หน้าหลัก / Horor / Pesugihan Kandang Bubrah / 4. Kandang Bubrah: Jalan Menuju Takdir

แชร์

4. Kandang Bubrah: Jalan Menuju Takdir

ผู้เขียน: Ndraa Archer
last update ปรับปรุงล่าสุด: 2024-11-08 11:24:35

“Siapa kamu?!” teriak Arif yang setelahnya kegelapan dan kabut itu menghilang.

Tidak lama hawa dingin menggigit kulit Arif saat dia berdiri di tengah Desa Kandang Bubrah, sebuah tempat yang menyimpan aura misterius. Di sekitar, bangunan-bangunan dengan arsitektur indah namun tampak terlupakan memberikan kesan seolah waktu telah berhenti di sini.  

“Di mana ini?” bisiknya, menatap sekeliling dengan penuh rasa ingin tahu dan ketakutan.  

Arif mendekati sebuah bangunan setengah hancur di dekatnya, tiba-tiba suara mendesis memecah keheningan.  

Ssshhh!

  

Dia berbalik, dan dari kegelapan, sosok seorang pria tua muncul. Pria itu berpakaian loreng merah-hitam. Wajahnya keriput, tetapi matanya berbinar penuh makna, menyimpan rahasia yang tak terkatakan.  

“Ah, anak muda. Kau terlihat bingung.” Pria dengan perkiraan usia 80 tahun itu menghampiri Arif.  

“Aku Mijan Trembesi. Apa tujuan kamu kemari? Pasti ingin mengubah nasibmu!” Suara Mbah Mijan menggema, membawa rasa keinginan sekaligus ancaman.  

Arif tertegun, “Siapa kau? Apa yang kau inginkan dariku?” tanyanya, suaranya bergetar.  

Mbah Mijan melangkah maju, setiap langkahnya seolah menggema di antara pepohonan.

“Aku adalah penjaga Kandang Bubrah. Banyak yang datang ke sini dengan harapan. Tapi, cuma sedikit yang memahami harga yang harus dibayar.”  

Arif merasa terombang-ambing antara ketertarikan dan ketakutan. “Harga? Apa maksudnya, Mbah?” Pria tua itu tersenyum sinis, seolah menikmati kebingungan Arif.

“Setiap impian datang dengan konsekuensi. Kamu ingin menjadi kaya dan terlepas dari beban yang mengikat, kan?” tanyanya dengan suara yang masih tetap terasa kokoh, berbanding terbalik dengan usia dan keriput di wajahnya.  

“Ya, aku—” Kata-kata Arif terpotong, lidahnya terasa berat. Instingnya memperingatkan, akan bahaya yang mengintai.  

Mbah Mijan mendekat, matanya menatap tajam. “Kau harus membuktikan keseriusanmu. Bawakan aku kembang setaman, kemenyan madu, dupa dari Gunung Kawi, dan minyak fambo. Hanya dengan itu, kau bisa mendapatkan kekayaan yang kau impikan.”  

“Tapi, di mana aku bisa menemukan semua itu, Mbah?” Arif merasa terdesak, keinginan dan rasa takut bergumul di dalam hatinya.  

Pria tua itu tertawa pelan, suara misteriusnya semakin menakutkan.

"Hanya ada satu tempat. Yaitu Desa Srengege. Ingat, anak muda! Waktu tidak berpihak padamu. Setelah malam Jumat Kliwon, semua pintu akan tertutup,” pesan Mbah Mijan.

Arif menatap Mbah Mijan. Ketegangan menyelimuti mereka.

Rasa penasaran berkonflik dengan ketakutan. Arif bertanya, “Apa yang terjadi kalau aku gagal membawa semua barang itu?”  

“Semua yang kau cintai akan menjadi taruhan. Tidak ada lagi jalan pulang.” Suara Mbah Mijan tenang, tetapi mengandung ancaman.

Jantung Arif berdebar. Dia ingin menolak tawaran itu, tetapi hasrat untuk merubah nasibnya menguasai pikirannya. Bahkan saat ini dia seperti hanya memikirkan kekayaan di hadapannya, agar semua hinaan hilang seketika.  

“Aku ... aku akan melakukannya,” katanya, suaranya bergetar namun mantap.

Mbah Mijan mengangguk, senyumnya melebar. Namun, Arif bisa melihat kilatan ketidakpastian di mata tuanya.  

“Bagus. Ingat, setiap pilihan ada konsekuensinya. Selamat datang ke dalam permainan yang lebih besar, dari yang kau bayangkan.” Kalimat itu penuh misteri, Arif terdiam sejenak. Dia takut salah memilih kali ini.  

Ketika Arif berbalik untuk pergi, hawa dingin kembali menyelimuti. Seolah-olah ada sesuatu yang lain di dalam kegelapan, mengawasinya dari jauh. Dia berlari meninggalkan desa itu, tetapi di dalam hatinya, bayangan Mbah Mijan mengikuti, menunggu saat yang tepat untuk kembali.  

‘Aku pasti bisa,’ batinnya menyemangati.

Angin berhembus kencang saat Arif bergegas, pikirannya terjebak dalam kekacauan. Dia harus menemukan barang-barang itu sebelum waktu habis. Dia tahu, langkah ini bukan hanya tentang kekayaan, tetapi juga tentang menyelamatkan apa yang paling berharga dalam hidupnya.

 “Apa yang harus aku lakukan?” Arif berbisik pada diri sendiri, suara hatinya dipenuhi keraguan. Namun, harapan akan kebebasan menariknya ke depan.

Ketika langkahnya semakin jauh, dia bertanya-tanya. “Apakah ini langkah pertama menuju keberhasilan, atau justru awal dari akhir yang mengerikan?”

Dalam perjalanan menuju Desa Srengege, Arif merasa tak hanya mengejar kekayaan. Namun juga menghindari bayang-bayang kegelapan yang mengancam untuk menghisapnya ke dalam kegelapan abadi.

“Aduh!” pekik Arif yang tersandung, pandangannya menjadi gelap. Sampai sebuah cahaya kembali menyinari wajahnya.

“Aku masih berada di dalam hutan. Desa tadi? Ke mana desa Kandang Bubrah?” tanyanya yang seperti bangun dari mimpi panjang.

Arif mengedarkan pandangan ke sekelilingnya. Terdapat sebuah pohon besar tempat dia mendengar desisan pertama kali.

Sinar matahari sudah membuat Arif lebih sadar dengan keberadaan 4 pohon ringin yang berada di sudut-sudut tempat yang berjarak saling berjauhan. Itu seperti menandakan pagar sebuah wilayah.

อ่านหนังสือเล่มนี้ต่อได้ฟรี
สแกนรหัสเพื่อดาวน์โหลดแอป
ความคิดเห็น (2)
goodnovel comment avatar
Diva
weh, takut tapi lo malah lanjut. arif, lo bodoh banget. nggak bisa balik mampus lo
goodnovel comment avatar
Tanzanite Haflmoon
berarti Arif masuk di dunia ghaib dong , jleb
ดูความคิดเห็นทั้งหมด

บทล่าสุด

  • Pesugihan Kandang Bubrah   Terima kasih ya, Teman-teman....

    Terima kasih ya, Teman-teman...Nggak kerasa, ya? Kita udah bareng-bareng dari Bab 1 sampai Bab 262. Cerita Arif Mahoni dan dunia mistis Kandang Bubrah udah nemenin kita selama berbulan-bulan (atau bahkan tahunan? hahaha maksud aku akhir tahun2024-2025 seolah tahunan). Rasanya nano-nano banget nulis cerita ini kadang aku tuh merinding, kadang nangis sendiri, kadang pengin nyubit karakter buatan sendiri.Tapi yang bikin aku terus semangat nulis sampai tamat itu kalian. Iya, kalian yang tiap update langsung baca. Yang rela ngulang bab-bab sebelumnya, yang rajin komentar, yang kirim DM /WA langsung penuh semangat, bahkan yang suka nyebutin adegan favorit, tau ngak? kalian tuh the real MVP. Tanpa kalian, cerita ini mungkin nggak akan pernah selesai.Shout-out khusus buat pembaca aktif dan penggemar setia yang dari awal udah jadi saksi hidupnya Arif. Kalian tahu siapa kalian, kan? Yang suka bikin teori, yang marah kalau tokohnya nyebelin, yang minta ending macem-macem, sampai yang suka ngan

  • Pesugihan Kandang Bubrah   262. Menjelang Senja

    Senja datang perlahan seperti kabut tipis yang menyelimuti perbukitan di kejauhan. Cahaya jingga merambat di dinding rumah, memantulkan warna emas pada bingkai foto dan kaca jendela yang berembun. Di beranda, Lila duduk ditemani secangkir wedang jahe dan suara angin lembut yang menyisir pohon kenanga.Hari itu, seluruh warga desa berkumpul di balai untuk doa bersama. Jatinegara diminta untuk menyampaikan sepatah dua patah kata sebagai perwakilan generasi muda. Lila tak ikut, tubuhnya sudah terlalu letih. Tapi ia tidak sendiri. Ia ditemani segala kenangan yang selama ini disimpannya dalam diam.Ia menatap foto Arif yang kini terbingkai lebih kokoh dari sebelumnya. Dalam hati, ia berbicara, seperti berbicara pada seseorang yang duduk di sampingnya."Aku nggak tahu berapa lama lagi waktu akan memberiku ruang, Rif. Tapi aku nggak takut. Aku sudah lihat kamu dalam mimpiku. Aku pernah tinggal bersama bayang-bayangmu. Dan sekarang, aku tinggal di dunia yang kita bentuk bersama... meski kau l

  • Pesugihan Kandang Bubrah   261. Surat yang Tak Pernah Terkirim

    "Kepada Dimas...Jika kau memang pernah ada, terima kasih sudah menemani aku di dunia yang tak nyata itu. Mungkin kau hanya bayangan, bentukan dari rasa sepi dan kehilangan. Tapi dalam mimpi itu, aku merasa dicintai, aku merasa dilindungi, dan aku merasa masih punya masa depan.Kau hadir ketika aku paling rapuh, dan kau tinggal hingga aku kembali kuat. Itu lebih dari cukup.Hari ini, aku menatap hidupku apa adanya. Tak ada Dimas. Yang ada hanyalah Arif, suamiku yang telah lama tiada. Dan Jatinegara, anak kami yang kini berdiri kokoh meski tumbuh tanpa pelukan ayahnya.Aku tidak lagi bertanya kenapa hidup tak seperti dalam mimpiku. Aku hanya bersyukur, karena pernah punya keberanian untuk mencintai—meski hanya dalam tidur panjangku."Lila berhenti menulis. Air mata mengalir perlahan di pipinya. Tapi ia tersenyum. Ada sesuatu yang lega dalam dirinya. Seperti beban yang lama mengendap akhirnya luruh bersama hujan pagi itu.Ia melipat surat itu perlahan, lalu meletakkannya di dalam kotak

  • Pesugihan Kandang Bubrah   260. Antara Kenangan dan Kenyataan

    Mungkin memang tidak ada Dimas. Tapi ada Arif, yang dulu pernah ia cintai, yang memberinya Jatinegara. Ada dirinya yang kuat. Ada kenangan yang meskipun hanya mimpi, terasa nyata hingga akhir hayat.Hari itu, udara di Desa Misahan membawa aroma kenanga dan tanah basah. Lila duduk di kursi rotan di beranda rumah, selimut menutupi kakinya yang mulai sulit digerakkan. Di sampingnya, secangkir teh melati mengepul pelan. Suasana begitu hening, namun tidak sunyi. Heningnya menenangkan, seperti bisikan yang sudah akrab didengar selama puluhan tahun.Jatinegara sibuk menyapu halaman. Tubuhnya tinggi tegap, langkahnya mantap. Beberapa kali ia melirik ke arah ibunya, memastikan Lila baik-baik saja. Sesekali, ia melempar senyum. Lila membalasnya dengan anggukan kecil.“Bu, nanti siang aku masak sop ya,” seru Jatinegara dari kejauhan.“Jangan lupa kasih seledri,” jawab Lila pelan, suaranya mulai bergetar, tapi masih hangat.Jatinegara tertawa. “Iya, Bu. Aku ingat.”Lila menatap langit. Awan putih

  • Pesugihan Kandang Bubrah   259. Tangan yang Menyatu

    Dalam perjalanan pulang, Lila dan Dimas mampir ke kebun warga. Beberapa anak muda sedang bangun rumah kaca kecil dari bilah bambu dan plastik bening."Lagi nyoba tanam tomat, Bu," kata salah satu dari mereka. "Sama cabai dikit-dikit."Lila jongkok, memperhatikan tanah yang baru dicangkul."Bagus. Rawat baik-baik ya. Ini bukan cuma kebun. Ini cara kita berdamai."Dimas membantu memasang atap plastik, ikut mengikat tali rafia. Saat selesai, mereka duduk di bawah pohon, menikmati air kelapa muda yang baru dipetik."Rasanya beda, ya," gumam Lila sambil menatap langit. "Bukan karena hutannya udah nggak ada, tapi karena sekarang, kita udah bisa narik napas tanpa takut."Dimas mengangguk. "Dan kita nggak sendiri lagi."Ia menggenggam tangan Lila. Di sekitar mereka, suara tawa, palu, dan cangkul menyatu jadi musik baru desa itu.Malamnya, Lila mencatat di buku hariannya:“Hari ini aku lihat wajah-wajah yang dulu takut, sekarang tersenyum. Lengan-lengan yang dulu hanya memeluk ketakutan, sekar

  • Pesugihan Kandang Bubrah   258. Selimut Pagi

    Dimas duduk di sebelahnya. "Kamu ingat waktu dulu kita duduk seperti ini tapi sambil memegangi jimat dan pisau garam?"Lila tertawa pelan. "Dan merapal doa setiap kali angin bertiup terlalu kencang. Sekarang, angin hanya angin."Setelah sarapan, mereka mengajak Jatinegara ke ladang milik warga yang mulai dikelola bersama. Dulu tanah itu tak tersentuh karena diyakini ‘tidak bersih’, tapi kini warga mulai menanam jagung, cabai, dan kacang panjang di sana.“Tanah ini dulu menyerap banyak darah dan rahasia,” kata Pak Suroto, warga tertua di desa. “Tapi anak-anak sekarang akan menyiramnya dengan air dan tawa. Itu cukup. Lebih dari cukup.”Lila membantu menanam bibit, sementara Dimas menggali parit kecil bersama pemuda desa. Jatinegara asyik bermain tanah dengan anak-anak lain.“Dulu aku ingin pergi dari sini,” kata Lila sambil menepuk tanah. “Sekarang, aku ingin menua di sini.”Dimas memandangnya dengan mata hangat. “Kita akan menua di sini. Bersama.”Sore hari, langit mulai berwarna jingg

บทอื่นๆ
สำรวจและอ่านนวนิยายดีๆ ได้ฟรี
เข้าถึงนวนิยายดีๆ จำนวนมากได้ฟรีบนแอป GoodNovel ดาวน์โหลดหนังสือที่คุณชอบและอ่านได้ทุกที่ทุกเวลา
อ่านหนังสือฟรีบนแอป
สแกนรหัสเพื่ออ่านบนแอป
DMCA.com Protection Status