Share

2. Budak dari mana

last update Last Updated: 2023-05-08 15:42:05

Sesampinya di rumah, Srini mengambil beberapa baju lamanya di lemari. Baju-baju yang sudah lama karena bekas Srini waktu masih kecil. Dia mencari baju kebaya dan bawahan yang terbuat dari kain jarik yang sekiranya muat untuk di pakai Kembang. 

Setelah menemukan, dia berbalik dan menghampiri Kembang yang sedang duduk di sisi ranjang tidurnya.

"Mandilah, setelah itu kita makan," kata Srini.

"Ba-baik, B-bu ...."

Srini tersenyum, saat Kembang memanggilnya 'Ibu'. Hatinya tersentuh, dan seperti inilah mungkin rasanya bila memiliki anak.

Srini menunggu Kembang selesai mandi, sambil duduk di sisi ranjang. Melihat ke arah tumpukan baju yang tadi ia ambil dari lemari tergeletak di kasur, tak jauh darinya. Baju-baju itu sedikit berantakan, mungkin karena tadi Srini mengambilnya dengan semangat lalu sempat menilap acak jadilah seperti itu. 

Dengan kemauan hatinya, ia meraih tumpukan pakaian itu dan melipatnya. Agar saat Kembang mengambilnya sudah rapi.

****

"Ini, ayo makanlah ... aku tau kau sudah tidak makan dan minum dari beberapa hari. Mungkin dua hari kalau aku tidak salah menebak."

Kembang diam, walau Srini sudah sebaik itu tetapi dia masih malu. Apa yang dikatakan Srini pun tidak salah, memang benar Kembang belum makan dari beberapa hari. 

"Ayo ... apa ingin aku suapi?" 

Mendengar hal tersebut, segera Kembang menerima piring yang disuguhkan oleh Srini karena tak mau bertambah malu jika Srini nekat ingin menyuapi.

Melihat itu, Srini tersenyum.

Sembari melihat Kembang makan, ada sebuah pikiran cemerlang menurutnya yang dia pikir akan terbebas dari paksaan jodoh oleh ayahnya. 

Dia tersenyum semakin lebar, menganggap ide dalam otaknya benar-benar akan berhasil. Karena Srini tersenyum sembari melihat Kembang makan, yang dilihat merasa malu dan nekat bertanya. 

"A-Ada apa, Bu? Kenapa tersenyum seperti itu?"

Srini tersadar. "Ah, maaf. aku hanya memikirkan sesuatu yang membuatku senang," jawabnya.

Kembang mengangguk, tak mengerti dan tak tahu apa yang membuat ibu angkatnya senang sampai tersenyum selebar itu.

Selesai makan.

"Ayo kita keluar, kita harus menemui kedua orang tuaku," kata Srini, ia menggandeng tangan Kembang dan keluar bersama. 

Setelah mencari ke beberbagai ruangan, akhirnya Srini menemukan ayah dan ibunya sedang duduk berbincang di sisi kolam ikan, sambil meminum teh. 

Melihat Srini datang sambil membawa anak kecil, mata Bahar bertanya-tanya. 

"Ayah, aku sudah punya anak sekarang," kata Srini, sontak hal tersebut membuat Bahar dan Satem terkejut bukan main. 

Bahar berdiri, dan Satem mengikutinya. 

"Apa maksudmu?" Bahar bertanya.

"Aku tidak suka Ayah selalu menentukan siapa jodohku, dan selalu menganggapku tidak mampu menemukan sendiri pria yang baik. Mulai sekarang, dia anak angkatku, jadi ... berhentilah menjodohkan aku sesuka Ayah."

Duk! Prank!

Semua orang terkejut, termasuk Kembang. Dia menunduk setelah tersentak karena respon Bahar yang menendang teko juga gelas sampai semuanya pecah.

"Srini! Apa-apaan kau ini! Yang Ayah maksud adalah ingin memiliki cucu dari rahimmu! Cucu yang kau lahirkan!"

"Aku belum menemukan calon suami yang baik, suami yang cocok untukku Ayah! bagaimana bisa aku hamil dan memiliki anak dari rahimku?!" Srini ikut kesal, dan kecewa lantaran pikirannya tentang Kembang yang akan menjadi penyelamatnya ternyata salah. 

"Setiap laki-laki yang Ayah jodohkan, yang Ayah datangkan sudah memiliki istri! Lantas, aku akan dijadikan istri yang keberapa oleh mereka?

Ayah begitu tega, membiarkan putri semata wayangmu ini menikah dengan lakil-laki beristri? dijadikan madu yang ke nomor sekian?!

Apa itu yang Ayah pikir terbaik untukku? Apa itu yang Ayah anggap semuanya demi aku?!"

"SRINI!"

"Sudah! sudah ... tenangkan dirimu dulu, Pak!" Satem mengusap-usap bahu suaminya, ia menatap Srini lalu berkata. "Srini, jaga sopan santunmu pada Bapakmu. Dia orang tuamu, rendahkan nada suaramu!"

"Ibu ... apa Ibu mendukung keputusan Ayah?" Srini bertanya, matanya mulai memanas karena berpikir tak seorangpun mengerti perasaannya.

Ibunya hanya bisa terdiam, dengan sorot mata tajam. "Srini, berhentilah ...–"

"KALIANLAH YANG HARUSNYA BERHENTI!" Srini berteriak lantang, sampai suaranya melengking lantaran semua sudah ia kerahkan untuk berteriak. Dia mengigit bibir bawahnya, matanya mulai memerah dan basah. 

Satu persatu bulir bening yang hangat meluncur mengusap pipinya, kedua tangan Srini mengepal.

"Berhentilah, berhentilah Ayah, Ibu ... tolong jangan campuri urusan jodohku lagi. Biarkan aku memilih pendamping sendiri, tolong ... kumohon!" Bruk. Dia menjatuhkan diri, bersimpuh di depan kedua kaki Bahar dan Satem. Tangan kananya meremas kuat kain kebaya di bagian dada, punggungnya bergunjang. Suara tangisan sesenggukan terdengar.

Kembang yang harusnya tidak tahu apa-apa, kini perlahan mengerti. Kenapa dirinya dibeli oleh Srini, kenapa tadi perempuan itu tersenyum dan inilah yang dia lihat karena rasa harap yang berakhir tak sesuai seharusnya. 

Masih dalam posisi menunduk, Kembang ikut menangis. Dia merasa dirinya memang tak berguna, padahal sejauh ini. Kembang tidak bersalah apa-apa. 

Srini yang menuntunnya masuk dalam hidupnya, dalam masalahnya. 

"Katakan padaku ... dari mana kau dapatnya anak ini?"

Tangisannya perlahan reda, Srini yang masih bersimpuh mengusap air mata yang tersisa lalu menengadah melihat Sang Ayah. 

Secara perlahan, dia mulai berdiri lagi di samping Kembang.

"Apa kau membelinya?" Bahar bertanya dengan raut dan nada menyelidik. 

"Apa kau benar-benar membeli seorang Budak untuk kau jadikan anak, dan untuk kujadikan cucu?"

Perempuan itu menoleh ke arah Kembang, gadis kecil itu masih sentiasa menunduk.

"Memang kenapa? Apa itu menjadi masalah ...? Usianya masih kecil, dia tak ada keluarga dan tinggal sendiri ... apa aku salah membelinya untuk kujadikan anak?"

PLAK!

Semua pasang mata membola. Termasuk Kembang yang akhirnya mengangkat wajah, melihat Bahar telah menampar Srini. 

Satem menutupi mulutnya tak menyangka, suaminya akan melayangkan tangan pada putrinya. 

"Pak! apa yang kau lakukan!" teriak Satem.

Srini tercengang, ia memasang wajah syok sambil satu tangan memegangi separuh wajahnya yang sudah memerah. 

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Pengorbanan Hati sang Ibu Angkat   17. Secarik Surat Perkenalan

    Di pasar, saat Kembang dan Srini tengah berjualan. Datang satu pria pendek, tampangnya sangat ramah, cara berjalannya saja semangat sekali ketika mendekati lapak jualan Srini dan Kembang. "Aku ingin beli 1kg lobak putihnya," kata Pria itu pada Srini, tanpa menanyakan berapa harga kiloannya. "Baik, tunggu sebentar, Pak," kata Srini, mengambil plastik dan memasukan beberapa lobak untuk ditimbang. "Jangan panggil aku 'Pak', Nona. Panggil saja aku Mung," ujarnya. Srini tersenyum ramah, mengangguk."Baiklah, tunggu sebentar, Mung."Di sela apa yang yang tengah dilakukan oleh ibunya, yang melayani pria bernama Mung itu.Kembang diam-diam memperhatikan orang tersebut, dia seperti mengingatnya dan pernah melihatnya di suatu tempat. Namun, tak ingat jelas di mana. 'Aku sepertinya pernah melihat wajah itu, tetapi di mana?' batin Kembang. Mung berusia sekitar 45 tahun, tingginya sekitar 153cm, dia lebih pendek dari Pandu, dan jelas sekali lebih pendek dari Kembang. Sebab, Kembang lebih tin

  • Pengorbanan Hati sang Ibu Angkat   16. Antar Pulang

    Kembang berjalan, menyusuri jalan setapak, yang di kanan kirinya adalah pohon singkong. Gelap, tetapi gadis itu tak merasa takut. Justru, dia berjalan sembari memegangi pergelangan tangan dan menempelkannya di dada. Tepat di mana Pandu menggenggam tangannya tadi.Kembang tak mengerti, ada apa dengan dirinya sendiri.Dia menunduk, terus mengingat adegan saat Pandu memegangi tangannya, dan memberinya tatapan mata yang dia sendiri susah untuk menjelaskan.Gadis itu seolah melihat sisi lain dari sahabatnya sendiri, entah apa. Langkah Kembang terhenti, saat ia merasa ada yang mengikuti di belakang. Dia berbalik, tak menemukan siapapun, dan tak melihat apapun, hitam karena gelap.Di ujung sana lampu depan rumahnya menyala, dan hanya itulah yang menjadi pacuan Kembang untuk terus berjalan lurus. Bulu kuduknya mulai meremang, ketika kakinya merasakan ada orang lain lagi yang menginjak tanah yang sama. Tidak jauh di belakangnya, dia berdiam merasakan detakan takut juga pundaknya kaku sampa

  • Pengorbanan Hati sang Ibu Angkat   15. Teror Kampung

    Srini lebih dulu selesai makan, dia bangkit dari duduk setelah mencuci tangan pada air di baskom kecil, yang sengaja Kembang sediakan untuk itu. Pandu dan Kembang secara bersamaan menengadah, melihat Srini yang berdiri. "Kalian lanjutlah makan, aku sudah selesai. Aku mau melanjutkan tidur, sepertinya hari ini aku akan tidur lebih cepat," ujar Srini, lalu berjalan meninggalkan dapur, dan hilang setelah ia melewati pintu sekat ruangan yang terbuat dari bilik kayu. Setelah Pandu yakin, Srini sudah masuk ke kamar. "Kenapa kau menginjak kakiku!" Remaja laki-laki itu langsung bertanya pada gadis yang masih duduk, di hadapannya dengan intonasi biasa tapi suaranya tertahan. Kembang yang ditanya seperti itu hanya melirik, kemudian lanjut makan. Pandu gemas, ia balas menginjak kaki Kembang secara ringan. Membuat gadis itu kaget, dan sedikit melotot padanya. "Kenapa kau menginjak kakiku tadi?" Pandu bertanya sekali lagi. "Kau sendiri kenapa mencolek-colek kakiku dengan jempol kakimu

  • Pengorbanan Hati sang Ibu Angkat   14. Makan Malam

    14. Sembari berjalan, Pandu memanggul saringan yang berisi ikan. Ada yang ukurannya besar, sedang dan kecil. Pandu berdiri di balik pintu, tangannya tiba-tiba berhenti saat akan mengetuk pintunya. Dia berpikir dua kali, kalau ia melakukan itu takut Srini yang masih tertidur akan bangun.Alhasil, Pandu memilih membuka pintu langsung secara perlahan. Benar dugaannya, Srini masih tertidur. Untung saja tadi dia tidak mengetuk pintunya. Pelan-pelan setelah menutup pintu, Pandu berjalan ke dapur. Dia melihat Kembang sedang berdiri, memandangi perapian. Begitu Pandu datang, Kembang langsung menoleh."Kau sungguh pergi memancing?" tanya Kembang."Iya ... sesuai perkataanmu, ayo bersihkan ikan-ikan ini, goreng, aku sudah sangat lapar." Pandu menyerahkan ember berisi ikan-ikan yang bergelepak pada Kembang.Gadis itu sampai sesekali berjingkit kaget, saat ikan-ikan mulai melompat-lompat, berebut tempat untuk bernapas, karena air yang sedikit di dalam ember. "Ayo cepat, biar kita bisa makan

  • Pengorbanan Hati sang Ibu Angkat   13. Mancing ikan

    Beberapa saat Kembang yang memasak, menyiapkan makan malam dibantu oleh Pandu, akhirnya sebagian besar telah selesai.Nasi sudah ada di bakul kecil, asapnya mengepul karena masih panas. Tinggal menunggu sayur capcay yang sedang Kembang tumis itu matang. Lauk makan malam kali ini hanya sayur tumis capcay. Pandu yang merasa lauknya kurang banyak, bertanya tanpa malu pada Kembang."Apa lauknya hanya ini saja?"Sambil terus mengaduk-aduk sayur di wajan, Kembang menoleh pada Pandu. "Kalau kau mau makan dengan ikan, pergi mancing dulu sana!"Kemudian, Pandu terdiam. Memikirkan kata-kata Kembang."Kalau begitu, kalau aku dapat ikannya. Apa kau mau membersihkan dan memasakannya untukku?"Kembang menoleh lagi padanya dengan heran. "Tentu saja," jawab Kembang. Bergegaslah remaja laki-laki itu keluar dari rumah Kembang, meninggalkan gadis yang belum selesai memasak menatap kepergiaanya dengan bingung."Apa dia pergi mancing sungguhan?" gumam Kembang, di detik berikutnya dia tertawa, tak didug

  • Pengorbanan Hati sang Ibu Angkat   12. Bantu masak

    12. Dari sisi lapangan, di tengah cahaya matahari sore yang hangat walau masih lumayan panas, tetapi tidak sepanas siang tadi. Kembang tetap diam, memandang remaja laki-laki yang berlari, tertawa, berebut bola dengan senang gembira bersama kawan-kawannya. Senyum lebar, rambut di sekitar wajah basah. Manis. Kembang menyimpulkan kalau Pandu itu manis. "Bagaimana, menurutmu Kembang?" tanya Srini, dia tersenyum simpul melihat cukup lama gadis itu mengarahkan pandangan ke orang yang dia maksud. "Menurutku, Pandu itu manis," katanya. Srini tertawa pelan, mendengar pendapat Kembang. Lagipula, mereka memang masih belum terlalu dewasa. Masih terhitung anak-anak. Kembang dan Srini melanjutkan langkah pulang, sementara Pandu yang dia berjingkrak, tertawa dengan semangat, lalu adu tos dengan teman-teman timnya karena berhasil mencetak gol. Di tengah tawa dan kegembiraannya, pandangannya tak sengaja melihat ke sisi lapangan. Senyumnya perlahan hilang, berganti dengan tatapan fokus melihat

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status