Alisha berlari sekuat tenaga, napasnya memburu. Dia bahkan tidak berani menoleh ke belakang. Yang ada dalam pikirannya sekarang hanya satu: jangan sampai pria itu mengejarnya!
Begitu melihat taksi melintas, Alisha langsung melambaikan tangan. "Berhenti!" serunya. Usai masuk ke dalam mobil dan mengatakan tujuannya kepada sang sopir, Alisha menyandarkan kepalanya di sandaran kursi dan menghela napas panjang. "Ya Tuhan, kekonyolan macam apa ini? " gerutunya, masih setengah tidak percaya dengan apa yang baru saja terjadi. Niat hati ingin membantu teman, tapi Alisha malah mempermalukan dirinya sendiri dengan salah orang!? Yang benar saja! Alisha ingat, di awal sebelum memasuki restoran, dia sudah menanyakan jelas di mana meja Alvin Wicaksana. Akan tetapi, kenapa pelayan mengarahkannya ke meja yang salah!? Di saat itu, Alisha terdiam, mencoba mengingat adegan awal dirinya tiba di restoran. “Permisi, meja Tuan Wicaksana di sebelah mana, ya?” Karena ramainya restoran, sang pelayan hanya melihat Alisha sekilas, lalu langsung merentangkan tangan ke satu arah. “Di sebelah sana, Nona. Kiranya, Nona ingin bertemu Tuan Wicaksana yang—eh! Nona, Tunggu!” Selanjutnya, tanpa menunggu kalimat sang pelayan selesai, Alisha langsung menghampiri meja pria bernama Zayden itu dan melaksanakan dramanya. Sekarang, dipikirkan kembali, ini semua benar-benar salah Alisha. Belum sempat sang pelayan menyelesaikan kalimatnya, dia malah langsung menghampiri meja pria tadi begitu melihat kemejanya dan memulai aksinya. Andai saja Alisha lebih hati-hati dan paling tidak melihat nama di atas meja, seharusnya kekonyolan tadi tidak akan terjadi! Frustrasi, Alisha langsung menutup wajahnya dengan dua tangan. ‘Kemeja merah sialan…’ gerutu Alisha, masih belum sepenuhnya terima kenyataan dirinya sudah membuat kesalahan. Sekitar setengah jam meratapi nasibnya dalam taksi, Alisha akhirnya sampai di apartemennya. Dia langsung masuk dan berniat membersihkan diri sebelum menelepon Yumi. Akan tetapi, baru saja meletakkan tas di sofa, ponselnya tiba-tiba berdering. Saat Alisha melihat layar, dia membeku. [Yumi.] ‘Hah … Yumi pasti kecewa aku gagal,’ batin Alisha seraya menghela napas sebelum akhirnya mengangkat panggilan. “Halo—” "Alisha, Sayang! Hebat banget sih, kamu?!” Hah? “Makasih banget, ya! Karena kamu, akhirnya Kak Alvin nggak jadi nikah! Perjodohan itu batal!" Alisha mengernyit. Perjodohan Alvin batal? Bagaimana bisa? "Sorry, Yum. Gimana maksudnya? Perjodohannya batal? Kok bisa?" tanya Alisha, merasa sangat bingung. Sandiwaranya saja tidak terlaksana, bagaimana bisa perjodohannya batal. Di sisi lain, Yumi juga ikut merasa bingung. “Loh, kok malah tanya balik. Ya jelas karena kamu berhasil nggak sih sandiwaranya?” Alisha memijit pelipisnya, lalu membalas, “Yum, aku saja salah orang. Gimana bisa bersandiwara baik?” “Hah? Salah orang?!” Tidak perlu berpikir dua kali, Alisha pun langsung menceritakan kepada Yumi mengenai apa yang terjadi. Dimulai dari dia yang tidak mendengar kalimat pelayan hingga selesai, menuduh pria yang salah, hingga akhirnya menyadari kebodohannya ketika wanita yang dia kira tunangan pria itu malah mengaku sebagai ibunya. “Nggak cuma itu, ibunya bahkan berniat menikahkan kami! Arghh, memalukan!” gerutu Alisha mengakhiri ceritanya. “Ha ha ha ha!” Yumi tidak bisa berhenti tertawa, jelas dia tidak menyangka kalau hal seperti itu bisa terjadi kepada sahabatnya. “Ketawa terus! Kamu nggak tahu aku malu setengah mati. Fix, setelah ini aku nggak akan ke restoran itu lagi! Mukaku mau ditaruh di mana?!” Paham dengan rasa malu yang diderita Alisha, tawa Yumi pun mereda. “Sudah, sudah. He he. Karena sudah kejadian, anggap saja lagi sial,” ucapnya yang diikuti dengan dengusan Alisha. Merasa bersalah karena semua ini terjadi karenanya, Yumi pun berkata, “Gini deh. Karena toh kamu juga berusaha demi aku, uang 50 jutanya tetap kutransfer.” Belum lama Yumi mengatakan itu, notifikasi ponsel Alisha berbunyi. [Transfer masuk: Rp50.000.000.] Mata Alisha membesar. “Eh, Yum! Aku ngedumel untuk curhat saja, bukan untuk ini. Aku bahkan nggak ngelakuin apa-apa untuk bantu kamu!” "Sudah, hitung-hitung kamu hibur aku juga deh! Toh pernikahannya Kak Alvin juga batal, jadi aku tetap merasa puas!” “Tapi ….” “Aduh, Alishaku, Sayang. Kalau bukan karena aku yang minta bantuan kamu, tragedi salah orang tadi ‘kan nggak bakalan kejadian. Jadi, anggap ini bonus dari aku dan terima aja, oke?! Masa kamu tega buat aku merasa nggak enak dan bersalah terus karena udah ngerepotin kamu?” rengek Yumi di akhir, mencoba meyakinkan Alisha. Karena Yumi sudah berbicara, dan Alisha sendiri perlu uang ini, akhirnya dia pun berkata, “Oke kalau begitu. Terima kasih ya, Yum.” Yumi tersenyum dan tertawa kecil. “Sama-sama, Sayang!” balasnya. “Kalau begitu, sudahan dulu, ya. Aku ada janji mau makan malam sama adik Kak Alvin malam ini. Aku mau tahu, kalau bukan karena kamu, sebenarnya kenapa perjodohan Kak Alvin batal! Adios!” Usai mengatakan itu, panggilan pun diakhiri. Alisha menghela napas, lalu membaringkan tubuh di tempat tidur. Otaknya masih tidak bisa lupa dengan kejadian memalukan tadi. Termenung lama, Alisha menampar kedua sisi wajahnya. “Haduh, Alisha! Berhenti memikirkan masalah tadi. Sudah lewat! Toh dunia begitu luas. Kemungkinan kamu bertemu lagi dengan orang-orang itu sangat kecil!” Dia mencoba menghibur dirinya sendiri. Andai saja Alisha tahu … pemikirannya itu salah besar. ** Keesokan harinya, Alisha tiba di kantor dengan semangat. Menepis ingatan tentang kejadian memalukan di hari yang lalu, ada lima puluh juta yang bersemayam di akun banknya. Siapa yang tidak senang kalau punya uang, ‘kan? Oleh karena itu, suasana hatinya hari ini sangat baik dan dia berniat untuk fokus bekerja. Baru saja Alisha memasuki ruang kantor departemennya, dia merasa ada sesuatu yang berbeda. Rekan-rekannya berbisik heboh, wajah mereka penuh antusias. "Ada apa nih? Kok pada semangat banget?" tanya Alisha pada Tika, teman sekantornya. Tika menoleh dengan mata berbinar. "Kamu belum dengar? Kita punya bos baru, Al!" Mulut Alisha membentuk huruf ‘o’. "Oh …." Kemudian, dia mengedikkan bahu dan langsung menyalakan laptop kantornya. "Ih, kok reaksinya datar banget sih!" Tika mendecak. Alisha menatap Tika bingung. “Habis harus gimana? Bos baru tuh berarti tata cara baru, tahu. Pasti nanti akan merepotkan!” Tika mendecak-decakkan lidah seraya menggoyangkan jari telunjuknya di depan wajah Alisha. “Ck ck ck, bukan itu poin pentingnya, Alisha sayang.” Kemudian, dia mendekatkan wajah dan tersenyum lebar. “Poin pentingnya adalah dia ganteng, muda, kaya raya… Pokoknya paket lengkap!" Alisha hanya mendesah. Tika memang orang yang seperti ini, tidak bisa mengendalikan diri kalau berurusan dengan pria tampan. "Percuma juga kalau paket lengkap tapi udah jadi jodoh orang," sahut Alisha sambil sibuk menyusun dokumen. Tika mencibir. "Dia masih single! Nggak pernah pacaran katanya!” “Halah, single juga buat apa kalau memang levelnya beda?” balas Alisha santai sembari duduk di kursinya. Kesal, Tika memutar bola mata. “Awas aja, nanti kalau sampai aku tahu kamu suka sama dia, aku bakalan nagih sepuluh juta!” Alisha tertawa kecil. "Iya, iya. Apa katamu deh, Kanjeng Ratu.” Tepat di saat Alisha baru saja ingin mulai fokus ke pekerjaannya, tiba-tiba manajernya datang dengan ekspresi serius. "Alisha, Pak CEO panggil kamu ke ruangannya.” Alisha menegang. "Hah? Saya?" Dia terdiam sesaat. “Sekarang?” "Iya. Sekarang. Cepat sana, jangan banyak tanya. Nanti saya yang kena omel." Ruangan mendadak sunyi. Semua mata tertuju pada Alisha. "Wow, Al! Hari pertama dia masuk, kamu langsung dipanggil!" seru Tika, setengah berbisik. “Memang karyawan terbaik kantor nggak main-main popularitasnya sama manajemen!” Alisha menautkan alis. Memang dirinya sudah beberapa kali dinobatkan sebagai karyawan terbaik kantor yang memberikan penjualan terbanyak. Akan tetapi, dia merasa ada yang sedikit janggal. ‘Jangan berpikiran negatif, Sha. Mungkin aja ini soal promosi yang sempat tertunda sama CEO sebelumnya!’ Dengan penuh semangat, Alisha berdiri dan gegas menuju ruang CEO yang berada di ujung lorong panjang lantai tersebut. Saat tiba di depan pintu besar berukiran elegan, dia menarik napas panjang. Semangat, Alisha. Ini kesempatan besarmu! Mendorong pintu tersebut dan melangkah masuk, Alisha memasang senyum terbaiknya yang sudah dia latih bertahun-tahun. “Selamat siang, Pak—” Langkah Alisha mendadak berhenti, begitu pula dengan kalimatnya. Mata cantiknya terpaku pada satu sosok pria yang duduk di kursi CEO… "Ka-kamu?" suara Alisha hampir tidak terdengar. Senyum dingin mengembang di bibir pria di hadapan. Mata elangnya mengunci pergerakan Alisha, seolah menguliti semua pertahanannya. "Halo, Sayang," ucapnya santai, namun penuh sindiran. "Bagaimana kondisi kandunganmu hari ini?" Zayden Wicaksana, pria yang Alisha permainkan di hari yang lalu, sekarang terduduk di kursi kebesaran CEO kantornya. ‘Ah … matilah aku ….’Pertanyaan itu berputar-putar di kepala Alisha.Menangis?Apa tidak apa-apa?Apa boleh?Apa itu tidak terlihat cengeng?Alisha masih diam, sejujurnya dia terus menahan, hanya saja … dia selalu harus terlihat kuat. Tidak boleh bersedih karena itu, adalah sebuah kelemahan.“Keluarkan kesedihanmu dan biarkan jiwamu menjadi sedikit lebih tenang, hehm.” Zayden menangkupkan tangannya ke pipi Alisha.“Jangan memendamnya, karena aku … tidak ingin kamu … terluka lebih jauh dan menderita terlalu dalam,” sambung Zayden lagi.Alisha masih diam, matanya masih menatap lurus ke depan.“Lakukanlah, itu bukan suatu kejahatan, keluarkan apa yang kamu rasakan,” ucap Zayden lagi.“Apa … itu tidak terlalu … lemah?” Alisha berkata pelan.Zayden menghela napas. “Kamu nggak harus begini. Nggak apa-apa kalau kamu mau nangis… aku di sini, Al.”Suara itu… Lembut, hangat, dan entah kenapa justru membuat dinding pertahanan yang selama ini Alisha bangun mulai retak.Zayden menggeleng pelan, senyum tipisnya menyert
Alisha cukup terkejut dengan apa yang dilakukan Kevin, keningnya sedikit mengerenyit, belum sempat berpikir jauh tentang tingkahnya itu, lagi-lagi Kevin bersujud padanya, kepalanya nyaris menyentuh ujung kakinya.“Kak Alisha maafkan aku,” ucapnya lagi dengan suara yang terdengar lirih sekali.“Semua salahku … semua salahku ….” Lagi-lagi Kevin berkata dengan sangat pilu, siapa pun yang mendengarnya tentu akan merasakan kalau dia penuh dengan penyesalan dan merasa sangat kehilangan. Kehilangan yang cukup dalam yang tidak mampu dikeluarkan sepenuhnya. Bahkan ini cukup membuat Kevin sangat menderita.“Bangunlah,” ucap Alisha datar.Hanya saja sepertinya perintah Alisha barusan tidak terlalu diindahkan oleh laki-laki itu. Di maish terus bersujud dan beberapa kali mengentukkan keningnya ke lantai.“Bangun dan jangan bertindak konyol di depan jenazah adikku!” Dia berkata dengan cukup tegas. Membuat Kevin akhirnya berusaha untuk bangkit.Dia terlihat sangat kacau, Alisha menatapnya tajam. Wala
Alisha membuka matanya, saat itu yang pertama kali dilihat olehnya adalah Zayden. Menyadari sesuatu, Alisha langsung duduk dan wajahnya terlihat panik.“Iza … Iza dia … dia …!” Alisha tidak bisa mengeluarkan kata-kata, otaknya terasa tidak sanggup untuk berpikir banyak. Napasnya kembali memburu, hingga akhirnya Zayden membawanya dalam pelukannya.“Sabar, Sha, sabar,” ucap Zayden pada Alisha sambil mengelus kepalanya.Alisha diam, dia hanya memejamkan matanya dan mencoba untuk mengatur napasnya. Rasanya sangat sesak sekali. Sulit baginya untuk menerima semua ini.Zayden mengendurkan dekapannya, menjepit dagu Alisha hingga mata mereka bertemu, Zayden memandang dalam, sementara tatapan Alisha terasa sangat kosong dan hampa.“Sha, semuanya sudah takdirnya masing-masing.” Zayden berkata dengan tenang, setidaknya dia harus membuat Alisa bisa menerima semua ini.Hanya saja, Alisha tidak memberikan reaksi apapun, jangankan menangis, saat ini ekspresinya hanya diam dengan tatapan kosong. Hal in
Sesampainya di apartemen, setelah pulang dari pengadilan, Nariza masuk ke dalam kamarnya. “Kak aku istirahat dulu,” ucapnya pada Alisha.“Ya, istirahat saja, Kakak juga mau ke atas dulu.” Alisha langsung ke kamarnya, sementara Nariza dibantu perawatanya berjalan ke kamar. Sebelum benar-benar ke atas, Alisha berpesan pada Nariza, “Kamu jangan lupa minum obatnya Iza, kalau ada apa-apa–”“Iya-iya! Kakak tenang saja. Kan udah ada suster juga kan yang tahu persis jadwal minum obatnya.” Nariza terkekeh pelan.Alisha mengangguk sambil tersenyum.Sesampainya di kamar, Alisha langsung menghubungi Zayden.“Bagaimana semuanya? Lancar?” tanya Zayden.“Ya, sesuai dengan perkiraan kita sebelumnya dan Kevin … sepertinya dia juga tidak membantah sedikit pun.” Alisha memberikan laporannya pada suaminya.“Baguslah, tapi … apa tadi Kevin tetap datang sendiri? Maksudku, di sana tidak ada Tante Vivian?” tanya Zayden lagi.“Ya dia hanya datang dengan pengacaranya saja.”“Lalu, bagaimana keadaan Nariza? Apa
Kevin melihat Nariza, jantungnya berdegup kencang, Narisa yang kini berdiri di hadapannya sungguh jauh berbeda dengan Nariza yang dia lihat sebelum masuk rumah sakit. Saat ini gadis itu terlihat kian kurus dengan wajah yang makin pucat, tentu hal ini membuatnya merasa sangat merasa bersalah.“Zaza kamu pucat sekali, apa kamu baik-baik saja?” tanya Kevin dengan nada khawatir. Dia ingin meraih wajah gadis itu, tapi saat tangannya terangkat setengah di udara, dia langsung menghentikan gerakannya – tidak pantas rasanya. Dia lalu menurunkan kembali tangannya dan mengepal erat di samping tubuhnya.Nariza hanya tersenyum samar.“Aku baik-baik saja, terima kasih karena sudah menyesali semuanya.” Nariza berkata datar sambil tersenyum.“Maaf,” ujar Kevin lagi, matanya memandang dalam ke arah Nariza, “Aku juga minta maaf karena terlalu tidak berani untuk menemuimu selama kamu ada di rumah sakit.” Suara Kevin terdengar serak.Sebenarnya saat mengetahui Nariza mengalami perawatan di rumah sakit, se
Beberapa waktu berlalu, Nariza mulai menunjukkan kalau dirinya sudah lebih baik dan dua hari ini dia sudah ada di ruang perawatan biasa. Alisha selalu menemaninya seperti biasa. “Kakak, aku mau pulang,” ucap Nariza pada Alisha, saat Alisha baru saja duduk di dekatnya.Alisha hanya tersenyum singkat. “Boleh pulang kalau kamu benar-benar sudah sembuh! Kalau sampai kejadian seperti waktu itu bagaimana?” Alisha berkata dengan suara cukup berat.“Aku sudah pulih kok, Kakak dengar sendiri kan tadi dokter bilang apa?” Nariza berkata dengan datar.“Iya, tapi tetap harus dalam pengawasan, Kakak gak mau liat kamu masuk ruang ICU lagi.” Alisha berkata dengan tegas.“Iya, Kak, cuma aku beneran nggak mau di rumah sakit lagi. Bagaimana kalau pas kita pulang, kita pergi liburan saja?” Nariza berkata dengan nada ceria, namun detik berikutnya wajahnya menjadi murung.“Tapi kayaknya nggak mungkin deh, ya.” Dia kembali menambahkan dengan nada melemah.“Kalau kamu mau ayo kita lakukan!” Alisha berkata de