Share

3. Tetap memilih pergi

last update Last Updated: 2023-05-08 20:14:03

Satem hendak melangkahkan kaki menghampiri putrinya, dia sangat khawatir. Tetapi, tak bisa karena Bahar sudah mencengkal kuat lengannya.

"Kau Srini! Sudah mempermalukanku! Pergilah kau dari sini! Enyahlah anak durhaka!"

JDAR!

Bagai petir, bagai ledakan tak terduga. Bahar akhirnya mengusir putri semata wayangnya. 

Satem menutup mulut, kepalanya menggeleng perlahan menatap Srini dan matanya kabur karena cairan yang menumpuk di pelupuk mata. 

Kembang mendelik tak percaya.

Sementara Srini perlahan mulai tersenyum, menyeringai menatap Sang ayah dengan kecewa. 

Alih-alih mendengarkan keinginan hati dan perasaanya, ayahnya justru memilih mengusirnya.

"Ayah mengusirku? ... baik, itu artinya aku bebas? ... baik, aku pergi," kata Srini, dia berbalik menangis dengan senyuman yang sebenarnya senyum penutup amarah. Tak lupa, ia juga menarik tangan Kembang supaya ikut dengannya.

"Apa yang kau lakukan! Dia anak kita satu-satunya!?" Satem berteriak tak terima putrinya diusir. Sedangkan Bahar, terus menatap ke arah putrinya masuk, dengan dada yang menggebu-gebu tak mengindahkan istrinya yang ikut marah dan menangis tak rela.

Dengan menahan segala rasa yang bertumpuk jadi satu dalam dada. Srini mengambil tas besar, dia memasukan baju-bajunya, bahkan ia juga memilih baju-baju lawasnya saat kecil, untuk dipakai Kembang. 

Sementara Kembang, dia berdiri mematung memperhatikan Srini yang berulang kali mengusap air mata secara kasar, bolak-balik dari lemari ke sisi kasur, membenahi pakaiannya. 

Setelah cukup, ia keluar kamar. Bersama Kembang yang mengikuti dengan perasaan tak nyaman. 

Di pintu ke luar, ada Bahar dan Satem yang tengah berdiri berhadap-hadapan, tampak mereka pun tengah berdebat, terlihat dari Satem yang menangis dan membentak-bentak suaminya. Namun, Bahar membalas juga dengan sentakan. 

Srini berhenti di ambang pintu, seketika dua pasangan yang itu pun berhenti berdebat. Mereka serentak menatap ke arah Srini. Tali tas besar tersampir di pundak kanannya. Juga Kembang yang berada di belakang Srini.

"Srini ... Nak, tolong jangan pergi." Satem berjalan mendekati putrinya, raut wajah tak rela begitu tergambar jelas, dan tangisan yang berat cukup nyata sebagai ungkapan bahwa dia tidak ingin Srini pergi. 

"Jangan pergi, Srini ... jangan tinggalkan Ibu."

Srini rapuh, langsung memeluk erat ibunya dan menangis sejadi-jadinya. Dagu perempuan itu bertumpu di atas pundak Sang ibu, meringis karena berat meninggalkan ibunya tetapi tidak kuat jika terus bertahan di rumah. 

"Aku minta maaf, Bu ... aku harus tetap pergi," ucap Srini dengan parau. 

Ibunya melepaskan pelukan, mata dan pipi basah, Satem menggeleng perlahan sebagai jawaban.

"Jangan ... Ibu mohon jangan ...."

Langsung Srini memeluk ibunya lantaran tak kuasa memberi penolakan kedua kalinya. Dia, harus tetap pergi. 

Srini melepaskan pelukan, matanya masih terus meluruhkan air hangat, ia menatap Si ayah, Bahar.

Niat hati ingin berpamitan, karena bagaimanapun Bahar adalah ayahnya. Terlepas pertengkaran mereka tadi, Srini tetap tidak ingin meninggalkan Ayahnya dengan cara tidak sopan.

Untuk saat ini, dia menekan rasa marah dan kecewanya. Srini berjalan ke arah Bahar, sedangkan ayahnya langsung berkacak pinggang, membuang muka enggan melihat putrinya. 

Hatinya sudah abu, dia sangat marah pada Srini. 

"Ayah, aku ingin berpamitan," kata Srini.

"Pergilah! tanpa harus basa-basi, kau sudah mengecewakanku!" 

Srini terdiam setelah mendengar jawaban ayahnya. Dia perlahan berlutut, bersimpuh lalu bersujud di depan kaki Bahar. 

Satem yang melihat hal tersebut, semakin kuat menangis karena merasa hancur menyaksikan suami dan anaknya seperti itu. 

Perlahan, Srini kembali bangkit. Dia mengusap air matanya, lalu menatap Satem. Mengungkapan maaf lewat tatap mata, karena jika ia ungkapkan pasti jawaban Satem adalah tidak. Hal itu akan membuat Srini goyah akan keputusannya, dan merasa semakin sakit karena dirinya tetap memilih pergi. 

Tali tas yang menggantung di pundak kanannya merosot, reflek Srini membenarkan hingga ia memanggil Kembang. 

"Kembang." Sedari tadi Kembang memang terus melihat Srini. 

"Ayo kita pergi," ajak Srini. Kembang mengembuskan napas panjang dengan lesu. Lalu melangkah, melewati Satem, hingga berdiri di samping Srini di hadapan Bahar. 

Keduanya berbalik, Srini dan Kembang mulai pergi. 

"Pak, Pak ... jangan mengusir Srini, Pak." Satem memegangi sebelah tangan suaminya, sambil menangis menatap punggung putrinya yang kian menjauh melewati halaman rumah.

"Pak! Tolong, panggil Srini, bujuk dia kembali, Pak!"

"Biarkan saja! Biarkan dia pergi! Daripada keluarga kita menjadi bual-bualan orang, karena dia membawa seorang anak kecil yang tidak jelas apalagi seorang budak!"

Satem tertegun. Dia menggigit bibir bawahnya. Srini semakin jauh, bahkan ia sudah berada di luar halaman depan rumah mereka. 

Suaminya tak bisa diharapkan, anaknya sudah dewasa dan keputusan putrinya tak sanggup dia goyahkan. 

****

"Srini! Srini tunggu!"

Terdengar dari belakang, suara ibunya memanggil. Srini berhenti, dan berbalik. 

"Ini, bawa ini." Ibunya memberikan sekantung kain abu-abu, ketika Srini buka, isinya adalah koin emas dan uang yang jumlahnya sangat banyak.

"Untuk apa ibu memberiku ini?" tanya Srini.

"Bagaimanapun, kau tetap anakku. Sekali-kali kembalilah pulang. Tak usah memikirkan Bapakmu, tapi pikirkan aku. Karena semarah apapun, dan bagaimanapun aku tetap Ibumu."

Srini menangis mendengar itu, ia kemudian memeluk ibunya dan terisak mengucapkan terimakasih. 

"Pergilah ke distrik Waringin, cari orang yang bernama Latih. Dia sahabat baik Ibu. Meski jauh, tapi Ibu yakin dia bisa menolongmu."

Srini terdiam. Awalnya ia ingin menolak bantuan ibunya yang ini, tetapi seakan tahu pikiran anaknya. Satem langsung berkata, sambil memegang kedua tangan Srini yang memegangi sekantung kain pemberiannya. 

"Dengarkan Ibu kali ini, Nak. Biarkan Ibu membantumu ...."

Akhirnya, Srini mengangguk. Satem mengusap lembut sebelah wajah putrinya itu seraya terus meneteskan air mata dan tersenyum.

Dia mengizinkan putrinya pergi.

***

Pergilah Srini dan Kembang ke luar desanya. Menuju Desa Waringin, sesuai kata-kata Satem.

Mereka mendekati tukang delman, dan bertanya soal harga ke Desa Waringin.

"Permisi, Paman ...."

Laki-laki yang tengah duduk termenung menanti penumpang, sampai terkejut melihat satu perempuan cantik dengan satu gadis kecil.

"Y-ya?"

"Apa Anda tau Distrik Waringin?"

"Distrik Waringin? Distrik itu sangat jauh dari sini," jawab Tukang delman.

"Kira-kira berapa jauhnya?"

"Jika dari sini sekitar 3 jam sampai sana."

"Apa kau bisa mengantarku ke sana?"

"Bisa bisa, hanya saja ongkosnya mahal."

"Berapa?"

"Sekitar 10 ribu atau 1 koin perak."

"Baiklah, bisa Paman antarkan aku dan anakku ke sana sekarang?"

"Baiklah, silakan naik."

Tangan Kanan Srini merangkul bahu Kembang, ia mengangguk sekali pada anak itu. Membiarkan Kembang naik dulu. 

Suara pecut berbunyi setelah mengenai pantat dua kuda yang siap menarik kereta, lalu berjalanlah kedua kuda itu membawa Srini dan Kembang ke Distrik Waringin. 

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Pengorbanan Hati sang Ibu Angkat   17. Secarik Surat Perkenalan

    Di pasar, saat Kembang dan Srini tengah berjualan. Datang satu pria pendek, tampangnya sangat ramah, cara berjalannya saja semangat sekali ketika mendekati lapak jualan Srini dan Kembang. "Aku ingin beli 1kg lobak putihnya," kata Pria itu pada Srini, tanpa menanyakan berapa harga kiloannya. "Baik, tunggu sebentar, Pak," kata Srini, mengambil plastik dan memasukan beberapa lobak untuk ditimbang. "Jangan panggil aku 'Pak', Nona. Panggil saja aku Mung," ujarnya. Srini tersenyum ramah, mengangguk."Baiklah, tunggu sebentar, Mung."Di sela apa yang yang tengah dilakukan oleh ibunya, yang melayani pria bernama Mung itu.Kembang diam-diam memperhatikan orang tersebut, dia seperti mengingatnya dan pernah melihatnya di suatu tempat. Namun, tak ingat jelas di mana. 'Aku sepertinya pernah melihat wajah itu, tetapi di mana?' batin Kembang. Mung berusia sekitar 45 tahun, tingginya sekitar 153cm, dia lebih pendek dari Pandu, dan jelas sekali lebih pendek dari Kembang. Sebab, Kembang lebih tin

  • Pengorbanan Hati sang Ibu Angkat   16. Antar Pulang

    Kembang berjalan, menyusuri jalan setapak, yang di kanan kirinya adalah pohon singkong. Gelap, tetapi gadis itu tak merasa takut. Justru, dia berjalan sembari memegangi pergelangan tangan dan menempelkannya di dada. Tepat di mana Pandu menggenggam tangannya tadi.Kembang tak mengerti, ada apa dengan dirinya sendiri.Dia menunduk, terus mengingat adegan saat Pandu memegangi tangannya, dan memberinya tatapan mata yang dia sendiri susah untuk menjelaskan.Gadis itu seolah melihat sisi lain dari sahabatnya sendiri, entah apa. Langkah Kembang terhenti, saat ia merasa ada yang mengikuti di belakang. Dia berbalik, tak menemukan siapapun, dan tak melihat apapun, hitam karena gelap.Di ujung sana lampu depan rumahnya menyala, dan hanya itulah yang menjadi pacuan Kembang untuk terus berjalan lurus. Bulu kuduknya mulai meremang, ketika kakinya merasakan ada orang lain lagi yang menginjak tanah yang sama. Tidak jauh di belakangnya, dia berdiam merasakan detakan takut juga pundaknya kaku sampa

  • Pengorbanan Hati sang Ibu Angkat   15. Teror Kampung

    Srini lebih dulu selesai makan, dia bangkit dari duduk setelah mencuci tangan pada air di baskom kecil, yang sengaja Kembang sediakan untuk itu. Pandu dan Kembang secara bersamaan menengadah, melihat Srini yang berdiri. "Kalian lanjutlah makan, aku sudah selesai. Aku mau melanjutkan tidur, sepertinya hari ini aku akan tidur lebih cepat," ujar Srini, lalu berjalan meninggalkan dapur, dan hilang setelah ia melewati pintu sekat ruangan yang terbuat dari bilik kayu. Setelah Pandu yakin, Srini sudah masuk ke kamar. "Kenapa kau menginjak kakiku!" Remaja laki-laki itu langsung bertanya pada gadis yang masih duduk, di hadapannya dengan intonasi biasa tapi suaranya tertahan. Kembang yang ditanya seperti itu hanya melirik, kemudian lanjut makan. Pandu gemas, ia balas menginjak kaki Kembang secara ringan. Membuat gadis itu kaget, dan sedikit melotot padanya. "Kenapa kau menginjak kakiku tadi?" Pandu bertanya sekali lagi. "Kau sendiri kenapa mencolek-colek kakiku dengan jempol kakimu

  • Pengorbanan Hati sang Ibu Angkat   14. Makan Malam

    14. Sembari berjalan, Pandu memanggul saringan yang berisi ikan. Ada yang ukurannya besar, sedang dan kecil. Pandu berdiri di balik pintu, tangannya tiba-tiba berhenti saat akan mengetuk pintunya. Dia berpikir dua kali, kalau ia melakukan itu takut Srini yang masih tertidur akan bangun.Alhasil, Pandu memilih membuka pintu langsung secara perlahan. Benar dugaannya, Srini masih tertidur. Untung saja tadi dia tidak mengetuk pintunya. Pelan-pelan setelah menutup pintu, Pandu berjalan ke dapur. Dia melihat Kembang sedang berdiri, memandangi perapian. Begitu Pandu datang, Kembang langsung menoleh."Kau sungguh pergi memancing?" tanya Kembang."Iya ... sesuai perkataanmu, ayo bersihkan ikan-ikan ini, goreng, aku sudah sangat lapar." Pandu menyerahkan ember berisi ikan-ikan yang bergelepak pada Kembang.Gadis itu sampai sesekali berjingkit kaget, saat ikan-ikan mulai melompat-lompat, berebut tempat untuk bernapas, karena air yang sedikit di dalam ember. "Ayo cepat, biar kita bisa makan

  • Pengorbanan Hati sang Ibu Angkat   13. Mancing ikan

    Beberapa saat Kembang yang memasak, menyiapkan makan malam dibantu oleh Pandu, akhirnya sebagian besar telah selesai.Nasi sudah ada di bakul kecil, asapnya mengepul karena masih panas. Tinggal menunggu sayur capcay yang sedang Kembang tumis itu matang. Lauk makan malam kali ini hanya sayur tumis capcay. Pandu yang merasa lauknya kurang banyak, bertanya tanpa malu pada Kembang."Apa lauknya hanya ini saja?"Sambil terus mengaduk-aduk sayur di wajan, Kembang menoleh pada Pandu. "Kalau kau mau makan dengan ikan, pergi mancing dulu sana!"Kemudian, Pandu terdiam. Memikirkan kata-kata Kembang."Kalau begitu, kalau aku dapat ikannya. Apa kau mau membersihkan dan memasakannya untukku?"Kembang menoleh lagi padanya dengan heran. "Tentu saja," jawab Kembang. Bergegaslah remaja laki-laki itu keluar dari rumah Kembang, meninggalkan gadis yang belum selesai memasak menatap kepergiaanya dengan bingung."Apa dia pergi mancing sungguhan?" gumam Kembang, di detik berikutnya dia tertawa, tak didug

  • Pengorbanan Hati sang Ibu Angkat   12. Bantu masak

    12. Dari sisi lapangan, di tengah cahaya matahari sore yang hangat walau masih lumayan panas, tetapi tidak sepanas siang tadi. Kembang tetap diam, memandang remaja laki-laki yang berlari, tertawa, berebut bola dengan senang gembira bersama kawan-kawannya. Senyum lebar, rambut di sekitar wajah basah. Manis. Kembang menyimpulkan kalau Pandu itu manis. "Bagaimana, menurutmu Kembang?" tanya Srini, dia tersenyum simpul melihat cukup lama gadis itu mengarahkan pandangan ke orang yang dia maksud. "Menurutku, Pandu itu manis," katanya. Srini tertawa pelan, mendengar pendapat Kembang. Lagipula, mereka memang masih belum terlalu dewasa. Masih terhitung anak-anak. Kembang dan Srini melanjutkan langkah pulang, sementara Pandu yang dia berjingkrak, tertawa dengan semangat, lalu adu tos dengan teman-teman timnya karena berhasil mencetak gol. Di tengah tawa dan kegembiraannya, pandangannya tak sengaja melihat ke sisi lapangan. Senyumnya perlahan hilang, berganti dengan tatapan fokus melihat

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status