Akhir pekan ini Tami sengaja tak pulang karena badannya belum pulih benar dan dia membutuhkan istirahat. Alasan lainnya sudah pasti adalah menghindari omongan dan perilaku menyakitkan dari Mama dan adiknya.
Tami mendesah keras. Dia memijit pelipisnya sembari duduk bersandar di sofa ruang tengah apartemennya saat terdengar bunyi bel beberapa kali. Dengan malas dia membukakan pintu dan wajah terkejutnya tak bisa disembunyikan lagi.
“Mau ngapain kamu kesini,” tanya Tami penuh kecurigaan.
Sissy tak peduli atas omongan kakaknya dan dia melangkahkan kaki masuk bahkan sebelum dipersilakan. “Sejak kapan main ke tempat kakak sendiri harus ada alasan, “ celetuknya.
Decak kesal terdengar jelas dari bibir Tami. “Ya udah, jangan ganggu karena aku mau tidur.”
Gadis manja dengan gaun navy terusan selutut itu menyamankan diri di sofa dan menjawab sembari mencibir, “Terserah.”
Dalam hati Sissy membatin, “Aku mau tahu, Satria akan kesini atau enggak ya. Karena aku menginginkannya, Kak.”
Setelah beberapa menit, Sissy yang tak mengindahkan peringatan kakaknya langsung menerobos masuk ke dalam dan merebahkan diri di sebelah Tami.
Merasakan kasurnya bergerak, Tami berdecak kesal. Namun, dia tak bergeming berharap Sissy pergi dengan sendirinya. Rupanya itu hanya berakhir menjadi harapan saja, karena saat ini lengannya sudah di gelayuti manja dengan suara merengek yang menyebalkan.
Tami membalikkan badan sambil melirik tajam lalu melepaskan lengannya dan mendengkus kesal. “Apaan, sih, Si. Kakak cape mau tidur.”
Sissy memberikan cengiran lebar dan duduk bersila menghadap Tami. “Bangun bentar, Kak. Aku mau ngobrol, udah lama ‘kan kita enggak girl talk.”
Tami memutar matanya malas tapi tetap bangun, menyandarkan tubuhnya ke kepala ranjang. Melihat itu, gadis centil di depannya semakin melebarkan senyumnya dan melontarkan pertanyaan. “Em, Satria itu benar bos kakak ya? Dia umur berapa sekarang? Udah punya pacar belum? Dia tinggal di mana, Kak?”
Sebelum menjawab, helaan napas terdengar keras saat tangan Tami bersedekap di depan dada. “Udah? Atau masih ada pertanyaan lagi?”
“Ih, jangan gitu dong, Kak,” rengek Sissy. Wajahnya cemberut. Namun, tiba-tiba dia menunjuk wajah datar Tami sambil memicingkan mata dan menuduh, “Atau jangan-jangan kakak juga suka ya sama Satria?!”
“Makin ngawur kamu,” jawabnya sambil menepis jari Sissy dari depan wajahnya dan melanjutkan, “sakit hati aku sama mas Irwan aja belum tuntas. Apalagi aku belum tahu gimana hasil kemarin di kepolisian.”
Sissy menganggukkan kepala senang. “Bagus kalau begitu, jalan aku buat menarik hati Satria terbuka lebar.”
Yang Sissy tak tahu, saat ini di dalam pikiran Satria sedang dipenuhi oleh rencana ke depan untuk segera menjebak Tami agar menikah dengannya dan balas dendam itu bisa terlaksana.
Dia teringat kala minggu lalu pulang ke rumah utama setelah mengantar Tami. Karena jenuh selalu di desak menikah, akhirnya dia terpaksa berjanji pada maminya.
Mami enggak usah kuatir, aku sudah menemukan wanita pilihanku juga. Hanya saja, saat ini aku belum mengutarakan niatanku meminangnya.
Satria terkekeh sendiri dan dia melangkah mengambil ponsel juga kunci mobilnya.
Dimulai dengan memberikan perhatian kecil. Maka dari itu, dia beranjak dan memutuskan masuk ke sebuah toko bunga dan coklat tak jauh dari apartemennya. Dia akan memulai rencananya sekarang, menjerat Tami secara perlahan saat wanita itu sedang terpuruk.
Di dalam unitnya, Tami mengerjap perlahan karena lagi-lagi dia mendengar suara bel. Padahal selama ini dia tak pernah kedatangan tamu kecuali Irwan. Lucunya lagi Sissy langsung melesat keluar untuk membukakan pintu.
Tami sendiri turut melangkah. Namun, baru saja kenop pintunya di putar, suara pekikan Sissy terdengar jelas hingga dia berjalan lebih cepat.
“Mas Satria kok tahu aku ada di sini. Itu bunga dan coklatnya buat aku ya?” pekik Sissy dengan antusias.
Satria mengernyit dan melongok ke dalam lalu tersenyum saat melihat Tami yang terdiam tak jauh dari Sissy.
“Ada apa, Pak?” sapanya bingung.
Satria terkekeh melihat penampilan Tami sore ini, rambutnya berantakan dan bahkan pipinya masih ada beberapa bekas garis yang tercetak di sana. Dia menyodorkan buket coklat dengan hiasan bunga di tangannya. “Ini, buat kamu. Sebagai ucapan terima kasih karena seminggu kemarin kamu kerja keras sekali.”
Sissy berdecak kesal karena tak dipedulikan. Tapi dia tak menyerah, diambilnya buket itu dan berkata tanpa rasa bersalah, “Makasi ya, Mas. Kakak tuh enggak suka bunga dan coklat. Jadi, pasti di kasih juga ke aku.” Tangannya yang kosong langsung dilingkarkan ke lengan Satria. “Masuk, Mas.”
Tami bergeming dan Satria dengan muka datarnya begitu masuk, dengan perlahan melepaskan pelukan Sissy di lengannya. Lagi-lagi pria tampan itu tak menggubris Sissy. Dia menoleh ke Tami dan berkata pelan, “Bersiaplah.”
Tanpa menjawab, Tami masuk ke kamar. Dia sudah paham maksud Satria. Setelah tiga tahun menjadi sekretarisnya, Tami sudah cukup memahami cara komunikasi atasannya itu.
“Kok aku di cuekin, sih, Mas.” Protes Sissy sambil memberengut. Dia berharap Satria akan merayunya karena merasa gemas. Tapi Sissy salah besar.
Satria melihatnya tajam, memberikan jawaban yang sarat ancaman. “Jika kamu masih mau hidup tenang, sebaiknya menjauh dari saya atau kamu akan menyesal.”
Sissy yang terkejut, mengambil tas dari atas sofa lalu berbalik ke arah pintu. Namun sebelum pergi dia menoleh dan berucap tegas, “Kali ini aku pergi, tapi aku enggak akan menyerah.”
Pria itu mendengkus lalu mengedarkan pandangan untuk memperhatikan apartemen Tami. Tak jauh di depan sana, di meja dekat televisi, terlihat jelas oleh mata Satria foto keluarga Tami yang sedang tertawa bahagia.
Satria lantas mengepal dan mengeraskan rahangnya, menahan kemarahan yang tiba-tiba melesak keluar. Tak melepaskan pandangannya, dia mengucap lirih penuh kebencian, “Jangan sampai anak kecil itu merusak rencana yang sudah aku susun dengan matang.”
Sementara di luar, Sissy yang berjalan sambil menahan kemarahan tak lagi melihat kanan kiri saat akan menyeberang. Hingga tubuhnya terjatuh saat terserempet sebuah motor yang sedang melaju.
“Ah, sial. Ini sakit sekali,” pekik Sissy.
Tapi tak lama dia melongo sambil melotot saat melihat telapak tangannya dibersihkan dengan sapu tangan oleh pria yang jelas dikenali dengan baik oleh keluarganya.
“Mas Irwan,” lirih Sissy.
Suara debur ombak yang memecah karang terdengar begitu menghanyutkan. Penuh ketenangan dan mematikan dalam satu saat. Sudah beberapa bulan Widya hidup tenang di pesisir pantai sana walaupun harus menekan diri dari hidup mewah, tapi tak apa. ‘Hanya beberapa tahun dan setelahnya kemewahan akan kembali padanya.’ Pikirnya.Sedari jauh hari, Widya sudah berjaga-jaga dalam menjaga hartanya. Dia sengaja menguras tenaga dan pendapatan Tami agar uangnya sendiri tak tersentuh. Meskipun suaminya tak sekaya Christian, tapi dia mendapatkan harta warisan yang tak sedikit ditambah beberapa aset yang diam-diam dia rebut dari Tami. Belum lagi hasil klaim dari asuransi, sebenarnya dia dan kedua putrinya bisa hidup dengan nyaman tanpa kekurangan.Nyatanya, dia berpura-pura mendadak miskin dan memaksa Tami untuk bekerja keras untuk menghidupi mereka tak peduli apa yang dikerjakan oleh putri sulungnya itu.Lalu kini, meski dia harus bertahan jauh dari semua orang yang terpenting adalah seluruh kekayaannya
Keadaan Tami perlahan mulai membaik dan hari ini sudah diperbolehkan untuk pulang ke rumah dengan beberapa catatan dari dokter.“Ada yang mau dibeli sebelum sampe rumah, Sayang?” tanya Satria.Setelah perdebatan yang memakan waktu, Satria akhirnya berhasil membawa Tami dalam mobilnya. Dia melirik ke belakang lewat spion tengah dan terkikik saat mobil mewah warna hitam itu mengiringi. Wajah mertuanya saat ini pasti sedang cemberut dan itu membuatnya geli sekaligus puas. “Enak saja mau memonopoli istri cantikku,” batinnya.“Enggak usah deh, Mas. Aku hanya mau istirahat,” jawab Tami.Anggukan kepala diberikan Satria sebagai jawaban dan perlahan memelankan laju kendaraan karena jarak rumah mereka yang sudah tak terlalu jauh lagi.“Mau aku gendong?”Mobil mereka sudah parkir dengan sempurna di halaman rumah. Begitu juga mobil Christian, pria itu bahkan sudah turun dan menunggu di dekat pintu masuk.“Enggak usah, Mas. Aku udah sehat,” jawab Tami sambil cemberut.Satria terkekeh dan mencubit
Aryo sedang menunggu perintah selanjutnya. Dia tak berani untuk melangkah lebih dulu meski sudah bisa menebak tindakan apa yang akan diambil oleh atasannya. Kembali lagi, dia bukan pria gegabah dan selalu tenang dalam kondisi apa pun.Satria ingin sekali melakukan panggilan telepon kepada Aryo. Akan tetapi, pandangan tajam yang menghunus dirinya membuat dirinya membeku. Seolah sedang terikat kencang, tubuhnya sulit digerakkan saking terpaku pada mata mertuanya.Dia berdeham.Tami meringis melihat itu. Namun tak sedikit pun keinginan untuk membantu suaminya. Mendengar Vania di kasus itu bukan sepenuhnya korban, membuat hatinya kembali perih. Pertanyaan kenapa dan kenapa terus berputar di kepalanya. Mereka bahkan tidak saling kenal. “Saya tidak akan tinggal diam jika Vania benar-benar terlibat. Mantan tunangan kamu telah merampas kebahagiaan putri saya.” Ancaman Christian memecahkan kesunyian yang tercipta.“Papi,” panggil Satria pelan. Dia menyadari kalau saat ini mertuanya itu sedang
“Kalau memang sudah tidak ada yang mau dibahas lagi, saya tunggu laporannya segera dari masing-masing divisi.”Satria mengakhiri rapat mingguannya dengan cepat. Pikirannya sedang tidak fokus, alih-alih mengalihkan pada pekerjaan dia lebih memilih untuk menyelesaikan yang membuat kepalanya riuh belakangan ini.Langkahnya semakin cepat begitu dia keluar dari ruang rapat. Sejak pagi rencananya sudah matang dan itu hanya bisa dilakukan bila tumpukan dokumen di mejanya menghilang. Dan saat ini hal itu yang akan dilakukannya, dengan cepat.“Pak.”Satria gegas berbalik badan dengan wajah kesal. Dia bahkan belum sampai ke mejanya, pintu ruangannya baru tertutup tapi Aryo sudah berani menginterupsinya. Baru saja kemarahan hendak terlontar, tapi bibirnya langsung mengatup lagi begitu Aryo menyampaikan laporannya.“Saya menemukan alamat bengkel yang ada di video Bu Widya. Juga pria yang berbicara dengan Bu Widya kala itu.”Satria mengangkat ujung bibirnya dan mengangguk pelan. Wajah kesalnya aib
“Apa katamu?” tanya Widya dengan suara tercekat.Tami mengerutkan kening. Dia tidak mengerti mengapa reaksi wanita itu menjadi sedikit berbeda, seperti sedang menahan sesuatu, atau menyembunyikan sesuatu.Karena tidak kunjung mendapatkan jawaban, Widya sedikit mendesak, “Aku tanya, tadi kamu bilang apa? Christian mencari tahu soal kecelakaan ayahmu? Buat apa?” Sebisa mungkin dirinya bersikap tenang di depan Tami, meski menahan emosi yang siap meledak.Tami yang masih bingung mengangguk pelan, kemudian dia menjawab, “Iya, Ma. Memangnya kenapa? Bukannya itu bagus?”“Buat apa mencari tahu tentang informasi orang yang sudah mati?!”Tami mengerjap kaget. Dia tidak pernah membayangkan bahwa Widya akan berteriak bahkan untuk masalah seperti ini. Jika dilihat-lihat, memang ada yang aneh dari sikap wanita itu semenjak dirinya menyebutkan tentang kasus kecelakaan ayahnya, padahal sebelumnya masih meributkan soal uang. Tami bertanya, “Mama kenapa, sih? Kenapa malah berteriak begitu?”Widya mengg
“Itu yang kamu mau, Nak?” tanya Christian pada putrinya.“Iya, Pi.” Tami membulatkan tekadnya untuk mengungkapkan kematian sang ayah. Dia ingin mengetahui fakta di balik tragedi naas itu.Christian terdiam sesaat, kemudian dia akhirnya memutuskan, “Iya, baiklah. Kalau memang itu yang kamu mau, Nak.”Christian merealisasikan niatnya untuk mencari tahu kebenaran di balik kecelakaan ayah Tami. Kejadian itu sudah berlalu sejak enam tahun dan tentunya itu bukan hal yang mudah untuk bisa mengungkap kasus dalam waktu singkat.Namun, bukan Christian kalau tidak bisa mewujudkan apa yang diinginkan oleh sang putri tercinta. Lelaki itu memanggil orang suruhannya untuk mengulik kasus itu, tidak peduli dengan cara dan bagaimana semuanya terungkap.“Papi akan kasih kamu kabar secepat yang Papi bisa,” kata Christian pada Tami.“Aku enggak mau bikin Papi merasa terburu-buru, jadi gunakan waktu yang Papi punya dengan perlahan.” Tami hanya tidak mau terlalu membebani lelaki itu. Dia sudah cukup membuat