Share

Pengorbanan Hati sang Ibu Angkat
Pengorbanan Hati sang Ibu Angkat
Penulis: Dayura Dalidayulia

1. Membeli Budak

"Bersiaplah untuk nanti malam.".

Perempuan yang tengah duduk sambil meminum teh di ruang tamu, menatap ayahnya. "Bersiap untuk apa, Ayah?"

"Putra Juragan sawah, akan ke mari untuk melamarmu." Sang Ayah—Bahar, ikut duduk di kursi kosong di hadapan Si Perempuan.

"Apa? Ayah akan menjodohkanku lagi? Setelah 4 laki-laki yang kutolak kemarin? Apa Ayah yakin ... tidak akan malu lagi, bila nanti aku menolak Pria itu juga?" Srini meletakan gelas tehnya, ia tidak jadi menyesap karena sudah kadung tidak berselera.

"Srini!" Bahar berdiri,"turuti saja apa kata Ayah! Kamu ini sudah dewasa umurmu sudah 30 tahun .... kamu seharusnya sudah punya anak 3 tapi ini malah masih asik-asikan melajang. Apa kamu pikir, Ayah tidak menginginkan seorang cucu?!"

Srini mengembuskan napas kasar, dia ikut berdiri. "Aku tau, aku paham ... tapi bagaimana jika aku belum menemukan jodoh yang baik untukku, Ayah?"

"Tau apa kamu tentang jodoh! Setiap laki-laki yang Ayah jodohkan padamu itu adalah orang baik, pilihan terbaik!"

"Aku tidak mau! Aku akan mencari pendamping hidupku sendiri Ayah. Berhentilah memaksa dan menjodohkan dengan lelaki pilihan Ayah!"

"Srini! Apa kamu melawanku!?"

"Aku mau keluar ...!" Srini melenggang keluar rumah, meninggalkan ayahnya yang terus berteriak memanggil namanya dan meminta kembali. Sampai, seorang wanita datang menenangkannya. "Sudah, Pak ... sudah ...."

"Putrimu sudah kurangajar sekarang!? Dia sudah berani melawan!" 

"Biarkan Srini tenang dulu, ayo kita minum teh bersama. Aku akan memijatmu juga." Satem, yang menjadi istrinya sedikit meredakan amarah di dada, dia menuntun lembut Sang suami ke salah satu tempat di rumah itu. Duduk lesehan di sisi kolam ikan, dengan angin sejuk di kelilingi tanaman pohon yang tingginya hanya 2 meter saja. 

Sementara itu, Srini berjalan-jalan di pasar untuk menghilangkan rasa kesal pada Sang ayah yang selalu mengatur hidupnya dengan seenaknya tanpa memikirkan perasaanya.

Tidak jauh dari tempat Srini sedang bertanya-tanya tentang harga tusuk konde yang bagus. Ada seorang anak perempuan, meringkuk penuh ketakutan dengan rantai melingkar di tangan dan kakinya. 

Baju kumal yang sudah sobek itu, pasti tidak mampu menahan kedinginan saat malam.

Dia anak gadis malang, yang dijual sebagai budak. 

Gadis itu, bukanlah satu-satunya budak yang tengah dijual. Ada beberapa anak lain, yang usianya lebih tua ataupun lebih muda darinya. 

Di tengah pasar, dirinya sedang dijajakan oleh pria bertubuh gendut. 

Selesai membeli tusuk konde, Srini mengedarkan pandang hanya untuk mencari sesuatu yang menarik untuk dia beli, tanpa disengaja dia melihat gadis malang tersebut. Yang secara kebetulan sedang melihat ke arahnya, menatap dengan pendar mata yang penuh akan ketakutan dan meminta pertolongan. 

Srini sangat iba pada bocah itu. Sudah beberapa detik keduanya saling bertatapan dalam jarak yang lumayan jauh tapi jelas terlihat mereka sedang saling melihat. Hati Srini tersentuh, membuat dirinya bergerak mendekat ke arah si bocah. 

"Berapa anak ini?" tanya Srini, pada pria bertubuh gempal yang tengah berusaha menjual para budak itu. 

Melihat Srini, pria itu tersenyum senang. Terlihat sekali jika Srini adalah perempuan dari kalangan sangat mampu. Lalu, dia melihat ke arah bocah yang ditunjuk Srini. 

"Bocah ini harganya 100 ribu rupiah atau 10 keping perak, apa kau akan membelinya?"

"Mungkin. Tapi, kau dapat dari mana anak ini?" tanya Srini lagi.

"Aku mendapatkannya di jalanan, dia anak jalanan yang selalu lontang lantung ke sana ke mari sendirian."

Srini terdiam, kemudian dia menatap gadis kecil itu dan berjongkok di depannya. 

"Apa benar? Yang dikatakannya? Kau anak jalanan?" Dia bertanya sangat lirih, dan hati-hati agar si pria gendut tak mendengarnya.

Dengan wajah cemong, dan bulu mata yang basah, bocah itu mengangguk. Membenarkan.

Srini kembali berdiri, lalu meraih uang dari kantung kain kecil dari balik saku bajunya. 

"Ini, aku membelinya." Lalu, ia menyodorkan uang kertas berjumlah 100 ribu rupiah pada pria itu. 

Saat itu, uang dengan nominal tersebut. Sangatlah besar jumlahnya, Srini memanglah anak dari orang berada. 

Pria itu menerima uang Srini dengan cepat, memasukannya ke dalam saku secepat mungkin. Takut nanti Srini berubah pikiran. 

Kemudian, melepas rantai di tangan dan kaki bocah perempuan itu. 

"Silahkan, anak ini sudah jadi milikmu!" kata pria gendut itu dengan senyum lebar. 

"Hei, bangun. Cepat ikuti majikan barumu!" kata pria itu, menarik satu lengan gadis kecil tersebut hingga dia berdiri. 

 *****

Di perjalanan pulang, Srini melihat bocah kecil itu tengah berjalan di sisinya dengan menunduk. 

Dalam hati, dia bingung kenapa ingin sekali membeli anak ini sampai rela mengeluarkan uang yang besar.

'Kenapa aku sangat ingin sekali membeli anak ini? Kalau soal kasihan bisa bisa saja aku sekarang menyuruhnya pergi karena sudah tidak dijajakan lagi. Tetapi, rasanya ... aku ingin membawanya pulang.'

Namun, begitu memilikinya Srini merasa bahagia. Ia merasa telah melakukan hal yang benar, bahkan dia tersenyum tipis diam-diam. 

"Siapa namamu?" tanya Srini.

Gadis itu menengadah, menatap mata Srini takut-takut, lalu menjawab.

"Kembang."

"Ke mana orang tuamu? Sampai kau hidup di jalan?"

"Aku tidak punya orang tua."

"Mereka telah meninggal?"

"Ibu pergi, dan bapak menikah lagi, tetapi terakhir kali mereka pamit pergi ke ladang dan tidak pernah kembali lagi."

"Kapan terakhir kali kau melihat orang tuamu?"

"5 tahun lalu."

Srini tertegun, kala melihat bahu gadis cilik itu bergetar. Kembang merindukan orang tuanya, dan Srini tahu itu. 

"Kau merindukan orang tuamu?" tanya Srini.

Gadis cilik tersebut terus menangis, tanpa menjawab pertanyaan Srini. Beberapa saat kemudian, Kembang berkata lirih akan tetapi jelas terdengar olehnya.

"A-aku telah dibuang ...."

Srini melihat ke depan dan terus berjalan, lalu terucap dari mulutnya.

"Panggil aku Ibu. Mulai sekarang, kau jadi anakku."

Kembang langsung berhenti melangkah, dengan mata basahnya, ia melihat wajah Srini.

Nampak, wajah dan sorot mata tak percaya setelah mendengar ucapan tersebut. Namun, pada akhirnya Kembang mengangguk lalu kembali menangis. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status