpaku di depan gerbang besar sebuah rumah bergaya Eropa modern yang menjulang megah, sudah pasti ini bukan kontrakannya, tapi rumah Kenzo.
Setelah turun dari mobil, beberapa asisten rumah tangga sudah berdiri berjejer menyambut, sebagian tersenyum, sebagian hanya menunduk sopan. Namun dari pandangan mata mereka, Desti bisa merasakan sorotan aneh, penuh penilaian dan cemoohan.
Penampilannya yang sederhana dengan blouse lusuh dan celana panjang kusam tampak begitu kontras dengan kemewahan sekitar. Bahkan seragam yang dipakai para asisten rumah tangga itu, jauh lebih bagus dari punya. Desti sadar dirinya bukan bagian dari dunia ini.
Mayang, asisten rumah tangga yang paling senior, tersenyum manis tapi tetap terlihat penuh kepalsuan.
“Selamat datang, Bu Desti. Kami semua senang sekali akhirnya Ibu datang ke rumah ini.” Kalimat yang meluncur dari bibirnya terdengar manis, tapi nada bicaranya seolah-olah mengatakan sebaliknya.
“Terima kasih.” Lirih Desti menjawab, ada rasa rendah diri berada di lingkungan barunya.
“Mari, saya antar ke kamar,” ucap Mayang sambil meraih barang-barang Desti.
Mayang menaikkan salah sudut bibirnya, menatap jijik pada tas Desti. Tangannya pun seolah enggan memegang tas lusuh itu. Tapi dia tetap harus membawa tas itu dan melayani Desti dengan baik, atau dia akan di pecat.
“Beruntung banget ini gembel, bisa-bisanya Tuan Kenzo ingin menikahinya.”
Desti mendengar bisikan itu, meski sakit, dia berusaha mengabaikannya.
“Baik-baikin aja! Nanti kita tanya, dia dapat pellet dari mana? Siapa tahu nanti bisa menikah dengan kenala Tuan Kenzo.”
Para asisten rumah tangga itu tertawa di belakang Desti. Tapi saat berhadapan, mereka berpura-pura tersenyum ramah, seolah-olah Desti adalah tamu kehormatan yang sudah lama ditunggu.
Desti hanya diam, mengabaikan suara sumbang yang menggetarkan gendang telinganya. Demi Bayu, ia akan menjalaninya.
***
Di tempat lain, di ruang kerjanya, Rayhan tampak dikuasai oleh amarah yang membara. Wajahnya merah padam, napasnya memburu. Ia baru saja menerima kabar bahwa Kenzo, akan melangsungkan pernikahan esok hari. Tanpa aba-aba. Tanpa pemberitahuan kepada keluarga. Dan yang membuatnya semakin geram, semua administrasi telah lengkap. Semuanya sudah diatur rapi, diam-diam, tanpa sepengetahuannya.
“Kurang ajar!” teriak Rayhan sambil menepis semua benda di atas meja kerjanya. Laptop, map, kertas-kertas penting, hingga gelas kopi berhamburan ke lantai. Suara pecahan kaca mengisi ruangan. Tangannya mengepal, matanya liar.
“Ini tidak boleh terjadi,” gumam Raihan dengan napas berat, dia merasa kecolongan. “Tidak akan kubiarkan bocah itu menikah dan menyingkirkanku dari perusahaan ini.”
Dengan langkah tergesa dan penuh emosi, Rayhan meninggalkan ruang kerjanya. Ia menyambar kunci mobil lalu tancap gas, menyusuri jalanan kota dengan kecepatan tinggi. Klakson-klakson bersahutan, tapi Rayhan tak peduli. Amarah sudah membutakan akalnya.
Informasi dari salah satu orang kepercayaannya mengatakan bahwa calon istri Kenzo sudah berada di rumah Kenzo. Sekarang Kenzo dengan menghadiri rapat penting dan tak berada di rumah. Ini kesempatan baginya untuk mempengaruhi calon istri Kenzo agar segera pergi dan membatalkan pernikahan mereka.
Begitu sampai di gerbang besar rumah Kenzo, Rayhan turun dari mobil tanpa basa-basi. Penjaga gerbang mengenalinya dan buru-buru membukakan pintu tanpa pertanyaan. Langkah Rayhan mantap, dingin, penuh niat, seperti badai yang siap meluluhlantakkan apapun yang ada hadapannya.
Di ruang tamu, seorang ART bernama Mayang segera menyambutnya dengan gugup. “Selamat siang, Tuan Rayhan. Ada yang bisa saya bantu?”
“Aku ingin bertemu dengan calon istri Kenzo,” ujar Rayhan datar.
Tanpa banyak bicara, dan tidak ada niat membantah Mayang bergegas meninggalkan Rayhan untuk memanggil Desti.
Di kamar tamu, Desti sedang menidurkan Bayu yang baru saja minum obat dan menyusu. Dia terkejut saat Mayang memasuki kamar.
“Bu Desti... Tuan Rayhan ingin bertemu,” ujar Mayang pelan.
“Tuan Rayhan?”
“Ya, Om-nya Tuan Kenzo.”
“Sekarang?” tanyanya pelan.
Mayang hanya mengangguk.
Desti menidurkan Bayu, lalu meletakkan bantal di samping kanan dan kiri bayi mungil itu. Setelah yakin anaknya aman, Desti mengikuti Mayang dengan langkah pelan dan penuh keraguan.
Semakin mendekati ruang tamu, Desti bisa merasakan aura dingin dari pria yang duduk tegap di sana. Tatapan Rayhan menembus seperti pisau yang menelusuri tubuh Desti dari ujung kepala hingga ujung kaki. Penuh penilaian. Penuh penghinaan.
Desti merasakannya seolah ditelanjangi dengan pandangan penuh cemooh itu. Ia tahu, pria di hadapannya itu tak memandangnya sebagai calon keponakan, melainkan sebagai perempuan tak berharga yang mencoba masuk ke dalam keluarga mereka demi uang.
Rayhan bersandar di sofa, menyilangkan kaki dengan sikap angkuh. “Langsung saja, saya tidak suka basa-basi. Berapa uang yang kau inginkan untuk membatalkan pernikahan ini dan keluar dari kehidupan Kenzo?”
Seperti dugaan Desti. Tapi tekadnya sudah bulat, semua dia lakukan dengan Bayu.
“Saya tidak bisa meninggalkan Pak Kenzo.”
Tatapan Rayhan semakin tajam. “Kau pikir aku akan percaya? Jangan berlagak seakan kau mencintainya. Kami semua tahu, perempuan sepertimu hanya datang demi uang.”
Desti mengangkat wajahnya. Bibirnya gemetar, tapi matanya tak berpaling. Ia tak bisa mengungkap alasan sebenarnya. Bahwa Kenzo telah menyelamatkan Bayu, anak semata wayangnya, ketika tidak ada satu pun yang peduli. Bahwa ia menerima lamaran Kenzo bukan karena cinta, bukan karena harta, tapi karena utang budi dan perlindungan yang tak bisa ia bayar dengan apapun.
Rayhan mendengus. “Jangan kau kira Kenzo mencintaimu. Dia hanya memperalatmu.”
Kata-kata itu menyakitkan, tapi Desti sudah menduganya. Ia tahu, pernikahan ini terlalu jangal. Mana mungkin seorang pria seperti Kenzo, dengan kekayaan, ketampanan, dan status sosial yang luar biasa, memilih dirinya, seorang janda miskin beranak satu.
Namun, pikirannya tetap teguh, semua demi Bayu. Jika ia harus menanggung ejekan, hinaan, bahkan hati yang tersakiti, ia akan melakukannya.
Desti menatap Rayhan dalam-dalam. “Saya tidak tahu apa yang Tuan pikirkan. Tapi saya tetap akan menikah dengan Pak Kenzo.”
Rayhan memijit pelipisnya, terlihat putus asa.
“Kau tahu, Kenzo sebenarnya gay. Dia tidak tertarik pada perempuan. Pernikahan ini hanya untuk menutupi aibnya. Kau hanya akan menjadi tameng.”
Desti terdiam. Dunia seolah berhenti berputar sesaat. Apa yang barusan ia dengar? Hatinya berdegup tak karuan. Tapi sebelum ia sempat memproses sepenuhnya ucapan Rayhan, suara berat dan lantang menggema dari balik ruang tamu.
“Cukup, Om!” seru Kenzo, berdiri di ambang pintu dengan mata menyala-nyala. Tubuhnya tegap, wajahnya dingin dan penuh amarah. “Jangan pengaruhi calon istriku dengan omong kosongmu. Om!
"Baik, kita mulai dari hal sederhana," ucap Anita sambil memperbaiki posisi duduk Desti. "Cara duduk yang anggun, bagaimana memegang cangkir teh dengan benar, bagaimana berjalan dengan postur yang percaya diri. Ini bukan soal menjadi orang lain, tapi bagaimana kamu tampil dengan percaya diri di mana pun kamu berada."Anita mengajarkan Desti cara duduk tegak, cara mengatur posisi kaki, bahkan cara tersenyum yang tepat di hadapan orang banyak. Desti beberapa kali salah, bahkan canggung memegang cangkir teh."Aduh, Bu, saya nggak bisa. Saya takut nanti jadi bahan tertawaan orang."Anita menatap Desti dengan mata hangat. "Tahu nggak, Desti? Kepercayaan diri itu bukan tentang tidak pernah salah. Tapi tentang bagaimana kamu tetap berdiri dengan anggun meski kamu salah."Desti terdiam. Kata-kata itu perlahan menembus dinding rasa mindernya.Anita melanjutkan, "Kamu punya modal besar. Kepribadian kamu yang baik, dan … tentunya dukungan dari suami. Yang kamu butuhkan sekarang cuma belajar untu
Kenzo menghela napas panjang. Perlahan, dia menarik tubuh Desti ke dalam pelukannya. Desti menatap wajah Kenzo yang begitu dekat, menunggu jawaban. Berharap sesuai harapan.Sorot mata Kenzo menatap tajam namun lembut kepada Desti, memberikan kehangatan sekaligus tekanan yang membuat dadanya terasa sesak."Aku tidak akan mengizinkan kamu bekerja sekarang," bisik Kenzo, suaranya terdengar tegas tapi tetap lembut.Ada kecewa di mata Desti. Dia ingin membantah tapi hatinya sudah lelah dan tidak siap berdebat dengan Kenzo.Desti segera mengubah posisinya untuk segera bersiap tidur. Amarah yang coba dia tahan membuatnya enggan untuk menatap suaminya, hingga dia memiringkan tubuh membelakangi Kenzo."Bayu masih terlalu kecil. Dia butuh kamu sepenuhnya di masa tumbuh kembang."Desti menghembuskan napas panjang, mencoba menelan segala rasa kecewanya. Dia tahu Kenzo tidak sepenuhnya salah, tapi perasaan tidak berdaya itu tetap menghantuinya."Tapi… aku melakukan ini semua untuk masa depan Bayu.
Sore itu, langit tampak kelabu seakan mencerminkan hati Desti yang diliputi kegundahan. Di kamar yang hangat dan nyaman, Desti duduk di sisi tempat tidur sambil menatap Bayu yang sudah terlelap dalam tidurnya. Nafas bayi kecil itu naik turun dengan damai, sesekali mengerucutkan bibir mungilnya seolah masih menyusu dalam mimpi.Hati Desti terasa perih, bukan karena apa yang kurang, tapi karena kekhawatiran yang perlahan mencengkeram."Bagaimana jika suatu hari Kenzo bosan? Bagaimana jika dia menyesal telah menikahi janda sepertiku?" pikir Desti, menggigit bibirnya sendiri.Meski kini hidupnya serba berkecukupan, bayang-bayang masa lalu saat dia harus mengais harapan dengan Bayu di pelukannya, masih membekas kuat.Desti tidak ingin kembali ke titik itu. Dia sadar, sepenuhnya bergantung pada Kenzo bukanlah pilihan yang bijak. Dia ingin bisa berdiri sendiri, memiliki simpanan, dan tetap punya harga diri.Ketika malam menjelang, suara mobil Kenzo terdengar di halaman. Desti buru-buru merap
Di ruang kerjanya yang sunyi, Kenzo duduk termenung di kursi kulit hitam favoritnya. Tangannya menyusuri permukaan meja kerja, menyentuh bingkai foto pernikahannya dengan Desti yang biasanya menenangkan, namun kini tak sanggup menyingkirkan kabut pikiran yang menyesaki benaknya.Dennis berdiri tak jauh darinya, diam seribu bahasa, menunggu aba-aba dari atasannya. Di hadapan mereka terhampar dokumen hasil audit yang baru diterima pagi tadi, disertai lampiran-lampiran transfer dana dan tanda tangan Kanza.“Rasanya tidak mungkin,” ucap Kenzo lirih, nyaris seperti berbicara pada dirinya sendiri. “Kanza memang manja… tapi dia bukan penipu.”Dennis mengangguk kecil, ragu-ragu sebelum akhirnya memberanikan diri bersuara, “Saya juga merasakannya, Bos. Ada yang tidak beres. Tapi Pak Wahyu dan timnya sudah memverifikasi semua bukti dengan teliti. Beliau bukan tipe auditor yang gampang salah, apalagi selama ini reputasinya bersih.”Kenzo memijat pelipisnya, frustrasi. “Tapi Kanza terlalu ceroboh
Pagi itu langit tampak mendung, tapi langkah Kenzo memasuki ruang rapat utama Arsyad Group begitu tegap dan penuh percaya diri. Di belakangnya, Dennis membawa map tebal berisi salinan laporan investigasi lengkap.Para direksi sudah duduk di tempat masing-masing. Rayhan duduk di ujung kanan meja oval besar, wajahnya tetap tenang seperti biasa, seolah tahu bahwa dia tidak akan tersentuh.Kenzo duduk di kursinya sebagai Direktur Utama, lalu memberi anggukan pada pihak auditor eksternal, seorang pria paruh baya bernama Pak Wahyu dari firma audit kenamaan.“Silakan dimulai, Pak Wahyu,” ujar Kenzo.Pak Wahyu berdiri dengan tenang, membuka presentasinya lewat layar besar di hadapan para direksi. Slide demi slide mulai tampil, memaparkan hasil audit investigatif selama satu bulan terakhir.“Pertama,” ucap Pak Wahyu, “kami menelusuri dugaan penyimpangan dana pada beberapa proyek investasi Arsymond Luxury dan Arsynova Tech. Hasil audit menunjukkan indikasi kuat adanya penggelembungan anggaran d
Malam semakin larut. Hujan rintik-rintik menyentuh jendela kamar, menghadirkan suara lembut yang menyatu dengan cahaya redup lampu tidur. Desti dan Kenzo terbaring berdampingan di atas ranjang. Bayu sudah terlelap di boxnya, sementara Desti menyender di dada Kenzo, jari-jarinya bermain pelan di dada bidang suaminya.“Maaf…” ucap Desti pelan.Kenzo membuka mata, menoleh sedikit, menatap wajah istrinya yang nampak bersalah.“Untuk apa?” tanya Kenzo suaranya berat tapi tenang.“Untuk kepergian Kanza… Bagaimanapun, dia adikmu. Aku merasa… aku penyebabnya.”Kenzo menghela napas dalam. Tangannya terulur dan membelai rambut Desti dengan lembut.“Itu bukan salahmu. Sudah saatnya Kanza belajar mandiri dan bersikap dewasa. Dia sudah menikah. Sekarang tanggung jawabnya ada di tangan suaminya, bukan aku.”Desti diam. Hatinya sedikit lega, tapi masih ada yang mengganjal.Namun ada yang mengagetkannya, saat dengan gerakan tiba-tiba Kenzo memutar tubuhnya sedikit, agar bisa menatap wajah Desti denga