Setelah selesai bertemu lawyer, Mafida memutuskan untuk pergi ke Spa. Tubuh dan pikirannya butuh istirahat sejenak.
Mafida udah bertekad ingin bercerai dengan Imam, dan untuk adiknya dia akan memberikan pelajaran sedikit nantinya. Tapi yang ia cemaskan ibunya, sanggupkah nanti ia memberi tahukan semua ini ke ibunya. Anna selama ini dia selalu menjadi anak kesayangan ibunya. Ibunya selalu memanjakan Anna, bahkan terkadang terkesan pilih kasih antara dirinya dan Anna. Jika sejak kecil Mafida udah dididik dengan keras untuk mandiri, sedangkan adiknya berkebalikannya. Selalu dimanja, semua kebutuhan bahkan permintaan adiknya selalu diturutin. Hanya ayahnya yang selama ini selalu bersikap adil. Hanya saja Ayahnya meninggal saat usianya masih delapan belas tahun karena sakit Jantung. Sebelum ayahnya meninggal, Ayahnya membagikan wasiat berupa tabungan dan tanah untuk Mafida dan Anna masing-masing mendapatkan senilai 1,2 Milyar dan sepetak tanah ukuran yang lumayan besar. Selang satu tahun setelah ayahnya meninggal, Mafida ingin kuliah diluar pulau Jawa yaitu diBalikpapan dan ingin membangun usaha disana juga. Awalnya ibunya tidak menyetujuinya, karena pasti nanti tidak ada yang membantu menjaga Restonya disini. Karena selama ini Mafida lah yang selalu membatu menjaga Resto keluarganya setelah pulang sekolah. "Kan ada Paman Vigi Bu yang bantuin, aku pengennya buka usaha sendiri disana Bu, dan ingin kuliah disana," ucap Mafida kala itu. "Tapi kalau kamu disana siapa nanti yang jaga adikmu," tanya Ibu Vita. "Lah Anna kan udah dewasa Bu usianya udah lima belas tahun, udah mandiri," jelasnya. "Yoweslah terserah kamu ajalah," pasrah Ibu Vita. Sampai akhirnya ibunya luluh dan mengijinkannya. Selesai Spa Mafida lanjut ke Mall untuk shopping, hari ini dirinya hanya ingin menyenangkan atau memanjakan dirinya sendiri. "Lin, kamu dimana," tanya Mafida ditelepon. "Yasudah kita ketemu di Resto Andalimas ya kita makan bareng disitu, Maya sama kamu kan," tanyanya lagi. Setelah menutup teleponnya Mafida menuju kekasir untuk membayar belanjaannya tersebut. Selang beberapa menit, diresto Andalimas. Mafida memeluk dua sahabatnya yang kini ada didepannya. "Hai apa kabar kalian berdua," tanyanya dengan senyuman hangat. "Baik donk," jawab Linda dan Maya serempak. "Kalau kamu sendiri gimana Fid," tanya Linda. Raut wajah Mafida langsung berubah muram seketika. Dua sahabatnya yang menyadari perubahan itu, lekas memeluknya dan mengajaknya masuk dan duduk diresto Andalimas. "Kita masuk dulu yuk, kita pesan makan dulu sambil curhat-curhatan," ajak Maya. Maya dan Linda merupakan sahabatnya dari saat masih sekolah SMA. Bahkan mereka berdua ikut kuliah dikampus yang sama. Hanya saja sejak mereka bekerja, waktu mereka untuk bertemu sangat sulit. Maya yang sibuk dengan butiknya apalagi Linda, dia seorang dokter psikologi, disebuah rumah sakit swasta ternama. "Aku mengajukan cerai kesuamiku," ujar Mafida disela-sela makan. "Uhuk uhuk," Maya yang mendengar itu kesedak seketika. Lekas Linda mengambilkan minum untuk Maya. "Serius kamu Fida,"tanya Maya yang seakan tidak percaya dengan yang baru saja ia dengar. "Kamu ga ngeprank kita kan Fid," tanya Linda yang juga sulit percaya dengan ucapan sahabatnya baru saja. "Aku serius, suamiku ternyata selingkuh," jelas Mafida yang mulai berkaca-kaca. Linda yang berada disamping Mafida dengan segera merangkul dan mengelus punggung Fida seraya menenangkan Mafida. Isakan tangis mulai terdengar dari bibir Mafida. "Dan lebih parahnya lagi, dari sekian perempuan adikku sendri yang jadi selingkuhannya suamiku," ucapnya dengan tangis. Maya hanya bisa melongo mendengar penjabaran Mafida, dia masih mencerna omongan Mafida. "Loh kok bisa Fid, kan Anna dijawa," tanya Maya yang baru bereaksi setelah loading. "Udah dua bulan ini, Anna tinggal satu rumah dengan ku, awalnya aku menolak tapi kalian tahu sendiri ibuku kayak apa, ibu ku ga mau Anna ngekos sendiri, ibuku tidak menerima penolakan," jelas Mafida panjang kali rendah. "Kamu ini anak kandung ibumu apa bukan sih Fid, perasaan dari dulu kamu selalu disuruh ngalah sama adikmu, semua barang milikmu pun disuruh dikasihkan ke adikmu," kesal Maya. "Nah iya betul tuh, aku juga heran, kenapa ibumu kok bisa pilih kasih antara kamu dan adikmu," imbuh Linda. "Di kartu keluarga ya anak kandung, tapi ya entahlah," lirih Mafida yang mulai tenang. "Sumpah ya dari dulu emang aku tuh ga ada suka-sukanya ma adikmu, entah saja dari dulu ngeliat mukanya aja ga suka, apalagi denger kabar begini, anjiiir makin benci aku ma tuh Anna," umpat Linda. Maya yang mendengar umpatan Linda hanya terkekeh. "Dia ini Fid, kalau soal baca karakter orang, pinter banget, dari semenjak saat masih sekolah, dia kalau udah ngomong ga suka ngeliat wajah tu orang berarti orang tersebut ada karakter problem atau kayak ada sesuatu didiri orang tersebut. Dan sekarang terjadi kan, dari dulu Linda tuh benci banget kalau ngeliat wajah adekmu, nah nyatanya sekarang adekmu bikin problem ke rumah tanggamu, emang ga rugi kamu ambil jurusan dokter psikologi Lin, pasti pasien mu juga banyak," cerocos Maya. "Kamvret lu May, udah makan aja sono, abisin juga tuh piring dan juga gelasnya," gerutu Linda. Mafida yang melihat itu hanya tertawa sesaat dia bisa lupa sejenak tentang masalah rumah tangganya. "Eh kita lanjut nonton bioskop yuk," ajak Maya antusias. Mereka pun sepakat untuk menonton bioskop. Tak terasa waktu berlalu begitu cepat. Jam tangan nya menunjukkan waktu sepuluh malam. Mafida kembali ke hotel Aston tempat dia menginap sementara.Saat melihat sebuah video dirinya yang bercinta dengan Imam seketika handphone yang dipegang Anna lepas dari genggamannya. Tangannya gemetar, tubuhnya tiba-tiba lunglai seperti tak bertulang..Bu Vita yang melihat perubahan gestur anaknya, segera menghampirinya dengan perasaan khawatir."Kamu kenapa Ann," tanya Ibunya berusaha menopang tubuh anaknya yang lemas."Ann, kamu kenapa," lagi ibunya bertanya tapi belum ada reaksi dari Anna. Matanya terbuka tapi pikirannya seakan kosong.Bu Vita, mendudukkan Anna di sofa, lalu ia lekas mengambil air putih digelas dan kembali dengn membawa minyak kayu putih pula.Dengan penuh kesabaran Bu Vita mengoleskan sedikit minyak kayu putih didepan hidung Anna."Ann," panggilnya.Saat Anna mulai kembali tersadar dari lamunannya. Tiba-tiba ia menangis tersedu-sedu, badannya gemetar. Sedangkan Bu Vita semakin bingung dengan anaknya. Pikirannya penuh tanda tanya."Kamu kenapa Ann," "Video ku Bu, videoku Bu," jawabnya dengan tak begitu jelas karena isakan
Saat sampai di restorannya pun, handphone baru Mafida masih terus berdering. Walaupun handphonenya baru, tapi ia meminta pada pihak provider untuk mendaur ulang nomernya. Dan semua datanya sudah ia pindahkan ke handphone barunya. Handphonenya masih terus terus berdering dan masih dengan nama yang sama yaitu ibunya. Mafida tetap enggan untuk menjawab panggilan telepon tersebut. Ia mengabaikan panggilan telepon dari ibunya. Sampai akhirnya handphonenya sudah tidak berdering lagi. Ia pun menghembuskan nafas leganya. *** Di tempat Mall, saat Anna sedang berbelanja furniture dengan Erik, tiba-tiba handphonenya berdering. Begitu ia melihat nama yang menghubunginya, gegas ia menjawabnya. "Sebentar mas, ibu telepon," ujar Anna dengan memperlihatkan layar handphonenya kepada Erik, Erik pun paham dan tersenyum lembut dengan anggukan kecil. Dan Anna kini berdiri sedikit menjauh dari Erik. "Ada apa Bu," "Lama amat to ndok, jawabnya," ucap Bu Vita. "Anna masih diluar Bu, nanti Ann
Pagi ini Mafida bangun dengan perasaan yang lebih ringan. Dari wajahnya terlihat jelas guratan kebahagiaan.Ia bersenandung kecil saat menuju dapur."Wah sepertinya neng lagi bahagia sekali," ucap Art Mafida.Mafida hanya membalas dengan senyuman hangat."Saya ikut senang, neng bisa kembali ceria lagi," ujar Art nya."Terimakasih Bi, lagian menangisi mantan suami yang selingkuh tuh buat apa Bi, cukup buanglah mantan pada tempatnya," gurau Mafida saat mau duduk dikursi meja makan.Art nya pun ikut terkekeh kecil mendengarnya."Untung ya, neng belum punya anak jadi bisa lepas tanpa ada ikatan lagi," imbuhnya."Iya Bi, mungkin emang inilah jalanku Bi," "Biasanya ya neng, kalau habis dapat yang jelek. Nanti diganti yang jauh lebih baik neng,""Amin, doakan saya ya Bi,""Pasti neng,""Ya sudah ayo sarapan bareng Bi," ajak Mafida."Aduh neng, neng kan tahu kalau saya ga bisa sarapan jam segini. Ini masih terlalu pagi neng," jawabnya."Eh iya lupa Bi," Seusai sarapan dan saat hendak berang
Setelah perjalanan beberapa waktu mereka sampai dipelataran resto milik Mafida. Saat Mafida hendak turun dari mobil, ia menyerahkan kembali bunga tulip yang sejak tadi Mafida pegang. "Nih, jangan sampai lupa kalau mau lamar cewekmu," ujar Fida, tapi entah kenapa disudut hati terdalamnya seakan ada perih yang merayap dihatinya. Hanan menatap bola mata Mafida yang terlihat bening, wajahnya yang cantik dan sorot matanya yang teduh. Membuat jantung Hanan selalu berpacu cepat. "Itu bunga untukmu, perempuan yang akan ku lamar itu dirimu tidak ada perempuan lain," jujur Hanan, lalu mengeluarkan kotak perhiasan dari sakunya, kotak kecil yang berisikan cincin berlian yang begitu cantik. Mafida syok bukan main, ia masih diam membeku. Otaknya seakan masih mencerna setiap kata yang dilontarkan oleh Hanan. "Han, kamu bercanda kan?" tanyanya yang masih tidak percaya dengan ucapan sahabatnya itu. "Aku serius Maf, dari semenjak masih disekolah. Aku sudah menyukaimu, saat kembali dari LN a
Diruangan yang cahayanya temaram, suhu AC uang menyelimuti atmosfer ruangan. Laila melangkah dengan anggun menuju dimana suaminya saat ini berdiri, sedang menatap pemandangan diluar jendela kaca.Tangan Laila melingkar dipinggang suaminya, memeluknya dengan erat lalu membalikkan badan suaminya supaya mengahadapnya.Malam ini Laila dandan begitu cantik dan sexy, ia ingin malam ini menjadi malam indah untuknya dan suaminya.Tatapan mata Laila berkabut."Mas," bisik Laila ditelinga Erik. Lalu mulai mencium bibir Erik lebih dulu. Tapi sayangnya Erik tak ingin bermesraan dengan Laila. Ia seakan tidak berselera ataupun berhasrat untuk bercinta dengan istrinya.Dengan hati-hati Erik melepaskan tangan Laila yang melingkar di lehernya, lalu melepaskan pula tautan bibirnya dengan Laila."Aku harus pergi ada urusan mendesak," elak Erik, lalu mulai beranjak pergi dari hadapan Laila yang menahan malu dan juga hasrat yang telah bangkit. Tangannya mengepal kuat."Kamu mau pergi kemana mas," tanya La
Setelah sukses membuat laporan dikantor polisi, Mafida dan Hanan langsung menuju ke Mall untuk membeli Handphone terbaru.Gedung megah menjulang tinggi, kini terlihat dinetra mata mereka. Dengan langkah santai mereka mulai berjalan masuk kedalam Mall.Hanan selalu berjalan disisi Mafida dengan menaruh kedua tangan nya didalam kantong celananya. Ia takut khilaf menggenggam tangan Mafida."Enaknya beli merk apa ya Nan,""Kamu mau beli yang android atau yang berlogo apel bekas digigit," tanya Hanan balik."Kayak apa aja apel bekas digigit," Mafida terkekeh kecil. Saat dengan Hanan, ia merasa nyaman bisa menjadi dirinya sendiri bahkan ia merasa selalu dilindungi oleh Hanan. Tanpa sadar Mafida memandang wajah Hanan dengan rasa kagum.Seandainya waktu bisa diputar kembali, ia akan lebih memilih Hanan, tapi sayangnya waktu tidak bisa diputar. Toh dulu Hanan masih diLN. Dan gelar barunya saat ini yang baru ia sandang, pasti orang akan menilainya buruk. Dinegara ini gelar janda seakan buruk