Leon mengerang tatkala tubuhnya dia rebahkan di atas ranjang begitu dia masuk kedalam apartmentnya. Kunci motor yang pria itu gunakan telah dia lempar secara sembarangan ke sudut meja yang tak jauh dari ranjangnya.
Sungguh, hari ini tubuhnya terasa sakit seluruhnya. Sebenarnya jika ditilik tidak ada sebab khusus yang membuatnya harus merasa letih hari ini, kecuali fakta bahwa dia kerap jatuh dari atas ranjang dan berujung tidur diatas lantai hingga esok hari. Karena itulah mungkin tubuhnya jadi sakit semua.
“Ugh…” keluhnya lagi sembari menggosok bagian belakang lehernya, tadinya dia memang ingin tidur tapi sepertinya dahaga yang dia rasakan meminta untuk lebih diperhatikan. Akhirnya pria itu bangkit lagi dan beranjak menuju kearah dapur.
Leon mengambil gelas dari rak terdekat dan menuangkan air sebelum menghabiskannya hanya dalam satu tegukan saja. Akibatnya air tersebut sampai menetes ke dagu dan membasahi kemeja yang dia kenakan. Dengan satu tangan laki-laki itu memilih untuk melepaskan kemejanya dengan cepat, melemparkannya begitu saja ke lantai dan meletakan kembali gelas bekas minumnya di counter.
Setelahnya pria itu memilih untuk kembali ke tempat tidurnya dengan posisi tidak mengenakan atasan apapun. Membiarkan tubuhnya yang berorot dan indah itu terekspos bebas. Meski terlihat keras, tapi sebenarnya otot kekarnya cukup lembut untuk disentuh. Itu pun menurut pengakuan dari beberapa kawan tidurnya.
Dia melirik kearah jam dinding, masih ada sekitar empat jam lagi sebelum janji temu bersama dengan kawan seperjuangannya untuk minum di bar. Karena itu Leon sejujurnya agak bosan sekarang. Tiba diruang tidur pria itu kemudian melompat dan menyandarkan kepalanya ke dinding, membiarkan kedua kelopak matanya terpejam sementara tangannya merangsek masuk kedalam celana yang dia kenakan menyentuh si kebanggaan yang berukuran lumayan besar dan mencoba untuk membayangkan sesuatu yang seksi.
Leon mulai membayangkan Kelly. Seorang pegawai tata usaha di kampus, dia tentu saja masih lajang dan seksi. Sejujurnya hubungan mereka sudah cukup dekat. Kelly juga terlihat menginginkan hal yang lebih meski Leon tidak tahu apa yang benar-benar wanita itu inginkan darinya. Dia sudah pernah mengajak wanita itu kencan, tapi anehnya dia malah menolak dengan alasan akan sulit bagi mereka untuk bersama mengingat hubungan sebagai rekan kerja yang terjalin mulanya. Tidak professional bila mereka berkencan, katanya. Meski begitu anehnya hal itu tidak menghentikan Kelly untuk mampir ke apartmentnya sekadar menghangatkan ranjang dan memberikan pria itu pelayanan ekstra.
Leon membayangkan kembali saat dimana mereka bercinta terkahir kali. Kelly menjadi sangat liar saat sudah menunggu Leon pulang ke apartmentnya. Wanita itu bahkan berlulut dengan tanpa menggunakan sehelai benang pun. Menyambutnya dengan pemandangan erotis paling gila yang tidak bisa Leon bayangkan dari sosok Kelly yang dia pikir kalem.
Terlebih kilatan nakal dan wajahnya yang memerah adalah kombinasi yang kontan membuat Leon setengah gila karena nafsu.
Pria itu mengambil sedikit lotion dari laci sebelah tempat tidurnya, menggunakan itu sebagai pelicin dari tindakan amoralnya. Bayangan seksi tadi adalah umpan yang dia gunakan untuk memuluskan jalannya perbuatan yang sedang dia lakukan. Hanya butuh waktu sedikit saja, dan pria itu telah tenggelam dalam fantasi buatannya. Sampai kemudian dia mendengar tawa pelan di dalam kepalanya. Leon tidak cukup bodoh untuk sadar siapa pemilik suara itu. Itu adalah tawa Silvana.
Leon mengerutkan keningnya, ketidaksadarannya mencoba untuk memberontak, bayangan Kelly mulai berganti menjadi Silvana.
“Fuck!” Leon menggeramkan napasnya yang berat pada bayangan yang jauh dikepalanya. Silvana yang berjongkok, dengan matanya yang besar tanpa dosa menatap lurus kepada dirinya saat dia menunggu kejantanan Leon.
Genggaman tangannya pada miliknya makin menguat, dia bahkan menggosoknya lebih cepat sebelum berhenti sebentar. Apa itu tadi? Bukankah seharusnya dia tidak…
Tapi pikirannya benar-benar telah kosong saat Silvana mulai bergerak dalam fantasinya. Menggunakan oral untuk memanjakan, dengan sesekali meneriakan nama Leon, mata gadis itu benar-benar dipenuhi oleh kabut birahi.
Sungguh, Leon tidak berdaya dengan bayangan super seksi itu. Dia benar-benar kehilangan kendali atas segalanya dan menggunakan tangannya untuk bergerak lebih cepat lagi. Leon menggeram pelan.
“Oh … fuck.” Kecepatannya kian meningkat saat dia membayangkan mahasiswi cantiknya itu berjuang cukup keras untuk memasukan semuanya secara utuh kedalam mulut. Perjuangan yang benar-benar menggemaskan sekaligus menggairahkan. Ini benar-benar terlalu sulit untuk dapat diabaikan. Tapi kenikmatan yang dia dapatkan justru semakin tidak tertahankan, menyebar ke seluruh tubuhnya dengan sangat mudah.
Leon mengerang keras, semburan miliknya mengotori perutnya sendiri. Pria itu bernapas berat, melepaskan genggamannya dan jatuh terkulai di tempat tidurnya sendiri. Napasnya terasa panas, dia berkeringat gila.
Apa yang baru saja dia perbuat? Membayangkan mahasiswinya bermain gila dengannya?
Oke, dia mengakui kesalahannya. Tapi ketika dia teringat dengan apa yang dikatakan oleh Jarvis belum lama ini, diam-diam pria itu jadi menyimpan sedikit ‘ketertarikan’ pada Silvana.Oh ayolah siapa yang tidak tertarik dengannya? Gadis itu punya pesona yang sulit untuk diabaikan, penampilannya menarik dan semua pria punya satu pendapat yang sama tentang dia. Silvana itu unggul. Leon juga begitu, tapi sebagai seorang tenaga pendidik agaknya dia tidak bisa melewati batas meskipun sekarang dia baru saja melakukannya.
Penampilan seksi Silvana dalam imajinasinya beberapa saat yang lalu masih tertinggal. Dia tidak mengira bahwa hormonnya akan mengajaknya untuk berbuat tidak senonoh seperti ini.
Pria itu mencoba untuk menghilangkan semua imaji brengsek yang mampir diotaknya dengan cepat. Dia tidak boleh memikirkan Silvana dalam ranah konteks seksual. Dia harus tetap menjaga batas hubungan mereka sebagai seorang dosen dan juga mahasiswa.
“Oh ya ampun …” Leon memandang tempat tidurnya yang penuh dengan cairan hasil produksinya.
Ini mungkin akan memakan waktu dan sedikit sulit untuk dibersihkan.“Leon kau benar-benar pria brengsek,” gumam pria itu sembari menarik seprainya dan membawa benda itu ke kamar mandi untuk dia cuci bersamaan pula dengan tubuh dan juga otaknya.
***
Silvana terkikik pelan tatkala dia mendorong buruannya untuk masuk kedalam apartment pribadi pemuda itu. Silvana mengingat dia sebagai salah satu mahasiswa fakultas teknik, dia bahkan lupa namanya siapa. Performanya agak sedikit mirip dengan Sir Leon, hanya saja mungkin yang ini versi seusianya dan sedikit agak kaku. Meski begitu dia masih terbilang masuk dalam kategori pria menarik.Sejujurnya, kejadian ini terjadi pun karena kebutuhan biologisnya yang sedang tidak terbendung. Kalau pun Silvana tidak bertemu dengannya, dia bisa mencari pria asing lain untuk dia jadikan mangsa.
Tapi buat si pemuda dia justru seakan mendapat durian runtuh. Impiannya menjadi kenyataan ketika dia menyadari bahwa Silvana mau memasuki apartmentnya dengan maksud menuntaskan hasrat semata. Itu lebih membuatnya tertampar akan realita ketika Silvana sedikit menggodanya dengan pose menggairahkan didepan sana.
“Oh fuck!” komentar si pemuda. Dia sejujurnya tidak pernah punya kebiasaan meneriakan apa saja yang ada dikepalanya seperti ini. Mungkin malam ini akan menjadi cikal bakal dari dirinya yang keluar dari karakter untuk sesaat saja.
Silvana hanya tersenyum menanggapi, sejujurnya gadis itu agak terganggu dengan komentar yang dilayangkan pemuda itu terhadapnya. Padahal dia hanya menyender ke sofa, dan bertumpu pada sikunya.
“Ayo mulai pekerjaanmu,” perintah Silvana sembari menggerakan jemarinya menunjuk pada satu titik yang pria manapun tidak akan bisa menolaknya.
Silvana mengerang ketika merasakan dirinya dibombardir tanpa ampun di bawah sana oleh suaminya. Kenikmatan yang dia rindukan sungguh luar biasa, dan wanita itu sudah mulai dapat merasakan gelombang orgasme mendekat. Leon yang menyadari bahwa istri kecil kesayangannya mulai mendekati puncak semakin memperdalam ciumannya dibawah sana. Menyelipkan lidahnya ke dalam lubang panasnya membuat Silvana berputar-putar dalam kepuasan yang tiada tara. Silvana menundukan kepalanya ke belakang, sekarang dia tidak dapat lagi fokus kepada pekerjaannya sendiri dan kedua matanya mulai mengabur. Lidahnya keluar dari mulut ketika dia menoleh ke arah suaminya dibelakang sana. Leon hanya menyeringai melihat reaksi kepayahan istrinya setelah berhasil dia bombardir bahkan dia makin tergoda untuk menambah permainan menjadi semakin panas lagi. Secara tiba-tiba Leon menghisap clitoris wanita itu tanpa aba-aba. “Ahhh!” Silvana tidak tahan untuk mencengkram kedua kaki suaminya untuk berpegangan ketika serangan t
Mereka sekarang sudah menikah, dan karena kehamilannya pula Silvana merasa akhir-akhir ini dia jadi sangat mudah bergairah tetapi tidak dengan Leon suaminya yang sekarang tampak bekerja lebih keras daripada biasanya. Silvana terjaga malam itu dan menyadari bahwa suaminya tidak berada di sisi ranjang yang dia tempati. Dia jadi tidak bisa kembali tidur lagi. Sepanjang hari mereka tidak bersua karena Leon cukup sibuk di kampus dan baru pulang sore hari, itu pun dia langsung kembali menekuni berkas yang entah apa dan akan mengurung diri di ruang kerjanya selama berjam-jam dan hanya ada disisinya untuk tidur. Dia tidak suka hubungan yang seperti ini, dia merindukan Leon kekasihnya dahulu. Dia berharap bisa mengubah itu, tetapi bagaimana? Silvana sangat gelisah. Wanita itu berbalik ke samping, menatap lantai dengan matanya yang tampak lelah. Dia merasa letih untuk alasan yang tidak bisa dijelaskan, tapi yang pasti dominan diisi oleh rasa kesal dan kesepian. Sekali lagi pikiran wanita itu
Dua tahun kemudian…“Jadi, katakan apa alasanmu kemari?” Sang Ayah menjadi perisai yang cukup kuat untuk menghadang kedatangan Leon ke kediaman mereka malam itu. Pria dewasa itu nampak memberikan tatapan tajam andalannya, namun untung saja kekasihnya tidak bisa digertak hanya dengan tatapan itu. “Saya ingin melamar Silvana,” ujar Leon dengan tutur kata yang di penuhi oleh keyakinan dan kepercayaan diri yang tingginya selangit. Ini mungkin kalimat yang paling Silvana tunggu setelah hubungan mereka yang berlangsung lebih dari dua tahun. Gadis itu sudah menyelesaikan study-nya dan mereka tidak lagi berada dalam sebuah lingkungan yang sama. Ini adalah bentuk komitmen atas hubungan mereka juga. “Silvana….” Panggil sang ayah terhadap gadis itu, pandangannya cukup serius pada Silvana kala itu. “Kau sudah tahu soal ini?” “Ya.” “Kenapa kau tidak mendiskusikannya lebih dulu dengan kami?” sang ayah kembali bertanya dengan nada yang tinggi kepada putrinya. Bukannya pria itu tidak senang denga
“Aku tidak mengira bahwa kau tidak juga menyerah untuk bicara denganku. Kali ini aku harus mendengar apa darimu? Permintaan maaf?” Jiyya tetap diam, dia hanya mengaduk wiski yang di hidangkan oleh bartender belum lama. Pertemuan ini terjadi karena Jiyya mendatangi sebuah pub, dan ini bisa di bilang perdana dia masuk ke tempat ini sendirian. Dia sungguh putus asa mencari Dean. Namun beberapa saat yang lalu dan dia mendapatkan informasi kalau sahabat masa kecilnya itu ada disini. Dan benar saja pemuda itu ada, anehnya lagi dalam kondisi menyendiri dan muram. Sejujurnya Dean bukan tipe seorang pria yang akan melakukan hal seperti ini. Jiyya mendengarkan tanya yang pemuda itu ujarkan, tapi seluruh pemikiran di kepalanya terlalu rumit dan berseliweran. Sehingga pada akhirnya Jiyya tidak bisa mengatakan sepatah kata pun kepada Dean. Sesuatu seperti itu rupanya cukup dapat Dean nilai sebagai prilaku yang tidak biasa dari Jiyya. Dia kontan mencondongkan tubuhnya agar lebih mendekat pada sa
Situasi bandara yang hiruk pikuk menjadi pemandangan yang sudah terbilang akan menjadi rutinitas bagi setiap orang yang biasa menjajakan kakinya kemari. Kehidupan manusia yang sibuk akan urusannya masing-masing adalah bagian yang tidak terpisahkan dari situasi dan aktivitas di bandara. Termasuk untuk ke empat orang yang ada di sana. Joan, Jiyya, Silvana dan Leon. Silvana dan Leon baru saja tiba, mereka bergandengan tangan mesra memberi ruang bagi Jiyya untuk melepas kekasihnya untuk waktu yang tidak di tentukan. Cengkeraman tangan Silvana kepada Leon sedikit lebih erat dari pada biasanya, dan mudah bagi pria itu untuk menebak apa yang ada di kepala sang gadis. Bagi Silvana perpisahan seperti ini adalah kali kedua dia menyaksikannya, haru biru di depan sana jadi lebih seperti kumpulan awan badai yang gelap. Firasat buruk yang tak terbendung tentang seluruh praduga negatif memenuhi kepalanya. Seperti Bestian yang tidak juga kembali setelah beberapa tahun lamanya. Walaupun Silvana berh
Joan menggeram begitu dia terpikirkan hal itu, dia menekankan dahinya ke dahi sang kekasih sementara dirinya terus menggerakan pinggul, mengirim Jiyya menuju ke pusat kenikmatan. Dia membawa salah satu tangannya ke wajah Jiyya sementara tangan yang lain berstagnasi di paha mulusnya.“You’re mine,” bisiknya penuh penekanan. Jiyya menatap tepat ke arah kedua kelopak matanya. “Then you’re mine,” balasnya pula. Joan menutup matanya sejenak sebelum mendorong dirinya lebih dalam dan lebih keras, mengerang ketika dia menyandarkan kepalanya di lekukan leher kekasihnya. Desahan Jiyya mengirimkan getaran euphoria ke dalam diri sang pira, seolah dia di bawa ke surga atas kenikmatan yang dia dapatkan. Sentuhan kulitnya yang halus dan lembut di bawahnya terasa begitu rapuh namun begitu keras di saat yang bersamaan. Semua itu adalah hal yang dia butuhkan. Jiyya mengerang lagi ketika seluruh tubuhnya bergetar lagi karena kekuatan atas pelayanan yang Joan berikan terhadapnya. Dia menempel padanya,