“Kamu sudah sadar? Ada yang sakit? Atau kamu merasakan sesuatu? Sebentar, saya akan panggilkan dokter untuk kamu.”
Suara bariton dengan pertanyaan beruntun menyapa pendengaran Tami ketika dia sadarkan diri.
Mata Tami mengerjap pelan, berusaha memindai ke sekeliling ruangan dan mencoba menelan saliva saat mulut dan tenggorokan terasa sangat kering. Dan ketika tangannya terangkat untuk menekan pelipis yang terasa sakit, jarum infus di tangan mengkonfirmasi keberadaannya saat ini. Matanya terpaku pada sosok maskulin yang menatap khawatir.
“Pak Satria? Bagaimana bisa?" lirih Tami melihat sang atasan berdiri tanpa ekspresi.
Seingatnya dia ada di apartemen semalam. Lalu kenapa pagi ini sudah ada di rumah sakit dengan Satria yang menemani.
Suara deheman terdengar dari lelaki berusia empat puluh tahun yang masih betah melajang itu, “Em, kamu pasti bingung.” Satria menggaruk pelipisnya yang tak gatal. “Semalam saat saya pulang dan melewati unitmu, tak sengaja mendengar suara teriakan. Jadi, saya memutuskan untuk memeriksa. Karena tak ada yang membukakan pintu, akhirnya saya mengajak pihak keamanan untuk menerobos masuk. Benar saja, kamu ditemukan dalam keadaan kurang layak dan untungnya kami masuk tepat waktu sebelum hal yang lebih buruk terjadi,” jelasnya kemudian.
Wajah Tami pucat pasi, dia ingin menoleh tapi rasanya sangat malu sekali. Seolah sudah tak ada harga dirinya, terempas oleh kebejatan kekasihnya. Ah, rasanya gadis itu tak akan sudi menyebutnya kekasih lagi. Pria brengsek yang menjadi benalu bertahun-tahun.
“Te-terima kasih, Pak. Saya enggak tahu apa jadinya kalau bapak enggak menolong,” ucap Tami dengan gugup.
Satria tersenyum berusaha tak terlihat canggung. “Kita ini tetangga, Tami. Sudah sewajarnya bukan?"
Mendengar jawaban Satria, hati Tami menghangat. Rupanya dia bukan pria sombong, pikirnya.
Pintu ruangan yang terbuka mengalihkan pandangan mereka, seorang suster masuk dan mendekati Tami lalu memeriksa secara saksama.
"Dokter sudah memperbolehkan Ibu pulang setelah mengurus administrasi, kondisinya sudah stabil. Banyak istirahat ya, Bu,” tutur seorang suster wanita sembari melepaskan infus pada tangan Tami.
"Terima kasih, kalau begitu saya akan mengurus administrasi terlebih dahulu." Satria berlalu sebelum Tami angkat bicara.
Tak lama kemudian, Satria sudah kembali ke ruangan. "Maaf agak lama, saya sekalian menebus obat kamu tadi. Mari kita pulang," ujarnya.
“Em, bisa tolong antar saya pulang ke rumah mama saya saja, Pak? Sejak kemarin, mama menelepon dan meminta saya pulang,” pintanya ragu.
Satria menoleh sesaat sambil mengangguk pelan. Lalu fokus pada jalanan kembali.
“Tentu, tunjukkan saja jalannya,” jawab Satria.
Jarak yang tak terlalu jauh, membuat mereka tiba hanya dalam waktu setengah jam.
Kedatangan Tami rupanya memang sudah ditunggu oleh keluarganya.
Seorang wanita paruh baya dengan wajah mirip Tami berdeham pelan ketika membuka pintu depan, dia melirik sekilas pada Tami lalu menelisik pria tampan di depannya dengan teliti.
“Mah, ini Sat–,” suara Tami terpotong kala suara adiknya terdengar. Dia menengok ke belakang.
“Mamah, Sissy pulang,” pekiknya. Dia mengernyit sesaat, gadis bernama Sissy yang merupakan adik Tami langsung tersenyum malu-malu sembari jalan pelan dan memeluk lengan mamanya dengan mata yang lekat ke arah Satria.
‘Siapa dia, tampan dan seksi. Sepertinya juga orang kaya. Pas seperti lelaki idamanku,’ monolog Sissy dalam hati.
Tami sungguh jengah melihat hal itu tapi dia tak menggubris dan melanjutkan ucapannya yang terputus, “Ini Satria, Mah. Bos Tami di kantor.”
Mendengar itu mata Sissy berbinar cerah dengan senyum yang semakin lebar. ‘Aku harus bisa memiliki dia,’ pikirnya.
Sissy berulang kali menyikut mamanya gemas dan mamanya menyadari itu. “Wah, terima kasih Pak Satria sudah mengantar Tami pulang. Kenalkan, ini Sissy. Anak bungsu saya, kebanggaan saya.”
Satria tersenyum canggung kala mendengar itu, tapi dia tak mau menanggapi. Hanya mengangguk sambil tersenyum dan menerima uluran tangan keduanya sambil berucap, “Sama-sama, Bu. Tami sedang sakit, jadi saya hanya bisa membantu sekedarnya.”
Sissy berdecih sembari melirik Tami. “Dia memang lemah dan hanya bisa merepotkan orang saja, Mas. Eh, boleh, ‘kan aku panggil Mas?” gadis itu menoleh ke arah Satria dan menampilkan senyum terbaiknya.
Satria menahan tawanya dan menjawab dengan sangat tenang, “Tak apa, saya tidak merasa direpotkan.” Dia malah menatap Tami lekat dan kembali melanjutkan, “Kamu harus banyak istirahat, saya izinkan kamu untuk tidak ke kantor beberapa hari ke depan.”
Sissy memberengut kala melihat respons Satria yang tak sesuai harapan. Dia melengos lalu berbalik masuk sambil mengentakkan kaki. Melihat itu, mamanya turut merasa kesal dengan wajah masam.
“Ah, lebih baik kita mengobrol di dalam saja Pak, biar lebih santai dan Pak Satria bisa mengenal putri saya lebih baik. Biar Sissy membuatkan Bapak minuman, dia pandai meracik minuman jadi lebih segar.” Mama masih mencoba menarik perhatian Satria agar bisa dekat dengan Sissy.
Tami menoleh dengan berat hati dan tersenyum kaku. Di sebelahnya Satria bergeming, bingung harus bersikap apa. Akhirnya memilih memberikan senyum dengan wajah menenangkan lalu pamit undur diri.
Begitu mobil Satria telah meninggalkan pelataran rumahnya, sorot mata mamanya berubah tajam menghunjam ke arah Tami dan dengan ketus berucap, “Ke mana aja kamu baru datang?! Matanya memindai keadaan putri sulungnya dari kepala hingga kaki, lalu mendengkus dan melempar kertas tagihan ke arah Tami. “Tuh, tagihan bulan ini. Jangan lupa dibayar.” Lalu dia berbalik begitu saja, masuk meninggalkan Tami yang masih terdiam.
Tami membeku, tangannya memegang erat kertas-kertas tagihan yang sejak sang ayah meninggal beralih menjadi tanggung jawabnya. Dia sedikit bersyukur Satria tidak melihat kejadian ini. Semalam di tolong dalam keadaan mengenaskan, biaya perawatan rumah sakit ditanggung, diantar pulang dengan penerimaan yang sedikit mengejutkan dari mama juga adiknya. Rasanya dirinya akan kehilangan harga diri bila kejadian barusan juga dilihat bosnya itu.
Seluruh tubuhnya bahkan masih merasakan sakit, ditambah dengan hati yang tersayat. Tami menunduk, berusaha menahan air mata agar tak terjatuh. “Aku juga anak mama, tapi kenapa mama selalu enggak adil,” ucapnya lirih.
Setelah menenangkan diri beberapa saat, dia memilih masuk dan ingin segera istirahat di kamarnya.
“Bikinin gua makanan, Kak. Cepet, enggak pake lama!” teriak Sissy yang sedang bersantai di ruang tengah.
Tami memejamkan mata sejenak, hatinya kembali sakit. Sejak kecil dia selalu merasakan perbedaan perilaku mamanya antara dia dan adiknya. Adiknya selalu dimanja sedangkan dia sebaliknya.
Seperti saat ini, tapi dia tahu protes pun akan percuma. Mamanya hanya mencintai adiknya.
Akhir pekan ini Tami sengaja tak pulang karena badannya belum pulih benar dan dia membutuhkan istirahat. Alasan lainnya sudah pasti adalah menghindari omongan dan perilaku menyakitkan dari Mama dan adiknya.Tami mendesah keras. Dia memijit pelipisnya sembari duduk bersandar di sofa ruang tengah apartemennya saat terdengar bunyi bel beberapa kali. Dengan malas dia membukakan pintu dan wajah terkejutnya tak bisa disembunyikan lagi.“Mau ngapain kamu kesini,” tanya Tami penuh kecurigaan.Sissy tak peduli atas omongan kakaknya dan dia melangkahkan kaki masuk bahkan sebelum dipersilakan. “Sejak kapan main ke tempat kakak sendiri harus ada alasan, “ celetuknya.Decak kesal terdengar jelas dari bibir Tami. “Ya udah, jangan ganggu karena aku mau tidur.”Gadis manja dengan gaun navy terusan selutut itu menyamankan diri di sofa dan menjawab sembari mencibir, “Terserah.”Dalam hati Sissy membatin, “Aku mau tahu, Satria akan kesini atau enggak ya. Karena aku menginginkannya, Kak.”Setelah beberap
Dua tahun yang lalu perasaan Tami membuncah bahagia. Dia tak menyangka akan dapat pria yang membuatnya jatuh cinta. Namun, kebahagiaan tak berlangsung lama. Beberapa bulan setelah berpacaran, Irwan mulai mengeluh banyak hal dan mulai meminjam uang pada Tami. Padahal Irwan juga memiliki kedudukan di kantor. Entah digunakan untuk apa uang itu.Lebih menjijikkan lagi pria itu pun kerap terlihat menggoda beberapa wanita dan selalu berkelit saat terciduk langsung oleh Tami.Kesabaran Tami habis dan malam itu adalah puncaknya. Mulai saat itu, Tami bersumpah tak ingin lagi bertemu dengan Irwan, apa pun kondisinya. Tetapi, takdir berkata lain.“Mas Irwan,” suara Tami sangat lirih, hingga hanya dirinya yang bisa mendengar.Matanya membola sempurna, pria yang disangkanya telah mendekam di dalam penjara malah terlihat beberapa meter di depan sana sedang tersenyum menatapnya. Tami segera membalikkan badan berjalan cepat menuju kasir dan mencari jalan keluar.Jantungnya semakin berdegup kencang sa
Satria menyeringai puas. Sambil mengelus foto mendiang kekasihnya, dia berucap lirih, “Pembalasanku untuk kematianmu akan segera terlaksana, Sayang. Tunggulah sebentar lagi, Tami akan kubuat merasakan sakit sampai dia tak ingin ada di dunia ini lagi.”Dia memejamkan mata sejenak, dadanya selalu sesak setiap kali mengingat Vania -tunangannya- yang meninggal satu minggu sebelum hari pernikahan mereka. Satria terpuruk dan hal itu membuat hatinya kebas kehilangan rasa.Sudah tiga tahun berlalu, tapi rasa sakit itu masih ada dan berkembang menjadi dendam yang bukannya menghilang malah semakin membakar diri Satria untuk melampiaskan sakit hatinya pada Tami.Tak peduli apa pun risikonya, dia sudah bertekad untuk membuat keluarga Tami hancur dan bersujud memohon ampun di kakinya.“Kali ini aku tidak akan menahan diri lagi.” Kemarahan terlihat jelas di wajah pria yang selama ini terkenal baik hati dan ramah.Rahangnya mengeras dengan mata yang berkobar, “Tak akan kubiarkan kamu hidup bahagia,
Tami berulang kali mengumpati Satria. Dia geram bukan main. Entah apa yang ada di pikiran atasannya itu hingga tiba-tiba ingin menikahinya. Apalagi mamanya yang juga ikut setuju tanpa menanyakan apa pun padanya.Bahkan, setelah dia melontarkan penolakan dan semua orang sudah pulang, hatinya masih tak tenang. Saat ini, dia masih di rumah mamanya di dalam kamarnya sendiri dan mencari cara untuk menggagalkan semuanya. Terlebih kata-kata Satria saat dia melabrak pria itu di telepon malah terus terngiang di kepala.“Kita akan menikah dan itu tak lama lagi.”“Kamu yakin? Irwan bukan perkara mudah untuk kamu hindari, pikirkan baik-baik tawaranku. Dan aku yakin, jawabanmu adalah, iya.”“Dengan entengnya dia mengancamku,” gumam Tami sambil mencibir. Hatinya kesal bukan main.Dia terdiam sesaat, menghempaskan tubuh ke kasur dan memandang langit-langit kamarnya. “Tapi apa yang dia bilang itu benar juga, apalagi mas Irwan enggak merasa salah sama sekali.”Tami benar-benar tak tenang, dia bangun d
Tami duduk manis di salah satu kafe yang berada dekat dengan apartemennya. Rencana untuk bertemu di unitnya langsung dia batalkan saat bayangan malam buruk bersama Irwan tiba-tiba berkelebat di benaknya, membuat sekujur tubuhnya merinding dan gemetar ketakutan.Dia meminum perlahan jus alpukat yang sudah berkurang setengah, tapi Satria belum juga tampak batang hidungnya. Tami memejamkan mata dramatis berusaha menekan emosi yang mulai menyeruak di dirinya. Gadis itu tak ingin ada di sini, tapi hal ini harus dilakukan sebelum semua semakin mempercepat penyesalan.Kursi di depannya bergeser, senyum tipis terlihat dari wajah tanpa raut rasa bersalah. “Ada urusan yang harus saya lakukan terlebih dahulu tadi.”“Saya juga belum lama,” cicit Tami mengalah.Mata Satria melirik ke arah gelas Tami yang sudah hampir habis isinya, dia tersenyum miring sebelum memanggil pelayan dan menyebutkan pesanannya. “Sudah menyerah dan siap menikah dengan saya?” Suara Satria terdengar dengan pertanyaan merem
Pernikahan yang katanya hanya diadakan secara sederhana dan mengundang keluarga terdekat saja karena persiapan dengan waktu yang singkat. Nyatanya, sejak tadi tamu tak berhenti berdatangan dan lihatlah dekorasinya. Penuh dengan lampu kristal, ruangan yang di dominasi warna putih dan emas, bunga-bunga indah juga pernak pernik lain yang sudah pasti tak murah adanya.Tami sudah berulang kali meringis, kakinya mulai lecet dan betisnya pegal karena terlalu lama berdiri menyapa tamu. Dia tahu kalau berharap perhatian dari suaminya adalah mustahil karena Satria tidak mencintainya. Benar saja, pria itu hanya meliriknya sekilas lalu kembali mengalihkan pandangannya ke arah tamu.“Kenapa senyummu jelek sekali hari ini. Biasanya kamu selalu ramah dan ceria.” Tegur Satria.“Tentu saja karena aku terpaksa ada di sini,” ucap Tami yang hanya berani diucapkan dalam hati. Dia mendengkus kecil dan melebarkan bibirnya dengan sangat terpaksa.“Ck ... ya, lumayan lah. Bertahanlah sampai acara ini selesai.
Tami mendorong kuat dada Satria dan mengatur napasnya ketika sudah terlepas. Dia masih tersengal dengan dada yang naik turun dan wajah memerah. Matanya terus melirik tajam ke arah Satria yang kini sudah berbaring di sebelahnya. Meski dia begitu menikmati kelembutan yang disuguhkan, tapi harga dirinya menolak untuk mengakui.“Apaan, sih, Pak,” omelnya.Satria tak menggubris, dia malah tersenyum miring lalu berbalik memunggungi Tami.“Dasar Om-om genit. Habis cium-cium malah sok jual mahal,” gerutu Tami dalam hati.Rasanya masih ingin meneruskan marah, tapi ucapan Satria kian menohoknya. “Tenang saja, saya enggak berminat sama tubuh kamu. Tadi hanya mencicip suguhan yang telah saya bayar mahal. Ternyata rasanya sungguh mengecewakan.”Tenggorokan Tami tercekat mendengarnya. Dirinya hanya dianggap sebagai “suguhan” dan mengecewakan. Hatinya bagai diremas kuat saat ini. Padahal dia sudah terbiasa direndahkan mama dan adiknya. Tapi ini sakit sekali. Air matanya sudah berkumpul di pelupuk m
Tepat pukul sepuluh pagi, pesawat sewaan mereka lepas landas. Iya, Papa Felix sengaja tidak membeli tiket pesawat komersial melainkan menyewa sebuah pesawat jet milik salah seorang sahabatnya. Dia tak ingin anak dan menantunya kelelahan di perjalanan dan malah tak ada tenaga lagi begitu sampai di sana.“Sebenarnya kita mau ke mana, sih, Pak? Eh, Mas.” Ralatnya cepat saat melihat lirikan tajam Satria padanya.“Saya juga enggak tahu!”Suara decakan terdengar, membuat Satria menoleh. “Udah sana, kamu duduk yang jauh, jangan ganggu aku!”“Jangan-jangan aku mau di buang ke pulau terpencil,” bisik Tami pada diri sendiri sambil berjalan pelan ke kursi belakang. Dan membayangkan itu dia jadi bergidik.Satria memutar matanya malas. “Dari pada saya mengeluarkan tenaga untuk membuangmu di pulau, lebih baik makananmu di taburi racun. Akan lebih hemat waktu,” cibiran ketus itu terdengar jelas.Mata Tami melotot dan gegas berjalan lebih cepat menghindari suaminya.Perjalanan yang awalnya dikira Tam