Aluna hanya diam dan menunduk bahkan sesampainya mereka berada di sebuah hotel bintang lima. Kesadaran Aluna baru kembali saat resepsionis menyapa mereka, kepalanya sontak terangkat. Beberapa detik dia terkejut, lalu terpukau dengan dekorasi mewah hotel. Hatinya lebih kaget saat menyadari suaminya yang tiba-tiba bermurah hati dan sangat romantis mengajaknya makan malam di hotel bintang lima seperti ini.
Aluna menoleh dan menatap lekat Arya yang tengah berkomunikasi dengan resepsionis. Senyum manis terbit di wajannya, tangannya kemudian perlahan mendekati lengan Arya dan memeluknya. Hati Aluna menghangat, walaupun Arya hanya diam saja dengan perlakuan yang dia berikan. Aluna merasa sangat bahagia, jantungnya berdetak cepat dan otaknya mulai menciptakan banyak hal romantis yang akan terjadi pada mereka. Dia berpikir Arya ingin memperbaiki keretakan rumah tangganya. Bahkan lebam yang belum hilang sudah tak lagi terasa di raganya yang lemah. Dahi Aluna mengerut bingung saat Arya membawanya berbelok di lorong kamar hotel. Mulai bertanya-tanya tentang makan malam yang seharusnya sudah mereka laksanakan. Mulutnya sedikit terbuka, namun kembali mengatup melihat rahang Arya yang bergemeletup dengan sepasang mata yang berapi-api. Langkah Arta berhenti di depan kamar hotel, tangannya menggenggam erat, mengetuk pintu dengan emosi. Saat pintu terbuka, kedua tangan Aluna merosot. Tubuh kurus itu membeku di tempat, air matanya hampir lolos. Seorang pria tampan dengan rahang tegas, tinggi dan penuh wibawa berdiri di depan mereka. Masih memakai setelan tuxedo hitam lengkap dengan kemeja putih, dasi hitam dan celana bahan berwarna senada. Rambut hitam legam yang tertata rapi, seringai angkuh dan hidung mancung. Aura mahal. "Aku sudah membawanya, tepati janjimu!" tukas Arya dengan tatapan tajam. Ada sebuah geraman samar dari nadanya. Dan itu disadari oleh pria di depan mereka. Dia tertawa kecil dan menarik lengan Aluna agar mendekat ke arahnya. Bibir tipis itu mendekat ke daun telinga Aluna, sengaja menghembuskan napas berat dan dingin perlahan. Tidak bisa dipungkiri anginnya merasuk dan membuat tubuh Aluna meremang. Wanita itu bahkan tak berani menoleh. "Dia menukarmu untuk menyelamatkan dirinya sendiri," bisik pria itu dengan nada berat dan rendah yang khas. Seringai dengan mata tajam yang angkuh tidak luput dia berikan setelah kata terakhir. "Mas, apa maksudnya ini ...?" Aluna mendongak dan menatap Arya dengan tatapan memelas. Namun, Arya malah buang muka. "Menurutlah, kamu bukannya tidak kenal dengan dia! Katakan saja, kamu senang bukan?!" Nada Arya naik beberapa oktaf, urat di lehernya nampak jelas. "Mas, kamu ngomong apa sih? Aku--" Kalimat Aluna terhenti saat pinggangnya ditarik maju. Tubuh kecilnya dengan cepat pergi ke pelukan pria di depannya. Dia berusaha memberontak, melepaskan diri. Dia juga menatap Arya meminta bantuan, namun Arya hanya diam di tempat. "Revon! Kamu apa-apaan sih! Lepaskan!" tukas Aluna masih berusaha melepaskan diri dari tangan besar yang melingkari pinggangnya. "Mas, kamu tidak mau menolongku? Kenapa kamu tega, Mas? Aku ini istrimu! Kamu membiarkan istrimu dipeluk orang lain?" Aluna semakin cerewet, dia berusaha keras agar Arya menariknya dari pelukan Revon. "Jangan mengatakan seakan ini adalah kali pertama, Sayang!" bisik Revon tepat di telinga Aluna. Pemberontakannya langsung berhenti, dia menatap kosong ke depan. Suasana di depan pintu hotel hening sejenak, sampai Revon menariknya masuk ke dalam hotel dan menutup pintu. Aluna masih diam, bahkan saat tubuhnya merapat ke dinding, tangan Revon mulai menggerayanginya dengan hasrat membara. Aluna belum sadar, sampai akhirnya bibir Revon mendarat di leher Aluna memberi klaim. Aluna tersentak, dia meringis dan mendongak. Sepasang mata bulatnya bertemu dengan netra tajam yang sangat dekat. Jantungnya berdetak semakin kencang, terpacu, bersamaan dengan hawa panas yang menjalar akibat hasrat. "Dia tidak tahu perselingkuhan kita," ucap Revon singkat. Wajahnya kemudian mendekat ke ceruk leher Aluna, menghisap aroma yang membuatnya lupa dengan segalanya. Seperti narkoba yang candu, seperti kafein yang membuatnya tak bisa tidur. Aluna hanya diam, perlahan matanya terpejam menikmati sentuhan Revon yang semakin liar. Kedua tangan Aluna yang bebas reflek mengalungkan diri ke leher Revon. Bibirnya sedikit terbuka, tubuhnya meliuk mengikuti irama. Tubuh Revon semakin menghimpit Aluna, namun berhenti ketika matanya melihat lebam di bahu wanita itu. Dia seketika mundur membuat dahi Aluna mengernyit bingung. Revon menarik syal di leher Aluna, matanya membelalak kaget. "Dia yang melakukannya?!" Revon memekik, Aluna sontak menunduk. Merasa belum puas, Revon menarik cardigan Aluna, melepaskannya dan membuang ke lantai dengan asal. Bibir tipis itu berdecak dan mengumpat melihat lebam di bahu dan dada Aluna. "KATAKAN atau aku akan membunuhnya sekarang juga!" "Jangan!!" Aluna berteriak dengan panik. Dia mendongak dan menatap wajah Revon yang memerah dengan mata melotot. Air mata Aluna merembes, dia menangis dan memeluk pria di depannya dengan erat. Menangis di dada Revon, terisak dengan napas tersengal. Hal itu membuat kedua tangan Revon yang mengepal terurai. Matanya terpejam dan terpaksa menghembuskan napas kasar. Dia membalas pelukan Aluna, mengelus punggung yang bergetar itu dengan penuh kasih sayang. Hanya diam, namun api di matanya menghilang. Perlahan kepala Revon menunduk, mengecup puncak kepala Aluna dengan sayang. Orang yang tidak bisa miliki, cinta yang tidak ingin dia lepaskan. "Aku berjanji akan merenggutmu darinya. Apalagi setelah seluruh kegilaan yang dia perbuat padamu." Kalimat yang penuh penekanan itu membuat Aluna ingin memberontak dan menampar Revon. Dia tidak mau keluarganya hancur, akan tetapi untuk saat ini dia tidak bisa melakukannya. Kenyamanan yang Revon berikan tidak bisa dia dapatkan dari Arya--suaminya. Akan tetapi, Aluna tidak bisa meninggalkan Arya. Dia tidak sanggup menandatangani surat perceraian, bahkan mengurusnya. Di tempat lain Arya tengah duduk dengan perempuan seksi di sampingnya. Club besar di Jakarta, masuk dan minum alkohol tanpa biaya, siapa yang tidak ingin. Seorang pria dengan kemeja putih yang tidak dikancingkan berdiri tak jauh dari sofa. Dia bersidekap dada angkuh. "Kau terkejut dengan bukti perselingkuhan istrimu, ya? Kamu habis dua botol anggur mahal!" Pria itu tertawa kecil. Arya hanya diam, tubuhnya bersandar di sofa. Dua botol anggur merah dengan gelas dan kertas-kertas yang berserakan di atas meja di depannya membuat Arya ingin semakin mabuk dan melupakan semuanya. Foto-foto mesra Revon dan Aluna membuatnya ingin sekali menarik Aluna pulang dan memberinya hukuman cambuk dan menggantung pergelangan tangan Aluna di jendela. "Bukankah kalian berdua saudara kandung? Kenapa kau tidak menutupi aib adikmu dan malah memberikannya padaku?" tanya Arya tanpa menoleh pada pria yang masih berdiri tak jauh darinya itu. "Aku tidak menyukainya sejak kecil. Membuatnya berada di titik terendah adalah pencapaian yang sangat aku inginkan!" Dia mengambil gelas kosong di atas meja, duduk di depan Arya dan menegak alkohol yang baru diantar. Senyum puas terbit di wajahnya. "Aku tahu kamu bukan pria bodoh yang akan diam saja melihat istri tercintamu berselingkuh, Arya. Terima tawaranku, aku bantu kau membalas dendam pada istrimu atas luka yang dia perbuat, bagaimana?" Arya duduk tegap, dia mengulurkan tangan kanannya. Mereka berjabat tangan, perjanjian berhasil dibuat dengan gelas yang berdenting sebagai tanda persetujuan.Bayangan tentang Revon menghantuinya selama seminggu belakangan ini. Malam di mana Arya--suaminya sendiri memberikannya pada Revon membuat sekujur tubuh Aluna meremang. Kilas balik yang mengecewakan bagi seorang istri, namun bodohnya hati Aluna sama sekali tidak menyesal. "Sayang, ada sesuatu yang mengganggumu?" Dekapan hangat menyentak lamunan Aluna. Sepasang tangan kekar menyusup di sela lengannya, mendekap erat pinggangnya dari belakang. Aluna tersenyum manis, dia mengelus rambut suaminya dengan sayang. Arya mengistirahatkan dagunya di bahu Aluna, matanya terpejam menikmati sentuhan Aluna yang selama ini telah dia abaikan. Setelah hari itu, Arya semakin menyayanginya. Dia suka menempel pada Aluna, bermanja-manja. Bahkan, Aluna tidak lagi mendengar kalimat sarkastik yang selalu menyalahkan dirinya atas semua kesalahan di rumah. "Kamu jadi mengantarkan makan siang padaku nanti?" Aluna mengangguk. "Ada yang ingin kamu makan secara spesifik, Mas?" tanya Aluna dengan lembut.
Aluna hanya diam dan menunduk bahkan sesampainya mereka berada di sebuah hotel bintang lima. Kesadaran Aluna baru kembali saat resepsionis menyapa mereka, kepalanya sontak terangkat. Beberapa detik dia terkejut, lalu terpukau dengan dekorasi mewah hotel. Hatinya lebih kaget saat menyadari suaminya yang tiba-tiba bermurah hati dan sangat romantis mengajaknya makan malam di hotel bintang lima seperti ini. Aluna menoleh dan menatap lekat Arya yang tengah berkomunikasi dengan resepsionis. Senyum manis terbit di wajannya, tangannya kemudian perlahan mendekati lengan Arya dan memeluknya. Hati Aluna menghangat, walaupun Arya hanya diam saja dengan perlakuan yang dia berikan. Aluna merasa sangat bahagia, jantungnya berdetak cepat dan otaknya mulai menciptakan banyak hal romantis yang akan terjadi pada mereka. Dia berpikir Arya ingin memperbaiki keretakan rumah tangganya. Bahkan lebam yang belum hilang sudah tak lagi terasa di raganya yang lemah. Dahi Aluna mengerut bingung saat Arya membawa
Arya terkejut mendapati seorang yang duduk di balik kursi CEO itu adalah Revon Adinata, orang yang dulu sangat mencintai istrinya. Arya termenung, dia bertanya-tanya dalam hati kenapa laki-laki ini bisa berada di sini. Akan tetapi mungkin Revon sudah tak mengingat Aluna lagi. Revon menyeringai, dia bangkit dari kursinya. Mengambil beberapa dokumen di atas meja kerjanya dan melangkah ke arah Arya. Setelah dokumen itu sampai di tangan Arya, Revon sedikit menunduk mensejajarkan bibirnya dengan telinga Arya. "Setelah gadis yang kucintai, kau mau mengambil keuntungan dari perusahaanku juga?" Suara rendah dan berat itu terkesan sangat dingin dengan penekanan di setiap katanya. Tubuh Arya langsung merinding dan kaku di tempat. Jantungnya berdetak lebih kencang, keringat dingin mulai membasahi pelipisnya. Revon menjauh, dia bersidekap dada menatap pria dengan kemeja garis-garis di depannya. Ada rasa puas tersendiri melihat kerutan samar dan mata yang melotot terkejut itu. "Pak, tapi saya
Aluna nampak sangat lelah dengan wajah tanpa make-up. Wanita yang telah melahirkan seorang gadis cantik itu, masih tertidur pulas dengan selimut tebal yang menutupi tubuh mungilnya. Kondisi kamar yang masih gelap dengan tirai yang sengaja tidak dibuka, Aluna merasa tubuhnya lebih santai dari biasanya. Satu minggu tidak bertemu sang suami nyatanya sangat cepat berlalu. Anehnya, tidak ada rasa rindu dalam hati Aluna. Dia malah senang, beban di hatinya seakan tidak pernah ada. Satu minggu, rasanya Aluna terbuai dan berharap ini akan menjadi selamanya. Tidak perlu bangun sangat pagi, menyiapkan seluruh kebutuhan rumah tangga. Bersih-bersih rumah, pergi ke pasar dan memasak. Tidak ada yang meneriakinya dan memakinya di pagi hari. Tidak ada yang memarahinya dan menyuruh ini itu. Aluna merasa, kehidupan yang dia dambakan telah tercapai. Senyum kecil terbit di bibir tebalnya. Sepasang mata bulat itu masih tertutup, belum mau keluar dari alam mimpi. Hingga sebuah tangan besar menangkup wajah
Sebuah silau mobil membuat tubuh Aluna tersentak. Dia segera bangkit dari sofa dan tersenyum sangat manis, berlari ke arah pintu dan membuka pintu dengan riang. Mulutnya terbuka, pikirannya tentang segala hal buruk sirna begitu saja. Perasaannya yang kesal, sedih dan kecewa seakan hilang ditelan malam. Namun, pakaian rapi dengan tuxedo mahal, kemeja putih bersih dan dasi senada itu sama sekali bukan suaminya. Aluna mendongak, matanya memicing menyesuaikan cahaya berusaha mengenali wajah di depannya. Jantungnya tersentak seolah baru saja tersandung dan terjun dari gunung dan masuk jurang. Wajah lelah itu pucat seketika, bibirnya bergetar, tubuhnya kaku. Kedua tangannya yang ada di kusen pintu jatuh ke samping kanan dan kiri tubuhnya. "Revon?" Dahi Aluna berkerut, kedua alis tebal itu hampir bersambung. Dia mundur beberapa langkah, kemudian semakin cepat saat tangan besar pria di depannya mendorongnya ke dalam. Memaksanya duduk di sofa. "Merindukanku, huh? Kamu benar-benar membuatku
Sudah lima tahun dia menikah dengan Arya, bahagia dengan kehidupan sederhana dengan seorang gadis kecil yang cantik dan pintar. Namun, Arya tidak pernah tahu jika gadis kecil yang sangat dia sayangi bukan darah dagingnya, dan Aluna juga tidak pernah punya nyali untuk mengatakannya. Saat Aluna menghembuskan napas resah, Arya tiba-tiba datang memeluknya dari belakang. Menyembunyikan kepalanya di ceruk leher sang istri, mencari rasa nyaman setelah pulang bekerja. Aluna menarik kedua tangan Arya, membuatnya semakin erat memeluknya. Dia tersenyum kecil, perasaannya masih campur aduk. “Hari ini lembur lagi, Mas?” tanya Aluna dengan nada lembut. Tangan kanannya terulur hendak mengelus kepala Arya. “Ya,” jawab Arya singkat. Pria itu menjauh, membuka kemejanya dan menaruhnya di sembarang tempat. Melihat itu, Aluna menghela napas panjang. Dia tersenyum tipis dan menggelengkan kepalanya. “Mas, tidak pernah kamu melihat keranjang kotor di dekat pintu kamar mandi, hum?” ujarnya pelan dan le