Arya terkejut mendapati seorang yang duduk di balik kursi CEO itu adalah Revon Adinata, orang yang dulu sangat mencintai istrinya. Arya termenung, dia bertanya-tanya dalam hati kenapa laki-laki ini bisa berada di sini. Akan tetapi mungkin Revon sudah tak mengingat Aluna lagi.
Revon menyeringai, dia bangkit dari kursinya. Mengambil beberapa dokumen di atas meja kerjanya dan melangkah ke arah Arya. Setelah dokumen itu sampai di tangan Arya, Revon sedikit menunduk mensejajarkan bibirnya dengan telinga Arya. "Setelah gadis yang kucintai, kau mau mengambil keuntungan dari perusahaanku juga?" Suara rendah dan berat itu terkesan sangat dingin dengan penekanan di setiap katanya. Tubuh Arya langsung merinding dan kaku di tempat. Jantungnya berdetak lebih kencang, keringat dingin mulai membasahi pelipisnya. Revon menjauh, dia bersidekap dada menatap pria dengan kemeja garis-garis di depannya. Ada rasa puas tersendiri melihat kerutan samar dan mata yang melotot terkejut itu. "Pak, tapi saya tidak melakukannya. Saya dijebak!" ujar Arya masih menunduk. Memainkan kalimat seperti biasa, berusaha membuat Revon percaya padanya. "Aku hanya percaya bukti. Orangku akan mengurus pemecatan dan aduan kepolisian!" Revon berbalik, kembali ke kursinya, menyeringai di balik komputer. Sementara Arya berdiri resah. Dia tidak mau masuk penjara, apalagi dia hanya mendapatkan sedikit uang dari korupsi yang dia lakukan untuk orang lain. Arya tidak tahu Revon mendapatkan bukti ini dari mana, setahu Arya dia selalu bekerja sangat rapi. "Aku bisa tidak melakukannya jika kau memberikan istrimu padaku." Arya mendongak. Matanya sontak melotot. Kalimat Revon menampik pemikiran Arya tentang perasaan Revon pada Aluna. Nyatanya pria itu belum melepaskan istrinya dan mungkin memang sengaja melakukan semua ini untuk mengambil Aluna. Arya berpikir keras, dia menatap lurus komputer yang menghalangi wajah dengan rahang tegas dan mata tajam di sana. Orang yang paling Arya benci dulu karena selalu mendapatkan perhatian dari semua orang. Pria beruntung dengan latar belakang yang sangat baik, wajah tampan dan tubuh proporsional. Bahkan Arya masih ingat, siswa dan guru sekolahnya mengejeknya dan tidak memperbolehkannya ikut lomba karena hanya Revon yang pantas. Seketika, kedua tangannya mengepal di sisi kiri dan kanan tubuh. Matanya berapi-api sesaat, sebelum meredup dan berusaha menutupi dengan wajah memelas saat Revon menggeser kursinya dan membuatnya bisa melihat Arya dengan jelas. Revon bukan pria bodoh yang tidak bisa merasakan api cemburu dalam diri Arya. Dia melemparkan secarik kertas yang digulung ke pulpen ke arah Arya. "Keluar! Kau membuatku ruanganku penuh bau busuk jika terus di sini!" tukas Revon. Dia kembali menggeser kursinya di balik komputer. Tangannya mengambil dokumen di atas meja dan membolak-balikkannya. Tak jauh di depan sana, Arya mengumpat dalam hati sebelum mengambil pulpen di lantai. Dia kemudian berbalik dan keluar dari ruangan itu. Revon langsung menelpon sekretarisnya untuk mengganti bunga dan pengharum ruangan di sini. Dia tidak mau ada aroma dari Arya yang tertinggal. Bahkan kakinya sengaja menginjak dokumen bukti atas penggelapan dana yang Arya jatuhkan tadi. Dia kemudian keluar dari ruangannya. Sesampainya di rumah Arya langsung menarik lengan Aluna dengan kasar, menyeretnya ke kamar. Tenaganya yang lebih besar itu membuat Aluna tak bisa memberontak. Derai air mata dan suara sesenggukan itu sudah cukup membuat dunia tahu apa yang Aluna rasakan, namun Arya semakin membabi buta seakan tengah kerasukan. "Mas-" Suaranya lirih dan bergetar. Tidak mau mendengar rintihan Aluna, Arya menampar pipi Aluna dengan keras sampai membuat sudut bibirnya berdarah. Tangan besar itu melempar tubuh Aluna ke ranjang, melepaskan ikat pinggangnya dan mengikat kedua tangan Aluna di atas kepala. Arya meraup bibir Aluna dengan kasar, menggigit dan membuat bekas lebam yang mencolok di jalan leher sampai bahu. Tangan kanannya bergerak bebas merobek gaun wanita itu. Air mata Aluna semakin deras, isakan dan pemberontak yang sia-sia, namun Aluna terus melakukannya. Hasrat bercampur emosi dalam diri Arya membuatnya kalap, dia bahkan tidak mau menanggapi isak tangis Aluna yang semakin sesak. Saat tubuh Aluna sudah tidak terbungkus sehelai benang pun, Arya tiba-tiba bangkit. Dia menatap seluruh tubuh Aluna yang penuh bercak kepemilikannya. Sementara Aluna sudah tidak berdaya, napasnya pendek, tenaganya habis. Kedua pergelangan tangan yang terikat di tepi ranjang itu mulai mengeluarkan darah karena gesekan yang kuat. Arya mendesah kesal. Melihat kondisi istrinya yang sangat buruk, dia sontak mengusap wajah dengan kasar. Keluar dari kamar tidur dan pergi ke belakang rumah untuk merokok. Bahu Arya bersandar pada tiang lampu jalan, matanya menatap lurus ke depan dengan otak yang blank. Dia mulai mengambil rokok di sakunya, menyesapnya satu demi satu sampai tidak tersisa lagi. "Sial!" ujarnya sambil membanting kotak wadah rokok yang sudah kosong. Dia berdecak sebal, mengacak rambutnya dengan frustasi. Sebuah telpon masuk membuat Arya segera mengangkatnya. Suara Revon yang meminta konfirmasi atas perjanjian tadi pagi membuat kepala Arya semakin berasap. Tidak lebih dari 10 detik, panggilan itu sudah diakhiri. Arya segera masuk ke rumah, kembali ke kamar tidurnya. Langkahnya sempat berhenti melihat seorang wanita tanpa pakaian di atas ranjang dengan posisi telentang mengenaskan. Kedua tangannya masih terikat oleh ikat pinggang miliknya. Arya melangkah perlahan, dia melepaskan ikat pinggang itu dari pergelangan tangan Aluna. Dia bisa merasakan tubuh wanita itu yang masih hangat, namun kepalanya terlanjur penuh dengan kalimat sial. "Ganti baju dan berdandan dengan benar! Kau hanya punya waktu sepuluh menit!" tukas Arya. Setelah mengambil ikat pinggangnya, dia keluar dari kamar. Sang ibu sudah menunggu di depan pintu kamar mereka dengan wajah khawatir. Dia mengelus lengan Arya. Dengan hangat dan penuh perhatian membawa Arya ke sofa ruang tamu, mengelus lengannya. "Sudah ibu katakan, cerai saja. Kamu terlalu baik mau bermurah hati dan bertahan lebih dari lima tahun dengannya, Nak." Arya menoleh. Hatinya tersentak. Dia menatap mata pemilik surganya itu lamat-lamat. Menelisik mencari celah untuk memberitahu sang ibu jika dia tak bisa melepaskan Aluna. Apalagi, wanita di depannya ini tidak tahu bagaimana dia mendapatkan istrinya. Senyum kecil terbit di wajah Arya, dia menggenggam tangan sang ibu membuatnya sontak menghela napas kasar. "Apa sih yang membuat kamu tidak bisa melepaskannya? Hanya karena anak kalian? Arya, Nak, kamu jangan selalu mau dibodohi wanita itu! Dia sudah berani melawan akhir-akhir ini!" tukas ibunya dengan raut kesal. Dia berdecak seraya membuang muka dari wajah Arya yang masih tersenyum tipis. Tak mau melihat putra semata wayangnya jatuh pada wanita ular yang penuh tipu daya. Ibu Arya bangkit setelah menarik tangannya dari genggaman putra tercinta. Dia bersidekap dada, wajahnya lesu dengan kerutan di dahi. "Arya, Ibu pernah melihat istrimu masuk ke mobil mewah dengan pakaian seksi di parkiran mall."Bayangan tentang Revon menghantuinya selama seminggu belakangan ini. Malam di mana Arya--suaminya sendiri memberikannya pada Revon membuat sekujur tubuh Aluna meremang. Kilas balik yang mengecewakan bagi seorang istri, namun bodohnya hati Aluna sama sekali tidak menyesal. "Sayang, ada sesuatu yang mengganggumu?" Dekapan hangat menyentak lamunan Aluna. Sepasang tangan kekar menyusup di sela lengannya, mendekap erat pinggangnya dari belakang. Aluna tersenyum manis, dia mengelus rambut suaminya dengan sayang. Arya mengistirahatkan dagunya di bahu Aluna, matanya terpejam menikmati sentuhan Aluna yang selama ini telah dia abaikan. Setelah hari itu, Arya semakin menyayanginya. Dia suka menempel pada Aluna, bermanja-manja. Bahkan, Aluna tidak lagi mendengar kalimat sarkastik yang selalu menyalahkan dirinya atas semua kesalahan di rumah. "Kamu jadi mengantarkan makan siang padaku nanti?" Aluna mengangguk. "Ada yang ingin kamu makan secara spesifik, Mas?" tanya Aluna dengan lembut.
Aluna hanya diam dan menunduk bahkan sesampainya mereka berada di sebuah hotel bintang lima. Kesadaran Aluna baru kembali saat resepsionis menyapa mereka, kepalanya sontak terangkat. Beberapa detik dia terkejut, lalu terpukau dengan dekorasi mewah hotel. Hatinya lebih kaget saat menyadari suaminya yang tiba-tiba bermurah hati dan sangat romantis mengajaknya makan malam di hotel bintang lima seperti ini. Aluna menoleh dan menatap lekat Arya yang tengah berkomunikasi dengan resepsionis. Senyum manis terbit di wajannya, tangannya kemudian perlahan mendekati lengan Arya dan memeluknya. Hati Aluna menghangat, walaupun Arya hanya diam saja dengan perlakuan yang dia berikan. Aluna merasa sangat bahagia, jantungnya berdetak cepat dan otaknya mulai menciptakan banyak hal romantis yang akan terjadi pada mereka. Dia berpikir Arya ingin memperbaiki keretakan rumah tangganya. Bahkan lebam yang belum hilang sudah tak lagi terasa di raganya yang lemah. Dahi Aluna mengerut bingung saat Arya membawa
Arya terkejut mendapati seorang yang duduk di balik kursi CEO itu adalah Revon Adinata, orang yang dulu sangat mencintai istrinya. Arya termenung, dia bertanya-tanya dalam hati kenapa laki-laki ini bisa berada di sini. Akan tetapi mungkin Revon sudah tak mengingat Aluna lagi. Revon menyeringai, dia bangkit dari kursinya. Mengambil beberapa dokumen di atas meja kerjanya dan melangkah ke arah Arya. Setelah dokumen itu sampai di tangan Arya, Revon sedikit menunduk mensejajarkan bibirnya dengan telinga Arya. "Setelah gadis yang kucintai, kau mau mengambil keuntungan dari perusahaanku juga?" Suara rendah dan berat itu terkesan sangat dingin dengan penekanan di setiap katanya. Tubuh Arya langsung merinding dan kaku di tempat. Jantungnya berdetak lebih kencang, keringat dingin mulai membasahi pelipisnya. Revon menjauh, dia bersidekap dada menatap pria dengan kemeja garis-garis di depannya. Ada rasa puas tersendiri melihat kerutan samar dan mata yang melotot terkejut itu. "Pak, tapi saya
Aluna nampak sangat lelah dengan wajah tanpa make-up. Wanita yang telah melahirkan seorang gadis cantik itu, masih tertidur pulas dengan selimut tebal yang menutupi tubuh mungilnya. Kondisi kamar yang masih gelap dengan tirai yang sengaja tidak dibuka, Aluna merasa tubuhnya lebih santai dari biasanya. Satu minggu tidak bertemu sang suami nyatanya sangat cepat berlalu. Anehnya, tidak ada rasa rindu dalam hati Aluna. Dia malah senang, beban di hatinya seakan tidak pernah ada. Satu minggu, rasanya Aluna terbuai dan berharap ini akan menjadi selamanya. Tidak perlu bangun sangat pagi, menyiapkan seluruh kebutuhan rumah tangga. Bersih-bersih rumah, pergi ke pasar dan memasak. Tidak ada yang meneriakinya dan memakinya di pagi hari. Tidak ada yang memarahinya dan menyuruh ini itu. Aluna merasa, kehidupan yang dia dambakan telah tercapai. Senyum kecil terbit di bibir tebalnya. Sepasang mata bulat itu masih tertutup, belum mau keluar dari alam mimpi. Hingga sebuah tangan besar menangkup wajah
Sebuah silau mobil membuat tubuh Aluna tersentak. Dia segera bangkit dari sofa dan tersenyum sangat manis, berlari ke arah pintu dan membuka pintu dengan riang. Mulutnya terbuka, pikirannya tentang segala hal buruk sirna begitu saja. Perasaannya yang kesal, sedih dan kecewa seakan hilang ditelan malam. Namun, pakaian rapi dengan tuxedo mahal, kemeja putih bersih dan dasi senada itu sama sekali bukan suaminya. Aluna mendongak, matanya memicing menyesuaikan cahaya berusaha mengenali wajah di depannya. Jantungnya tersentak seolah baru saja tersandung dan terjun dari gunung dan masuk jurang. Wajah lelah itu pucat seketika, bibirnya bergetar, tubuhnya kaku. Kedua tangannya yang ada di kusen pintu jatuh ke samping kanan dan kiri tubuhnya. "Revon?" Dahi Aluna berkerut, kedua alis tebal itu hampir bersambung. Dia mundur beberapa langkah, kemudian semakin cepat saat tangan besar pria di depannya mendorongnya ke dalam. Memaksanya duduk di sofa. "Merindukanku, huh? Kamu benar-benar membuatku
Sudah lima tahun dia menikah dengan Arya, bahagia dengan kehidupan sederhana dengan seorang gadis kecil yang cantik dan pintar. Namun, Arya tidak pernah tahu jika gadis kecil yang sangat dia sayangi bukan darah dagingnya, dan Aluna juga tidak pernah punya nyali untuk mengatakannya. Saat Aluna menghembuskan napas resah, Arya tiba-tiba datang memeluknya dari belakang. Menyembunyikan kepalanya di ceruk leher sang istri, mencari rasa nyaman setelah pulang bekerja. Aluna menarik kedua tangan Arya, membuatnya semakin erat memeluknya. Dia tersenyum kecil, perasaannya masih campur aduk. “Hari ini lembur lagi, Mas?” tanya Aluna dengan nada lembut. Tangan kanannya terulur hendak mengelus kepala Arya. “Ya,” jawab Arya singkat. Pria itu menjauh, membuka kemejanya dan menaruhnya di sembarang tempat. Melihat itu, Aluna menghela napas panjang. Dia tersenyum tipis dan menggelengkan kepalanya. “Mas, tidak pernah kamu melihat keranjang kotor di dekat pintu kamar mandi, hum?” ujarnya pelan dan le