Home / Romansa / Perempuan Kopi / Sandy dan Sebuah Rencana yang Tersusun  (2)

Share

Sandy dan Sebuah Rencana yang Tersusun  (2)

last update Last Updated: 2021-08-17 00:40:25

Airin berbaring di atas ranjang, setelah bersitegang dengan alter ego-nya sendiri. Tidak ada satu sayuran pun yang tersisa di atas lantai, ketika kemarahan merasukinya. Semua nampak busuk! Itu pula yang menjadi alasan baginya tidak menyisakan satu sayuran pun untuk dikembalikan ke dalam lemari pendingin, tapi justru ia lemparkan ke tempat sampah. Hari itu pun, Airin membereskan rumahnya selama 8 jam, setelah hampir 3 hari ia tidak memejamkan mata, merangkai 200 halaman cerita tanpa jeda.

Perempuan itu tersentak dari atas ranjang, ketika ia menangkap suara dari lantai bawah. Ia bangkit dari tidurnya, lalu dengan segera berlari menuruni anak tangga menuju ruang tamu. Matanya menangkap sesosok laki-laki tengah menyandarkan punggungnya pada sandaran sofa seraya memejamkan mata.

Airin tersenyum. Lalu menghambur ke arah laki-laki itu. Namun, tiba-tiba ia berhenti – menahan diri untuk tidak mendekat di kala jarak mereka hanya selangkah saja. Suara dengkuran halus terdengar pelan. Nampaknya, Sandy tengah tertidur. Airin berjongkok di hadapan laki-laki yang tengah dirindukannya itu.

Sandy membuka matanya pelan, ketika ia merasakan ada seseorang yang mengawasinya. Airin tampak tersenyum disisinya seraya duduk berjongkok.

“Kak.”

Sandy dapat menangkap mata Airin yang membulat ketika perempuan itu memanggilnya. “Ke mana saja?”

Sandy tersenyum.

“Aku sudah berusaha menghubungimu, loh, tapi nomor telepon Kakak nggak aktif?” Airin menyerbu kembali dengan pertanyaan.

“Aku dapat tugas jadi relawan,” ujar Sandy cepat, seraya bangkit dari duduknya lalu berjalan menuju dapur, yang dibuntuti oleh Airin. Laki-laki itu membuka kulkas, mengambil sebotol air dingin dan menuangkannya ke dalam gelas. Ditandaskannya air itu seketika.

Airin menatapnya seraya bertanya kembali, “Jadi relawan? Kok, mendadak sekali? Dan, kenapa tidak memberitahuku sebelumnya. Jadi, aku nggak sampai khawatir seperti ini.”

Sandy menatap Airin. “Sudahlah. Nggak usah terlalu berlebihan.” Diletakkannya gelas di atas meja. “Lagi pula, aku sudah di rumah, kan?”

Airin terdiam. Lalu, kembali ia berujar, “Tapi, aku tetap saja khawatir. A-aku takut, karena Kakak tiba-tiba pergi begitu saja…” ujarnya pelan.

Sandy kembali menatap wajah cantik istrinya yang nampak pucat. “Kalau aku pergi, mana mungkin aku kembali…”  ujarnya sambil tersenyum simpul. “Lagi pula, sepertinya kamu sudah mulai mengkhayal yang nggak-nggak, deh. Makanya berhenti menulis cerita yang membahas pengkhianatan atau perselingkuhan terus. Kamu sudah mulai terkontaminasi sendiri, kan, sama tulisanmu.”

Airin tersenyum mendengar komentar suaminya. Laki-laki itu kembali berjalan ke ruang tengah, Airin mengekorinya. “Memang Kakak pernah baca tulisan-tulisanku? Nggak semua buku yang aku buat bicara tentang pengkhianatan, kok.”

“Tapi, pasti sebagian besar berkisah tentang itu, kan.” Sandy berbalik menatap istrinya.

“Nggak.” Airin menggeleng. “Serius! Kalau Kakak mau baca, aku kasih buku yang membahas tentang keluarga atau apa pun yang Kakak mau, deh.”

Sandy menggeleng. “Nggaklah. Aku terlalu lelah buat baca. Boleh, kan, aku istirahat dulu?”

Airin mengangguk. Sandy pergi meninggalkannya, menuju tangga lalu menghilang dalam kamarnya di lantai dua.

Airin menarik napas panjang. Matanya menatap ke arah rak buku yang berisikan semua hasil karyanya. “Jangankan untuk membaca, Kak, bahkan untuk sekedar melihat saja kamu nggak mau…” desah Airin yang diakhiri dengan senyum hambar.

***

Malam itu, Airin dan Sandy menikmati makan malam di meja makan. Airin memasak beberapa menu kesukaan Sandy. Ia pergi ke mini market terdekat sore tadi ketika Sandy masih terlelap.

“Bagaimana perasaan Kakak, ketika bertugas menjadi relawan?” tanya Airin membuka obrolan.

“Hmmm… menyenangkan,” Sandy menjawab cepat.

“Mungkin, lain kali aku akan buat cerita tentang para relawan. Jadi, Kakak harus ceritakan banyak hal ke aku, ya?”

Sandy tersenyum. Sembari menyuap sesendok nasi ke dalam mulutnya.

Tiba-tiba ponsel Sandy yang disimpannya dalam saku celana berdering, sebentar Sandy mengecek layar ponsel, lalu mengangkatnya.

“Halo…”  sapanya kepada orang di ujung sana.

Airin menatap suaminya, sembari meletakkan sendoknya di atas piring.

“Aku jawab telpon dulu, ya…” Sandy berujar pada istrinya sembari berlalu.

“Kenapa tidak menjawab di sini saja,” pikir Airin, sambil matanya mengawasi kepergian suaminya menuju teras.

Sandy mendudukkan tubuhnya di atas kursi rotan model bulat bercat putih dengan bantalan buat di sisinya.

“Jam berapa kamu sampai rumah?” suara seorang perempuan terdengar dari ujung sana.

“Masih siang, sih. Aku nggak terlalu memperhatikan jam tadi,” jawab Sandy.

“Hmm, bagaimana dengan Airin?” perempuan itu bertanya dengan ragu. “Apa dia baik-baik saja? Apa kondisi rumah pun baik-baik saja?”

Sandy tertawa. “Aku sudah tidak pulang selama 6 hari, Han. Tapi, tampaknya kondisi rumah terlihat baik. Airin saja yang kurang baik. Ia memarahiku, karena aku nggak memberinya kabar,” jawab Sandy.

“Kupikir, wajar kalau dia marah,” jawab perempuan itu.

“Ya…”

“Baiklah, San. Aku tidak akan mengganggumu. Jaga diri kamu, ya. Jangan terlalu lelah menghadapi Airin. Kamu harus banyak sabar.”

Sandy tersenyum. “Iya, Sayang. Aku mengerti. Terima kasih atas pengertianmu.”

“San… seandainya…” perempuan itu tidak meneruskan ucapannya.

“Apa?” Sandy bertanya lembut. “Katakan saja, Han?”

“Tidak. Tidak apa-apa. Aku hanya terlalu khawatir, kalau kamu akan sakit lagi seperti kemarin.”

Sandy tersenyum. “Jangan khawatir. Aku baik-baik saja, kok. Selama ada kamu, aku akan selalu baik-baik saja.”

“Okey, San. Sudah, ya. Nanti Airin curiga.”

“Oke, kamu hati-hati pulang ke rumah, ya. Jangan lupa mengunci pintu.”

Telepon di tutup. Sandy mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangan. Lalu, matanya mulai menatap cakrawala yang terlihat indah oleh pijar bulan.

“Airin… aku melakukan kesalahan. Maafkan aku…” desahnya kemudian.

***

Airin menemukan Sandy telah terlelap dengan posisi terlentang di atas ranjangnya, setelah ia menyelesaikan tulisannya dalam  beberapa bab. Ditatapnya wajah tampan suaminya.

“Hmmm…” Sandy membuka mata. Airin tersenyum. Pelan-pelan, laki-laki itu mengelus kening Airin, lalu memberi senyuman kepada istrinya.

“Tidurlah…” ujar Sandy.

“Iya,” Airin berbaring di sisi Sandy. Laki-laki itu berbalik menghadap ke arah istrinya yang juga tengah menghadap kearahnya.

“Airin, maaf, ya. Aku sudah bikin kamu khawatir?”

Airin tersenyum. Ia menggeser tubuhnya lebih mendekat. Sandy menariknya. Membuat perempuan itu meletakkan kepalanya di atas lengan Sandy.

“Janji, jangan seperti itu lagi, ya,” ujar Airin. Sandy mengangguk lalu memeluk tubuh mungil istrinya. Laki-laki itu pun terlelap di sana.

***

“Kok, Kakak nggak dapat libur setelah bertugas menjadi relawan, sih?” tanya Airin pagi itu sembari meletakkan omelet di atas meja makan. Sandy menggeleng. Tangannya sibuk menyendok nasi goreng dan meletakkannya di atas piring.

Airin terdiam sesaat, lalu kembali berujar, “Kupikir, Kakak akan mendapat libur.”

“Kalau aku libur, bagaimana pasien-pasienku?”

Airin tersenyum.

“Nanti malam, aku ada acara reuni kampus. Apa kamu mau ikut?” tanya Sandy.

Airin menggeleng. “Boleh, kan? Aku tidak percaya diri bertemu  dengan teman-teman Kakak. Karena aku takut, tiba-tiba mood-ku mengacaukan semuanya.”

Sandy tersenyum. Laki-laki itu pun mengangguk. Ia tahu, Airin pasti akan menolaknya.

“Jadi, malam ini aku pulang agak terlambat, ya?”

Airin mengangguk. “Kabari aku kalau mau berangkat ke reuni, ya.”

Sandy mengangguk.

***

Sepulang praktek, Sandy menulis sebait pesan kepada Airin, kalau ia dalam perjalanan menuju lokasi reuni kampusnya. Laki-laki itu pun mulai melajukan mobilnya pelan, menuju satu rumah sakit yang berada di jantung kota. Sebuah rumah sakit yang cukup bonafit di daerahnya. Sandy menghentikan kendaraannya di lobi rumah sakit, lebih tepatnya di depan seorang perempuan berkaca mata dengan bingkai abu-abu. Wajah manis perempuan itu terlihat cukup memikat bagi kaum laki-laki, termasuk bagi Sandy. Dia adalah Hanna. Perempuan yang membuatnya beralasan menjadi seorang relawan selama 6 hari. Perempuan yang membuatnya menghilang tanpa kabar dari sang istri.

“Masuklah, Han,” ujar Sandy setelah membuka kaca jendelanya. Perempuan itu tersenyum, lalu membuka pintu mobil  kemudian mendudukan diri di samping Sandy. Laki-laki itu kembali melajukan kendaraannya menjauh menuju satu tempat di mana teman-teman kampusnya telah menunggu.

“Mereka ingin melakukan wawancara dengan segera, San,” ujar perempuan yang duduk di samping Sandy, sebagai pembuka percakapan.

“Oh, ya?”

“Tenang saja. Wawancara itu hanya sebagai formalitas saja, kok.”

Sandy tersenyum. “Usahamu luar biasa, Han.”

Perempuan itu tersenyum. “Tidak. Bukan aku yang mengusahakannya, kok. Tapi, sertifikat kamulah yang membuat kamu dipandang di sini, San.”

Sandy tertawa sambil membelokkan kendaraan memasuki sebuah hotel berbintang lima.

Di dalam satu ballroom, sahabat-sahabat dekat Sandy menyambut kedatangannya dengan suka cita.

“Hai, San. Bagaimana kabar kamu?” tanya Mario, sahabat dekat Sandy. “Kudengar kamu sudah jadi dokter bedah hebat sekarang.”

Sandy tertawa. “Bisa saja kamu, Yo.”

“Oh iya, ini istrimu?” tanya Mario ketika ia menatap Hanna yang tampak berdiri anggun di samping Sandy.

Sandy hanya tersenyum. Mario menjabat tangan Hanna hangat. “Wah, senang sekali. Akhirnya, saya bisa bertemu dengan Nyonya Sandy, setelah beberapa kali kami mengadakan reuni.”

Mario berbalik, lalu ia berseru kepada beberapa sahabatnya yang lain, bahwa kali ini Sandy telah membawa istrinya. Teman-teman Sandy tertawa, lalu menyapa Hanna dengan ramah.

“Jadi, Airin tidak pernah ikut dalam acara-acara seperti ini?” tanya Hanna seusai acara dalam perjalanan pulang.

Sandy menggeleng.

“Apakah tidak apa-apa, kalau mereka mengira aku istrimu, San?”

Sandy menatap Hanna. “Menurutmu? Bila kamu baik-baik saja dengan pendapat mereka. Aku tidak terlalu mempermasalahkannya. Toh, reuni itu tidak akan sering digelar. Aku pun jarang bertemu dengan mereka, kecuali Mario.”

Hanna terdiam.

“Jangan khawatirkan Mario, Han. Dia teman baikku. Dia pun belum pernah bertemu dengan Airin, kok.”

Sandy menepikan mobilnya. Lalu menatap Hanna yang juga tengah menatapnya.

“San, sampai kapan kita terus begini?” tanya Hanna, “aku ingin ada kejelasan dalam hubungan kita. Bisakah?”

Sandy menghela napas panjang.

“Kita telah melangkah terlalu jauh. Aku mulai khawatir dan merasa begitu cemburu pada Airin. Dulu, mungkin aku menyadari, kalau kita hanya sebatas teman berbagi. Tapi sekarang… hmmm… kupikir… setelah hari kemarin, aku…” Hanna nampak kesulitan menyusun kata.

“Aku tahu, Han. Aku akan memikirkan semua. Kamu nggak usah khawatir.” 

“Sandy, maafkan aku, ya. Seharusnya ini nggak terjadi.”

“Aku yang seharusnya minta maaf, Han, bukan kamu.”

Mereka pun terdiam. Larut dalam pikirannya masing-masing.

***

Sesampainya Sandy di rumah, ia mendapati Airin telah tertidur di atas sofa panjang. Laki-laki itu mendudukkan diri di atas sofa pendek, tepat di samping istrinya tertidur. Disandarkan kepalanya pada sandaran sofa, lalu dipejamkannya mata. Ingatannya melayang ke beberapa hari lalu. Ketika tiba-tiba, ia memutuskan untuk berlibur bersama Hanna serta menonaktifkan ponselnya.

Menghabiskan waktu bersama perempuan lain baginya mungkin menjadi satu pengalaman yang luar biasa. Namun, ia lupa akan satu hal. Ini adalah perjalanan orang dewasa. Bukan perjalanan anak-anak SMP yang tengah menjalani study tour. Hal yang seharusnya tidak terjadi, telah terjadi. Dan, Hanna mulai mempertanyakan hubungan mereka.

Sandy menarik napas panjang. Diaturnya kembali posisi duduknya, agar ia bisa menatap wajah Airin lebih jelas. Ada rasa sesak memaut dalam relung hatinya. “Maafkan aku, Airin…” desahnya.

***

Sinar mentari tersembul lalu membias melalui celah-celah jendela dapur. Airin begitu bersemangat menyiapkan sarapan pagi untuk Sandy, suaminya. Senyumnya merekah seketika tatkala lak-laki itu muncul dari balik pintu.

Sandy tersenyum, seraya menarik kursi makan. Airin meletakkan secangkir teh chamomile di atas meja makan, tepat di hadapan Sandy. Sandy menarik Airin, hingga perempuan itu terduduk di pangkuannya. Dengan lembut dikecupnya bibir Airin. Airin tersenyum, lalu mengalungkan tangannya ke leher suaminya.

“Apa tidurmu nyenyak?” tanya Airin.

Sandy mengangguk dengan mata yang nampak berkaca-kaca. Airin tertegun.

“Ada apa, Kak?”

Sandy menggeleng, “Tidak. Sepertinya mataku sedikit terkena iritasi,” ujar Sandy sambil mengusap matanya sendiri.

Airin bangkit. “Biar kulihat,” ujarnya.

“Tidak usah. Aku baik-baik saja.”

Mereka terdiam. Airin cepat berbalik menuju lemari makan, seperti mengingat sesuatu. Ia mengeluarkan setangkup sandwich isi tuna lalu meletakkannya di atas meja.

“Hari ini, apa rencanamu?” tanya Sandy, sembari menarik sandwich yang diberikan Airin ke dalam mulutnya.

“Aku akan pergi ke penerbit untuk menandatangani beberapa buku.”

“Jam berapa?”

“Sekitar jam sepuluhan, Kak.”

Sandy mengangguk.

“Kakak tahu, tema apa yang kutulis kali ini?”

Sandy menggeleng. “Apa?” tanyanya basa-basi, karena sebenarnya Sandy tidak pernah tertarik dengan apa yang ditulis oleh Airin.

“Kisah pengkhianatan seorang kekasih.”

Sandy terbatuk. Ia tersedak oleh sandwich yang ada di dalam mulutnya.

“Kak, hati-hati,” ujar Airin khawatir sembari menepuk-nepuk punggung Sandy.

Setelah batuk Sandy mereda. Airin mengambil cangkir kopi yang berada di meja lainnya. Lalu, ia pun duduk di hadapan Sandy.

“Baru saja aku mengatakannya kemarin. Lihat, sekarang malah kamu menulisnya,” keluh Sandy. “Pikiranmu akan terkontaminasi dan dipenuhi oleh rasa curiga.”

Airin terkekeh. “Ini satu nasehat sebenarnya, Kak.”

“Nasehat apa, Airin?”

“Jangan pernah berbagi kesedihan pada lawan jenismu, apa pun alasannya!” Airin kembali berkata.

Sandy terdiam, laki-laki itu menatap Airin tajam.

Airin pun balas menatap Sandy, dengan wajah penuh keyakinan sembari berujar, “Berbagi kesedihan mungkin baik. Namun, akan menjadi tidak baik, kalau kamu melakukannya dengan lawan jenismu. Itu bisa menjadi awal kehancuran hubungan sepasang kekasih. Kakak pasti tahu akan hal itu, kan?”

“Apa yang kamu ketahui?” tanya Sandy.

Airin menggeleng. “Aku hanya sedikit berimajinasi,” ujarnya sembari menggaruk kepalanya yang tidak gatal. “Setiap hal, kadang kala muncul begitu saja dalam benakku, Kak. Termasuk itu.”

Sandy menghela napas. Ia lupa kalau Airin adalah seorang bipolar. Ide-ide aneh, kadang kala bisa saja muncul begitu saja dalam pikirannya.

“Menurut Kakak bagaimana?”

Sandy terdiam.

“Bukankah, ketika kita mulai berbagi, dari situlah kita bisa merasakan kenyamanan. Dari rasa nyaman, muncullah sikap membandingkan,” terang Airin sembari menatap ke arah suaminya. “Kemudian… mereka melakukan perselingkuhan…”

Sandy tidak berkata apa pun hingga suara ponselnya berdering. Laki-laki itu mengangkat ponselnya, sembari bangkit dari duduknya dan menjauh dari tempat Airin berada. Airin tercenung sesaat, merasa ada sesuatu yang membuatnya merasa tidak nyaman.

Di teras, Sandy nampak bercakap-cakap dengan seseorang. “Aku akan keluar hari ini. Jangan khawatir…” ujarnya mantap.

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Perempuan Kopi   Sebuah Kontroversi (78)

    Sepulang mengunjungi Juli, Airin memutuskan untuk ke supermarket. Ia berkeliling mencari beberapa bahan makanan dan bumbu-bumbu kering. Airin berhenti di lemari pendingin dan menemukan beberapa pak jeruk nipis. Ia mengambil beberapa bungkus dan meletakannya di dalam keranjang.“Alfian itu seperti duri dalam daging. Tak tampak, namun menyakitkan.” Tiba-tiba, ucapan Juli kembali terngiang. Airin mematung. “Karena dia sepupumu, maka kesempatan untuk mendekatimu lebih banyak demikian pun kesempatan untuk menyita waktumu. Seandainya cara Alfian memandangmu dan perlakuannya padamu tidak seperti itu.”“Memang apa yang salah dari Alfian?” gumam Airin seraya melangkahkan kaki menjauhi lemari pendingin itu. Namun, langkah kaki Airin terhenti ketika ia mengingat pembicaraannya dengan Alfian di tepi pantai.“Aku tidak tertarik untuk melindungi perempuan lain kecuali keluargaku.”Bukankah Alfian pernah meminta pertimbangannya, ketika Airin meminta laki-laki itu untuk mencari pendamping. Dia berkat

  • Perempuan Kopi   Kepergian Moza (77)

    Airin berjalan cepat menuju Instalasi Gawat Darurat. Dengan resah perempuan itu menunggu ambulan yang membawa Moza datang. Beberapa jam berlalu, sebuah ambuan berhenti di depan lobi IGD, ketika pintu pasien terbuka, Nadia menghambur lebih dulu ke arah Airin. Bocah cilik itu menangis dalam pelukan bibinya.Petugas IGD membawa Moza yang terbaring lemah di atas brakar. Mereka bergerak cepat menangani Moza yang sesekali masih terus muntah darah.“Bi, apa mama akan baik-baik saja?” tanya Nadia pada Airin.Airin mengusap kepala Moza. “Kita do’akan saja, Sayang.”Nadia hanya menatap ke arah ibundanya dengan tatapan hampa. Airin menatap ke arah bibinya kemudian membawa Nadia untuk mendekat.“Airin…bagaimana kalau Moza tidak tertolong,” ujarnya terbata di antara isak tangis.“Kenapa Nenek bicara seperti itu?” protes Nadia. “Mama akan baik-baik saja.”Perempuan itu kembali menangis. “Apa Alfian tahu?”Airin menggeleng lemah. “Airin tidak tahu bagaimana caranya memberitahu Alfian, Bi.”“Keluarg

  • Perempuan Kopi   Kecemburuan Adrian (76)

    Airin terlihat sedikit berpikir, hingga tiba-tiba pintu diketuk dari luar. Tampak kepala Adrian menyembul dari balik pintu.“Boleh aku masuk?” tanyanya tatkala merasakan ada aura berbeda di dalam ruang perawatan Alfian. Hawa yang sedikit memanas di antara dua orang wanita yang saling berdiri berhadapan itu.“Hai, Yan. Masuklah,” suara Alfian terdengar renyah. “Dengan siapa kamu datang?”Adrian mendorong pintu pelan, hingga tampaklah sosok Daniela di sisinya.“Dia bersikeras ingin ikut,” ujar Adrian seraya menunjuk ke arah Daniela dengan dagunya.Alfian tersenyum. Daniela masuk dengan senyum mengambang. “Apa kami mengganggu?” sindirnya pada Airin dan Amanda.Alfian lagi-lagi tersenyum. “Tentu saja tidak. Senang bertemu dengan kalian.”Airin Mengalihkan perhatiannya pada dua tamu yang baru saja datang, sedang Amanda memilih memutari tempat duduk Alfian dan mengambil tempat di sisi laki-laki itu.“Oh iya, ini Amanda, rekan kerjaku,” ujar Alfian kepada Adrian. “Kami beda unit tapi kami sa

  • Perempuan Kopi   Hadirnya Amanda (75)

    Alfian telah dipindahkan ke ruang ICU. Ia masih juga belum sadar akibat luka di kepalanya dan beberapa luka di bagian tubuh lainnya. Bibi Airin datang hanya sekali selama Alfian di rawat. Dan, ia tidak bisa berhenti menangis demi melihat putranya terbaring penuh luka dan tanpa daya.“Bagaimana kalau terjadi sesuatu pada Alfian?” ujar perempuan itu.“Semua akan baik-baik saja, Bi,” jawab Airin.“Seharusnya kamu bisa lebih memperhatikannya, Airin. Bukankah Alfian sudah banyak berkorban untukmu?”Airin terdiam. Lalu kembali berujar, “Maafkan Airin, Bi.”Perempuan itu mendengus kesal. “Bagaimana aku bisa memaafkan seseorang yang membuat putraku menderita…” rutuknya.Airin menatap sang bibi dengan tatapan bingung. Ia tidak mengerti ke mana arah pembicaraan adik ibunya itu.***Airin mengelap tubuh Alfian dengan lap hangat ketika ia menemui laki-laki itu di ruang intensif.“Dia akan baik-baik saja, jangan khawatir.” Seorang perawat berujar seraya mencatat tekanan darah Alfian dengan papan b

  • Perempuan Kopi   Sebuah Kecelakaan (74)

    Airin merebahkan tubuhnya di atas ranjang. Entah mengapa, hari ini terasa begitu berat baginya. Rasanya ia ingin sekali menghilang. Semua orang yang dikenalnya meminta mantan istri Sandy Keenan itu untuk mengakui hubungannya dengan Adrian di hadapan Moza. Namun keraguan mengantuk langkah kakinya untuk menuju ke sana. Apakah Moza akan baik-baik saja dan menerima bahwa ia dan Adrian saling mencintai? Airin benar-benar dibuat gila dengan kenyataan ini.***Daniela duduk di beranda. Tubuhnya memang berada di sana namun pikirannya tengah bergerilya jauh meningglkan jasadnya. Hingga hal tersebut membuat Adrian merasa heran.“Kamu sedang berpikir apa?” tanya laki-laki itu seraya duduk di sisi sahabat cantiknya.“Hmm… Moza,” ujarnya cepat.Adrian mengernyitkan dahi. “Moza?” ulangnya.Daniela mengangguk. “Aku belum pernah bertemu perempuan seblak-blakan itu. Entah apa yang ada di dalam kepalanya.”Adrian terdiam. “Tekadnya sangat kuat.”“Kukira, itu justru sebuah kekonyolan.”Adrian menatap Da

  • Perempuan Kopi   Kegusaran Alfian (73)

    “Kak Rin terlihat luar biasa,” bisik Adrian kepada Airin ketika perempuan itu tengah menyiapkan piring-piring di meja makan. “Daniela pun sama.” Airin menjawab cepat. Adrian tersenyum ketika melihat ada nada cemburu terselip dalam pernyataan Airin.“Aku sengaja membawanya agar terselamatkan dari Moza.”Airin menatap Adrian sesaat dan Adrian tersenyum manis di hadapannya.“Halo, Yan!” Suara Alfian mengejutkan keduanya. Tampaknya laki-laki itu baru muncul setelah pesta berjalan separuh jalan.“Hai, Al. Apa kabar,” Adrian menghampiri kakak sepupu Airin dan mengulurkan tangan. Alfian membalas uluran tangan Adrian hangat.“Kau datang bersama siapa?” tanya Alfian, “apa gadis berbaju merah jambu itu?” Alfian menunjuk ke arah Daniela yang tengah bicara dengan Juli dengan matanya.“Ah, ya. Dia Daniela, temanku dari Kanada,” terang Adrian.“Aku bertemu dengannya beberapa hari yang lalu.”“Ya, dia bercerita padaku.”Alfian tersenyum, “Kembalilah bersamanya, aku akan membantu Airin di sini,” Alf

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status