"Bersiaplah untuk nanti malam.".
Perempuan yang tengah duduk sambil meminum teh di ruang tamu, menatap ayahnya. "Bersiap untuk apa, Ayah?"
"Putra Juragan sawah, akan ke mari untuk melamarmu." Sang Ayah—Bahar, ikut duduk di kursi kosong di hadapan Si Perempuan.
"Apa? Ayah akan menjodohkanku lagi? Setelah 4 laki-laki yang kutolak kemarin? Apa Ayah yakin ... tidak akan malu lagi, bila nanti aku menolak Pria itu juga?" Srini meletakan gelas tehnya, ia tidak jadi menyesap karena sudah kadung tidak berselera.
"Srini!" Bahar berdiri,"turuti saja apa kata Ayah! Kamu ini sudah dewasa umurmu sudah 30 tahun .... kamu seharusnya sudah punya anak 3 tapi ini malah masih asik-asikan melajang. Apa kamu pikir, Ayah tidak menginginkan seorang cucu?!"
Srini mengembuskan napas kasar, dia ikut berdiri. "Aku tau, aku paham ... tapi bagaimana jika aku belum menemukan jodoh yang baik untukku, Ayah?"
"Tau apa kamu tentang jodoh! Setiap laki-laki yang Ayah jodohkan padamu itu adalah orang baik, pilihan terbaik!"
"Aku tidak mau! Aku akan mencari pendamping hidupku sendiri Ayah. Berhentilah memaksa dan menjodohkan dengan lelaki pilihan Ayah!"
"Srini! Apa kamu melawanku!?"
"Aku mau keluar ...!" Srini melenggang keluar rumah, meninggalkan ayahnya yang terus berteriak memanggil namanya dan meminta kembali. Sampai, seorang wanita datang menenangkannya. "Sudah, Pak ... sudah ...."
"Putrimu sudah kurangajar sekarang!? Dia sudah berani melawan!"
"Biarkan Srini tenang dulu, ayo kita minum teh bersama. Aku akan memijatmu juga." Satem, yang menjadi istrinya sedikit meredakan amarah di dada, dia menuntun lembut Sang suami ke salah satu tempat di rumah itu. Duduk lesehan di sisi kolam ikan, dengan angin sejuk di kelilingi tanaman pohon yang tingginya hanya 2 meter saja.
Sementara itu, Srini berjalan-jalan di pasar untuk menghilangkan rasa kesal pada Sang ayah yang selalu mengatur hidupnya dengan seenaknya tanpa memikirkan perasaanya.
Tidak jauh dari tempat Srini sedang bertanya-tanya tentang harga tusuk konde yang bagus. Ada seorang anak perempuan, meringkuk penuh ketakutan dengan rantai melingkar di tangan dan kakinya.
Baju kumal yang sudah sobek itu, pasti tidak mampu menahan kedinginan saat malam.
Dia anak gadis malang, yang dijual sebagai budak.
Gadis itu, bukanlah satu-satunya budak yang tengah dijual. Ada beberapa anak lain, yang usianya lebih tua ataupun lebih muda darinya.
Di tengah pasar, dirinya sedang dijajakan oleh pria bertubuh gendut.
Selesai membeli tusuk konde, Srini mengedarkan pandang hanya untuk mencari sesuatu yang menarik untuk dia beli, tanpa disengaja dia melihat gadis malang tersebut. Yang secara kebetulan sedang melihat ke arahnya, menatap dengan pendar mata yang penuh akan ketakutan dan meminta pertolongan.
Srini sangat iba pada bocah itu. Sudah beberapa detik keduanya saling bertatapan dalam jarak yang lumayan jauh tapi jelas terlihat mereka sedang saling melihat. Hati Srini tersentuh, membuat dirinya bergerak mendekat ke arah si bocah.
"Berapa anak ini?" tanya Srini, pada pria bertubuh gempal yang tengah berusaha menjual para budak itu.
Melihat Srini, pria itu tersenyum senang. Terlihat sekali jika Srini adalah perempuan dari kalangan sangat mampu. Lalu, dia melihat ke arah bocah yang ditunjuk Srini.
"Bocah ini harganya 100 ribu rupiah atau 10 keping perak, apa kau akan membelinya?"
"Mungkin. Tapi, kau dapat dari mana anak ini?" tanya Srini lagi.
"Aku mendapatkannya di jalanan, dia anak jalanan yang selalu lontang lantung ke sana ke mari sendirian."
Srini terdiam, kemudian dia menatap gadis kecil itu dan berjongkok di depannya.
"Apa benar? Yang dikatakannya? Kau anak jalanan?" Dia bertanya sangat lirih, dan hati-hati agar si pria gendut tak mendengarnya.
Dengan wajah cemong, dan bulu mata yang basah, bocah itu mengangguk. Membenarkan.
Srini kembali berdiri, lalu meraih uang dari kantung kain kecil dari balik saku bajunya.
"Ini, aku membelinya." Lalu, ia menyodorkan uang kertas berjumlah 100 ribu rupiah pada pria itu.
Saat itu, uang dengan nominal tersebut. Sangatlah besar jumlahnya, Srini memanglah anak dari orang berada.
Pria itu menerima uang Srini dengan cepat, memasukannya ke dalam saku secepat mungkin. Takut nanti Srini berubah pikiran.
Kemudian, melepas rantai di tangan dan kaki bocah perempuan itu.
"Silahkan, anak ini sudah jadi milikmu!" kata pria gendut itu dengan senyum lebar.
"Hei, bangun. Cepat ikuti majikan barumu!" kata pria itu, menarik satu lengan gadis kecil tersebut hingga dia berdiri.
*****
Di perjalanan pulang, Srini melihat bocah kecil itu tengah berjalan di sisinya dengan menunduk.
Dalam hati, dia bingung kenapa ingin sekali membeli anak ini sampai rela mengeluarkan uang yang besar.
'Kenapa aku sangat ingin sekali membeli anak ini? Kalau soal kasihan bisa bisa saja aku sekarang menyuruhnya pergi karena sudah tidak dijajakan lagi. Tetapi, rasanya ... aku ingin membawanya pulang.'
Namun, begitu memilikinya Srini merasa bahagia. Ia merasa telah melakukan hal yang benar, bahkan dia tersenyum tipis diam-diam.
"Siapa namamu?" tanya Srini.
Gadis itu menengadah, menatap mata Srini takut-takut, lalu menjawab.
"Kembang."
"Ke mana orang tuamu? Sampai kau hidup di jalan?"
"Aku tidak punya orang tua."
"Mereka telah meninggal?"
"Ibu pergi, dan bapak menikah lagi, tetapi terakhir kali mereka pamit pergi ke ladang dan tidak pernah kembali lagi."
"Kapan terakhir kali kau melihat orang tuamu?"
"5 tahun lalu."
Srini tertegun, kala melihat bahu gadis cilik itu bergetar. Kembang merindukan orang tuanya, dan Srini tahu itu.
"Kau merindukan orang tuamu?" tanya Srini.
Gadis cilik tersebut terus menangis, tanpa menjawab pertanyaan Srini. Beberapa saat kemudian, Kembang berkata lirih akan tetapi jelas terdengar olehnya.
"A-aku telah dibuang ...."
Srini melihat ke depan dan terus berjalan, lalu terucap dari mulutnya.
"Panggil aku Ibu. Mulai sekarang, kau jadi anakku."
Kembang langsung berhenti melangkah, dengan mata basahnya, ia melihat wajah Srini.
Nampak, wajah dan sorot mata tak percaya setelah mendengar ucapan tersebut. Namun, pada akhirnya Kembang mengangguk lalu kembali menangis.
Di pasar, saat Kembang dan Srini tengah berjualan. Datang satu pria pendek, tampangnya sangat ramah, cara berjalannya saja semangat sekali ketika mendekati lapak jualan Srini dan Kembang. "Aku ingin beli 1kg lobak putihnya," kata Pria itu pada Srini, tanpa menanyakan berapa harga kiloannya. "Baik, tunggu sebentar, Pak," kata Srini, mengambil plastik dan memasukan beberapa lobak untuk ditimbang. "Jangan panggil aku 'Pak', Nona. Panggil saja aku Mung," ujarnya. Srini tersenyum ramah, mengangguk."Baiklah, tunggu sebentar, Mung."Di sela apa yang yang tengah dilakukan oleh ibunya, yang melayani pria bernama Mung itu.Kembang diam-diam memperhatikan orang tersebut, dia seperti mengingatnya dan pernah melihatnya di suatu tempat. Namun, tak ingat jelas di mana. 'Aku sepertinya pernah melihat wajah itu, tetapi di mana?' batin Kembang. Mung berusia sekitar 45 tahun, tingginya sekitar 153cm, dia lebih pendek dari Pandu, dan jelas sekali lebih pendek dari Kembang. Sebab, Kembang lebih tin
Kembang berjalan, menyusuri jalan setapak, yang di kanan kirinya adalah pohon singkong. Gelap, tetapi gadis itu tak merasa takut. Justru, dia berjalan sembari memegangi pergelangan tangan dan menempelkannya di dada. Tepat di mana Pandu menggenggam tangannya tadi.Kembang tak mengerti, ada apa dengan dirinya sendiri.Dia menunduk, terus mengingat adegan saat Pandu memegangi tangannya, dan memberinya tatapan mata yang dia sendiri susah untuk menjelaskan.Gadis itu seolah melihat sisi lain dari sahabatnya sendiri, entah apa. Langkah Kembang terhenti, saat ia merasa ada yang mengikuti di belakang. Dia berbalik, tak menemukan siapapun, dan tak melihat apapun, hitam karena gelap.Di ujung sana lampu depan rumahnya menyala, dan hanya itulah yang menjadi pacuan Kembang untuk terus berjalan lurus. Bulu kuduknya mulai meremang, ketika kakinya merasakan ada orang lain lagi yang menginjak tanah yang sama. Tidak jauh di belakangnya, dia berdiam merasakan detakan takut juga pundaknya kaku sampa
Srini lebih dulu selesai makan, dia bangkit dari duduk setelah mencuci tangan pada air di baskom kecil, yang sengaja Kembang sediakan untuk itu. Pandu dan Kembang secara bersamaan menengadah, melihat Srini yang berdiri. "Kalian lanjutlah makan, aku sudah selesai. Aku mau melanjutkan tidur, sepertinya hari ini aku akan tidur lebih cepat," ujar Srini, lalu berjalan meninggalkan dapur, dan hilang setelah ia melewati pintu sekat ruangan yang terbuat dari bilik kayu. Setelah Pandu yakin, Srini sudah masuk ke kamar. "Kenapa kau menginjak kakiku!" Remaja laki-laki itu langsung bertanya pada gadis yang masih duduk, di hadapannya dengan intonasi biasa tapi suaranya tertahan. Kembang yang ditanya seperti itu hanya melirik, kemudian lanjut makan. Pandu gemas, ia balas menginjak kaki Kembang secara ringan. Membuat gadis itu kaget, dan sedikit melotot padanya. "Kenapa kau menginjak kakiku tadi?" Pandu bertanya sekali lagi. "Kau sendiri kenapa mencolek-colek kakiku dengan jempol kakimu
14. Sembari berjalan, Pandu memanggul saringan yang berisi ikan. Ada yang ukurannya besar, sedang dan kecil. Pandu berdiri di balik pintu, tangannya tiba-tiba berhenti saat akan mengetuk pintunya. Dia berpikir dua kali, kalau ia melakukan itu takut Srini yang masih tertidur akan bangun.Alhasil, Pandu memilih membuka pintu langsung secara perlahan. Benar dugaannya, Srini masih tertidur. Untung saja tadi dia tidak mengetuk pintunya. Pelan-pelan setelah menutup pintu, Pandu berjalan ke dapur. Dia melihat Kembang sedang berdiri, memandangi perapian. Begitu Pandu datang, Kembang langsung menoleh."Kau sungguh pergi memancing?" tanya Kembang."Iya ... sesuai perkataanmu, ayo bersihkan ikan-ikan ini, goreng, aku sudah sangat lapar." Pandu menyerahkan ember berisi ikan-ikan yang bergelepak pada Kembang.Gadis itu sampai sesekali berjingkit kaget, saat ikan-ikan mulai melompat-lompat, berebut tempat untuk bernapas, karena air yang sedikit di dalam ember. "Ayo cepat, biar kita bisa makan
Beberapa saat Kembang yang memasak, menyiapkan makan malam dibantu oleh Pandu, akhirnya sebagian besar telah selesai.Nasi sudah ada di bakul kecil, asapnya mengepul karena masih panas. Tinggal menunggu sayur capcay yang sedang Kembang tumis itu matang. Lauk makan malam kali ini hanya sayur tumis capcay. Pandu yang merasa lauknya kurang banyak, bertanya tanpa malu pada Kembang."Apa lauknya hanya ini saja?"Sambil terus mengaduk-aduk sayur di wajan, Kembang menoleh pada Pandu. "Kalau kau mau makan dengan ikan, pergi mancing dulu sana!"Kemudian, Pandu terdiam. Memikirkan kata-kata Kembang."Kalau begitu, kalau aku dapat ikannya. Apa kau mau membersihkan dan memasakannya untukku?"Kembang menoleh lagi padanya dengan heran. "Tentu saja," jawab Kembang. Bergegaslah remaja laki-laki itu keluar dari rumah Kembang, meninggalkan gadis yang belum selesai memasak menatap kepergiaanya dengan bingung."Apa dia pergi mancing sungguhan?" gumam Kembang, di detik berikutnya dia tertawa, tak didug
12. Dari sisi lapangan, di tengah cahaya matahari sore yang hangat walau masih lumayan panas, tetapi tidak sepanas siang tadi. Kembang tetap diam, memandang remaja laki-laki yang berlari, tertawa, berebut bola dengan senang gembira bersama kawan-kawannya. Senyum lebar, rambut di sekitar wajah basah. Manis. Kembang menyimpulkan kalau Pandu itu manis. "Bagaimana, menurutmu Kembang?" tanya Srini, dia tersenyum simpul melihat cukup lama gadis itu mengarahkan pandangan ke orang yang dia maksud. "Menurutku, Pandu itu manis," katanya. Srini tertawa pelan, mendengar pendapat Kembang. Lagipula, mereka memang masih belum terlalu dewasa. Masih terhitung anak-anak. Kembang dan Srini melanjutkan langkah pulang, sementara Pandu yang dia berjingkrak, tertawa dengan semangat, lalu adu tos dengan teman-teman timnya karena berhasil mencetak gol. Di tengah tawa dan kegembiraannya, pandangannya tak sengaja melihat ke sisi lapangan. Senyumnya perlahan hilang, berganti dengan tatapan fokus melihat
Keesokan harinya, Pandu yang menemani ibunya, bu Ami ke pasar. melihat salah satu lapak yang biasanya kosong, kini sudah diisi oleh seorang penjual baru. Dan yang mengejutkan Pandu adalah, penjual baru itu adalah Kembang dan Srini. Pandu berjalan ke arah mereka, meninggalkan ibunya yang masih belum selesai mengobrol dengan penjual cabai. "Kembang, Bi Srini ... kalian jualan?" tanya Pandu. "Pandu, sedang apa kau di sini?" Kembang bertanya. "Aku ke sini bersama Ibuku, menemaninya belanja, seperti sudah kebiasaan rutin. Tapi, sejak kapan kalian berjualan di sini?""Iya Pandu, mulai saat ini kami berjualan, menjual hasil kebun yang lebih, daripada busuk, mending kami jual saja," kata Srini."Aku mengerti, Bi ... benar, memang daripada busuk. lebih baik jual saja, setidaknya lumayan untuk menambah uang belanja yang lain.""Pandu ...." Bu Ami datang, karena mencari-cari Pandu yang tiba-tiba saja meninggalkannya. "Kamu, Ibu cari-cari ada di sini." Bu Ami langsung melihat ke arah Srini,
"Ada. Aku tadi baru saja melihatnya.""Itu bukan seperti apa yang kamu pikirkan, Mahesa. Aku tidak sengaja hampir jatuh, kalau saja Pandu tidak sigap menangkapku tadi!" Kembang, gadis itu menjelaskan dengan serius, menampik pikiran Mahesa. "Heeeum ...." Mahesa memajukan mulutnya, mengejek dan tidak yakin pada apa yang sudah dijelaskan Kembang. Kedua tangan bersedekap dada, sambil menunjukan raut wajah tidak percaya. "Is! Kau ini!" Kembang menyenggol pinggang Pandu menggunakan sikutnya. "Benar, kan, Pandu? Apa yang aku jelaskan?" Pandu tampak terkejut, sempat tergagap menjawab, sampai akhirnya ia mengiyakan. "I-Iya, Mahesa. Lagipula, kita ini sahabat, tidak bisa mesra-mesraan.""He'em!" Kembang berkacak pinggang, menatap Mahesa setelah Pandu mengatakan itu. "Aah! Sudah sudah, terserah kalian saja ...." Anak itu berjalan pergi. "Jam berapa sekarang?" tanya Kembang tiba-tiba, setelah kepergian Mahesa. Pandu melihat ke arah matahari terbenam, lalu ia melihat bayangan mereka berdua.
"Kenapa kau ingin membangun rumah kecil dan itu dari kayu?" tanya Bu Latih. "Aku ingin hidup sederhana mulai sekarang, aku ingin suatu hari menjadi seperti bu Latih yang berhasil karena kegigihan sendiri, memanfaatkan peluang dan juga tidak lupa balas budi," jawabnya. Bu latih tersenyum mendengarnya. "Kau bukan hanya cantik, Srini. Tetapi, sangat menarik."Srini tersenyum. Bu Latih memiliki 2 anak, yang pertama laki-laki, bernama Tirta usianya 15 tahun. Dan yang kedua perempuan, bernama Hera usinya 8 tahun. "Ibumu punya anak berapa?" tanya bu Latih. "Hanya aku saja," jawab Srini. "Sudah lebih dari 15 tahun aku belum sempat ke Distrik Kates lagi, terakhir aku ke sana, saat bersama Hera itupun berkunjung sebentar, sampai saat ini, jujur aku sangat merindukannya.""Mainlah ke sana, Ibu pasti akan senang sekali melihat sahabatnya lagi," ucap Srini. "Aku pasti akan sangat bahagia bisa bertemu dengannya, jika nanti ada waktu apa kau mau menemaniku bertemu Ibumu, Srini"Srini terdiam,