Salah satu dari mereka berteriak lantaran tidak terima dengan apa yang Leon lakukan, meski memang tindakan Leon ini agak implusif tapi pria itu tidak menyesal sama sekali. Dia justru makin ingin mengintimidasi remahana seperti mereka.
“Kalian seharusnya menjaga mulut kalian. Pikiran dan ucapan kalian kotor yang kalian dengan bebas utarakan dimuka umum itu benar-benar membuatku terganggu dan muak. Kau tahu?” Leon menghardik mereka berdua. Suaranya baritonenya meninggi, pandangan matanya menajam. Dia jelas lebih mirip seekor singa mengamuk ketimbang pria tenang yang tidak peduli apapun sebelumnya. “Dan kalian seharusnya bisa belajar menghargai perempuan. Terutama pada murid peremuanku, mengerti?”
Kedua laki-laki itu saling memandang satu sama lain, mereka yang mencicit seperti tikus yang kedapatan hendak dimangsa benar-benar pemandangan yang menarik bagi Leon. Mereka yang menganggukan kepala dengan mata yang sarat dengan ketakutan juga adalah hiburan tersendiri yang agak menaikan suasana hati Leon. Paling tidak untuk sekarang.
“Bagus,” Leon menggeram dan kemudian melepaskan jeratannya pada mereka. “Aku tidak mau lagi mendengar ada omong kosong seperi itu dari kalian. Jika aku bertemu dengan kalian dan kalian masih membicarakan hal yang sama maka saat itu kalian mungkin akan merasakan tinjuku.”
“Y—ya Pak, maafkan kami.” Salah satu dari mereka mencoba untuk meyakinkan.
“Maafkan kami Pak,” sahut yang lainnya.
“Pergi dari sini sekarang! kalian membuatku muak!” Leon memerintah mereka, keduanya langsung lari terbirit-birit. Pria itu menatap punggung mereka yang sempat kocar kacir dengan pandangan penuh kepuasan.
“Oho, apa ini? tidak pernah ada laki-laki yang cukup jantan untuk membela harga diriku seperti itu sebelumnya. Kurasa aku akan mulai membiasakan diri dari sekarang.”
Mendengar suara feminim yang familiar tersebut, Leon berbalik. Dia menemukan sosok Silvana sudah berdiri sana dengan senyuman manisnya seperti biasa. Gadis itu bertolak pinggang dengan pandangan mata yang penuh dengan kepercayaan diri. Merasa mendapatkan perhatian dari Leon, dia kemudian menyibak rambut panjangnya. Ya, inilah salah satu hal yang dia sukai dari sosok Silvana. Gadis yang menarik dan sangat tahu bahwa dirinya menarik.
Leon terpaku, ribuan bayangan kotor yang pernah singgap dikepalanya kembali berterbangan bagai lalat. Fuck, kendalikan dirimu Leon. Ingat kau adalah dosen anak ini.
“Ngomong-ngomong terima kasih ya Sir Leon,” kata gadis itu penuh syukur.
“Umm… ya, well …” Leon menjawab dengan terbata-bata.
Hebat, sekarang dia bahkan bertingkah tidak sesuai dengan takaran umurnya. Lebih nampak seperti dirinya ketika seusia dengan Silvana, bocah laki-laki ingusan yang sedang kasmaran. Menutupi rasa gugupnya yang kelewatan, Leon lantas berdehem dan menengok kearah samping guna menghindari pandangan Silvana yang selalu penuh selidik dan rasa penasaran.
“Aku hanya melakukan sesuatu yang kupikir harus aku lakukan. Terlebih aku mengenalmu, rasanya aneh saja kalau aku diam saat tahu kalau kau dijadikan objek oleh para bedebah itu.”
Silvana terkikik geli. “Ya, baiklah. Kupikir apa yang Sir Leon lakukan sangat jantan. Aku suka itu,” tutur gadis itu dengan santai, dia memandang melewati bahu si dosen muda. Memastikan dua laki-laki yang membicarakannya telah benar-benar hilang dari pandangan. “Mereka pikir mereka bisa mendekatiku dengan mudah. Tapi tentu tidak sembarangan yang bisa mendapatkanku. Um.. jadi Sir Leon, apa yang mereka bicarakan soal aku tadi?”
“Ah itu…” Leon berdehem lagi, dia memutuskan mengambil satu batang rokok lagi dari sakunya untuk menetralisir rasa aneh yang dia rasakan disekujur tubuhnya saat berhadapan dengan gadis ini. “Kau pasti paham tanpa harus aku beri tahu—” Dia kemudian menempatkan rokok tersebut di mulut dan mulai menyalakannya. “—intinya obrolan menjijikan yang biasa dibicarakan oleh laki-laki.”
Silvana menatap rokok yang tersemat diantara bibir dosen muda yang dia kagumi agak lama dan tak lama bibir gadis itu mengembangkan senyuman lebar. Lebih tepatnya menyeringai. “Oh ya?”
Kedua mata gadis itu melebar, raut wajah penasaran yang menggemaskan terpampang begitu dekat dengan pandangan mata Leon. Pria itu agak kewalahan mengusir pikiran kotornya lagi gara-gara pandangan mata Silvana padanya sekarang. “Memangnya hal-hal menjijikan yang biasa dibicarakan oleh laki-laki itu apa? dan apa Sir Leon pernah merasa bersalah dengan hal menjijikan itu?”
Leon tertawa kecil meski kaku, dia merasa bahwa Silvana seolah bisa mengatakan sesuatu yang tepat menembak realita hidupnya. Ya, dia pernah tentu saja. Karena Leon pernah menjadikan Silvana sebagai objek fantasi seksualnya. Tapi mana mungkin dia mengakui hal itu kan?
Untung saja pria itu sekarang sudah jauh lebih rileks dengan pertanyaan yang bernada provokatif tersebut. Dia memang harus selalu membawa rokok kemanapun. Nikotin membantunya untuk tetap tampil prima meski dalam keadaan gugup seperti beberapa saat yang lalu. “Tentu saja tidak,” jawab Leon dengan nada sedikit bercanda. “Kau sebaiknya cepat pulang, tidak baik bagimu untuk berkeliaran dengan pakaian seperti itu malam-malam,” sambung Leon.
Silvana menyela. “Oh ayolah jangan mengalihkan pembicaraan begitu, lagipula kita berdua tahu bahwa kau sedang berbohong sekarang.”
Leon mengangkat kedua alisnya pada Silvana, pria itu sedikit menggerutu. Silvana menyeringai, dia tahu dia bisa mendapatkan apapun yang dia inginkan dengan sedikit usaha. Gadis itu kini malah semakin mendekatkan dirinya pada sang dosen muda. Dia tidak peduli bahwa barangkali mereka akan menjadi pusat perhatian karena tingkahnya yang lebih mirip gadis penggoda alih-alih sebagai mahasiswi terpelajar.
“Jadi, hal-hal apa saja yang kalian bicarakan tadi, Sir Leon?” tanya Silvana. Matanya kembali memandang kearah bibir sang dosen muda dengan penuh ingin. “Akankah kau mengatakan apa yang mau kau lakukan pada mereka? atau kepada para gadis yang tertarik padamu?”
Leon menempatkan jemari tangannya di mulut untuk menarik rokok yang dia selipkan dari sana dan menghembuskan napas penuh asap berbau nikotin kesukaannya. “Tidak mungkin kan kalau aku mengkontaminasi para gadis tentang hal itu. Terutama pada gadis baik sepertimu.”
Silvana hanya diam sambil menatap kearah Sir Leon. Kepulan asap tebal hasil produksi dari sistem pernapasan sang dosen mudanya itu bergerak disekiling tubuhnya. Membuat pria itu jadi seperti sebuah mahakarya yang seksi dimata Silvana, apalagi saat dia memandang balik kearahnya.
Begitu pula dengan apa yang sedang Leon pikirkan. Sinar lampu yang menerpa wajah Silvana tatkala dia menatapnya adalah sebuah kombinasi dari karya yang memiliki estetika diatas rata-rata. Cahaya yang menyinari kulit wajahnya membingkai raut mukanya yang cantik, serta memperjelas bentuk tubuhnya dan membuat rambutnya yang dicat pirang menjadi lebih berkilau keemasan.
“Kau tahu Sir Leon, sebetulnya aku tidaklah sebaik yang kau pikirkan. Aku bahkan baru saja melakukan sesuatu yang mungkin saja tidak baik dilakukan oleh para mahasiswi lain yang tidak akan pernah bisa kau bayangkan."
Silvana mengerang ketika merasakan dirinya dibombardir tanpa ampun di bawah sana oleh suaminya. Kenikmatan yang dia rindukan sungguh luar biasa, dan wanita itu sudah mulai dapat merasakan gelombang orgasme mendekat. Leon yang menyadari bahwa istri kecil kesayangannya mulai mendekati puncak semakin memperdalam ciumannya dibawah sana. Menyelipkan lidahnya ke dalam lubang panasnya membuat Silvana berputar-putar dalam kepuasan yang tiada tara. Silvana menundukan kepalanya ke belakang, sekarang dia tidak dapat lagi fokus kepada pekerjaannya sendiri dan kedua matanya mulai mengabur. Lidahnya keluar dari mulut ketika dia menoleh ke arah suaminya dibelakang sana. Leon hanya menyeringai melihat reaksi kepayahan istrinya setelah berhasil dia bombardir bahkan dia makin tergoda untuk menambah permainan menjadi semakin panas lagi. Secara tiba-tiba Leon menghisap clitoris wanita itu tanpa aba-aba. “Ahhh!” Silvana tidak tahan untuk mencengkram kedua kaki suaminya untuk berpegangan ketika serangan t
Mereka sekarang sudah menikah, dan karena kehamilannya pula Silvana merasa akhir-akhir ini dia jadi sangat mudah bergairah tetapi tidak dengan Leon suaminya yang sekarang tampak bekerja lebih keras daripada biasanya. Silvana terjaga malam itu dan menyadari bahwa suaminya tidak berada di sisi ranjang yang dia tempati. Dia jadi tidak bisa kembali tidur lagi. Sepanjang hari mereka tidak bersua karena Leon cukup sibuk di kampus dan baru pulang sore hari, itu pun dia langsung kembali menekuni berkas yang entah apa dan akan mengurung diri di ruang kerjanya selama berjam-jam dan hanya ada disisinya untuk tidur. Dia tidak suka hubungan yang seperti ini, dia merindukan Leon kekasihnya dahulu. Dia berharap bisa mengubah itu, tetapi bagaimana? Silvana sangat gelisah. Wanita itu berbalik ke samping, menatap lantai dengan matanya yang tampak lelah. Dia merasa letih untuk alasan yang tidak bisa dijelaskan, tapi yang pasti dominan diisi oleh rasa kesal dan kesepian. Sekali lagi pikiran wanita itu
Dua tahun kemudian…“Jadi, katakan apa alasanmu kemari?” Sang Ayah menjadi perisai yang cukup kuat untuk menghadang kedatangan Leon ke kediaman mereka malam itu. Pria dewasa itu nampak memberikan tatapan tajam andalannya, namun untung saja kekasihnya tidak bisa digertak hanya dengan tatapan itu. “Saya ingin melamar Silvana,” ujar Leon dengan tutur kata yang di penuhi oleh keyakinan dan kepercayaan diri yang tingginya selangit. Ini mungkin kalimat yang paling Silvana tunggu setelah hubungan mereka yang berlangsung lebih dari dua tahun. Gadis itu sudah menyelesaikan study-nya dan mereka tidak lagi berada dalam sebuah lingkungan yang sama. Ini adalah bentuk komitmen atas hubungan mereka juga. “Silvana….” Panggil sang ayah terhadap gadis itu, pandangannya cukup serius pada Silvana kala itu. “Kau sudah tahu soal ini?” “Ya.” “Kenapa kau tidak mendiskusikannya lebih dulu dengan kami?” sang ayah kembali bertanya dengan nada yang tinggi kepada putrinya. Bukannya pria itu tidak senang denga
“Aku tidak mengira bahwa kau tidak juga menyerah untuk bicara denganku. Kali ini aku harus mendengar apa darimu? Permintaan maaf?” Jiyya tetap diam, dia hanya mengaduk wiski yang di hidangkan oleh bartender belum lama. Pertemuan ini terjadi karena Jiyya mendatangi sebuah pub, dan ini bisa di bilang perdana dia masuk ke tempat ini sendirian. Dia sungguh putus asa mencari Dean. Namun beberapa saat yang lalu dan dia mendapatkan informasi kalau sahabat masa kecilnya itu ada disini. Dan benar saja pemuda itu ada, anehnya lagi dalam kondisi menyendiri dan muram. Sejujurnya Dean bukan tipe seorang pria yang akan melakukan hal seperti ini. Jiyya mendengarkan tanya yang pemuda itu ujarkan, tapi seluruh pemikiran di kepalanya terlalu rumit dan berseliweran. Sehingga pada akhirnya Jiyya tidak bisa mengatakan sepatah kata pun kepada Dean. Sesuatu seperti itu rupanya cukup dapat Dean nilai sebagai prilaku yang tidak biasa dari Jiyya. Dia kontan mencondongkan tubuhnya agar lebih mendekat pada sa
Situasi bandara yang hiruk pikuk menjadi pemandangan yang sudah terbilang akan menjadi rutinitas bagi setiap orang yang biasa menjajakan kakinya kemari. Kehidupan manusia yang sibuk akan urusannya masing-masing adalah bagian yang tidak terpisahkan dari situasi dan aktivitas di bandara. Termasuk untuk ke empat orang yang ada di sana. Joan, Jiyya, Silvana dan Leon. Silvana dan Leon baru saja tiba, mereka bergandengan tangan mesra memberi ruang bagi Jiyya untuk melepas kekasihnya untuk waktu yang tidak di tentukan. Cengkeraman tangan Silvana kepada Leon sedikit lebih erat dari pada biasanya, dan mudah bagi pria itu untuk menebak apa yang ada di kepala sang gadis. Bagi Silvana perpisahan seperti ini adalah kali kedua dia menyaksikannya, haru biru di depan sana jadi lebih seperti kumpulan awan badai yang gelap. Firasat buruk yang tak terbendung tentang seluruh praduga negatif memenuhi kepalanya. Seperti Bestian yang tidak juga kembali setelah beberapa tahun lamanya. Walaupun Silvana berh
Joan menggeram begitu dia terpikirkan hal itu, dia menekankan dahinya ke dahi sang kekasih sementara dirinya terus menggerakan pinggul, mengirim Jiyya menuju ke pusat kenikmatan. Dia membawa salah satu tangannya ke wajah Jiyya sementara tangan yang lain berstagnasi di paha mulusnya.“You’re mine,” bisiknya penuh penekanan. Jiyya menatap tepat ke arah kedua kelopak matanya. “Then you’re mine,” balasnya pula. Joan menutup matanya sejenak sebelum mendorong dirinya lebih dalam dan lebih keras, mengerang ketika dia menyandarkan kepalanya di lekukan leher kekasihnya. Desahan Jiyya mengirimkan getaran euphoria ke dalam diri sang pira, seolah dia di bawa ke surga atas kenikmatan yang dia dapatkan. Sentuhan kulitnya yang halus dan lembut di bawahnya terasa begitu rapuh namun begitu keras di saat yang bersamaan. Semua itu adalah hal yang dia butuhkan. Jiyya mengerang lagi ketika seluruh tubuhnya bergetar lagi karena kekuatan atas pelayanan yang Joan berikan terhadapnya. Dia menempel padanya,