Langkah kaki berirama tinggi terdengar lantang di koridor lantai delapan kantor Jusman Group.Pintu kaca terbuka otomatis saat Sassy Nugraha, CEO muda Nugraha Group, melangkah masuk dengan angkuh. Kacamata hitam menggantung di kerah blazernya, dan tas branded menggantung malas di siku.Sekilas, aura kemenangan melekat di langkahnya, seolah dia datang bukan untuk berbincang, tapi menaklukkan.Karyawan Jusman Group tampak terkejut melihat kedatangan CEO Nugraha Group di kantor mereka.Sassy masuk ke ruangan CEO Jusman Group.Tatapannya menelusuri ruangan modern bergaya minimalis yang menyambutnya. Dan hanya butuh dua detik sebelum keluar komentar sarkastik darinya.“Ternyata hanya begini kantor Jusman Group? Aku kira kantornya mewah,” tanyanya dengan nada meremehkan. Tawa sinis keluar dari bibirnya.Arsila, yang sudah berdiri dari balik meja kerja, hanya tersenyum kalem, seolah tak terusik sedikitpun. “Selamat datang di Jusman Group, Sassy. Mungkin ini pertama kalinya CEO Nugraha mengin
Pagi itu, suasana kantor Nugraha Group mendadak tegang. Suara sepatu hak tinggi bergema cepat di lantai marmer ketika Sassy melangkah masuk ke ruangannya. Dengan wajah serius, ia langsung menatap Leo, sekretaris pribadinya.“Hah? Jusman Group mengundurkan diri dari ajang ini? Ini tinggal selangkah, loh!” serunya tak percaya.Sebagai seorang yang memimpin perusahaan besar, tentu saja dia heran mendengarnya. Arsila yang tiba-tiba mundur dari megaproyek, padahal semua orang tahu kalau proyek ini akan menghasilkan keuntungan yang begitu besar.Jika dulu, mereka akan bertarung dengan sekuat tenaga. Kali ini, Arsila malah mengalah.Leo mengangguk ragu. “Iya, Bu. Resmi sudah ditarik dari daftar peserta tender pagi ini.”"Alasannya?""Mereka tidak memberikan alasan apapun. Hanya mengumumkan kalau mereka mundur," jawab Leo."Aneh sekali. Padahal, ini adalah kesempatan untuk mereka kembali menguasai dunia bisnis ini," ujar Sassy."Sepertinya mereka memilih untuk menempuh jalan lain.""Jalan lai
“Bu, Ibu tinggal di sini saja ya?” pinta Arsila sambil memegang tangan Bu Liana erat-erat.Wanita paruh baya itu hanya tersenyum, menatap mata Arsila yang dipenuhi harap. Kini, bagi Arsila, Bu Liana bukan hanya ibu kos di masa sulit. Dia adalah pelindung, sahabat, ibu sejati yang hadir saat semua orang pergi.“Disana ada rumah Ibu, Nak,” jawab Bu Liana lembut. “Dan juga ada minimarket yang harus Ibu urus. Tapi tenang saja, Ibu akan datang lagi nanti. Ibu gak pergi selamanya, kok.”"Sama halnya kalian, bisa datang kapan saja ke rumah Ibu. Pintu Ibu selalu terbuka untuk kalian kapanpun," sambung Bu Liana.“Juang pasti rindu neneknya...” suara Arsila lirih, mewakili si kecil yang sedang tidur pulas di kamar.Berat rasanya harus berjauhan dengan Bu Liana. Sebab, hanya perempuan itulah yang selalu mendampinginya selama hamil, melahirkan, hingga mendidik Juang.“Sama. Nenek juga rindu Juang. Tapi, Juang tempatnya di sini. Nenek di sana. Kapan-kapan, Juang main ke rumah nenek ya kalau lagi
"Samuel!"Suara tajam itu menembus pagi yang semestinya tenang, menggema di halaman rumah keluarga Jusman. Burung-burung yang sejak tadi bersenandung di dahan pohon pun terdiam sejenak, seperti terkejut dengan ledakan emosi yang mengisi udara. Seorang wanita elegan dengan pakaian mahal dan raut wajah angkuh berdiri di balik gerbang besi yang sudah terbuka.Dia adalah Mutia Nugraha.Tak jauh darinya, berdiri seorang pria paruh baya dengan ekspresi yang tak kalah tegas—Deni Nugraha. Mereka adalah pasangan pemilik kekuasaan dan uang, tetapi hari itu, mereka adalah orang tua yang sedang terbakar oleh harga diri yang merasa direndahkan.Pintu rumah terbuka, dan Samuel melangkah keluar dengan langkah tegap dan tenang. Tidak ada kegugupan. Tak ada keterkejutan. Hanya ketegasan."Ada apa, Mom?" tanyanya singkat yang baru saja keluar dari rumahnya.Rasa kantuk masih menyergap di matanya. Di libur seperti ini, harusnya dia menikmati tidur kesiangan tanpa gangguan. Tapi, kedatangan orang tuany
"Bu, selamat datang. Terima kasih sudah mau nyusul kesini," ujar Arsila kepada Bu Liana yang baru saja tiba di rumahnya."Ibu kangen Juang. Sudah tiga bulan gak bertemu dengannya," jawab Bu Liana."Juang juga selalu menanyakan neneknya," kekeh Arsila.Bu Liana menatap setiap sudut rumah, rumah ini begitu mewah. Sangat berbeda jauh dengan rumahnya yang menjadi tempat tinggal Arsila selama ini. Melihat hal ini membuat Bu Liana begitu salut kepada Arsila. Dia bisa tinggal dimanapun, menyesuaikan kondisi. Padahal dia terlahir dengan sendok emas.Namun, rumah yang selama ini tenang mendadak terasa seperti medan perang saat Arsila menerima sebuah surat resmi pagi itu. Amplop putih dengan logo firma hukum terkenal di sudut kanan atas, tertulis tegas: "Gugatan Hak Asuh Anak."Tangannya bergetar saat membukanya. Mata Arsila membelalak ketika membaca penggugat: Mutia dan Deni Nugraha. Bukan hanya Samuel yang tak percaya, bahkan Bu Liana yang menyaksikan wajah Arsila memucat langsung mengambi
Ketukan palu dari majelis hakim menggema di dalam ruang sidang yang megah namun terasa penuh ketegangan. Setiap orang yang hadir di ruangan itu tahu bahwa detik itu akan mengubah segalanya.“Dengan ini, kepemilikan sah atas Jusman Group dinyatakan kembali ke tangan pewaris yang sah, Ny. Arsila Manana Jusman.”Sejenak, keheningan menyelimuti ruangan.Lalu...“Arsila! Kau tidak berhak!” teriak Mirna dengan suara melengking penuh amarah. Wajahnya merah padam, dan matanya memancarkan kebencian yang tidak disembunyikan lagi. “Kau meninggalkan keluarga Jusman! Kau tidak pernah peduli saat perusahaan ini hampir runtuh! Kami yang mempertahankannya!” sambungnya. Dia tidak terima, karena semua harta milik keluarga Jusman dikembalikan kepada Arsila. Bahkan, mereka harus meninggalkan rumah mewah yang selama ini ditempati, karena rumah itu sah milik Arsila. Berkat bantuan dari Samuel, Arsila bisa mengambil alih semuanya tanpa hambatan.Arsila bangkit dari kursinya dengan tenang. Dia melangkah