Share

Pikirkan Anak Istrimu

Author: YuRa
last update Last Updated: 2025-03-04 07:46:24

“Ibu nggak menuduh Indah, tapi Ibu bicara berdasarkan kenyataan. Ada hubungan apa kamu dengan Indah, kok kamu sangat membelanya?” sahut Siti dengan nada yang agak tinggi.

Haris kaget, ia baru menyadari kalau ia sudah salah berbicara.

“Sialan, kok aku sampai keceplosan seperti itu ya?” kata Haris dalam hati, menyadari kebodohan yang sudah ia lakukan.

“Haris, jangan bermain api. Sedekat apa hubunganmu dengan Indah?” tanya Dewi.

“Sebatas pemilik dan biduannya saja, nggak lebih. Aku hanya kasihan melihat Indah selalu menjadi bahan cemoohan. Dia itu mencari nafkah untuk menghidupi anaknya. Apa salah kalau aku mempekerjakan dia? Apalagi sejak dia bergabung, orgen tunggal ku jadi sering dapat jadwal manggung. Dia itu membawa hoki.” Haris berkata panjang lebar.

“Hati-hati Mas, berawal dari kasihan, kemudian saling curhat dan akhirnya menjadi nyaman. Rumah tangga pun dipertaruhkan.” Erlin mengingatkan Haris.

Haris menjadi kesal, karena kedatangannya kesini untuk mengunjungi ibunya, tapi malah semua seperti menyudutkannya.

“Yang dikatakan Erlin itu benar. Rasa simpatimu itu akan menjadi rasa mengasihi, lama-lama malah ingin memiliki. Jangan sampai rumah tanggamu berantakan gara-gara perempuan itu. Kamu harus belajar dari pengalaman hidup Dewi dan Erlin. Dulu kamu terlihat marah ketika mereka berdua diselingkuhi, jadi kamu jangan jadi pemainnya. Pikirkan anak istrimu, fokus pada mereka. Jual saja orgen tunggalmu itu. Banyaklah mudaratnya daripada manfaatnya.” Siti berbicara panjang supaya hati Haris terbuka.

“Tapi musikku itu mampu menghidupi banyak keluarga kru.” Haris masih membela diri.

“Apa gunanya bermanfaat bagi orang lain tapi malah menjadi duri bagi keluarga sendiri. Keluarga kru bukan tanggung jawabmu. Keluargamu lah tanggung jawabmu, yang nantinya dipertanggung jawabkan di akhirat. Jangan berpikir pendek!” tegas Siti.

***

Sejak Esti menegur Indah waktu itu, penampilan Indah mulai berubah. Ia berpakaian agak sopan. Setidaknya yang dipakai tidak terlalu ketat, terkadang kaos oblong dan celana jeans atau memakai rok batas lutut.

“Bu, Tante Indah malah terlihat cantik dan anggun kalau berpakaian seperti itu ya? Daripada waktu itu. Syukurlah dia berubah. Tapi siapa ya yang membuatnya berubah?” tanya Mei ketika mereka berdua berada di dalam rumah dan melihat Indah lewat.

“Mungkin dia sudah mendapatkan hidayah, jadi ingin berubah ke arah lebih baik. Sedikit demi sedikit. Kita harus menghargai usahanya untuk menjadi baik.”

Terdengar suara Indah sedang melantunkan sebuah lagu di studio. Memang suara Indah terdengar merdu dan mendayu-dayu, mungkin itulah yang membuat orgen tunggal Cakrawala banyak job. Apalagi dengan harga yang cukup bersaing dengan orgen tunggal lainnya. Hari ini mereka latihan untuk tampil hari minggu.

Esti jarang bergabung atau sekedar melihat mereka latihan. Ia sendiri sudah capek dari sekolah, sampai rumah setengah empat. Waktu yang tersisa sore itu biasanya digunakan untuk memasak atau sekedar rebahan. Seperti hari ini, ia hanya rebahan di sofa bersama dengan Mei. Haris ada kegiatan diluar bersama dengan Camat dan staf kecamatan lainnya. Kemungkinan ia akan pulang malam.

Menjelang magrib, para kru selesai latihan. Reno membereskan peralatan kemudian mengunci studio dan memberikan kuncinya pada Esti.

“Ini kuncinya, Bu. Kami mau pulang,” pamit Reno sambil menyerahkan kunci studio.

“Oke, hati-hati ya?”

“Baik, Bu.” Reno menjawab dengan sopan. Tampak beberapa kru sudah naik di atas motornya masing-masing, begitu juga dengan Indah. Tapi Indah tidak menoleh sedikitpun ke arah Esti.

Esti juga pura-pura tidak melihat Indah, ia menerima kunci itu kemudian menutup pintu samping. Sepertinya Indah masih kesal dengan kata-kata yang diucapkan oleh Esti waktu itu. Ia tidak terima ditegur oleh Esti, karena ia merasa kalau Esti bukan bosnya.

Selesai makan malam, Esti menemani anak-anaknya belajar. sedangkan Haris belum pulang.

“Bu, kok Ayah belum pulang? Memangnya kerja apa kok sampai malam?” tanya Ais di sela-sela ia menyelesaikan tugas sekolah.

“Berarti pekerjaan Ayah belum selesai. Kalau sudah selesai pasti pulang, benar kan, Bu?” sahut Mei sambil meminta tanggapan dari ibunya.

“Benar yang dikatakan Mei, nanti kalau sudah selesai pasti Ayah pulang. Selesaikan dulu tugasnya.”

Sampai jam sembilan malam, Haris belum juga pulang. Ada sedikit kekhawatiran di hati Esti, karena Haris tidak memberi kabar padanya. Tadi sebelum magrib Haris memberitahu kalau pulang malam, tapi tidak menyebutkan jam berapa. Rasa kantuk juga sudah menyerang Esti, ia pun segera mengunci semua pintu dan jendela. Kemudian masuk ke kamar dan merebahkan diri di tempat tidur.

Esti berusaha untuk tidur, tapi pikirannya melayang kemana-mana. Semenjak Indah bergabung dengan Orgen tunggal milik Haris, ia selalu was-was. Status janda yang melekat pada Indah, ditambah dengan tingkah lakunya yang ganjen, membuat Esti sedikit curiga.

“Jangan-jangan…. Ah, sudahlah, mudah-mudahan apa yang aku pikirkan tidak akan terjadi.” ESti berusaha menepis pikiran yang sempat terlintas.

“Sudah jam sepuluh, kok belum pulang ya? Memangnya kegiatan apa sih, sampai malam seperti ini. Nanti kalau aku menelponnya, ia marah. Terserahlah, aku mau tidur.”

***

“Jam berapa tadi malam pulangnya, Mas?” tanya Esti ketika mereka sedang sarapan. Anak-anak sudah berangkat duluan karena ada tugas piket kelas.

“Jam sepuluh.” Haris menjawab dengan mata masih fokus ke makanan yang ada dipiring.

“Masa sih? Aku jam sepuluh belum tidur.”

Haris menatap ke arah Esti.

“Kamu pikir aku bohong, terus aku keluyuran nggak jelas, gitu?” Dari nada suaranya terdengar kalau Haris kesal.

“Mas, aku jam sepuluh masih belum tidur. Karena aku memang tidak bisa tidur, pas aku lihat jam ternyata sudah jam sepuluh. Aku ngomong baik-baik, kok jawabannya ketus kayak gitu.”

Haris menghela nafas panjang.

“Aku nggak tahu jam pastinya, ketika keluar dari kantor memang jam sepuluh.” Haris berkata dengan suara yang merendah, tidak emosi seperti tadi.

“Nah gitu kan enak dengarnya. Nggak usah suka marah, nanti malah darah tinggi,” celetuk Esti, kemudian ia menyuapkan sesendok nasi ke mulutnya.

Akhirnya acara sarapan pagi mereka lalui dengan berdiam diri, sibuk dengan pikiran masing-masing. Setelah membereskan meja makan dan mereka pun bersiap-siap untuk berangkat kerja.

“Kenapa sih Mas, akhir-akhir ini aku merasa kalau kita semakin jauh,” kata Esti dengan pelan, ia sedang memakai kaos kaki dan duduk bersebelahan dengan Haris.

Haris pun menoleh ke arah Esti, tapi Esti pura-pura masih sibuk dengan kaos kakinya. Ia menghindari tatapan mata Haris, karena ia merasakan kalau matanya sendiri sedang berkaca-kaca.

“Apa maksudmu?” tanya Haris, ia masih melihat ke arah Esti.

“Nggak apa-apa.” Esti menjawab dengan suara parau, seperti orang yang sedang menahan tangis.

“Apa kamu sakit?”

“Aku nggak apa-apa.” Lagi-lagi Esti menjawab dengan suara yang parau, membuat Haris semakin curiga.

Haris berusaha membuat Esti menatap ke arahnya, ia memegang dagu Esti dan ia terkejut melihat ekspresi wajah Esti.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Runtuhnya Sebuah Kesetiaan   Bertemu Indah Lagi

    Hari itu, Esti mengenakan kebaya merah muda lembut dan sepatu hak yang sedikit membuatnya tak nyaman, namun tetap ia tahan. Ia akan pergi kondangan bersama teman-teman kantornya, merayakan pernikahan seorang guru muda di kota. Cuaca cerah, jalanan ramai, dan gedung pernikahan dipenuhi undangan yang berdatangan.Suasana di dalam gedung meriah. Hiruk pikuk tamu, wangi bunga melati, serta alunan musik dari orgen tunggal memenuhi udara. Saat jam makan siang tiba, antrean panjang mengular di meja prasmanan. Esti ikut mengantri, tertawa kecil saat bercanda dengan rekan-rekannya, mencoba menikmati momen.Setelah mendapatkan sepiring makanan, ia berjalan mencari tempat duduk. Di tengah sorakan dan tawa tamu lain, Esti akhirnya menemukan kursi kosong dan mulai menyantap makanannya. Sesekali ia ikut mengobrol ringan, membahas menu yang disajikan atau memuji gaun pengantin.Namun, suara di panggung perlahan menarik perhatiannya.Sebuah suara yang begitu dikenalnya. Ia menoleh pelan, seolah tubuh

  • Runtuhnya Sebuah Kesetiaan   Mengingatkan

    Seminggu kemudian, Esti sengaja mengirim pesan ke grup guru.“Saya sedang mengumpulkan data pelanggaran etika digital di kalangan remaja untuk sesi konseling minggu depan. Jika ada di antara rekan-rekan yang pernah mengalami penyebaran konten pribadi tanpa izin, saya sangat menghargai jika bisa berbagi, bahkan secara anonim.”Tak sampai lima menit, Bu Siska langsung membalas di pesan pribadi:[Bu Esti, ini soal foto itu ya? Aku…aku cuma teruskan dari Bu Mira, sumpah. Aku nggak tahu itu bakal jadi besar kayak sekarang.]Esti membaca pesan itu dengan napas tertahan. Dia tak pernah menyebut soal foto itu dalam pesannya. Tapi Bu Siska mengaitkannya langsung.Satu keping lagi masuk ke tempatnya.Esti hanya membalas singkat.[Terima kasih sudah jujur. Aku harap ke depan, kita semua lebih berhati-hati.]Kemudian, ia menutup laptop, memejamkan mata sebentar, dan menghembuskan napas panjang. Bukan karena masalahnya selesai, tapi karena ia akhirnya tahu siapa yang membuatnya kehilangan rasa ama

  • Runtuhnya Sebuah Kesetiaan   Tidak Sendiri

    Beberapa jam kemudian, Esti memutuskan untuk jujur. Esti menghubungi Haris. Mereka bertemu di sebuah kedai kopi kecil, jauh dari rumah dan sekolah. Tempat yang netral. Haris datang dengan wajah penuh tanya, namun tidak marah. Esti menunjukkan pesan itu tanpa banyak kata.Haris membaca pelan, lalu mengangkat kepala. Tatapan mereka bertemu."Kamu tahu siapa yang kirim?"Esti menggeleng. "Nggak. Tapi ini bisa jadi serius. Ini sudah tersebar dilingkungan sekolah, nama baikku bisa hancur, Mas. Aku bisa kehilangan pekerjaanku.”Haris menyandarkan punggung ke kursi. Hening sebentar."Aku tahu siapa kamu, Esti." katanya pelan. "Aku tahu kamu bukan orang seperti yang dituduhkan. Dan kalau ada yang mencoba menjatuhkan kamu, aku nggak akan diam."Esti tertegun."Kamu percaya padaku?""Aku lihat cara kamu bicara waktu itu. Waktu kita bahas foto yang pertama. Kamu tidak sedang menyembunyikan apa-apa. Aku mungkin pernah ragu, tapi sekarang aku percaya. Dan kalau kita mau memperbaiki semuanya, ini j

  • Runtuhnya Sebuah Kesetiaan   Mencari Informasi

    “Cukup, Bu Raras.”Semuanya menoleh. Di sana berdiri Citra, guru Seni yang dikenal kalem, tapi kalau bicara, tajam dan tepat sasaran.“Bu Esti sudah menjelaskan. Kalau kita semua percaya pada integritasnya sebagai rekan kerja, harusnya kita menghentikan bisik-bisik yang lebih mirip gosip murahan daripada diskusi profesional.”“Bu Citra, ini menyangkut etika…” Bu Raras membalas, nada suaranya meninggi.“Etika, ya. Dan etika juga mengajarkan kita untuk tidak menghakimi seseorang berdasarkan satu foto yang bahkan tidak kita tahu kebenarannya,” potong Citra.Suasana mendadak hening. Beberapa guru saling pandang. Esti menunduk, kali ini bukan karena malu, tapi terharu. Di tengah badai penilaian, masih ada yang berdiri untuknya.Citra menoleh padanya, memberi anggukan kecil. “Ayo, kita ke ruangmu. Jangan beri mereka tontonan lagi.”Esti mengikuti langkah sahabatnya, dan untuk pertama kalinya hari itu, langkahnya terasa sedikit lebih ringan.Esti dan Citra melangkah masuk ke ruang BK, ruanga

  • Runtuhnya Sebuah Kesetiaan   Rumor Baru

    Esti menatap layar ponselnya. Dadanya sesak. Jemarinya gemetar memegang gawai itu. Foto yang dikirim tak jauh berbeda dari yang Haris lihat beberapa waktu lalu diambil dari sudut mencurigakan, menampilkan dirinya dan Alfan sedang berbicara di supermarket. Tapi kali ini, dengan caption jahat yang menghantam reputasinya dan harga dirinya."Seorang guru BK, bersuami, tapi ternyata bersama dengan laki-laki lain."Esti menelan ludah. Otaknya berputar cepat, siapa yang mengirim ini? Bagaimana mereka tahu dia seorang guru BK? Apa maksud dari semua ini?"Ancaman? Fitnah? Atau hanya orang iseng yang ingin merusak?"Ia duduk di tepi ranjang, menarik napas panjang. Tapi tenangnya tak bertahan lama. Ia memeriksa ulang pesan itu, tidak ada nama pengirim, hanya nomor asing. Tidak bisa dibalas. Tak ada petunjuk.Detik berikutnya, pikirannya langsung terbang ke sekolah."Bagaimana kalau ini tersebar ke lingkungan kerja? Bagaimana kalau kepala sekolah atau siswa-siswi tahu? Nama baikku, anak-anakku, d

  • Runtuhnya Sebuah Kesetiaan   Menyesal

    Keesokan harinya, Haris datang lebih awal dari biasanya ke rumah Esti. Ia membawa oleh-oleh kecil dari perjalanannya, mainan edukatif untuk Ais dan buku cerita untuk Mei. Tapi sejujurnya, bukan itu alasan utamanya datang pagi-pagi begini. Hatinya masih dibayangi foto semalam.Saat pintu dibuka, Esti tampak sedikit terkejut melihatnya."Mas? Kok tumben pagi sekali?""Baru sampai dari luar kota. Sekalian mampir, kangen anak-anak," jawab Haris, berusaha terdengar santai.Esti mengangguk, mempersilakannya masuk. "Mereka masih tidur, tadi malam agak larut tidurnya.”Haris duduk di sofa. Ruangan itu terasa sama seperti biasanya, hangat, tenang tapi pikirannya tidak tenang. Ia memperhatikan Esti yang sedang menuangkan teh ke gelas, gerakan tangannya luwes, biasa saja. Seolah tidak terjadi apa-apa.Dan itu justru membuat Haris semakin ragu. Apa benar ia harus menanyakan soal foto itu?"Esti…" Haris akhirnya membuka suara, suaranya lebih pelan dari biasanya.Esti menoleh, lalu duduk di kursi

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status