Aluna nampak sangat lelah dengan wajah tanpa make-up. Wanita yang telah melahirkan seorang gadis cantik itu, masih tertidur pulas dengan selimut tebal yang menutupi tubuh mungilnya. Kondisi kamar yang masih gelap dengan tirai yang sengaja tidak dibuka, Aluna merasa tubuhnya lebih santai dari biasanya.
Satu minggu tidak bertemu sang suami nyatanya sangat cepat berlalu. Anehnya, tidak ada rasa rindu dalam hati Aluna. Dia malah senang, beban di hatinya seakan tidak pernah ada. Satu minggu, rasanya Aluna terbuai dan berharap ini akan menjadi selamanya. Tidak perlu bangun sangat pagi, menyiapkan seluruh kebutuhan rumah tangga. Bersih-bersih rumah, pergi ke pasar dan memasak. Tidak ada yang meneriakinya dan memakinya di pagi hari. Tidak ada yang memarahinya dan menyuruh ini itu. Aluna merasa, kehidupan yang dia dambakan telah tercapai. Senyum kecil terbit di bibir tebalnya. Sepasang mata bulat itu masih tertutup, belum mau keluar dari alam mimpi. Hingga sebuah tangan besar menangkup wajahnya. Terasa hangat sampai senyum Aluna kembali terbit. "Bangun!" Suara bariton yang sangat familiar itu membuat mata Aluna terbuka. Dia sempat terkejut, namun segera sadar. Masih diam, tubuhnya tidak mau beranjak dari ranjang empuk dan bed cover mahal ini. "Jangan pura-pura terkejut, aku tahu kamu suka berada di sini." Nadanya dingin, sarkastik. Namun senyuman tipis terbit dari wajah dengan rahang tegas yang penuh kharismatik itu. Pria yang sudah siap dengan kemeja putih polos dengan lengan yang ditekuk sampai siku itu nampak sangat ramah senyum manis saat ini. Hati Aluna sempat menyetujui kalimat manis tadi, otaknya sempat berharap hal yang sama. Namun, Aluna tahu itu tidak mungkin. "Revon, kamu tahu aku sudah punya keluarga yang bahagia," ucap Aluna dengan nada lirih. Suaranya masih serak khas orang baru bangun tidur. Revon tidak menanggapi kalimat Aluna. Sorot tajam itu kini lebih kontras tanpa senyum. Tangannya membelai pipi kanan Aluna dengan lembut, bibir tipisnya mendekat dam mendarat di kening Aluna. Aluna memejamkan mata sebentar. Tak ayal, dia sangat menikmati momen manis seperti ini, yang tidak pernah dia dapatkan dari suaminya. Ketulusan yang langsung membuat hati Aluna berdebar. Aluna tidak pernah bisa merasakannya saat bersama Arya, karena hal manis bersama Arya selalu datang setelah kepahitan yang menyesakkan. Aluna bergerak perlahan di balik selimut, tangan kiri Revon sigap menahan punggung Aluna agar tidak limbung dengan tangan kanan mencengkram lengan Aluna tanpa memberinya rasa sakit. Revon kembali tersenyum, kali ini lebih lebar. Tangannya mengelus rambut Aluna, merapikannya dengan sangat telaten. "Kau hanya boleh menjadi milikku," bisik Revon tepat di samping telinga Aluna. Nadanya rendah, dalam dan penuh penekanan. Deru napas teratur yang membuat tulang belakang Aluna bergetar. Aluna gugup seketika. Tubuhnya membeku, lidahnya kelu, hatinya seakan tak mau menepis kalimat tersebut. Revon tertawa kecil saat sadar akan wajah Aluna yang memerah. Dia mengecup bibir Aluna singkat, kemudian bangkit. "Sarapan sudah siap, jangan membuatku menunggu," ucap Revon singkat. Aluna menoleh dan sontak melotot ke arah Revon. Aluna seakan sudah kebal dengan nada sarkastik dari mulutnya. Tak lagi setakut pertama bertemu setelah sekian lama. Pembicaraan mereka yang canggung lebih cepat tenggelam dari kurun waktu yang Aluna duga sebelumnya. Satu minggu benar-benar mengubah banyak hal. Termasuk dirinya, tubuh dan pikirannya. Juga hatinya yang perlahan mulai tergerak, menjauh dari obsesi untuk mempertahankan rumah tangganya. Satu jam kemudian mereka sampai di rumah Aluna. Aluna terdiam memandangi rumah yang sudah dia huni selama 5 tahun. Banyak kenangan di dalam sana, namun rasanya setelah satu minggu meninggalkannya dia punya keinginan untuk kembali. Mendengar helaan napas dari Aluna yang berat, Revon menggenggam tangan Aluna. Aluna menoleh dengan tatapan sayu, namun wajah pria itu tetap tidak berekspresi. "Bercerailah," ujar Revon singkat. Dia sudah mengatakan kata ini ribuan kali, hampir setiap menatap mata berbinar yang butuh pertolongan di depannya ini. Senyum manis dan wajah polos saat tidur, Revon ingin memiliki semua itu hanya untuk dirinya sendiri, selamanya. "Aku tidak bisa," ucap Aluna lirih. Dia menarik tangannya dari genggaman Revon, kemudian turun dari mobil. Pergi tanpa pamit dan masuk ke dalam rumah. Pergi ke kamar tidurnya dan membuka tirai, dia mengintip keluar jendela, melihat apakah Revon sudah pulang atau belum. Sebuah pesan masuk membuat ponselnya bergetar di genggaman tangannya. Itu dari Revon yang mengatakan pada Aluna jika masih rindu, Aluna boleh mendial nomornya dan Revon akan langsung menjemputnya. Aluna mematikan ponselnya seketika, jantungnya berdebar. Dia menggeleng-gelengkan kepalanya dengan cepat. Bergegas berganti baju dan membersihkan rumah, menyambut suami, ibu mertua dan anaknya pulang dari perkemahan. Tepat satu minggu yang lalu, suaminya memberitahu Aluna jika di sekolah Kiara ada perkemahan satu minggu. Orang tua Arya lah yang menemani Kiara. Arya mengatakan agar Aluna tidak perlu khawatir, sedangkan Arya harus pergi ke luar kota untuk mengurus pekerjaan. Aluna sangat kecewa mendapatkan kabar itu di hari H. Aluna sangat marah dan ingin sekali berteriak. Namun, dia hanya di rumah sendirian. Arya mengatakan semua informasi melalui ponsel. Itu pun hanya sebatas pesan singkat. Lalu ponselnya mati dan tak lagi bisa dihubungi. Aluna kalut dan berakhir mendial nomor ponsel Revon untuk membayar hutangnya yang belum selesai. Seharusnya hanya 3 hari, namun pada akhirnya hangatnya ranjang Revon membuat Aluna betah seminggu. Perlakuan lembut tanpa bentakan membuat Aluna tidak bisa berkutik. Tidak hanya tubuhnya yang menikmati sentuhan Revon, tapi hatinya ikut bergetar. Suara klakson berkali-kali membangun Aluna dari kilas balik kehidupan indahnya di kastil Revon. Dia segera berlari ke pintu depan untuk membukaan pintu dan membantu Arya menurunkan barang-barang bawaan dari kemah. Aluna tersenyum lebar, dia ingin segera memeluk putri kecilnya. Namun, Kiara rupanya tidur karena kelelahan. Ibu mertuanya tidak memperbolehkannya mendekati Kiara karena akan mengganggu. Aluna hanya mengangguk, kemudian pergi ke belakang mobil untuk membantu memasukkan barang ke dalam rumah. "Kamu tidak masak hari ini?! Seminggu di rumah bukannya intropeksi diri malah makin tinggi hati. Udah punya apa kamu berani kayak gini?" Aluna tersentak, nada tinggi Ibu mertuanya membuat air matanya luruh. Dia menoleh ke arah ibu mertuanya yang masih cetar dengan make-up tebal dan tas branded yang ada di tangan kanannya. Dia melirik Arya yang tengah menggendong Kiara, hanya berlalu melewatinya. Wajahnya sangat acuh, Arya bahkan tidak menoleh atau membantu Aluna mengatasi Ibu mertuanya. "Maaf, Bu, aku-" "Alah, kamu ini alasan terus. Kalau nggak becus, ibu akan carikan istri baru untuk Arya yang jauh lebih baik dari kamu! Nggak ngerti lagi deh, kok bisa anak sebaik Arya dapatnya kamu!" Cercaan Ibu mertua Aluna kali ini sudah kelewatan. Aluna bahkan langsung berbalik dan berlari ke kamar tidurnya, menangis terisak di ranjang. Arya tiba-tiba masuk ke kamar, dia membuka kemejanya dan menaruhnya asal. Berdecak sebal, kemudian mengambil rokok dari saku dan menghidupkannya. "Kamu ini, gitu aja kok ditangisi sih," ujar Arya seraya pergi ke sisi lain ranjang dan duduk di sana. Dua jari menghimpit rokok, menyesap dan meniupkan asap abu-abu ke atas. Aluna bangkit, menatap Arya dengan mata melotot. Telunjuk kanannya mengarah pada wajah Arya yang acuh. Wajahnya merah padam. "Mas! Cukup ya, selama ini kamu acuh sama aku, kamu selalu belain ibu kamu. Cukup, Mas! Sekarang kamu malah berani merokok di depan aku, di kamar tertutup seperti ini. Sadar nggak kamu bikin kamar kita jadi pengap? Bahkan kamu nggak buka jendelanya!" Aluna memekik, berteriak panjang lebar ke arah Arya. "DIAM!" bentak Arya setelah berdecak kesal. Dia menoleh ke arah Aluna, sekali lagi meniupkan asap rokok dengan bangga. "Berani ngelawan ya kamu sekarang?! Ditinggal seminggu kamu bisa belajar kayak gini darimana, hah?!" Aluna tersentak, hatinya sesak mendengar nada tinggi Arya yang semakin naik. Pikirannya tiba-tiba memutar kilas balik perlakuan Revon yang berbeda seratus delapan puluh derajat dari suaminya.Setelah hari itu, Aluna dan Revon tidak lagi bertemu. Perasaan Aluna mulai membaik, dia kembali mengurus keluarga kecilnya seperti biasa.Minggu kali ini, Arya mengajak Aluna dan Kiara ke pantai. Aluna sengaja bangun sangat pagi untuk membuat camilan dan makanan yang akan mereka bawa nanti. Arya juga sudah menyewa mobil untuk mereka, katanya bonus dari bos.Saat Arya bangun dan melihat istrinya tengah berkutat di dapur, dia langsung membantunya. Suasana menjadi lebih romantis dan cepat selesai. Ditambah, mendapatkan jatah pagi setelah selesai memasak.Mereka berangkat pukul 8 agar bisa di sana lebih lama. Aluna duduk di pinggir pantai sambil tersenyum manis melihat Arya dan Kiara yang saling mengejar. Kemudian tak lama dia juga ditarik ikut bermain kejar-kejaran. Setelah lelah, mereka duduk bersama dan makan siang. Lalu Kiara tertidur karena kelelahan."Ingat tidak dengan pantai ini?" Arya mulai buka suara sambil tersenyum manis dengan tatapan penuh arti, menoleh ke arah Aluna dengan
Aluna melancarkan tamparan keras ke pipi kanan Revon. Matanya melotot, kedua tangannya menggenggam erat."Maksudnya apa kamu ngomong kayak tadi?" pekik Aluna seraya menunjuk ke arah wajah Revon.Revon tertawa kecil, lalu menarik lengan Aluna dan menghimpit tubuhnya ke mobil. Revon merapatkan tubuhnya, wajahnya mendekat sampai hidung mereka bersentuhan. Aluna berusaha memberontak, membuat Revon mengeratkan cengkramannya pada lengan Aluna, satu tangan lainnya mencengkram pinggang Aluna. Dia sengaja menunggu wanita di depannya menyerah."Apa sih maumu?!" Aluna kembali memekik. "Kamu yakin mau memberikannya?" ujar Rivon sambil menyeringai.Kedua mata Aluna menelisik mata tajam laki-laki di depannya. Dia berusaha mencari tahu apa yang Revon pikirkan tapi nihil, dia tidak menemukan apapun."Aku mau Kiara. Bukan hanya tahu kalau aku adalah ayah kandungnya, tapi juga memiliki hak milik legal atas dirinya. Dia juga harus tinggal bersamaku!" tukas Revon tegas.Aluna memberontak kembali, namun
Aluna nampak sangat lelah dengan wajah tanpa make-up. Wanita yang telah melahirkan seorang gadis cantik itu, masih tertidur pulas dengan selimut tebal yang menutupi tubuh mungilnya. Kondisi kamar yang masih gelap dengan tirai yang sengaja tidak dibuka, Aluna merasa tubuhnya lebih santai dari biasanya. Satu minggu tidak bertemu sang suami nyatanya sangat cepat berlalu. Anehnya, tidak ada rasa rindu dalam hati Aluna. Dia malah senang, beban di hatinya seakan tidak pernah ada. Satu minggu, rasanya Aluna terbuai dan berharap ini akan menjadi selamanya. Tidak perlu bangun sangat pagi, menyiapkan seluruh kebutuhan rumah tangga. Bersih-bersih rumah, pergi ke pasar dan memasak. Tidak ada yang meneriakinya dan memakinya di pagi hari. Tidak ada yang memarahinya dan menyuruh ini itu. Aluna merasa, kehidupan yang dia dambakan telah tercapai. Senyum kecil terbit di bibir tebalnya. Sepasang mata bulat itu masih tertutup, belum mau keluar dari alam mimpi. Hingga sebuah tangan besar menangkup wajah
Sebuah silau mobil membuat tubuh Aluna tersentak. Dia segera bangkit dari sofa dan tersenyum sangat manis, berlari ke arah pintu dan membuka pintu dengan riang. Mulutnya terbuka, pikirannya tentang segala hal buruk sirna begitu saja. Perasaannya yang kesal, sedih dan kecewa seakan hilang ditelan malam. Namun, pakaian rapi dengan tuxedo mahal, kemeja putih bersih dan dasi senada itu sama sekali bukan suaminya. Aluna mendongak, matanya memicing menyesuaikan cahaya berusaha mengenali wajah di depannya. Jantungnya tersentak seolah baru saja tersandung dan terjun dari gunung dan masuk jurang. Wajah lelah itu pucat seketika, bibirnya bergetar, tubuhnya kaku. Kedua tangannya yang ada di kusen pintu jatuh ke samping kanan dan kiri tubuhnya. "Revon?" Dahi Aluna berkerut, kedua alis tebal itu hampir bersambung. Dia mundur beberapa langkah, kemudian semakin cepat saat tangan besar pria di depannya mendorongnya ke dalam. Memaksanya duduk di sofa. "Merindukanku, huh? Kamu benar-benar membuatku
Sudah lima tahun dia menikah dengan Arya, bahagia dengan kehidupan sederhana dengan seorang gadis kecil yang cantik dan pintar. Namun, Arya tidak pernah tahu jika gadis kecil yang sangat dia sayangi bukan darah dagingnya, dan Aluna juga tidak pernah punya nyali untuk mengatakannya. Saat Aluna menghembuskan napas resah, Arya tiba-tiba datang memeluknya dari belakang. Menyembunyikan kepalanya di ceruk leher sang istri, mencari rasa nyaman setelah pulang bekerja. Aluna menarik kedua tangan Arya, membuatnya semakin erat memeluknya. Dia tersenyum kecil, perasaannya masih campur aduk. “Hari ini lembur lagi, Mas?” tanya Aluna dengan nada lembut. Tangan kanannya terulur hendak mengelus kepala Arya. “Ya,” jawab Arya singkat. Pria itu menjauh, membuka kemejanya dan menaruhnya di sembarang tempat. Melihat itu, Aluna menghela napas panjang. Dia tersenyum tipis dan menggelengkan kepalanya. “Mas, tidak pernah kamu melihat keranjang kotor di dekat pintu kamar mandi, hum?” ujarnya pelan dan le