Share

2. Anak yang tak diinginkan

“Kamu sudah sadar? Ada yang sakit? Atau kamu merasakan sesuatu? Sebentar, saya akan panggilkan dokter untuk kamu.”

Suara bariton dengan pertanyaan beruntun menyapa pendengaran Tami ketika dia sadarkan diri.

Mata Tami mengerjap pelan, berusaha memindai ke sekeliling ruangan dan mencoba menelan saliva saat mulut dan tenggorokan terasa sangat kering. Dan ketika tangannya terangkat untuk menekan pelipis yang terasa sakit, jarum infus di tangan mengkonfirmasi keberadaannya saat ini. Matanya terpaku pada sosok maskulin yang menatap khawatir.

“Pak Satria? Bagaimana bisa?" lirih Tami melihat sang atasan berdiri tanpa ekspresi.

Seingatnya dia ada di apartemen semalam. Lalu kenapa pagi ini sudah ada di rumah sakit dengan Satria yang menemani.

Suara deheman terdengar dari lelaki berusia empat puluh tahun yang masih betah melajang itu, “Em, kamu pasti bingung.” Satria menggaruk pelipisnya yang tak gatal. “Semalam saat saya pulang dan melewati unitmu, tak sengaja mendengar suara teriakan. Jadi, saya memutuskan untuk memeriksa. Karena tak ada yang membukakan pintu, akhirnya saya mengajak pihak keamanan untuk menerobos masuk. Benar saja, kamu ditemukan dalam keadaan kurang layak dan untungnya kami masuk tepat waktu sebelum hal yang lebih buruk terjadi,” jelasnya kemudian.

Wajah Tami pucat pasi, dia ingin menoleh tapi rasanya sangat malu sekali. Seolah sudah tak ada harga dirinya, terempas oleh kebejatan kekasihnya. Ah, rasanya gadis itu tak akan sudi menyebutnya kekasih lagi. Pria brengsek yang menjadi benalu bertahun-tahun.

 “Te-terima kasih, Pak. Saya enggak tahu apa jadinya kalau bapak enggak menolong,” ucap Tami dengan gugup.

Satria tersenyum berusaha tak terlihat canggung. “Kita ini tetangga, Tami. Sudah sewajarnya bukan?"

Mendengar jawaban Satria, hati Tami menghangat. Rupanya dia bukan pria sombong, pikirnya.

Pintu ruangan yang terbuka mengalihkan pandangan mereka, seorang suster masuk dan mendekati Tami lalu memeriksa secara saksama.

"Dokter sudah memperbolehkan Ibu pulang setelah mengurus administrasi, kondisinya sudah stabil. Banyak istirahat ya, Bu,” tutur seorang suster wanita sembari melepaskan infus pada tangan Tami.

"Terima kasih, kalau begitu saya akan mengurus administrasi terlebih dahulu." Satria berlalu sebelum Tami angkat bicara.

Tak lama kemudian, Satria sudah kembali ke ruangan. "Maaf agak lama, saya sekalian menebus obat kamu tadi. Mari kita pulang," ujarnya.

“Em, bisa tolong antar saya pulang ke rumah mama saya saja, Pak? Sejak kemarin, mama menelepon dan meminta saya pulang,” pintanya ragu.

Satria menoleh sesaat sambil mengangguk pelan. Lalu fokus pada jalanan kembali.

“Tentu, tunjukkan saja jalannya,” jawab Satria.

Jarak yang tak terlalu jauh, membuat mereka tiba hanya dalam waktu setengah jam.

Kedatangan Tami rupanya memang sudah ditunggu oleh keluarganya.

Seorang wanita paruh baya dengan wajah mirip Tami berdeham pelan ketika membuka pintu depan, dia melirik sekilas pada Tami lalu menelisik pria tampan di depannya dengan teliti.

“Mah, ini Sat–,” suara Tami terpotong kala suara adiknya terdengar. Dia menengok ke belakang.

“Mamah, Sissy pulang,” pekiknya. Dia mengernyit sesaat, gadis bernama Sissy yang merupakan adik Tami langsung tersenyum malu-malu sembari jalan pelan dan memeluk lengan mamanya dengan mata yang lekat ke arah Satria.

‘Siapa dia, tampan dan seksi. Sepertinya juga orang kaya. Pas seperti lelaki idamanku,’ monolog Sissy dalam hati.

Tami sungguh jengah melihat hal itu tapi dia tak menggubris dan melanjutkan ucapannya yang terputus, “Ini Satria, Mah. Bos Tami di kantor.”

Mendengar itu mata Sissy berbinar cerah dengan senyum yang semakin lebar. ‘Aku harus bisa memiliki dia,’ pikirnya.

Sissy berulang kali menyikut mamanya gemas dan mamanya menyadari itu. “Wah, terima kasih Pak Satria sudah mengantar Tami pulang. Kenalkan, ini Sissy. Anak bungsu saya, kebanggaan saya.”

Satria tersenyum canggung kala mendengar itu, tapi dia tak mau menanggapi. Hanya mengangguk sambil tersenyum dan menerima uluran tangan keduanya sambil berucap, “Sama-sama, Bu. Tami sedang sakit, jadi saya hanya bisa membantu sekedarnya.”

Sissy berdecih sembari melirik Tami. “Dia memang lemah dan hanya bisa merepotkan orang saja, Mas. Eh, boleh, ‘kan aku panggil Mas?” gadis itu menoleh ke arah Satria dan menampilkan senyum terbaiknya.

Satria menahan tawanya dan menjawab dengan sangat tenang, “Tak apa, saya tidak merasa direpotkan.” Dia malah menatap Tami lekat dan kembali melanjutkan, “Kamu harus banyak istirahat, saya izinkan kamu untuk tidak ke kantor beberapa hari ke depan.”

Sissy memberengut kala melihat respons Satria yang tak sesuai harapan. Dia melengos lalu berbalik masuk sambil mengentakkan kaki. Melihat itu, mamanya turut merasa kesal dengan wajah masam.

“Ah, lebih baik kita mengobrol di dalam saja Pak, biar lebih santai dan Pak Satria bisa mengenal putri saya lebih baik. Biar Sissy membuatkan Bapak minuman, dia pandai meracik minuman jadi lebih segar.” Mama masih mencoba menarik perhatian Satria agar bisa dekat dengan Sissy.

Tami menoleh dengan berat hati dan tersenyum kaku. Di sebelahnya Satria bergeming, bingung harus bersikap apa. Akhirnya memilih memberikan senyum dengan wajah menenangkan lalu pamit undur diri.

Begitu mobil Satria telah meninggalkan pelataran rumahnya, sorot mata mamanya berubah tajam menghunjam ke arah Tami dan dengan ketus berucap, “Ke mana aja kamu baru datang?! Matanya memindai keadaan putri sulungnya dari kepala hingga kaki, lalu mendengkus dan melempar kertas tagihan ke arah Tami. “Tuh, tagihan bulan ini. Jangan lupa dibayar.” Lalu dia berbalik begitu saja, masuk meninggalkan Tami yang masih terdiam.

Tami membeku, tangannya memegang erat kertas-kertas tagihan yang sejak sang ayah meninggal beralih menjadi tanggung jawabnya. Dia sedikit bersyukur Satria tidak melihat kejadian ini. Semalam di tolong dalam keadaan mengenaskan, biaya perawatan rumah sakit ditanggung, diantar pulang dengan penerimaan yang sedikit mengejutkan dari mama juga adiknya. Rasanya dirinya akan kehilangan harga diri bila kejadian barusan juga dilihat bosnya itu.

Seluruh tubuhnya bahkan masih merasakan sakit, ditambah dengan hati yang tersayat. Tami menunduk, berusaha menahan air mata agar tak terjatuh. “Aku juga anak mama, tapi kenapa mama selalu enggak adil,” ucapnya lirih.

Setelah menenangkan diri beberapa saat, dia memilih masuk dan ingin segera istirahat di kamarnya.

“Bikinin gua makanan, Kak. Cepet, enggak pake lama!” teriak Sissy yang sedang bersantai di ruang tengah.

Tami memejamkan mata sejenak, hatinya kembali sakit. Sejak kecil dia selalu merasakan perbedaan perilaku mamanya antara dia dan adiknya. Adiknya selalu dimanja sedangkan dia sebaliknya.

Seperti saat ini, tapi dia tahu protes pun akan percuma. Mamanya hanya mencintai adiknya.

Mga Comments (1)
goodnovel comment avatar
Pena Ilusi
Tami anak tiri bukan ya ...
Tignan lahat ng Komento

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status