Sebuah silau mobil membuat tubuh Aluna tersentak. Dia segera bangkit dari sofa dan tersenyum sangat manis, berlari ke arah pintu dan membuka pintu dengan riang. Mulutnya terbuka, pikirannya tentang segala hal buruk sirna begitu saja. Perasaannya yang kesal, sedih dan kecewa seakan hilang ditelan malam. Namun, pakaian rapi dengan tuxedo mahal, kemeja putih bersih dan dasi senada itu sama sekali bukan suaminya.
Aluna mendongak, matanya memicing menyesuaikan cahaya berusaha mengenali wajah di depannya. Jantungnya tersentak seolah baru saja tersandung dan terjun dari gunung dan masuk jurang. Wajah lelah itu pucat seketika, bibirnya bergetar, tubuhnya kaku. Kedua tangannya yang ada di kusen pintu jatuh ke samping kanan dan kiri tubuhnya. "Revon?" Dahi Aluna berkerut, kedua alis tebal itu hampir bersambung. Dia mundur beberapa langkah, kemudian semakin cepat saat tangan besar pria di depannya mendorongnya ke dalam. Memaksanya duduk di sofa. "Merindukanku, huh? Kamu benar-benar membuatku gila, Aluna. Aku kemari, aku yang berkunjung, padahal kau yang punya hutang padaku." Suara bas rendah dan berat itu mengalun tepat di samping telinga Aluna. Tubuhnya seketika meremang, saat menoleh ke depan matanya terjebak pada iris tajam yang sangat dekat. Jantungnya berpacu, keringat dingin mulai keluar dari pori-pori wajahnya. Ruangan yang hanya diisi oleh dua orang ini terasa sangat sesak. Revon--pria di depan Aluna memajukan wajahnya lebih dekat sampai hidung mereka bersentuhan. Kedua tangan dengan lengan kekar terbalut tuxedo hitam itu menutup akses di sekitar Aluna, menekan tubuh rampingnya dengan sofa. Revon sengaja menempelkan bibirnya pada ujung hidung Aluna, beberapa detik sebelum akhirnya turun perlahan dan berhenti kembali di bibir tebal wanita itu. Dia menyeringai saat merasakan hawa panas yang terpancar dari tubuh Aluna. Perasaan liarnya semakin gencar, menutup rasa kasihan dan otak positif yang tadi dia miliki sebelum kemari. Tubuh Aluna yang seakan pasrah dengan perlakuannya membuat seringai Revon kembali terbit. "Kamu pikir ... aku tidak akan tahu apa yang kamu sembunyikan selama ini, Sayang?" ujar Revon berbisik. Aluna hanya diam, otaknya seolah buntu. Hanya dadanya naik turun dengan jantung yang terus berpacu. "Kamu tidak ingin bertanya mengapa aku kembali ke negara ini?" Revon memundurkan tubuhnya, menatap Aluna yang masih saja diam seperti patung. Dia tertawa kecil, lalu bersidekap dada. "Aku ingin mengambil hakku, Sayang. Bukan hanya dirimu, kali ini separuh diriku juga sedang tidak tahu jalan." Aluna sontak menoleh. Matanya melotot mendengar kalimat terakhir yang Revon katakan. Dia belum membuka mulutnya, namun wajah pucat dengan raut ketakutan itu sudah cukup membuat Revon mengerti apa yang sedang Aluna pikirkan. "Bukankah ... anakku sudah besar? Kamu bahkan tidak memberitahuku saat mengandung. Dan sekarang ... gadis cantik itu sudah mengenyam pendidikan. Dia sangat periang. Tawa dan senyumnya persis sepertimu, sementara aku punya mata tajam dan hidung mancung itu." Aluna bangkit, dia mendorong kasar dada Revon. Wajahnya memerah, giginya bergemeletup dengan kedua tangan yang mengepal erat. "Jangan sentuh anakku!" pekik Aluna garang. Kedua mata yang tadinya sendu kini memancar kobaran api yang baru disiram minyak. Revon tertawa kecil, lalu tiba-tiba diam. Tangannya mencengkram leher Aluna dan mendorongnya kembali ke sofa dengan keras. Tanpa menghiraukan ringisan dari bibir Aluna, Revon menekan tubuhnya menjepit dada Kiara dan mencuri seluruh saluran oksigennya. Napas hangatnya menyerbu hawa dingin malam, berhembus di depan wajah Aluna dengan jarak yang sangat tipis. Sepasang mata setajam elang itu menatap lurus, ke arah dua bola mata berbinar yang meminta pengampunan di depannya. Kedua tangan Aluna mencengkram pergelangan tangan Revon, dia berusaha melepaskan tangan kekar itu dari lehernya karena dadanya semakin sesak. Sekuat tenaga Aluna menarik dan memukul punggung tangan Revon, namun pria itu tidak bergeming. "Aluna ... jangan harap aku melepaskanmu kali ini. Aku akan mengambil semuanya, termasuk darah dagingku yang kamu sembunyikan itu!" Cengkraman Revon semakin erat, Aluna memekik, terbatuk dan kewelahan. Pandangannya memburam, sampai tubuhnya lemas. Kedua tangan kecil Aluna terjun bebas dari lengan kekar Revon. Saat pandangan Aluna mulai kabur, Revon melepaskan cengkraman itu dan menjauh. "Jika kamu tidak menemuiku lagi, aku akan sering mengunjungimu, Aluna. Kamu tidak lupa bukan bagaimana tempramenku?" Revon menyeringai. Dia memasukkan kedua tangannya ke saku celana. Dagunya terangkat, menatap ke arah Aluna dengan pandangan angkuh. Aluna masih berusaha meraup oksigen di sekitarnya agar tidak pingsan. Dia menstabilkan napas dan detak jantungnya kemudian duduk lebih tegap. Rambutnya berantakan, keringatnya membuat tubuh kecil itu seakan baru melakukan aktivitas fisik yang berat. Aluna mendongak, mulutnya mulai terbuka bersamaan dengan suara klakson yang riuh dari kejauhan. Seketika tubuhnya bangkit, menoleh ke arah jendela dengan mata melotot. Sementara Revon menyeringai angkuh di tempatnya. "Kupikir tidak akan secepat ini bertemu dengan anakku yang lucu dan orang ketiga dalam hubungan kita," ujar Revon seraya menyeringai. Jantung Aluna berdegup kencang, tubuhnya kaku, lidahnya kelu. Dia tidak bisa membayangkan hal yang akan terjadi selanjutnya akan membuatnya lebih sesak dari beberapa menit yang lalu. "Tenanglah, ini belum saatnya aku bertemu dengan pria itu." Revon tertawa kecil, dia melangkah keluar dari rumah Aluna dan masuk ke mobilnya. Aluna cukup lega karena saat Arya sampai dia tidak curiga sama sekali dengan mobil yang baru keluar dari pekarangan rumah mereka. Namun, sifat Arya sangat acuh. Pria itu masuk ke dalam rumah, mandi dan langsung tidur tanpa mengobrol dengan Aluna atau bahkan menyapa. Aluna bergegas ke kamar tidur mereka, tersenyum manis pada Arya sambil memainkan tali piyama satinnya. Langkahnya mendekati ranjang. Jari jemari lentik Aluna mengelus bahu Arya dengan lembut. Namun, Arya langsung menepisnya kasar. Pria itu duduk menghadap Aluna dan mendorong tubuh kecilnya hingga hampir jatuh dari ranjang. Aluna terkejut, matanya melotot dengan detak jantung tak karuan. "Mas-" "Aku lelah! Kamu nggak bisa ya sekali saja nggak ganggu aku?! Ibu bener, kamu tuh udah nggak bisa apa-apa. Ngurus rumah nggak bener, ngurus suami nggak bisa! Bisanya apa?!" Suara Arya semakin tinggi, dada Aluna semakin sesak. Perasaan kecewa dan takut seketika menyelimuti Aluna. Kedua tangan Arya mencengkram bahu Aluna dengan erat, dia mendorong tubuh itu ke ranjang. Arya bahkan tidak peduli dengan ringisan Aluna. Arya duduk di atas perut Aluna, cengkraman kedua tangannya semakin erat. Wajah Arya yang merah padam dengan tatapan tajam membuat Aluna memejamkan matanya. Air mata wanita itu merembes. Dia berharap pada Tuhan untuk diselamatkan kali ini. Saat tangan Arya meraih piyama Aluna dan menariknya turun melewati bahu, ponsel Arya tiba-tiba berdering. Arya tidak menoleh, namun sudut matanya dapat membaca siapa penelpon dari sini karena ponselnya di atas nakas dan tak jauh dari ranjang. Aluna tidak tahu siapa yang tengah menelpon suaminya. Namun yang jelas, penelpon tersebut membuat Arya langsung turun dari tubuh Aluna, mengambil ponsel dan keluar dari kamar tidur. Aluna menghembuskan napas kasar, dia berusaha menstabilkan tubuhnya yang gemetar ketakutan dengan perlakuan kasar Arya barusan. Dalam hatinya, dia bertanya-tanya, siapa gerangan yang ada di seberang sambungnya telpon dengan Arya sampai Arya harus keluar dari kamar. Tak sampai lima menit, Aluna mendengar bentakan dari seseorang di luar sana. Aluna bangkit, duduk sebentar dan pergi ke jendela yang ada di kamarnya yang mengarah ke jalanan langsung. Dia menyibakkan gorden, melihat Arya yang ternyata sedang berdiri dan bersandar di sebuah tiang listrik tak jauh dari rumahnya. Dahi Aluna mengernyit, dia semakin penasaran dengan sang penelpon. Namun dari jarak ini, jangankan mendengar suara telepon Arya dan orang tersebut, bahkan melihat gestur Arya saja mata Aluna masih buram. Dia mendesah sebal. Pikirannya tiba-tiba merancang bualan gila yang mungkin Arya lakukan di luar sana. "Mas, sebenarnya hal besar apa yang sedang kamu sembunyikan dariku?"Bayangan tentang Revon menghantuinya selama seminggu belakangan ini. Malam di mana Arya--suaminya sendiri memberikannya pada Revon membuat sekujur tubuh Aluna meremang. Kilas balik yang mengecewakan bagi seorang istri, namun bodohnya hati Aluna sama sekali tidak menyesal. "Sayang, ada sesuatu yang mengganggumu?" Dekapan hangat menyentak lamunan Aluna. Sepasang tangan kekar menyusup di sela lengannya, mendekap erat pinggangnya dari belakang. Aluna tersenyum manis, dia mengelus rambut suaminya dengan sayang. Arya mengistirahatkan dagunya di bahu Aluna, matanya terpejam menikmati sentuhan Aluna yang selama ini telah dia abaikan. Setelah hari itu, Arya semakin menyayanginya. Dia suka menempel pada Aluna, bermanja-manja. Bahkan, Aluna tidak lagi mendengar kalimat sarkastik yang selalu menyalahkan dirinya atas semua kesalahan di rumah. "Kamu jadi mengantarkan makan siang padaku nanti?" Aluna mengangguk. "Ada yang ingin kamu makan secara spesifik, Mas?" tanya Aluna dengan lembut.
Aluna hanya diam dan menunduk bahkan sesampainya mereka berada di sebuah hotel bintang lima. Kesadaran Aluna baru kembali saat resepsionis menyapa mereka, kepalanya sontak terangkat. Beberapa detik dia terkejut, lalu terpukau dengan dekorasi mewah hotel. Hatinya lebih kaget saat menyadari suaminya yang tiba-tiba bermurah hati dan sangat romantis mengajaknya makan malam di hotel bintang lima seperti ini. Aluna menoleh dan menatap lekat Arya yang tengah berkomunikasi dengan resepsionis. Senyum manis terbit di wajannya, tangannya kemudian perlahan mendekati lengan Arya dan memeluknya. Hati Aluna menghangat, walaupun Arya hanya diam saja dengan perlakuan yang dia berikan. Aluna merasa sangat bahagia, jantungnya berdetak cepat dan otaknya mulai menciptakan banyak hal romantis yang akan terjadi pada mereka. Dia berpikir Arya ingin memperbaiki keretakan rumah tangganya. Bahkan lebam yang belum hilang sudah tak lagi terasa di raganya yang lemah. Dahi Aluna mengerut bingung saat Arya membawa
Arya terkejut mendapati seorang yang duduk di balik kursi CEO itu adalah Revon Adinata, orang yang dulu sangat mencintai istrinya. Arya termenung, dia bertanya-tanya dalam hati kenapa laki-laki ini bisa berada di sini. Akan tetapi mungkin Revon sudah tak mengingat Aluna lagi. Revon menyeringai, dia bangkit dari kursinya. Mengambil beberapa dokumen di atas meja kerjanya dan melangkah ke arah Arya. Setelah dokumen itu sampai di tangan Arya, Revon sedikit menunduk mensejajarkan bibirnya dengan telinga Arya. "Setelah gadis yang kucintai, kau mau mengambil keuntungan dari perusahaanku juga?" Suara rendah dan berat itu terkesan sangat dingin dengan penekanan di setiap katanya. Tubuh Arya langsung merinding dan kaku di tempat. Jantungnya berdetak lebih kencang, keringat dingin mulai membasahi pelipisnya. Revon menjauh, dia bersidekap dada menatap pria dengan kemeja garis-garis di depannya. Ada rasa puas tersendiri melihat kerutan samar dan mata yang melotot terkejut itu. "Pak, tapi saya
Aluna nampak sangat lelah dengan wajah tanpa make-up. Wanita yang telah melahirkan seorang gadis cantik itu, masih tertidur pulas dengan selimut tebal yang menutupi tubuh mungilnya. Kondisi kamar yang masih gelap dengan tirai yang sengaja tidak dibuka, Aluna merasa tubuhnya lebih santai dari biasanya. Satu minggu tidak bertemu sang suami nyatanya sangat cepat berlalu. Anehnya, tidak ada rasa rindu dalam hati Aluna. Dia malah senang, beban di hatinya seakan tidak pernah ada. Satu minggu, rasanya Aluna terbuai dan berharap ini akan menjadi selamanya. Tidak perlu bangun sangat pagi, menyiapkan seluruh kebutuhan rumah tangga. Bersih-bersih rumah, pergi ke pasar dan memasak. Tidak ada yang meneriakinya dan memakinya di pagi hari. Tidak ada yang memarahinya dan menyuruh ini itu. Aluna merasa, kehidupan yang dia dambakan telah tercapai. Senyum kecil terbit di bibir tebalnya. Sepasang mata bulat itu masih tertutup, belum mau keluar dari alam mimpi. Hingga sebuah tangan besar menangkup wajah
Sebuah silau mobil membuat tubuh Aluna tersentak. Dia segera bangkit dari sofa dan tersenyum sangat manis, berlari ke arah pintu dan membuka pintu dengan riang. Mulutnya terbuka, pikirannya tentang segala hal buruk sirna begitu saja. Perasaannya yang kesal, sedih dan kecewa seakan hilang ditelan malam. Namun, pakaian rapi dengan tuxedo mahal, kemeja putih bersih dan dasi senada itu sama sekali bukan suaminya. Aluna mendongak, matanya memicing menyesuaikan cahaya berusaha mengenali wajah di depannya. Jantungnya tersentak seolah baru saja tersandung dan terjun dari gunung dan masuk jurang. Wajah lelah itu pucat seketika, bibirnya bergetar, tubuhnya kaku. Kedua tangannya yang ada di kusen pintu jatuh ke samping kanan dan kiri tubuhnya. "Revon?" Dahi Aluna berkerut, kedua alis tebal itu hampir bersambung. Dia mundur beberapa langkah, kemudian semakin cepat saat tangan besar pria di depannya mendorongnya ke dalam. Memaksanya duduk di sofa. "Merindukanku, huh? Kamu benar-benar membuatku
Sudah lima tahun dia menikah dengan Arya, bahagia dengan kehidupan sederhana dengan seorang gadis kecil yang cantik dan pintar. Namun, Arya tidak pernah tahu jika gadis kecil yang sangat dia sayangi bukan darah dagingnya, dan Aluna juga tidak pernah punya nyali untuk mengatakannya. Saat Aluna menghembuskan napas resah, Arya tiba-tiba datang memeluknya dari belakang. Menyembunyikan kepalanya di ceruk leher sang istri, mencari rasa nyaman setelah pulang bekerja. Aluna menarik kedua tangan Arya, membuatnya semakin erat memeluknya. Dia tersenyum kecil, perasaannya masih campur aduk. “Hari ini lembur lagi, Mas?” tanya Aluna dengan nada lembut. Tangan kanannya terulur hendak mengelus kepala Arya. “Ya,” jawab Arya singkat. Pria itu menjauh, membuka kemejanya dan menaruhnya di sembarang tempat. Melihat itu, Aluna menghela napas panjang. Dia tersenyum tipis dan menggelengkan kepalanya. “Mas, tidak pernah kamu melihat keranjang kotor di dekat pintu kamar mandi, hum?” ujarnya pelan dan le