Share

3. Tetap memilih pergi

Satem hendak melangkahkan kaki menghampiri putrinya, dia sangat khawatir. Tetapi, tak bisa karena Bahar sudah mencengkal kuat lengannya.

"Kau Srini! Sudah mempermalukanku! Pergilah kau dari sini! Enyahlah anak durhaka!"

JDAR!

Bagai petir, bagai ledakan tak terduga. Bahar akhirnya mengusir putri semata wayangnya. 

Satem menutup mulut, kepalanya menggeleng perlahan menatap Srini dan matanya kabur karena cairan yang menumpuk di pelupuk mata. 

Kembang mendelik tak percaya.

Sementara Srini perlahan mulai tersenyum, menyeringai menatap Sang ayah dengan kecewa. 

Alih-alih mendengarkan keinginan hati dan perasaanya, ayahnya justru memilih mengusirnya.

"Ayah mengusirku? ... baik, itu artinya aku bebas? ... baik, aku pergi," kata Srini, dia berbalik menangis dengan senyuman yang sebenarnya senyum penutup amarah. Tak lupa, ia juga menarik tangan Kembang supaya ikut dengannya.

"Apa yang kau lakukan! Dia anak kita satu-satunya!?" Satem berteriak tak terima putrinya diusir. Sedangkan Bahar, terus menatap ke arah putrinya masuk, dengan dada yang menggebu-gebu tak mengindahkan istrinya yang ikut marah dan menangis tak rela.

Dengan menahan segala rasa yang bertumpuk jadi satu dalam dada. Srini mengambil tas besar, dia memasukan baju-bajunya, bahkan ia juga memilih baju-baju lawasnya saat kecil, untuk dipakai Kembang. 

Sementara Kembang, dia berdiri mematung memperhatikan Srini yang berulang kali mengusap air mata secara kasar, bolak-balik dari lemari ke sisi kasur, membenahi pakaiannya. 

Setelah cukup, ia keluar kamar. Bersama Kembang yang mengikuti dengan perasaan tak nyaman. 

Di pintu ke luar, ada Bahar dan Satem yang tengah berdiri berhadap-hadapan, tampak mereka pun tengah berdebat, terlihat dari Satem yang menangis dan membentak-bentak suaminya. Namun, Bahar membalas juga dengan sentakan. 

Srini berhenti di ambang pintu, seketika dua pasangan yang itu pun berhenti berdebat. Mereka serentak menatap ke arah Srini. Tali tas besar tersampir di pundak kanannya. Juga Kembang yang berada di belakang Srini.

"Srini ... Nak, tolong jangan pergi." Satem berjalan mendekati putrinya, raut wajah tak rela begitu tergambar jelas, dan tangisan yang berat cukup nyata sebagai ungkapan bahwa dia tidak ingin Srini pergi. 

"Jangan pergi, Srini ... jangan tinggalkan Ibu."

Srini rapuh, langsung memeluk erat ibunya dan menangis sejadi-jadinya. Dagu perempuan itu bertumpu di atas pundak Sang ibu, meringis karena berat meninggalkan ibunya tetapi tidak kuat jika terus bertahan di rumah. 

"Aku minta maaf, Bu ... aku harus tetap pergi," ucap Srini dengan parau. 

Ibunya melepaskan pelukan, mata dan pipi basah, Satem menggeleng perlahan sebagai jawaban.

"Jangan ... Ibu mohon jangan ...."

Langsung Srini memeluk ibunya lantaran tak kuasa memberi penolakan kedua kalinya. Dia, harus tetap pergi. 

Srini melepaskan pelukan, matanya masih terus meluruhkan air hangat, ia menatap Si ayah, Bahar.

Niat hati ingin berpamitan, karena bagaimanapun Bahar adalah ayahnya. Terlepas pertengkaran mereka tadi, Srini tetap tidak ingin meninggalkan Ayahnya dengan cara tidak sopan.

Untuk saat ini, dia menekan rasa marah dan kecewanya. Srini berjalan ke arah Bahar, sedangkan ayahnya langsung berkacak pinggang, membuang muka enggan melihat putrinya. 

Hatinya sudah abu, dia sangat marah pada Srini. 

"Ayah, aku ingin berpamitan," kata Srini.

"Pergilah! tanpa harus basa-basi, kau sudah mengecewakanku!" 

Srini terdiam setelah mendengar jawaban ayahnya. Dia perlahan berlutut, bersimpuh lalu bersujud di depan kaki Bahar. 

Satem yang melihat hal tersebut, semakin kuat menangis karena merasa hancur menyaksikan suami dan anaknya seperti itu. 

Perlahan, Srini kembali bangkit. Dia mengusap air matanya, lalu menatap Satem. Mengungkapan maaf lewat tatap mata, karena jika ia ungkapkan pasti jawaban Satem adalah tidak. Hal itu akan membuat Srini goyah akan keputusannya, dan merasa semakin sakit karena dirinya tetap memilih pergi. 

Tali tas yang menggantung di pundak kanannya merosot, reflek Srini membenarkan hingga ia memanggil Kembang. 

"Kembang." Sedari tadi Kembang memang terus melihat Srini. 

"Ayo kita pergi," ajak Srini. Kembang mengembuskan napas panjang dengan lesu. Lalu melangkah, melewati Satem, hingga berdiri di samping Srini di hadapan Bahar. 

Keduanya berbalik, Srini dan Kembang mulai pergi. 

"Pak, Pak ... jangan mengusir Srini, Pak." Satem memegangi sebelah tangan suaminya, sambil menangis menatap punggung putrinya yang kian menjauh melewati halaman rumah.

"Pak! Tolong, panggil Srini, bujuk dia kembali, Pak!"

"Biarkan saja! Biarkan dia pergi! Daripada keluarga kita menjadi bual-bualan orang, karena dia membawa seorang anak kecil yang tidak jelas apalagi seorang budak!"

Satem tertegun. Dia menggigit bibir bawahnya. Srini semakin jauh, bahkan ia sudah berada di luar halaman depan rumah mereka. 

Suaminya tak bisa diharapkan, anaknya sudah dewasa dan keputusan putrinya tak sanggup dia goyahkan. 

****

"Srini! Srini tunggu!"

Terdengar dari belakang, suara ibunya memanggil. Srini berhenti, dan berbalik. 

"Ini, bawa ini." Ibunya memberikan sekantung kain abu-abu, ketika Srini buka, isinya adalah koin emas dan uang yang jumlahnya sangat banyak.

"Untuk apa ibu memberiku ini?" tanya Srini.

"Bagaimanapun, kau tetap anakku. Sekali-kali kembalilah pulang. Tak usah memikirkan Bapakmu, tapi pikirkan aku. Karena semarah apapun, dan bagaimanapun aku tetap Ibumu."

Srini menangis mendengar itu, ia kemudian memeluk ibunya dan terisak mengucapkan terimakasih. 

"Pergilah ke distrik Waringin, cari orang yang bernama Latih. Dia sahabat baik Ibu. Meski jauh, tapi Ibu yakin dia bisa menolongmu."

Srini terdiam. Awalnya ia ingin menolak bantuan ibunya yang ini, tetapi seakan tahu pikiran anaknya. Satem langsung berkata, sambil memegang kedua tangan Srini yang memegangi sekantung kain pemberiannya. 

"Dengarkan Ibu kali ini, Nak. Biarkan Ibu membantumu ...."

Akhirnya, Srini mengangguk. Satem mengusap lembut sebelah wajah putrinya itu seraya terus meneteskan air mata dan tersenyum.

Dia mengizinkan putrinya pergi.

***

Pergilah Srini dan Kembang ke luar desanya. Menuju Desa Waringin, sesuai kata-kata Satem.

Mereka mendekati tukang delman, dan bertanya soal harga ke Desa Waringin.

"Permisi, Paman ...."

Laki-laki yang tengah duduk termenung menanti penumpang, sampai terkejut melihat satu perempuan cantik dengan satu gadis kecil.

"Y-ya?"

"Apa Anda tau Distrik Waringin?"

"Distrik Waringin? Distrik itu sangat jauh dari sini," jawab Tukang delman.

"Kira-kira berapa jauhnya?"

"Jika dari sini sekitar 3 jam sampai sana."

"Apa kau bisa mengantarku ke sana?"

"Bisa bisa, hanya saja ongkosnya mahal."

"Berapa?"

"Sekitar 10 ribu atau 1 koin perak."

"Baiklah, bisa Paman antarkan aku dan anakku ke sana sekarang?"

"Baiklah, silakan naik."

Tangan Kanan Srini merangkul bahu Kembang, ia mengangguk sekali pada anak itu. Membiarkan Kembang naik dulu. 

Suara pecut berbunyi setelah mengenai pantat dua kuda yang siap menarik kereta, lalu berjalanlah kedua kuda itu membawa Srini dan Kembang ke Distrik Waringin. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status