Share

BAB 1

Author: Almannie
last update Last Updated: 2023-10-17 18:43:37

Sebagai seorang dokter di salah satu rumah sakit ternama di Seoul membuat Irene tidak memiliki banyak waktu untuk memikirkan apapun selain bekerja, bekerja, dan terus bekerja. Belum lagi, sebagai seorang dokter, terkadang shift nya tidak menentu, jam malam, dan juga ponsel yang harus siap 24 jam non-stop.

Apakah Lelah? Sangat, tapi Irene ingat perjuangan orang tua tunggalnya yang menaruh banyak harapan kepada anak perempuan satu-satunya. Keputusan sang mama untuk pindah ke negara gingseng ini ada kaitan dengan luka yang tak akan pernah sembuh, bahkan seiring berjalannya waktu.

Secerah cuaca Seoul siang hari ini, Irene sedang menikmati kegiatan bersantainya di salah satu café yang terletak di Gangnam-gu. Tidak ada panggilan dari rumah sakit karena hari ini merupakan hari liburnya—setelah sekian lama dia tidak mengambil hari libur.

“Hei, kau tidak mengatakan apapun jika kau ingin mampir ke café.”

Suara lembut tersebut sangat familiar. Irene yang sedang menoleh ke jendela dan melihat-lihat orang berjalan pun mendongak. Di hadapannya telah berdiri seorang perempuan berambut ginger panjang sepunggung, menggunakan crop-top putih yang dipadukan dengan celana jeans, tangan sebelah kirinya pun menenteng tas Channel.

Tersenyum. “Hanya kunjungan biasa, Jennie. What did you expect to?”

“We can enjoy the weather together and going to the beach I guess?” Jennie memanggil salah satu pelayan di café ini, kemudian memesan salah satu menu kesukaannya, ice blue sky.

“Ah, benar juga.” Irene tampak baru memikirkan kalimat dari sahabatnya. “Maafkan, aku terlalu sibuk hingga melupakan waktu ku untuk bersama mu.”

“Tidak masalah, sebenarnya,” sahut Jennie seraya mengangkat kedua bahu, “Namun Irene, aku berharap kau lebih meluangkan waktu mu untuk dirimu sendiri. Jangan terlalu bekerja terlalu keras, rumah sakit tempat mu bekerja bisa saja mengantikanmu kapanpun yang mereka mau. Akan tetapi, kesehatan mu adalah prioritas utama. Okay?”

Perempuan berambut hitam panjang ini tersenyum cerah. Dibandingkan dengan kehidupan serba sibuknya yang monoton, Irene merasa Jennie merupakan sosok perempuan bebas yang mampu mengekspresikan apa yang dia inginkan. Terkadang, Irene sungguh iri dengan batapa mudahnya Jennie mengekspresikan dirinya sendiri.

“Thank you, bestie.”

Pelayan datang dengan membawa pesanan Jennie. Gadis itu meminum es nya dari sedotan, kemudian tersenyum cerah, “No worries, baby.”

“Café mu semakin ramai, aku senang melihatnya.” Irene berusaha mengalihkan topik pembicaraan mereka yang terkesan membosankan.

“Sesuatu yang aku cita-cita sejak dulu.” Jennie menjawab acuh, “Aku tidak menyesal masuk jurusan bisnis jika café ini adalah hasil dari jerih payah ku. Akan tetapi, aku sangat berharap bahwa aku bisa masuk jurusan fashion designer untuk memuaskan hasrat ku.”

Irene tentu tahu betapa Jennie begitu menggilai fashion. Sayang, semua itu harus kandas karena beberapa hal yang tidak Jennie sebutkan. Keduanya merupakan mahasiswa universitas ternama di Seoul, bertemu saat pembinaan ospek, dan dipisahkan oleh jurusan yang berbeda; Irene jurusan kedokteran umum, sementara Jennie masuk ke dalam jurusan bisnis internasioal.

“Oh, bagaimana dengan dia.”

Irene mengerenyitkan kening. “Dia siapa?”

“Pria yang mengejarmu, siapa namanya?” tanya Jennie.

“Ah, dokter Jungwoon,” ucap Irene. “Entahlah, aku tidak tahu. Memangnya dia mengejarku?”

“….” Jennie tersedak es balok yang sedang digigitnya. Dia menggaruk pipinya yang tak gatal, “Eerr—bagaimana ya, kau sama sekali tidak tahu?”

“Hah?”

Melihat wajah clueless sahabatnya, Jennie hanya bisa menepuk kening. Wajah Jennie jelas menunjukan bahwa dia sedikit frustrasi dengan perempuan cantik di depannya.

“Kau—ah, sudahlah. Intinya, dari pengamatan ku sebagai sahabat mu, tampaknya Jungwoon ingin dekat denganmu.”

“….” Irene menggigit bibir bawah, tidak tahu harus menjawab apa untuk kalimat tersebut. Sejak lahir, dia memang belum pernah ‘mengenal’ pria, dalam artian bahwa sampai dekat dan kejenjang hubungan. Jangankan dekat, peka saja ia tidak—tidak heran sebenarnya apabila Jennie terkadang gemas sendiri.

Menghela napas. “You really … sudahlah, lupakan. Setelah ini, apa jadwal kegiatan mu?”

“Tidak tahu. Aku berniat pergi ke perpustakaan kota.”

“Tumben sekali, tidak biasanya kau ke sana—maksud ku, ya, kau gemar membaca. Akan tetapi, tidak sampai pada tahap di mana kau akan mengunjungi perpustakaan kota.”

Irene tidak mengatakan apapun dan hanya tersenyum. “So, any idea?”

“Ayo jalan-jalan ke mall?”

“Jennie and her little obsession, eh?”

Sementara, perempuan yang merasa tersindir hanya memberikan senyuman lima jari.

> ••• <

Irene memasukan kode apartemen secara perlahan. Dia membuka pintu, dan masuk ke dalam. Melepas sepatunya dan mengganti dengan sandal rumahan berbentuk kelinci yang terbuat dari kain lembut. Kulit Irene sedikit sensitif untuk beberapa hal.

Sesampainya di ruang tamu, Irene memiliki kebiasaan. Yakni, memandangi foto sang ibu dan dirinya di masa kecil yang terpajang apik di dinding ruang tamu. Menyatukan kedua telapak tangan seraya memejamkan mata, Irene berdoa untuk kebaikan ibunya yang telah tiada.

Hidup sendirian selama lima tahun membuat Irene terbiasa dengan suasana sepi, sekaligus tidak familiar dengan sumber kehangatan yang tak mampu ia raih lagi.

Rasanya sungguh berbeda. It’s been awhile, but Irene feels like forever—well, indeed forever since her mother already gone.

“Hari ini aku dan Jennie pergi berjalan-jalan. Dia cerewet seperti biasanya, dan tentu saja ceria seperti yang seharusnya.” Sudah menjadi kebiasaan Irene untuk menceritakan kegiatan kesehariannya tepat di depan foto sang ibu dan dirinya yang tengah tersenyum bahagia.

“Don’t ever meet your father, even once in your life, Irene. Mommy begs you, mommy only has you.”

Kalimat itu merupakan kalimat terakhir sebelum sang malaikat penjaga pergi meninggalkan Irene.

“Di mana daddy tinggal, mommy? Apakah beliau sejahat itu pada kita?”

“Mommy will tell you, but first, Irene has to promise—you wouldn’t go there, alright?”

“Maaf, mommy. Aku mengingkari janji.” Irene menelan salivanya, mencoba menghalangi pandangan matanya yang semakin mengabur. Menghembuskan napas dari mulut, Irene beranjak dari tempatnya.

Memasuki kamar, perempuan berambut hitam legam ini mulai memasukan semua pakaian yang ia punya ke dalam koper. Dia juga mulai menyelimuti beberapa ruangan di apartemen ini dengan kain putih.

Ponsel nya bergetar, Irene menoleh sedikit. Dia meraih ponsel layar sentuhnya, dan segera mengangkat telepon tersebut.

“Hallo, dokter.”

“Iya, baik. Terima kasih atas pemberitahuannya dokter Park. Sampai jumpa.”

Wajah yang ditunjukan oleh perempuan itu terlihat lelah, seolah dia telah menekan titik pemasalahan hingga tidak lagi bisa ditampung oleh hatinya.

Alasan kenapa ia bisa membil cuti hari ini adalah tidak lain karena dia telah dipecat, dan dipindah tugaskan ke negara lain. Irene tidak tahu apa yang terjadi tapi, ia berharap semoga negara itu bisa membuatnya berdamai dengan dunia yang gelap ini.

Irene mengelus lembut frame foto, tersenyum miris, dan memasukan ke dalam tas kecil. Sementara sisanya, dia selimuti dengan kain putih. Pelahan, seraya membawa dua koper besar, satu tas ransel, dan satu tas kecil, Irene perlahan meninggalkan kenangannya di dalam.

"Irene pamit, mommy. Wish me luck."

Lalu, ia kunci segala kenangan di dalam sana. Berharap, dengan begitu tidak ada lagi kenangan menyakitkan yang akan terkenang dan terekam oleh otaknya. Dan dia, melangkah dengan pasti meninggalkan semuanya di belakang.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Perjodohan Gila dengan CEO Arogan   BAB 97 [END]

    Berita pernikahan putra sulung keluarga Dendanious, Lousi Mino Dendanious menyebar luas; berbagai awak media berbondong-bondong menjadikan berita ini sebagai headline majalah dan koran, sementara ada juga sebagian jurnalistik yang berdiam diri di depan mansion keluarga Dendanious demi mencari secuil beritaㅡterutama menyangkut hal berupa scandal akan lebih baik. Atau setidaknya mereka pikir seperti itu. Sebab, hingga tiga hari belakangan ini, Mansion keluarga Dendanious cenderung sepi dan hanya ada pelayan atau tukang kebun yang membersihkan halaman dibalik pagar yang menjulang tinggi. Para wartawan dan paparazzi ini sudah berkemah di sini. Dan tepat di saat mereka sudah putus asa, sebuah mobil Misserati terlihat mendekati pagar mansion keluarga Dendanious. Para wartawan ini segera menarik kamera dan mencoba melihat siapa yang datang. Ternyata itu adalah salah satu kerabat Mino, yang datang untuk melihat anggota keluarga baru Dendanious yang dinanti-nanti. "Tuan Dealton, bagaimana pe

  • Perjodohan Gila dengan CEO Arogan   BAB 95

    Seperti dadu yang dilempar, hari terus bergulir, menggantikan hari-hari sebelumnya yang telah dilewati oleh manusia. Bedanya, jika dadu dilempar oleh manusia, maka hari tidak ditentukan oleh siapapun.Roda berputar, seperti putaran takdir yang tidak bisa diprediksi; kadang di atas, terkadang pula manusia merasakan rasa pedihnya berada di bawah. Semua itu, sungguh Tuhan-lah yang telah mengaturnya. Agar seluruh manusia mengetahui seberapa hebatnya Tuhan menciptakan takdir dan alam semestaㅡagar tidak melupakan bahwa setiap perbuatan selalu ada konsekuensi yang harus dijalani. Mulai dari pertemuan tak terduga, hingga sebuah perpisahan yang telah direncanakan. Mulai dari rasa cinta, hingga rasa benci yang teramat sangat menyesakan hati. Seperti sungai yang mengalir, adem, menghanyutkan, dan membawa berbagai macam emosi di dalamnya; kepedihan, kesenangan, dan kemarahanㅡair sungai terlihat tenang tapi begitu menghanyutkan. Hal ini sama dengan yang tua meninggalkan dunia, dan yang muda terla

  • Perjodohan Gila dengan CEO Arogan   BAB 94

    Clarissa keluar dari rumah sakit dengan pandangan kosong. Perempuan itu menatap langit biru di atasnya, lalu mengembuskan napas lelah. Tidak heran beberapa minggu terakhir ini dia menjadi lebih cepat lelah, bawaannya ingin pulang ke rumah dan tidur dengan nyaman, belum lagi rasa mual yang cukup mengganggu. Siapa sangka dia akan mengalaminya secepat ini? Takdir terlalu kejam untuknya. Bagaimana dia harus berkata kepada kakaknya, Irene? Belum lagi kakak iparnya yang juga berteman dekat dengan sosok yang belakangan ini terus mengusik kehidupan tenang Clarissa? Terutama, bagaimana dia menjelaskan ini kepada ayahnya? Berbagai sekelumit pemikiran terus bermekaran dalam kepala. Seolah otaknya menolak berhenti untuk tidak berpikir belebihan. Belakangan ini, ayahnya, tuan Levebvè sangat membanggakan dirinya yang sudah berani mengambil langkah kecil untuk melihat sisi lain kehidupan sebagai pekerja kantoran di perusahaan en

  • Perjodohan Gila dengan CEO Arogan   BAB 93

    Beberapa hari belakangan ini Clarissa merasa dia dilihat oleh banyak orang. Dalam artian pandangan yang menatapnya dengan pandangan menilai, menghakimi, hingga merendahkan. Sebenarnya ini bisa saja hanya sebuah perasaan semata, tapi hal ini semakin membuatnya yakin ketika ia hendak ke kamar mandi untuk memuntahkan rasa mual. "Kau dengar, tidak aku sangka ternyata dia masuk ke Music Blanc menggunakan jalur nepotisme," ujar salah seorang staff. Clarissa menahan rasa mualnya habis-habisan dan berdiri terdiam di depan kamar mandi seraya membekap mulutnya. "Ya, aku yakin dia tidak memiliki prestasi sedikitpun. Apa yang kau harapkan dari seorang anak konglomerat yang manja? Tidakah belakangan keluarga Levebvè juga terkena kasus penculikan?" Menggelengkan kepala, "Sungguh keluarga yang brutal.""Sshh," staff itu melirik ke kanan dan ke kiri, "Jaga ucapan mu, aku dengar bahwa putri keluarga Levebvè yang tersembunyi adalah istri dari CEO Mino, bahaya jika kau ketahuan." Mengangkat bahu acuh

  • Perjodohan Gila dengan CEO Arogan   BAB 92

    Irene sedang menikmati afternoon tea nya ketika ia mendapatkan kabar dari Marcus tentang alasan sikap murung Clarissa belakangan ini. Sejenak, Irene terdiam. Dia pandangi sosok tampan sang suami yang juga sedang menatapnya dengan pandangan kebingungan. "Aku tidak tahu apapun, sungguh!" "Aku tidak mengatakan apapun." Irene bergumam lembut. Mengembuskan napas, "Albert memang seperti itu sejak dulu. Awalnya dia tidak terlalu into sex, tapi sejak masuk ke persusahaan, ada satu dua hal yang tampaknya membuat dia sering seperti itu." Mata Irene memincing, "Did you do the same?""I do the same," Mino segera melanjutkan, "Aku bersumpah hanya melakukannya beberapa kali untuk stress relief." Irene hanya terdiam. Dia sudah pernah memikirkan ini sebelumnya, tapi mendengar pengakuan ini secara langsung, rasanya sedikit ada yang mencubit dihati. Namun, mengingat kini Mino sudah menjadi miliknya, tampaknya dia mengkhawatirkan hal yang tidak perlu."Yeah, kita tidak perlu meributkan hal yang su

  • Perjodohan Gila dengan CEO Arogan   BAB 91

    Mentari sudah terbit, sinarnya memasuki cela-cela ventilasi dan menembus tirai. Sayang sekali, mungkin karena mabuk dan terlalu sibuk dengan urusan ranjang, kedua orang yang masih berbaring di atas kasur tersebut lupa untuk menutup tirai jendela. Sehingga kini matahari langsung menyinari dan membangunkan salah satu di antara mereka. Clarissa adalah sosok yang pertama kali terbangun. Perempuan itu langsung menatap wajah tertidur Albert. Dengan tergasa, dia segera bangun dari tidurnya dengan wajah panik. "Akh." Sial, sial, sial! Clarissa ingin mencakar habis pria kurang ajar satu ini. Dalam hati berkata bagaimana bisa Mino berteman baik dengan sosok bejat seperti Albert? Mendengar pekikkan kecil dan suara tergesa, Albert juga bangun dari tidurnya. Pemandangan seperti ini sudah biasa dilihat. Namun, kali ini berbeda. Perempuan yang bersamannya sepanjang malam tampak sangat panik, dan terlihat mencari-cari sesuatu. "Mencari apa?" Suara serak khas bangun tidur membuat Clarissa membek

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status